12 Maret 2024 | 1 month ago

Bumerang Bagi Fiskal Negara

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Jalan pintas akhirnya ditempuh pemangku kebijakan untuk mendulang penerimaan. Penaikan tarif pajak, yang merupakan opsi instan bakal dieksekusi. Ini membuktikan pemerintah abai terhadap daya beli dan terkesan minim improvisasi.

Celakanya, tarif yang akan dinaikkan adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang merupakan potret dari aktivitas konsumsi atas barang dan jasa masyarakat, yakni dari 11% menjadi 12%.

Di sisi lain, kenaikan tarif PPN bukannya minim konsekuensi. Kebijakan ini pasti langsung direspons oleh pelaku usaha dengan menaikkan harga jual barang dan jasa.

Akibatnya, daya beli masyarakat makin ngos-ngosan, dan bakal merembet ke pembengkakan belanja negara. Maklum, pemerintah acapkali menjadikan belanja sosial untuk proteksi tunggal konsumsi masyarakat.

Alhasil, ada dua kerugian yang akan dirasakan oleh pemangku kebijakan. Pertama, makin hilangnya potensi pajak karena masih adanya fasilitas pembebasan atau pengecualian hingga PPN DTP.

Kedua, kian borosnya belanja negara untuk membantu menopang konsumsi rumah tangga akibat terimpit kenaikan tarif.

Jadi, amat jelas kenaikan tarif PPN bukan hanya kebijakan tak populis, juga merupakan aksi yang dapat memicu bumerang pada fiskal negara.

Memang, kenaikan tarif itu merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP, tepatnya pada Pasal 7 yang menuliskan, tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Namun, perlu diingat, ada sedikit problematika dalam substansi regulasi tersebut, tepatnya pada Pasal 7 (3). Dalam ayat itu tertulis, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Artinya ada dua kemungkinan yang terbuka amat lebar. Pertama, menaikkan tarif PPN dengan jalur alamiah regulasi yakni dari 11% menjadi 12% per 1 Januari tahun depan.

Kedua, mengatrol tarif PPN lebih agresif yakni menjadi 15% dengan pertimbangan khusus sebagaimana diatur dalam penjelasan UU HPP.

Pertimbangan yang dimaksud adalah pertimbangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan.

Sayangnya, tidak ada opsi penurunan tarif meski sejatinya kondisi ekonomi sangat mendukung yang tecermin dari masih gontainya daya beli masyarakat.

Celakanya, pemerintah justru mengait kan kenaikan tarif PPN ini sebagai konsekuensi atas pilihan politik pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 yang berdasarkan penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menempatkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada posisi teratas.

Pasangan itu pun mengusung program keberlanjutan dan menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, kenaikan tarif PPN adalah konsekuensi dari dukungan atas program tersebut.

“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN,” katanya, akhir pekan lalu.

Tak bisa dimungkiri, dimasukkannya opsi itu ke dalam bagian optimalisasi implementasi UU HPP merupakan potret bahwa pemerintah berniat memanfaatkan jalan pintas itu agar mampu menuju angka target penerimaan pada tahun depan.

Tak hanya itu, kenaikan tarif PPN secara jangka panjang juga bakal memperlancar peralihan ketergantungan penerimaan pajak dari sebelumnya berbasis penghasilan alias Pajak Penghasilan (PPh) ke pajak yang berbasis konsumsi.

Bisnis pun mendapatkan informasi dari sumber yang dekat dengan otortas fiskal, bahwa dijadikannya PPN sebagai tumpuan penerimaan merupakan permintaan dari pelaku usaha.

Maklum, strategi pemerintah selama ini tak pernah kreatif dengan aksi ‘berburu di kebun binatang’, sehingga mau tak mau pebisnis pun yang menjadi tumpuan penerimaan pajak melalui PPh Badan.

Pemerintah telah melakukan kajian bahwa penerimaan pajak di mayoritas negara di dunia ditopang oleh pajak konsumsi, bukan penghasilan.

Rasionalisasi lain yang jauh lebih penting adalah, konsumsi relatif lebih cepat pulih setelah diterpa krisis dibandingkan dengan penghasilan baik korporasi maupun orang pribadi.

Hal ini tak lepas dari siaganya pendampingan fiskal untuk memperkuat daya beli masyarakat melalui berbagai bantuan, sehingga efeknya ke penerimaan negara pun langsung terasa.

Akan tetapi, apabila pemerintah cermat, masih ada opsi yang bisa ditempuh untuk memacu penerimaan dari PPN tanpa harus menaikkan tarif.

Solusinya adalah dengan mengevaluasi rezim pembebasan pajak atas barang/jasa kena pajak (BKP/JKP).

Parahnya, BKP/JKP yang mendapatkan fasilitas PPN amatlah besar, sebagaimana termuat dalam PP No. 49/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

“Perluasan objek PPN yang ada di UU HPP belum optimal karena sebagian objek PPN tersebut sudah mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan sejak PP No. 49/2022 terbit,” kata Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono.

Sementara itu, World Bank dalam laporan berjudul Pathways Towards Economic Security: Indonesia Poverty Assessment yang dipublikasikan belum lama ini, mengkritisi mekanisme pemajakan atas barang dan jasa di Indonesia.

Menurut lembaga tersebut, Indonesia sudah sepatutnya melakukan evaluasi atas diberikannya fasilitas pembebasan PPN, karena efektivitasnya yang terbatas sejalan dengan banyaknya barang dan jasa yang mendapatkan kemudahan.

Selain ketidaktepatan sasaran, pembebasan PPN juga menjadi salah satu yang menghambat optimalisasi atau pertumbuhan penerimaan pajak. Alhasil, rasio pajak di dalam negeri pun mentok dan tak pernah menyentuh angka tinggi.

Ini pun tecermin dari realisasi daya pungut terhadap PPN yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collection ratio pada tahun lalu hanya 62,54%.

Angka tersebut diperoleh dengan realisasi konsumsi rumah tangga yang mencapai Rp11.109,6 triliun dan realisasi penerimaan PPN senilai Rp764,34 triliun, serta tarif yang berlaku sebesar 11%.

Dengan kata lain, pemerintah sepanjang tahun lalu hanya berhasil memungut sebesar 62,54% dari total potensi penerimaan PPN dari konsumsi masyarakat.

Angka ini relatif tak beranjak dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat sebesar 61,51%. Artinya, perlu ada terobosan yang konkret dari pemerintah untuk bisa mengoptimalisasi seluruh penerimaan PPN.

Sekadar mengingatkan, realisasi VAT gross collection ratio di Tanah Air mustahil mencapai 100% lantaran masih banyaknya fasilitas pembebasan atau pengecualian.

Dengan kata lain, sepanjang otoritas fiskal masih memberikan keringanan baik berupa pembebasan maupun PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), maka potensi pajak tak akan terpungut maksimal.