14 Maret 2024 | 1 month ago

‘Gelombang Tsunami’ Menggulung Konsumsi

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Ancaman ‘gelombang tsunami’ terhadap aktivitas konsumsi masyarakat makin nyata. Pengatrolan Pajak Pertambahan Nilai pada tahun depan dipastikan bakal menggerus konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi mesin utama pendorong laju produk domestik bruto.

Sekadar mengingatkan, kebijakan pajak terlebih Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menyasar aktivitas konsumsi barang dan jasa masyarakat bersifa distortif.

Dengan kata lain, perilaku masyarakat yang dalam konteks ini pola konsumsi akan pula terpengaruh karena adanya kenaikan tarif dari 11% menjadi 12% yang akan diterapkan pada tahun depan.

Kalangan pemerhati pajak dan ekonom pun tak memungkiri adanya risiko tergerusnya ekonomi nasional lantaran susutnya konsumsi rumah tangga yang berkontribusi besar pada struktur produk domestik bruto (PDB).

Penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga itu dipicu oleh makin mahalnya harga jual akibat tarif PPN yang kian tinggi sehingga menekan daya beli masyarakat serta bermuara pada terbatasnya pengeluaran konsumen.

“Kondisi penurunan konsumsi akan menimpa siapapun, termasuk kelas menengah,” kata Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, kepada Bisnis, Rabu (13/3).

Menurutnya, tantangan ada pada masyarakat kelas menengah lantaran harus menambah penghasilan agar harta yang dimiliki tidak terkikis untuk memenuhi mahalnya biaya konsumsi.

Celakanya, kelompok ini acapkali luput dari intervensi fiskal pemangku kebijakan yang selama ini terlampau fokus pada kelas bawah dan kelas atas.

Misalnya untuk kelas bawah, pemerintah rajin menebar bantuan sosial (bansos) yang memang berfungsi menjaga ketahanan daya beli tatkala terjadi guncangan ekonomi.

Adapun untuk kelas atas, ada banyak stimulus mulai dari PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor properti khusus, hingga kendaraan bermotor.

“Memang menjadi tantangan bagi masyarakat khususnya kelas menengah,” kata Prianto.

Konsumsi masyarakat kelas menengah menjadi taruhan dari rencana pemerintah untuk mengerek tarif PPN menjadi 12% pada Januari 2025 mendatang.

Kenaikan yang telah terencana ini disebut sebagai upaya menambah penerimaan, karena PPN menjadi tulang punggung di antara penerimaan pajak lainnya dalam pundi-pundi kas negara.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Ahmad Akbar Susamto, melihat pada dasarnya kelas menengah cenderung menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi barang dan jasa.

Sejalan dengan kenaikan PPN, biaya tambahan yang harus dibayar untuk pembelian barang dan jasa akan meningkat.

“Ini dapat mengurangi daya beli kelas menengah, memaksa mereka untuk mempersempit pengeluaran atau mengubah pola konsumsi mereka,” ujarnya.

Kelas menengah berpotensi mengubah gaya hidupnya dengan mengurangi pembelian barang-barang non-esensial atau mencari alternatif yang lebih murah.

Alhasil, hal ini dapat memengaruhi industri tertentu, seperti pariwisata atau hiburan, yang mungkin mengalami penurunan permintaan dari konsumen kelas menengah.

Meskipun kelas menengah mungkin memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada kelompok pendapatan rendah, kenaikan PPN dapat menyebabkan tekanan tambahan pada anggaran mereka tanpa peningkatan yang sebanding dalam pendapatan.

“Ini dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menabung atau berinvestasi untuk masa depan, terutama dalam hal perumahan, pendidikan, dan kesehatan,” tuturnya.

Memang, kenaikan tarif itu merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP, tepatnya pada Pasal 7 yang menuliskan, tarif PPN sebesar 12% mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.

Namun perlu diingat, dalam Pasal 7 (3) tertulis, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%. Artinya, pemerintah tak hanya bisa menaikkan, tetapi juga menurunkan tarif.

OPSI LAIN

Apabila pemerintah cermat, masih ada opsi yang bisa ditempuh untuk memacu penerimaan dari PPN tanpa harus menaikkan tarif, yakni dengan mengevaluasi rezim pembebasan pajak atas barang/jasa kena pajak (BKP/JKP).

Parahnya, BKP/JKP yang mendapatkan fasilitas PPN amatlah besar, sebagaimana termuat dalam PP No. 49/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Hal lain yang juga wajib diingat, korelasi kenaikan tarif PPN dengan tekanan konsumsi sangatlah erat.

Badan Pusat Statistik (BPS) membukukan konsumsi rumah tangga berkontribui hingga 53,18% terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023.

Secara kumulatif pada periode tersebut, konsumsi rumah tangga menjadi sumber pertumbuhan tertinggi sebesar 2,55% dari total pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% (year-on-year/YoY). Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar, mengungkapkan bahwa pelambatan tersebut yang terjadi akibat menurunnya konsumsi masyarakat kelas menengah.

“Perlambatan konsumsi rumah tangga utamanya kalau kami perhatikan dari data yang kami catat terutama berasal dari perlambatan pengeluaran kelompok menengah atas,” jelasnya beberapa waktu lalu.

Dia menambahkan, perlambatan itu tercermin dari indikator seperti realisasi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang melambat, juga jumlah penumpang angkutan udara yang melambat dan penjualan mobil penumpang yang juga tidak sebanyak 2022.

Dari sisi investasi finansial seperti simpanan berjangka mengalami penguatan. Dengan kata lain, terjadi pergeseran kelompok menengah untuk lebih memilih investasi ketimbang melakukan belanja.

Data dan fakta ini hendaknya menjadi cerminan bagi pemangku kebijakan bahwa menaikkan tarif PPN melahirkan konsekuensi yang teramat besar bagi ekonomi nasional.