07 Maret 2024 | 1 month ago

Badan Penerimaan Di Bawah Menteri Keuangan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Rencana pemerintah untuk mendirikan badan atau lembaga khusus yang bertanggung jawab soal penerimaan negara terus dimatangkan. Dalam perkembangan terbaru, diusulkan bahwa pimpinan pada badan tersebut masih berada di bawah Menteri Keuangan.

Berdasarkan berkas usulan yang tengah dikaji oleh salah satu direktorat di Kementerian Keuangan, institusi yang rencananya bernama Badan Penerimaan Negara (BPN) itu nantinya masih berada di bawah Menteri Keuangan.

Lembaga tersebut rencananya akan berkedudukan di bawah Kepala Negara. Akan tetapi, pertanggungjawaban BPN kepada Presiden dilakukan melalui Menteri Keuangan.

“Lembaga berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Keuangan,” tulis berkas yang diperoleh Bisnis, Rabu (6/3).

Dengan demikian, maka BPN tetap terpisah dari Kementerian Keuangan tetapi memiliki fleksibilitas yang tinggi lantaran langsung berkedudukan di bawah Presiden.

Hanya saja, dari sisi pertanggungjawaban badan tersebut harus melalui mekanisme birokrasi alias berposisi sebagai lembaga pemerintah nonkementerian.

Adapun, tujuan dari pemisahan direktorat pengumpul penerimaan negara dari Kementerian Keuangan adalah untuk memperkuat kelembagaan otoritas perpajakan agar pemungutan pajak lebih efektif dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

“Untuk itu penyelenggaraan tugas pemerintah di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga pemerintah nonkementerian,” tulis dokumen tersebut.

Sementara itu, sejumlah pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan masih tidak bersedia memberikan pernyataan perihal progres penyusunan BPN tersebut.

Hal yang pasti, kedudukan BPN sebagai lembaga pemerintah nonkeuangan dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri Keuangan merupakan salah satu opsi yang disiapkan pemerintah tatkala merumuskan pemisahan Ditjen Pajak dari otoritas fiskal beberapa tahun lalu.

Warsa 2014, Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jelang masa akhir jabatannya memiliki tiga skenario untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan dan mendirikan BPN.

Pertama, BPN sebagai lembaga di bawah Kementerian Keuangan. Kedua, BPN sebagai lembaga di luar Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Ketiga, otoritas perpajakan tetap seperti saat ini, yakni Ditjen Pajak serta Ditjen Bea dan Cukai di bawah Kementerian Keuangan, tetapi diberi fleksibilitas lebih luwes mengenai rekrutmen pegawai dan sistem remunerasi yang lebih adil.

Sekadar mengingatkan, pendirian BPN merupakan salah satu agenda dadakan dari pemangku kebijakan pada tahun ini. (Bisnis, 6/3).

Tak hanya itu, BPN juga merupakan salah satu program andalan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang sementara ini pada posisi teratas versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Konkretnya, ada tiga direktorat yang akan berfusi, yakni Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang saat ini berada di bawah Ditjen Anggaran.

Salah satu dasar dari dileburkannya ketiga pos yang berfungsi menampung penerimaan itu adalah untuk meningkatkan rasio perpajakan yang memang sangat sulit beranjak.

Padahal jika dicermati, sejatinya pemerintah bisa saja memacu rasio perpajakan tanpa harus meleburkan banyak institusi atau mendirikan lembaga baru.

Caranya dengan meningkatkan kewenangan kepada Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat PNBP lebih proporsional. Tidak terlalu lemah, tidak pula terlalu kuat.

Hal yang menjadi kekhawatiran ketika BPN berdiri adalah kewenangan yang terlampau luas dan fleksibilitas yang sangat tinggi sehingga kontra produktif dengan misi pemerintah.

Pasalnya, salah satu alasan dilepasnya ketiga bagian itu dari Kementerian Keuangan adalah untuk menghindari adanya institusi yang memiliki kekuatan sangat tinggi.

Sebab selain mengurusi penerimaan negara, Kementerian Keuangan juga bertugas mengatur seluruh pos belanja negara sehingga peran yang dimainkan sangat dominan.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, menilai cara cepat untuk mengerek penerimaan pajak adalah dengan menerapkan kebijakan perpajakan, bukan mendirikan BPN.

Secara konkret, pemerintah patut memanfaatkan instrumen yang tersedia untuk menggali potensi penerimaan. Salah satunya menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memang diatur dalam UU N0. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

PENGURANGAN FASILITAS

Selain itu, pengurangan fasilitas dan insentif perpajakan juga dapat menaikkan penerimaan secara singkat. Potensi penerimaan negara yang lebih tinggi dapat dikeruk dengan mengubah beberapa rezim perpajakan final.

Tak hanya itu, beberapa jenis pajak baru juga perlu dikeluarkan seperti pajak atas harta atau warisan. Begitu pula dengan pajak atas keuntungan dari saham atau capital gain. Dari sisi cukai, juga berperan penting dengan menambah objek cukai yang baru. Terlebih, cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik yang dirumuskan tak kunjung terlaksana.

Akan tetapi, sebelum mengambil langkah tersebut perlu melihat dampaknya terhadap ekonomi Tanah Air. Pasalnya, jika terlalu agresif, ekonomi nasional terancam loyo diikuti dengan penerimaan pajak yang juga akan lesu.

“Meski demikian, dengan bauran kebijakan di atas menurut saya akan tetap sulit menaikkan tax ratio kalau targetnya terlalu tinggi,” kata Fajry.

Dia menambahkan, efektivitas peleburan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, serta Direktorat PNBP dalam mengatrol rasio perpajakan membutuhkan waktu yang cukup lama.

Apalagi, transisi dan penyesuaian baik dari sisi administrasi maupun teknis juga membutuhkan waktu yang tidak singkat. Selain itu, pemerintah juga wajib menyusun regulasi sekelas undangundang yang harus melalui proses politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).