15 Maret 2024 | 1 month ago

‘Kekalahan Abadi’ DJP Di Pengadilan Pajak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Otoritas pajak seolah tak pernah melakukan evaluasi soal mekanisme pemeriksaan terhadap wajib pajak. Buktinya, Ditjen Pajak Kementerian Keuangan acapkali kalah dalam sengketa yang terjadi di Pengadilan Pajak.

Celakanya, hasil putusan yang mengabulkan seluruhnya gugatan wajib pajak sepanjang tahun lalu mencapai angka tertinggi, yakni mencapai 7.399. 

Data Sekretariat Pengadilan Pajak mencatat, jumlah sengketa yang dimenangkan oleh wajib pajak pada tahun lalu itu meningkat sebesar 16,0% dibandingkan dengan 2022 yang sebanyak 6.374.

Total penyelesaian sengketa banding pajak selama 2023 lalu mencapai 16.278 dan dari jumlah tersebut sengketa yang dikabulkan seluruhnya mencapai 7.399 atau sekitar 45%, dikabulkan sebagian sebanyak 2.769 atau 17%, dan membatalkan sebanyak 21 sengketa.

Pada data terpisah, yakni Laporan Kinerja Ditjen Pajak Kementerian Keuangan 2023, dituliskan bahwa otoritas pajak juga sering kalah dalam putusan banding dan gugatan di Pengadilan Pajak.

Dari total 14.001 putusan banding dan gugatan pajak sepanjang 2023, kemenangan wajib pajak mencapai 58,86%, sedangkan kemenangan otoritas pajak hanya 41,14%.

Data tersebut menandakan bahwa kualitas pemeriksaan para fiskus masih kurang ciamik sehingga selalu keok saat terlibat sengketa dengan wajib pajak.

Kalangan pemerhati pajak pun menyarankan kepada pemerintah untuk memperbaiki kualitas pemeriksaan sehingga lebih cermat dalam menindak dugaan pelanggaran peraturan perpajakan.

Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan dari berbagai kajian memang membuktikan bahwa pemeriksaan yang berkualitas menjadi kunci dari tingkat kemenangan otoritas pajak di Pengadilan Pajak.

Dia menambahkan, kualitas dari pemeriksaan juga sangat ditentukan oleh faktor kompetensi pemeriksa pajak, dalam konteks ini sumber daya manusia (SDM).

Sementara itu, studi lain menemukan bahwa kekalahan Ditjen Pajak di Pengadilan Pajak lebih karena tidak cukupnya alat bukti oleh hakim.

“Ini masalah menahun sebenarnya. Data dari 2013—2019, 44,57% upaya hukum wajib pajak dikabulkan seluruhnya,” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/3).

Sekadar mengingatkan, mekanisme pemeriksaan pajak mengacu pada Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan Dirjen Pajak.

Menurut Fajry, yang diperlukan saat ini ada pada perbaikan di tingkat peraturan pelaksanaan pemeriksaan terutama pedoman terkait bukti pemeriksaan.

“Perlu diuraikan bagaimana sebuah teknik pemeriksaan menghasilkan kecukupan alat bukti,” ujarnya.

Di sisi lain, otoritas terkait juga perlu melakukan penelitian dalam rangka mengukur keseimbangan antara jumlah pemeriksa atau SDM dengan audit coverage ratio.

Sebab inilah yang menurutnya menjadi penyebab pemeriksa pajak cenderung asal cepat dan asal jadi dalam menjalankan fungsinya.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menambahkan kekalahan Ditjen Pajak tidak terlepas dari materi pokok sengketa di Pengadilan Pajak yang berbasis pada dua aspek.

Pertama, berkaitan dengan alat bukti. Menurutnya dalam kaitan ini kekalahan bisa muncul lantaran bukti pendukung yang kurang memadai, atau koreksi pemeriksa yang memunculkan tax dispute.

“Koreksi tersebut muncul karena beban pembuktiannya ada pada wajib pajak. Ditambah lagi, durasi penyiapan bukti pendukung atas koreksi yang banyak dan nilainya material juga pendek hanya 7—10 hari kerja,” jelasnya.

Prianto menambahkan, kondisi di atas sebabkan pemeriksa berupaya untuk mempertahankan koreksinya. Alasannya karena tidak didukung bukti yang memadai.

Pada akhirnya, di tingkat Pengadilan Pajak, wajib pajak dapat memperkuat bukti pendukung sehingga akhirnya banding atau gugatan wajib pajak dikabulkan majelis hakim.

Kedua, aspek yuridis yang berkaitan dengan perbedaan interpretasi di antara wajib pajak dan otoritas pajak karena aturan yang ada cukup ambigu atau memiliki hierarki hukum sehingga memunculkan banyak makna.

Ambiguitas terjadi karena regulasi tidak cukup jelas sehingga muncul multitafsir.

Menurutnya, Ditjen Pajak seringkali tidak bisa berargumen selain alasan yang sudah dikemukakan di tingkat pemeriksaan karena penafsiran tersebut tertuang di laporan pemeriksaan dan menjadi dasar koreksi.

Sementara itu, wajib pajak selaku pemohon banding dapat menggunakan argumentasi hukum yang berbeda dibandingkan dengan argumentasi ketika pemeriksaan.

“Sesuai dengan kaidah ‘the law is the art of interpretation’, wajib pajak dapat meminta bantuan kuasa hukum untuk mencari celah agar argumentasi wajib pajak dapat meyakinkan hakim,” ujarnya.

Prianto menambahkan, aspek yuridis juga berkaitan dengan aspek hierarkis yang biasanya mengacu pada asas preferensi. Asas ini digunakan ketika ada aturan yang bertentangan.

Misalnya, Ditjen Pajak menggunakan aturan di tingkat Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Sementara itu, di sengketa banding, wajib pajak menggunakan aturan yang lebih tinggi yakni Peraturan Pemerintah (PP) atau Undang-Undang (UU).

Dengan kondisi di atas, berlaku asas lex superior derogat legi inferior. Artinya, aturan di tingkat PMK tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi alias PP maupun UU.

“Jika aturan di PMK bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan di PMK,” katanya.