18 Maret 2024 | 1 month ago

Lepas ‘Kutukan’ Angka Penjualan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Sektor otomotif menjadi salah satu tulang punggung untuk menggerakkan perekonomian nasional. Pada 2023, sektor yang menjadi bagian dari rumpun industri alat angkutan itu mampu tumbuh 9,66% secara tahunan dan berkontribusi 1,42% terhadap produk domestik bruto nasional.

Yohanes Nangoi gundah. Dari tahun ke tahun, penjualan mobil belum beranjak dari angka 1 juta unit. Padahal, sejumlah kebijakan otoritas, baik fiskal maupun moneter telah ditelurkan untuk mendongkrak daya beli.

Selain dari sisi insentif, pemerintah juga gencar membangun infrastruktur jalan hingga pelosok wilayah. Hasilnya, penjualan mobil belum cukup menggembirakan.

Nangoi yang menjabat sebagai Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencoba mencari solusi agar penjualan mobil tidak bertahan di kisaran 1 juta unit.

Ide yang sempat digulirkan yakni menyamaratakan harga mobil di seluruh penjuru Indonesia. Harga mobil di Jawa, didesain supaya tidak jauh beda dengan harga di luar Jawa.

“Mungkin kita samakan harganya supaya lebih murah. [Konsumen] yang daya beli lebih rendah, juga bisa kita dapatkan,” ujarnya.

Dengan skema itu, Nangoi berharap harga mobil di Papua, tidak beda atau bahkan sama dengan harga di Jakarta. Padahal, upah di Jakarta lebih tinggi dari Papua. Sedangkan selama ini, harga mobil di Papua lebih mahal dibandingkan dengan Jakarta atau Pulau Jawa.

“Kami sedang develop bersama para anggota untuk menemukan terobosan supaya penjualan bisa naik lebih cepat,” katanya.

Data Gaikindo yang diolah DataIndonesia mencatat sekitar 10 tahun terakhir, angka penjualan mobil tertinggi terjadi pada 2018 dengan jumlah 1,15 juta unit. Sementara itu, penjualan terendah terjadi pada 2020 di angka sekitar 530.000 unit. 

Sementara itu, dalam 2 bulan pertama tahun ini, penjualan mobil secara wholesales mencapai 140.274 unit atau turun 22,6% year-on-year (YoY).

Demikian halnya dengan penjualan ritel yang turun 15%.

Wakil Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia Bob Azam menyatakan ada tiga faktor penghambat laju pertumbuhan penjualan.

Pertama, tingginya pajak kendaraan bermotor di Indonesia. Pemerintah mengenakan seabrek pajak terhadap pabrikan di Tanah Air, mulai dari pajak bea masuk, pajak barang mewah, bea balik nama kendaraan, hingga pajak pertambahan nilai (PPN).

“Dibandingkan dengan Thailand, pajaknya hanya satu. Ini yang bisa dikoreksi pemerintah,” kata Bob kepada Bisnis.

Kedua, kenaikan harga komoditas besi-baja dan bahan baku lainnya yang menyebabkan kenaikan harga kendaraan bermotor roda empat yang tidak berbanding lurus dengan kenaikan pendapatan masyarakat.

Ketiga, pelemahan nilai tukar rupiah yang dalam 10 tahun terakhir ditaksir mencapai sekitar 35%. Pelemahan nilai tukar itu disinyalir turut andil dalam memengaruhi harga mobil di pasar nasional.

Dampaknya, perusahaan tidak memiliki opsi untuk mendongkrak penjualan secara signifikan pada tahun ini. Menurut Bob, satu-satunya strategi yang bisa diterapkan adalah mengoptimalkan potensi pasar ekspor.

“Walau tidak mudah, kami harus cari jalan untuk meningkatkan penjualan di pasar ekspor supaya industri otomotif bisa tertolong. Meskipun tidak bisa berharap banyak karena ekonomi dunia sedang mengalami pelemahan,” katanya.

SEPEDA MOTOR

Situasi yang sama dihadapi industri sepeda motor. Ketua Bidang Komersial Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Sigit Kumala menyatakan sejumlah sentimen menekan penjualan roda dua.

Pertama, naiknya harga kebutuhan pokok, terutama beras, berpengaruh bagi konsumen yang didominasi masyarakat segmen menengah ke bawah.

“Masyarakat di segmen tersebut akan lebih memprioritaskan belanja bahan pokok ketimbang motor. Kalau tidak bisa tertangani, akan berdampak negatif terhadap penjualan sepeda motor di pasar domestik,” kata Sigit ketika dihubungi Bisnis.

Faktor kedua, harga komoditas yang relatif rendah. Kondisi itu, jelas Sigit, memengaruhi daya beli masyarakat, terutama konsumen yang berada di luar Pulau Jawa. Ekses uang yang dibelanjakan untuk membeli sepeda motor baru berkurang.

Ketiga, rencana pemerintah membatasi pembelian bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite. Rencana itu dikhawatirkan membawa sentimen negatif, baik kepada pengguna sepeda motor maupun terhadap internal industri.

Asosiasi, kata Sigit, mengkaji potensi dampak dari rencana kebijakan pembatasan BBM. Hal itu dapat mengganggu aktivitas rantai pasok vendor pabrik. Jika diterapkan, hal yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada pemangkasan tenaga kerja.

Tahun ini, Sigit memperkirakan penjualan sepeda motor mencapai 6,5 juta unit.

Jebloknya performa penjualan kendaraan awal tahun ini tak lepas masih terbatasnya pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Konsumsi masyarakat awal tahun dinilai belum membaik dan korporasi cenderung masih menahan ekspansi karena penyelenggaraan pesta demokrasi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Bobby Gafur Umar memperkirakan penjualan otomotif membaik pada paruh kedua tahun ini.

Kebijakan Amerika Serikat terkait dengan suku bunga tinggi bakal berakhir. Selain itu, suplai semikonduktor yang sempat terganggu mulai membaik.

“Sinyal perbaikan ekonomi global akan kelihatan pada semester kedua. Indonesia juga sama. Pilpres baru selesai Maret. Perekonomian akan lebih stabil pada kuartal ketiga dan keempat. Jadi, penjualan otomotif tahun ini kemungkinan naik pada semester dua,” kata Bobby kepada Bisnis pekan lalu.

Saat ini, Bobby menyatakan prinsipal atau dealer masih melanjutkan inisiatif penyaluran subsidi guna meningkatkan minat belanja konsumen yang masih terhalang oleh tingginya tingkat suku bunga. (Kahfi/Stefanus Arief Setiaji)