06 Maret 2024 | 1 month ago

Dilema Badan Penerimaan Negara

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Kendati pemenang pemilihan presiden belum diumumkan secara resmi, tetapi kasakkusuk soal reorganisai Kementerian Keuangan sudah menggelayuti lembaga tersebut. Salah satu isu yang disorot adalah perihal pembentukan badan khusus yang mengurusi penerimaan negara.

Bahkan, sumber Bisnis di Kementerian Keuangan menyatakan, sudah ada instruksi untuk melakukan kajian pembentukan badan tersebut.

Faktanya, pembentukan badan yang mengurusi penerimaan negara tersebut merupakan program seluruh pasangan peserta Pemilihan Presiden 2024.

Badan baru tersebut digadang-gadang menjadi mesin anyar yang dapat mengakselerasi penerimaan negara, baik dari pajak, bea dan cukai, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Sejumlah sumber Bisnis di Kementerian Keuangan pun menyampaikan argumentasi mengambang soal tugas pokok dan fungsi institusi peleburan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat PNBP itu.

Sumber Bisnis mengatakan, ada beberapa isu yang masih menjadi perdebatan. Pertama, soal komposisi jabatan dalam struktur organisasi badan baru itu. Selain jumlah dan jenis struktur apa saja yang akan dicakup, mekanisme pemilihan pimpinan juga belum final. Apakah penunjukan langsung Presiden, atau uji kelayakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Kedua, isu mengenai esensi dari badan penerimaan tersebut. Sebagian kalangan meminta lembaga baru itu berfokus pada pengumpulan penerimaan negara, sedangkan kelompok lain mengusulkan agar lembaga itu juga mengatur soal belanja perpajakan alias insentif fiskal.

Ketiga, esensi pembentukan badan khusus itu yang dipandang kurang realistis. Pasalnya, apabila hanya ditujukan untuk memenuhi target tax ratio, maka yang diperlukan adalah reformasi perpajakan, bukan pemisahan institusi.

Atas dasar itu, kemudian muncul usulan untuk mengubah struktur penerimaan pajak dengan cara menyelaraskan porsi penerimaan negara dari sektor yang berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

Misalnya dengan menata ulang rezim Pajak Penghasilan (PPh) pada sektor pertanian, konstruksi, dan real estate yang selama ini memiliki daya gedor besar ke PDB tetapi berperan sangat kecil pada penerimaan pajak.

"Saat ini sudah ada instruksi untuk melakukan kajian. Masing-masing melakukan kajian soal BPN [badan penerimaan negara]," kata sumber Bisnis di internal Kementerian Keuangan, Selasa (5/3).

Dari informasi yang diperoleh Bisnis, pembentukan badan penerimaan hanya satu dari tiga agenda yang disiapkan pemerintahan saat ini, sebelum suksesi kepemimpinan pada Oktober mendatang.

Agenda lain adalah meleburkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Ditjen Anggaran melalui lembaga baru bernama Badan Perencanaan Nasional dan Fiskal.

Adapun, program terakhir adalah mendirikan Badan Pengelolaan Aset dan Risiko yang terdiri dari penggabungan Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Kekayaan Negara, serta Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.

Dengan kata lain, pembentukan badan penerimaan sekaligus merombak nomenklatur Kementerian Keuangan. Agenda ini dilakukan untuk mencegah adanya institusi dengan kekuatan super. "Jadi perlu dipisahkan dari sisi belanja, penerimaan, dan perencanaan," ujar sumber tersebut.

Dia menambahkan dalam beberapa bulan terakhir, ada desakan kuat untuk merorganisasi otoritas fiskal, karena dianggap memiliki tangung jawab yang terlampau besar dalam pengelolaan anggaran.

Pemisahan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat PNBP dari Kementerian Keuangan sejatinya bukanlah isu baru. Usulan ini selalu mencuat sejak 20 warsa yang lalu. 

RASIO PERPAJAKAN

Akan tetapi jika ditengok, reorganisasi kali ini merupakan momentum yang paling krusial. Sebab, selama ini tax ratio di Tanah Air hanya berkutat di kisaran 10% lantaran banyaknya fasilitas pengecualian atau pembebasan, maraknya praktik penghindaran pajak, hingga banyaknya harta wajib pajak yang tidak terdeteksi fiskus meski pemerintah telah menggulirkan program pengampunan pajak.

Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengatakan rendahnya tax ratio juga dipengaruhi adanya beberapa sektor ekonom yang tidak dipajaki, misalnya yang terkait dengan upaya menurunkan tingkat kemiskinan, hingga pemberlakuan penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Selain itu, dengan sektor informal yang mendominasi di Indonesia, banyak fasilitas yang menikmati pengecualian pajak, misalnya sektor kesehatan dan pendidikan.

Tak hanya itu, erosi basis pajak juga merupakan tantangan yang perlu ditangani pemerintah secara serius. "Penghasilan nonpajak masih sangat tinggi sekali, dan ekonomi kita yang banyak di sektor informal," ujarnya.

Sementara itu, kalangan dunia usaha dan ekonom memandang kunci utama dari kenaikan rasio perpajakan bukan semata mendirikan lembaga baru, melainkan ekstensifikasi.

Ketua Komite Tetap Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Chandra Wahjudi, memahami alasan pemerintah mendirikan badan penerimaan yakni untuk mengoptimalkan penerimaan negara sebagaimana yang dilakukan di banyak negara.

Hanya saja, misi tersebut membutuhkan waktu yang tidak singkat dan wajib pajak pun membutuhkan masa transisi. "Hal ini yang perlu dipertimbangkan lebih matang. Kunci menaikkan rasio penerimaan negara adalah ekstensifikasi," katanya.

Dia menambahkan, sejatinya sistem yang saat ini berjalan sudah cukup baik, yakni menempatkan Kementerian Keuangan sebagai bendahara negara sekaligus regulator fiskal.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, mengatakan pemerintah perlu segera menerbitkan naskah akademik soal badan penerimaan negara untuk meminimalkan kepanikan di kalangan wajib pajak.

Dia menambahkan, lembaga itu akan efektif mengatrol tax ratio sepanjang pemerintah melakukan perubahan struktur ekonomi yang disinergikan dengan penerimaan negara.

"Ada faktor lain yang lebih kuat memengaruhi penerimaan pajak, yakni struktur ekonomi," katanya.

Soal reorganisasi Kementerian Keuangan dan Bappenas, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira, mengatakan penggabungan Bappenas dan BKF akan memudahkan perencanaan pembangunan dan fiskal jangka panjang.

"Sebab selama ini Bappenas sering dikeluhkan karena terjadi disparitas antara rencana pembangunan dengan fokus anggaran," katanya.

Selain itu, Bappenas juga lebih leluasa dalam menjalankan fungsi pengendalian utang. Sebab meski selama ini pinjaman bulateral dan multilateral ada pada Bappenas, pinjaman yang berbentuk penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) masih dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan. (Maria Elena/Nuhansa Mikrefin Y.P.)