20 Maret 2024 | 1 month ago

Potret Malaise Ekonomi Domestik

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Otoritas fiskal tampaknya mulai engap-engap dalam mendulang penerimaan pajak. Buktinya, jenis pajak yang menjadi andalan penerimaan negara pada Februari lalu kompak mencatatkan penurunan yang menandakan adanya malaise ekonomi di dalam negeri.

Ada empat jenis pajak yang selama ini menjadi tulang punggung penerimaan negara, yakni Pajak Penghasilan (PPh) 21, PPh Badan alias pajak korporasi, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Dalam Negeri, dan PPN Impor.

Celakanya, masing-masing pajak tersebut mencatatkan penurunan pada bulan lalu dibandingkan dengan Januari 2024. 

Tentu ini bukan kabar yang menggembirakan, mengingat keempatnya memiliki gambaran yang amay nyata pada aktivitas ekonomi nasional.

PPh 21 misalnya, yang merefleksikan setoran pajak oleh karyawan. Penurunannya PPh 21 pun merefleksikan adanya keterbatasan dalam aktivitas ketenagakerjaan sehingga setoran pajak pun terkoreksi 46,64% yakni dari Rp28,3 triliun menjadi Rp15,1 triliun.

Korelasi antara PPh 21 dengan PPh Badan pun amat erat. Pajak korporasi yang pada bulan lalu turun 9,52% menggambarkan adanya tekanan kepada dunia usaha sehingga pajak yang disetorkan ke negara sedikit tertahan.

Demikian pula dengan PPN Impor, yang mencerminkan aktivitas manufaktur di dalam negeri terkoreksi 7,98%. Penurunan ini bisa diartikan bahwa geliat importasi bahan baku dan penolong yang menjadi potret geliat manufaktur sedikit mengendur.

Adapun, PPN Dalam Negeri yang mencakup konsumsi atas barang dan jasa di Tanah Air, tak kalah parah dengan penurunan 22,63%. Kinerja negatif ini bisa dimaknai adanya pelemahan daya beli masyarakat sehingga konsumsi pun tersendat.

Kementerian Keuangan pun tak membantah adanya faktor-faktor penekan penerimaan pajak pada bulan kedua tahun ini. Salah satunya PPh Badan yang tersengat oleh penurunan beberapa harga komoditas.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tak menampik bahwa performa pajak pada tahun ini sulit untuk menyamai kinerja pada dua tahun terakhir yang amat diuntungkan oleh harga komoditas sumber daya alam (SDA).

“Kalau mengharapkan seperti 2022 dan 2023 tidak realistis. Dengan kondisi global yang melemah, [kinerja pajak] ini kita syukuri dan positif,” katanya saat mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (19/3).

Kendati menyadari adanya situasi eksternal yang menyulitkan kinerja penerimaan pajak, Bendahara Negara tampak cukup puas dengan performa sejauh ini.

Dia berdalih, salah satu penyebab terbatasnya penerimaan pajak juga bersumber dari basis pembanding yang selama 2022—2023 cukup tinggi.

Akan tetapi, alasan itu sejatinya masih bisa diperdebatkan. Hal yang tak bisa disangkal adalah kondisi ekonomi meski masih eksis di zona positif, tidak sepenuhnya baikbaik saja.

Misalnya dalam konteks daya beli dan korelasinya dengan penerimaan PPN, sedikit tertekan lantaran tingginya pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan pokok.

Otomatis, kondisi itu akan memengaruhi pola konsumsi yang pada akhirnya masyarakat pun sedikit mengerem pembelian barang kena pajak (BKP) di luar kebutuhan pokok yang memang mendapat fasilitas pengecualian.

Kemudian dari sisi dunia usaha. Terus menyusutnya porsi industri pengolahan atau manufaktur ke dalam komponen produk domestik bruto (PDB) juga merupakan fakta pahit yang sulit diingkari.

FAKTOR GLOBAL

Belum lagi perlambatan ekonomi di China yang menjadi mitra dagang utama, serta sisasisa efek resesi di Jepang dan Inggris yang sedikit banyak memengaruhi eksistensi bisnis.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, menekankan bahwa turunnya penerimaan PPh Badan mencerminkan kinerja korporasi yang juga tertekan.

Apalagi, kontraksi juga terjadi pada PPN yang pada gilirannya memengaruhi laba yang dikantongi oleh korporasi dan besaran PPh Badan yang disetorkan ke negara,

“Jika PPN turun, artinya aktivitas penyerahan barang kena pajak atau perdagangan juga menurun. Hal ini tentu sangat terkait dengan aktivitas bisnis dalam memproduksi barang ataupun penjualan barang/jasa,” jelasnya.

Geliat konsumsi pada Ramadan tahun ini diprediksi penuh dengan tantangan. Bulan yang biasanya diiringi dengan melonjaknya permintaan, kali ini dibayangi oleh perubahan pola konsumsi.

Bukannya tanpa alasan konsumen menunda belanja pada periode krusial ini. Besarnya pengeluaran untuk beberapa kebutuhan dan antisipasi membengkaknya belanja pada periode mudik Lebaran sedikit mengerem konsumsi pada Ramadan.

Survei Konsumen (SK) Bank Indonesia (BI) yang mencatat proporsi pengeluaran konsumsi terhadap pendapatan turun dari 74,6% pada Januari 2024 menjadi 73% pada Februari 2024.

Pada saat bersamaan, ada kenaikan proporsi tabungan yakni dari 16,2% menjadi 16,7% yang menandakan konsumen menunda belanja. Parahnya lagi, situasi ini terjadi pada seluruh kelompok pengeluaran.

Jika dicermati, situasi Ramadan pada tahun ini hampir serupa dengan Ramadan 2022 yang kala itu masuknya bulan puasa dibarengi dengan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) daei 10% menjadi 11% serta tekanan dari sisi inflasi.

Adapun pada tahun ini, efek dari kenaikan PPN memang telah sepenuhnya hilang. Akan tetapi, tekanan inflasi masih cukup membayangi terutama yang bersumber dari komoditas pangan strategis sehingga daya beli masyarakat pun rawan terguncang.

Masalah kembali membesar tatkala pemangku kebijakan berencana menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun depan. Tentu keputusan ini akan makin menekan daya beli masyarakat.

Sejalan dengan itu, Komisi XI DPR pun meminta kepada otoritas fiskal untuk menunda keputusan tersebut setidaknya hingga ekonomi dalam negeri berada eksis pada jalur ekspansi.

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo meminta pemerintah mengkaji kembali pengenaan tarif PPN menjadi 12%.

Dia pun tak menampik DPR memberikan persetujuan dalam penyusunan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang melegalisasi kenaikan tarif PPN secara bertahap.

“Tetapi kondisi perekonomian downrisk, The Fed juga belum menentukan tingkat suku bungam ini perlu dikaji kembali,” ujarnya.

Sejatinya, pemerintah bisa merelaksasi tarif PPN untuk membantu masyarakat. Caranya adalah dengan mengoptimalkan Pasal 7 (3) UU HPP yang melegalisasi perubahan tarif PPN menjadi paling rendah 5% dengan pertimbangan tertentu. (Annasa R. Kamalina)