06 Maret 2024 | 1 month ago

Isu Musiman Yang Menggelisahkan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Dua pekan lalu, salah seorang teman merasa sangat gusar. Dengan nada bicara yang sedikit lemas, salah satu aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan itu merasa ketakutan dengan rencana pendirian Badan Penerimaan Negara.

Bahkan, tidak sedikit pegawai otoritas fiskal yang menanyakan peluang karier di institusi lain, baik lembaga negara maupun swasta. Pada intinya, penolakan pendirian Badan Penerimaan Negara (BPN) sangat kuat.

Bagaimana tidak? Ada banyak konsekuensi yang akan muncul apabila pemerintahan baru yang akan berkuasa pada Oktober mendatang memisahkan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Pasalnya, meski ada beberapa pos yang linier, tidak sedikit pula posisi yang bertolak belakang satu sama lain. Sehingga, apabila peleburan dipaksakan, mau tak mau harus ada mutasi aparatur sipil negara (ASN).

Persoalannya, mutasi yang paling realtistis adalah penempatan pejabat pada posisi yang masih linier meski harus berpindah kementerian.

Polemik kemungkinan tak akan muncul di Ditjen Anggaran karena memiliki tiga posisi yang bisa disatukan, yakni Direktur PNBP Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan, Direktur PNBP Kementerian/Lembaga, dan Tenaga Pengkaji PNBP.

Namun beda soal dengan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai. Memang, keduanya samasama memiliki direktorat bagian pengawasan yakni Direktur Penegakan Hukum dan Direktur Keberatan dan Banding di Ditjen Pajak serta Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan serta Direktoran Penindakan dan Penyidikan di Ditjen Bea dan Cukai.

Akan tetapi, ada posisi yang sulit untuk dilebur. Salah satunya adalah Direktorat Interdiksi Narkotika di Ditjen Bea dan Cukai.

Institusi yang paling linier dengan posisi itu ada di Mabes Polri atau Badan Narkotika Nasional (BNN), bukan BPN.

“Konsekuensinya harus dilebur ke Mabes Polri atau BNN,” kata sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas kepabeanan dan cukai, Selasa (5/3).

Posisi lain yang juga berpotensi dileburkan dengan kementerian/lembaga (K/L) adalah Direktorat Kerja Sama Internasional Kepabeanan dan Cukai.

Dalam konteks ini, tentu posisi yang paling relevan adalah dilebur ke Kementerian Perdagangan. Terlebih apabila BPN nantinya hanya berfungsi sebagai institusi pengumpul penerimaan negara.

Adapun, sumber Bisnis di Kementerian Keuangan lainnya skeptis dengan rencana pendirian BPN tersebut sebagaimana yang acapkali terjadi dalam berpuluh-puluh tahun terakhir.

Penyebabnya adalah rumitnya penyatuan antar institusi baik dalam konteks administrasi, sistem, teknologi, hingga persoalan kepegawaian dari pusat hingga daerah.

“Seandainya dipaksa paling cepat baru terealisasi dua tahun. Karena ada banyak yang harus disatukan dan diadaptasikan,” kata sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas pajak.

Aspek teknis inilah yang sejatinya membuat banyak ASN di Kementerian Keuangan pusing tujuh keliling. Apalagi, sinyal peleburan BPN tampaknya bukan pepesan kosong, tak seperti yang terjadi selama 20 tahun terakhir.

Bisnis mencatat, sejatinya pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan atau pendirian lembaga baru untuk mengumpulkman negara bukanlah isu instan.

Program ini selalu digulirkan oleh pemerintah atau pihak yang akan menguasai pemerintahan pada tahun digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu).

Pada Maret 2004 misalnya, kala itu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) mengusulkan pemisahan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat PNBP dari Kementerian Keuangan yang kala itu masih bernama Departemen Keuangan, menjadi badan otonom.

Usulan itu tertuang dalam Surat MenPAN nomor B/59/M.PAN/1/2004 yang dialamatkan ke Presiden RI kala itu, Megawati Soekarnoputri.

Saat itu, ada dua alternatif yang diajukan Kementerian PAN. Pertama, penyempurnaan organisasi Depkeu yang tetap sesuai dengan usulan Menteri Keuangan.

Kedua, penyempurnaan organisasi Kementerian Keuangan yang sekaligus memisahkan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan dan pendapatan negara ke dalam badan baru yang berbentuk lembaga pemerintah non-departemen.

Secara konkret, tugas dan fungsi di bidang pengelolaan dan pemungutan pendapatan negara dilaksanakan oleh badan otonom baru, sementara Kementerian Keuangan fokus pada kebijakan pembangunan ekonomi makro, jasa keuangan, perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan pasar modal serta tugas-tugas lain sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Akan tetapi, usulan tersebut tak sempat direalisasikan ke dalam aksi nyata pemerintahan kala itu.

Satu dekade kemudian atau pada 2014, Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berusaha memaksakan pembentukan BPN yang kala itu diusulkan bernama Badan Administrasi Perpajakan.

Bedanya, dalam usulan tersebut BPN masih tetap berada di bawah berkoordinasi Menteri Keuangan dengan alasan pendapatan negara masih menjadi kewenangan Kementerian Keuangan sesuai dengan UU.

Walaupun masih koordinasi dengan Menteri keuangan, anggaran dari BPN terpisah dari anggaran Kementerian Keuangan sebagaimana yang selama ini terjadi. Dengan demikian, keluwesan pemakaian anggaran untuk memaksimalkan penerimaan negara dapat dengan mudah dilakukan.

Ada pula fleksibilitas dalam penambahan sumber daya manusia (SDM) untuk proses ekstensifikasi karena selama ini terkekang oleh birokrasi yang cenderung lama dan rumit saat Ditjen Pajak berada di bawah Kementerian Keuangan.

Selain itu, pegawai yang ada dalam badan administrasi perpajakan tidak akan masuk dalam jajaran pegawai negeri sipil (PNS). Dengan model pengelolaan seperti swasta, organisasi akan lebih dinamis karena menggunakan sistem kompetensi dan kinerja pegawai.

Namun lagi-lagi program yang menjadi salah satu dari 116 aksi penuntasan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tersebut menguap alias hanya pepesan kosong.

Kemudian, pemerintahan beralih. Joko Widodo mengambil kursi Presiden pada 2014. Ada perbedaan mendasar soal BPN versi Presiden Joko Widodo.

Pada Desember 2014 tak lama setelah dilantik sebagai Kepala Negara, Joko Widodo dengan tegas menyatakan tidak sepakat untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan atau mendirikan badan otonom baru.

Wacana pendirian BPN lagi-lagi muncul dalam Pemilu 2024 lantaran menjadi program dalam visi misi seluruh pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

PUTUSAN MK

Hanya saja, fakta baru yang perlu di ingat adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada awal tahun ini.Pada 31 Januari 2024, MK memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh Sangap Tua Ritonga, seorang konsultan pajak.

Pemohon menguji Pasal 5 ayat (2), Pasal 6, Pasal 15 UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara dan norma Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Menurutnya, penempatan Ditjen Pajak sebagai subordinasi atau di bawah Kementerian Keuangan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu perlu dibentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kementerian Keuangan.

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, menyatakan hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk UU. Hal dimaksud sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada maupun sesuai dengan perkembangan ruang lingkup urusan pemerintahan, atau dapat pula melalui upaya legislative review.

Terlebih, terkait dengan pembentukan kementerian negara serta ketentuan mengenai pajak yang diatur dalam UU, justru menggambarkan telah berjalannya mekanisme checks and balances terhadap kekuasaan negara.

Bagi MK, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, serta tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, dan apalagi merupakan mandat dari rumusan norma pasal UUD 1945 maka, tidak ada alasan untuk membatalkan sebagaimana petitum Pemohon.

“Sehingga adanya kepentingan untuk membentuk lembaga khusus setingkat kementerian yang memiliki otoritas memungut pajak/pendapatan negara terpisah dari Kementerian Keuangan adalah tidak beralasan menurut hukum,” kata Daniel.

Harus diakui, putusan MK tersebut mampu memupuskan asa soal pendirian badan otonom, Badan Administrasi Perpajakan, BPN atau apapun sebutannya.

Namun yang membuat ASN di Kementerian Keuangan waswas adalah BPN merupakan program politik yang dalam perumusannya juga harus melalui proses politik, entah itu oleh pemerintahan atau di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sejatinya, apapun yang nantinya akan diputuskan tak jadi soal dan semua pekerja negeri harus siap menerima konsekuensi. Hal yang sangat krusial adalah kepastian untuk menghentikan atau mewujudkan isu pemisahan ini.