30 Juli 2007 | 16 years ago

Mempertanyakan Reformasi Birokrasi

Suara Karya

1905 Views

Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) mengeluarkan Keputusan No 289 dan No 290/KMK.01/ 2007 tentang Pelaksanaan Reformasi Birokrasi. Reformasi birokrasi diawali dari Departemen Keuangan.

 

Tujuan reformasi birokrasi ini tak lain adalah, pertama, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Kedua, untuk meningkatkan kapasitas pegawai dan institusi melalui sejumlah program. Program itu antara lain penataan organisasi dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

 

Kalau disimak tujuan reformasi tersebut tentu sangat menggembirakan. Betapa tidak, selama ini kualitas pelayanan birokrasi selalu berbelit-belit, lamban dan cenderung korupsi. Untuk itu, tujuan reformasi di atas patut disambut gembira.

 

Akan tetapi, reformasi yang tertuang dalam Keputusan Menkeu No 289 dan No 290/ KMK.01/2007 tersebut pelaksanaannya sangat mengagetkan dan mengecewakan banyak pihak. Sebab, reformasi tersebut menyebabkan terjadinya kenaikan tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN). Kenaikan tunjangan yang diterima seluruh pegawai Departemen Keuangan mulai 1 Juli 2007 mencapai angka Rp 4,3 triliun per tahun.

 

Lebih dari itu, khusus untuk pegawai dan pejabat Direktorat Jendral Pajak yang ditempatkan di kantor modern, selain memperoleh TKPKN, mereka juga mendapat tunjangan kerja tambahan yang besarnya bervariasi.

 

Tunjangan tambahan khusus tersebut adalah untuk tenaga account representative. Artinya, pegawai dan pejabat Ditjen Pajak menjadi berpenghasilan luar biasa besarnya.

 

Dalam konteks ini, Menkeu beralasan bahwa tanpa remunerasi yang memadai, reformasi birokrasi sulit diwujudkan. Menurut Menkeu orang melakukan pungutan liar, antara lain, karena gaji mereka sangat kecil.

 

Alasan yang dikemukakan Menkeu tersebut tentu sah-sah saja, sebab dengan gaji kecil seseorang sangat mungkin melakukan korupsi atau pungutan liar demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada banyak kasus memang dapat kita lihat rendahnya gaji pegawai negeri sipil (PNS) menjadi alasan untuk melakukan praktik pungutan liar, korupsi hingga me-mark-up anggaran di pos departemen.

 

Lihat saja, misalnya, dalam kenyataannya kita masih sering mendengar seseorang mengeluh tentang bagaimana mengurus kartu tanda penduduk (KTP), mengurus surat izin mengemudi (SIM) yang kadang harus membayar mahal agar bisa cepat selesai. Bagaimana rumitnya dan pusingnya mengurus izin mendirikan bangunan (IMB). Bagaimana rumitnya mengurus sertifikat tanah dengan membayar biaya yang besar. Anehnya, meskipun masyarakat dibuat pusing, tetapi masyarakat tetap mau membayar semua biaya yang telah ditentukan oleh birokrasi. Di sini terlihat bahwa masyarakat terpaksa mengikuti kebiasaan yang dibangun oleh sistem birokrasi kita.

 

Berkaca pada tingginya pungutan liar atau korupsi di birokrasi, maka wajar saja jika ada kenaikan gaji atau tunjangan bagi PNS. Meskipun demikian, hal itu belum bisa menjamin korupsi dapat dihentikan.

 

Perlu diingat, jika kenaikan gaji atau tunjangan hanya dilakukan sepihak oleh Menkeu untuk departemen yang dipimpinnya, menurut hemat penulis adalah suatu kekeliruan menerapkan aturan yang ada. Langkah atau kebijakan Menkeumemberikan kenaikan gaji dan tunjangan dapat dikategorikan melanggar batas pengelolaan keuangan negara. Karena kita tahu, pembinaan aparatur negara sesungguhnya berada di tangan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan), termasuk sistem penggajian PNS di seluruh Indonesia.

 

Artinya, gaji PNS yang adil dan layak harus ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP) yang terlebih dahulu telah disetujui oleh panitia anggaran DPR. Jadi bukan hanya ditentukan oleh Menteri Keuangan saja. Persentase kenaikannya pun dihitung menurut kemampuan keuangan pemerintah.

 

Jika kenaikan gaji PNS dilakukan sepihak oleh Menteri Keuangan, hal tersebut jelas melanggar UU Nomor 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Pasal 7 UU tersebut menggariskan, setiap PNS berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai beban pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing.

 

Dalam hal ini, setiap gaji yang diterima PNS tentu telah ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan disetujui oleh panitia anggaran DPR. Kenaikan yang diberikan harus mampu memacu produktivitas dan kinerja PNS.

 

Jadi, menurut hemat penulis, pola reformasi birokrasi yang dilakukan oleh Menteri Keuangan terhadap Departemen Keuangan salah kaprah. Karena tidak memperhatikan faktor keadilan dan aturan yang ada. Kalau memang harus dinaikkan tentu saja harus melibatkan unsur lain seperti yang telah penulis sebutkan di atas.

 

Untuk itu, bentuk reformasi birokrasi yang ideal dan benar-benar diharapkan masyarakat adalah membenahi dan menciptakan birokrasi pemerintah dan negara yang baik, yang efisien, tidak berbelit-belit, tidak rumit dan yang penting jauh dari aroma korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

 

Sebagai catatan akhir dari tulisan ini, kiranya perlu dikaji ulang reformasi birokrasi yang dituangkan melalui Keputusan Menkeu No 289 dan No 290/ KMK.01/2007. Sebab model reformasi seperti itu sangat mengganggu rasa keadilan masyarakat.

 

Reformasi birokrasi bukan dengan cara menaikkan tunjangan. Sebab, pemberian tunjangan hanya akan menimbulkan kecemburuan dan rasa ketidakadilan bagi banyak pihak. Kalaupun akan diberikan kenaikan gaji atau tunjangan berikan saja kepada mereka yang berprestasi. Sehingga dapat memacu kinerja para birokrat lainnya. Semoga.***

 

Oleh Oksidelfa Yanto (Penulis adalah staf di CSIS Jakarta)