30 Juli 2007 | 16 years ago

Permintaan Insentif Pajak CSR Tak Beralasan

Koran Tempo

1370 Views

Pemerintah berhati-hati dalam pembahasan masalah CSR.

Kalangan pengusaha dituding manja karena meminta insentif pajak sebagai kompensasi melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility/CSR). "Ini (per:. mintaan insentif pajak) menun;; jukkan pengusaha, khususnya di i bidang tambang, manja. Mereka selalu gembar-gembor sudah melakukan CSR, tapi ternyata minta keringanan pajak," ujar Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang Siti Maemunah kepada Tempo kemarin di Jakarta.

 

Pernyataan Maemunah itu menanggapi keluhan pengusaha terhadap kewajiban CSR. Insentif pajak berupa pengurangan pajak penghasilan diminta sebagai konsekuensi yang sepadan karena CSR menambah beban pengusaha (Koran Tempo, 23 Juli).

 

Pekan lalu Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Und"ang Perseroan Terbatas menjadi undang-undang. Undang-undang tersebut memuat kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

 

Kendati menyetujui klausul undang-undang yang mewajibkan perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam melakukan CSR, dia menilai undang-undang tersebut tidak menyelesaikan masalah utama di lapangan. "Masalah utama adalah pelibatan masyarakat dalam proses pertambangan, sejak penggalian aspirasi (setuju-tidaknya daerah dieksploitasi) hingga pembagian royalti kepada masyarakat terdekat dengan lokasi tambang," katanya.

 

Menurut Maemunah, CSR yang dimaksud dalam undang-undang juga dinilai tidak jelas. Misalnya apakah CSR meliputi pemulihan kawasan tambang yang rusak akibat eksplorasi, pelibatan masyarakat, atau kewajiban CSR di luar negeri. "Seharusnya kejelasan definisi CSR muncul di undang-undang karena sifatnya yang sangat mendasar," ujarnya.

 

Pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan pemberian insentif pajak hanya akan memberatkan pemerintah. Sebab, selama ini keuangan negara masih bergantung pada pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. "Pemerintah akan dirugikan," katanya. Kecuali, menurut dia, kalau pemerintah memperluas sumber penerimaan negara dan menjadikan pajak sebagai instrumen yang fleksibel. "Fleksibel artinya pajak dapat dijadikan alat insentif dan disinsentif untuk mengatur perusahaan. Selama ini pajak belum dijadikan alat itu," ujarnya.

 

Sementara itu, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah mengatakan pemerintah berhati-hati dalam membahas masalah CSR. Hal itu berkaitan dengan strategi yang akan dilakukan para pengusaha untuk melaksanakan tanggung jawab sosial tersebut.

 

"Jangan sampai nanti biaya CSR dimasukkan dalam komponen biaya sehingga harga jual (barang) lebih mahal," katanya kemarin.

 

Dia mengatakan pemerintah juga tak mau membuat peraturan yang nantinya merugikan perusahaan. Substansi CSR yang berpotensi menimbulkan masalah, kata Bachtiar, adalah soal persentase keuntungan perusahaan yang akan masuk sebagai CSR. Apalagi pendapatan tiap perusahaan pengelola sumber daya alam berbeda-beda.

 

Menurut Bachtiar,' dalam waktu dekat, Departemen Sosial akan bertemu dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas untuk membahas ketentuan CSR ini. *mrnm\mm»