30 Juli 2007 | 16 years ago

DPR Minta Penurunan Cost Recovery Migas

Bisnis Indonesia

1333 Views

Setelah meminta menurunkan shortfall pendapatan negara di APBN-P 2007 melalui pos penerimaan perpajakan, parlemen kini mendesak pemerintah melakukan hal yang sama pada pos PNBP migas melalui pengurangan biaya penggantian produksi migas.

 

Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR A. Zawawi Hafiz (F-PG) menyatakan besaran biaya penggantian (cost recovery) migas tahun ini sudah mencapai 30% senilai US$10,4 miliar dari total penerimaan kotor senilai US$35 miliar.

 

"Kalau saja cost recovery migas bisa turun 20%, ada tambahan sekitar Rp20 triliun untuk APBN. Dan untuk ini pemerintah harus tegas, bikin peraturan untuk tentukan mana yang bisa masuk cost dan mana yang tidak. Jangan diambangkan terus," ujarnya di Jakarta, kemarin.

 

Pemerintah melalui APBN-P 2007 berencana menurunkan pendapatan negara dan hibah dari target APBN 2007 Rp723,l triliun jadi Rp684,5 triliun atau berkurang (shortfall) Rp38,6 triliun.

 

Rinciannya, penerimaan perpajakan diturunkan Rpl9,6 triliun, penerimaan bukan pajak (PNBP) Rpl9,0 triliun. Di pos PNBP, penurunan terbesar terjadi pada penerimaan migasdi pintu masuk uang bagi hasil migasyakni Rp34,5 triliun.

 

Bila pada rapat pekan lalu panitia anggaran DPR meminta pemerintah menggencarkan program intensifikasi pajak untuk bisa menurunkan shortfall sebesar RplO triliun dari rencana Rpl9,6 triliun, pekan ini DPR meminta agar cost recovery bisa diturunkan.

 

"Selama ini apa yang bisa masuk ke dalam cost recovery ini tidak pernah jelas. Audit BPKP tahun ini sudah menunjukkan ada potensi mark up sebesar Rp 18 triliun. Tahun lalu, BPK juga menunjukkan hal yang sama. Pemerintah jangan diam saja dong," tandas Hafiz.

 

Pemerintah sendiri akhir November tahun lalu sempat membentuk tim gabungan beranggotakan Ditjen Pajak, BPKP dan BP Migas. Tugas utama tim gabungan ini adalah menetapkan batasan cost recovery dalam kontrak bagi hasil pengusahaan migas.

 

Ketika itu, Dirjen Pajak Darmin Nasution sempat berharap agar batasan perhitungan cost recovery itu bisa selesai pada semester 1/2007. Hal yang sama juga diungkapkan Kepala BPKP Didi Widayadi, awal Desember 2006.

 

Belum jelas Namun, pemerintah tidak mengeluarkan dasar hukum pembentukan tim gabungan tersebut. Dan sampai kini, tak pernah kunjung ada kejelasan dari rumusan menyangkut batasan cost recovery yang diangan-angankan itu.

 

Sejumlah pejabat Depkeu a.l. Dirjen Pajak Darmin Nasution, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu, dan Dirjen Anggaran Achmad Rochadi yang coba ditemui kemarin untuk menjelaskan duduk perkara cost recovery itu meminta pers menanyakannya pada BP Migas.

 

Cost recovery adalah biaya penggantian yang bisa diklaim kontraktor bagi hasil kepada pemerintah bila kawasan pertambangan yang dieksploitasinya telah berproduksi. Jika kontraktor gagal berproduksi, seluruh biaya menjadi risiko kontraktor.

 

Tetapi begitu kontraktor memasuki proses eksploitasi, seluruh pengeluaran bisa direimburse. Bagi hasil ditetapkan 85%-15% setelah dikurangi cost recovery. Masalahnya, ketentuan dalam kontrak kerja sama itu tidak menjelaskan secara persis batasan cost recovery.

 

Di luar itu, kenaikan cost recovery, dengan fakta lifting minyak yang terus turun otomatis menggelembungkan biaya produksi minyak di Indonesia menjadi US$14,8 per barel. Biaya ini jauh lebih besar dibandingkan dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

 

Padahal, total pendapatan kotor produksi migas di APBN-P 2007 hanya dipatok Rp305 triliun, sedangkan pendapatan negara bukan pajak Rp 147 triliun dan PPh migas Rp41,2 triliun. Patokan APBN 2007 ini bahkan diturunkan lagi di APBN-P 2007. (bostanul.siregar @bisnis.co.id)