19 Maret 2024 | 1 month ago

Waktunya Online Travel Agent Berbagi Pajak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Pemerintah terus mengejar penyelenggara sistem elektronik yang belum terdaftar di Indonesia salah satunya agen perjalanan dalam jaringan atau sering disebut online travel agent.

Musim mudik Lebaran tampaknya menjadi berkah bagi agen perjalanan dalam jaringan (daring) atau online travel agent (OTA). Salah satu berkah itu datang dari lonjakan pemesanan tiket transportasi umum.

Betapa tidak? Badan Kebijakan Transportasi (Baketrans) Kementerian Perhubungan memprediksi sebanyak 71,7% dari populasi Indonesia atau 193,6 juta orang bakal berpergian saat periode libur Hari Raya Idulfitri 2024. Jumlah pemudik itu melonjak 31,6% dibandingkan dengan pemudik pada periode Lebaran 2023 sebesar 123,8 juta orang.

Baketrans Kemenhub juga memperkirakan sebagian besar masyarakat melakukan perjalanan menggunakan transportasi umum, baik pesawat udara, bus, kereta api hingga kapal laut.

Umumnya, pemesanan tiket transportasi umum dilakukan secara daring memanfaatkan aplikasi milik OTA. Ternyata, banyak OTA yang banyak digunakan dan laris manis di Indonesia berasal dari luar negeri. Setidaknya, ada 10 unit OTA paling banyak digunakan di Indonesia berdasarkan data Statista pada 2023. Ke-10 OTA itu antara lain Traveloka, Tiket.com, Agoda, Booking.com Trivago, Airbnb hingga Expedia.

Sayangnya, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Semuel Abrijani mengatakan ada beberapa OTA yang belum terdaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE).

Kewajiban terdaftar sebagai PSE tercantum dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.10/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Mengutip Kemenkominfo, PSE merupakan pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara negara, orang, badan usaha, masyarakat yang dapat dilakukan untuk pelayanan publik non-publik.

Adapun, tujuan pendaftaran PSE adalah untuk membantu para pengguna internet memastikan adanya sistem perlindungan data pribadi pada masyarakat saat mengakses platform digital.

PSE diwajibkan untuk menjamin adanya pendataan dan menjaga keamanan ruang digital sehingga dapat meningkatkan kepercayaan dari pengguna terkait sistem elektronik yang digunakan dan membangun pemetaan ekosistem Penyelenggara Elektronik.

Semuel menegaskan selektif memberantas PSE yang belum terdaftar di Indonesia, dengan memprioritaskan platform yang besar untuk kebutuhan pajak.

Hal itu tidak terlepas dari banyaknya PSE yang ada di Indonesia, sehingga Kemenkominfo tidak dapat benarbenar mengawasi satu per satu.

“Kita utamakan yang besarbesar dulu, yang masih kecil biarkan saja dulu, kita lihat. Kita utamakan [PSE] yang berpotensi menghasilkan pajak juga,” ujarnya, Jumat (15/3).

Nantinya, semua PSE akan dipastikan mendaftar, tetapi dilakukan secara bertahap, sehingga butuh waktu yang tidak sebentar.

TUNGGU LAPORAN

Lebih lanjut, Semuel mengatakan laporan dari asosiasi ataupun masyarakat terkait PSE yang belum mendaftarkan diri di Indonesia juga merupakan suatu hal yang penting.

“Kita berharap juga dari sektor itu juga melaporkan, kalau enggak, kan enggak tahu kita, itu banyak sekali, tidak hafal semua,” ujar Semuel.

Semuel juga mengatakan kewajiban Kemenkominfo tidak hanya berhenti setelah platform melakukan pendaftaran. Menurutnya, pemerintah masih perlu untuk memastikan PSE tersebut mengikuti peraturan yang berlangsung di Indonesia.

“Yang pasti, kita ketika dia sudah terdaftar, kita akan memasang rambu rambu dan memastikan dia itu comply dengan aturan di Indonesia,” ujar Semuel.

Saat ini, Kemenkominfo mencatat ada tiga platform yang sudah mendaftar sebagai PSE yakni Booking.com, Agoda, dan AirBnB. Namun, Semuel menegaskan masih menunggu platform-platform yang belum mendaftar sebelum akhirnya diblokir.

Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua Association of The Indonesia Tours and Travel Agencies (Asita) Budijanto Ardiansjah mendukung langkah berani pemerintah memblokir OTA yang tak patuh mendaftar sebagai PSE. Terlebih, kehadiran aplikasi seperti Agoda, Airbnb, Booking.com dan lainnya cukup meresahkan pengusaha.

“Selama ini OTA yang beroperasi dengan sistem online tersebut telah banyak mengambil market travel agent sementara status mereka bukanlah travel agent,” kata Budijanto.

Dia menyebutkan aplikasi OTA itu merupakan sebuah sistem, bukan travel agent. Untuk itu, Budijanto berharap ke depannya pemerintah dapat mempertahankan iklim usaha yang adil di dalam negeri.

“OTA tersebut harus memiiki izin terdaftar Nomor Induk Berusaha [NIB] nya dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha [KBLI] yang sesuai serta masuk menjadi anggota asosiasi usahanya,” ujarnya.

Tak hanya Asita, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi B Sukamdani juga resah bekerja sama dengan OTA asing karena komisi yang dibebankan relatif tinggi.

“OTA tidak membayar pajak sehingga dibebankan ke hotel lantaran OTA tidak memiliki badan usaha tetap di Indonesia,” ungkap Hariyadi melalui keterangan resminya.

Selain itu, adanya gap antara peningkatan valuasi OTA dengan pemasukan hotel di Tanah Air diperkirakan akan menghambat peningkatan penetrasi pasar OTA lantaran OTA asing memberikan suntikan modal promosi yang besar sambil menekan harga hotel-hotel di Indonesia.

Hal tersebut berdampak terhadap pemasukan hotel yang belum kembali ke level sebelum pandemi Covid-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan okupansi hotel dalam negeri sepanjang 2023 masih belum dapat meningkatkan keterisian kamar atau average room rate di banyak wilayah di Indonesia.

Apalagi, peningkatan penetrasi pasar OTA di Indonesia diprediksi mencapai 45% dan akan menyentuh Rp12 miliar total pasar pariwisata pada 2025.

Untuk menjaga level playing field industri, Kemenkominfo telah melayangkan ancaman pemblokiran terhadap OTA asing yang tak mematuhi ketentuan Permenkominfo No.10/2021 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.