30 Juli 2007 | 16 years ago

Waspadai RUU PPN

Bisnis Indonesia

1273 Views

Pekan lalu, DPR menyetujui RUU Cukai untuk disahkan menjadi undang-undang. Dalam RUU itu, definisi barang kena cukai dipertegas.

 

Salah satu karakteristik barang yang akan dikenakan cukai adalah barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

 

Definisi ini memang masih sangat umum dan sulit dicerna. Dari penjelasannya, disebutkan yang dimaksudkan dengan "pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara dalam rangka keadilan dan keseimbangan" itu adalah pungutan cukai dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan sebagai barang mewah dan/ atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok, sehingga tetap terjaga keseimbangan pembebanan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah.

 

Penjelasan pasal itu mengonfirmasi kemungkinan objek cukai bakal bertambah, tidak tiga jenis lagi seperti sekarang, yaitu hasil tembakau, minuman mengandung alkohol, dan ethil-alkohol.

 

Meski demikian, kalangan dunia usaha tidak perlu cemas. Menurut penjelasan DPR, pasal itu justru untuk membantu pengusaha terhindar dari praktik pemajakan berganda yang sering dilakukan pemerintah, yaitu dikenakan cukai sekaligus pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

 

Masalahnya, komitmen Pansus RUU Cukai itu tidak cukup sampai di situ. Harus ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menutup sama sekali peluang dikenakannya pajak berganda. Sebab jika komitmen itu hanya sebatas pidato, yang terjadi bukan lagi double taxation, tetapi justru triple taxation.

 

Sebab dalam draf RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), definisi yang sama juga dipakai untuk dasar pengenaan PPnBM. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi untuk barang yang tergolong mewah selain bisa dikenakan cukai juga amat mungkin terkena PPnBM.

 

PPnBM dikenakan terhadap penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

 

Alasan yang diusung RUU PPN maupun RUU Cukai hampir sama. Dalam penjelasan RUU PPN disebutkan bahwa pengenaan PPnBM dimaksudkan untuk mengendalikan pola konsumsi serta keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi. Alasan ini juga dipakai dalam RUU Cukai.

 

Bedanya, pengenaan PPnBM mempunyai tujuan yang lebih luas, termasuk di antaranya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional, dan pengamanan penerimaan negara.

 

Dengan kondisi seperti ini para pengusaha, terutama Kadin Indonesia, harus bisa membujuk DPR agar dalam RUU PPN, secara eksplisit ditegaskan barang-barang yang sudah dikenakan cukai tidak dikenakan lagi PPnBM.

 

Masuk dalam salah satu definisi objek pajak saja sudah terbayang sulitnya, apalagi bila masuk menjadi definisi objek dua pajak sekaligus. Sebab tarif PPnBM bukan main besarnya. Pada UU yang berlaku sekarang, tarif PPnBM sebesar 10%-75%. Namun, dalam draf RUU-nya tarif naik sebesar 10%-200%.

 

Pekan-pekan ini saat terbaik untuk melakukan pendekatan ke berbagai kalangan yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder). Dengan demikian, saat RUU PPN dibahas, mungkin bulan depan, dunia usaha bisa memberikan masukan yang lengkap dan menyeluruh terhadap masalah ini.

 

Jangan sampai lepas dari mulut buaya, tetapi terperosok ke dalam kandang serigala dan singa sekaligus.