30 Juli 2007 | 16 years ago

CSR Rancu dengan Pajak

Jawa Pos

1230 Views

 

Apindo Nilai Kewajiban Sosial Domain Pengusaha


JAKARTA - Keputusan pemerintah untuk mewajibkan program corporate social responsibility (CSR) ditolak oleh kalangan pengusaha. Hal ini disebabkan sebenarnya untuk masalah kewajiban perusahaan untuk pelayanan public sudah terwadahi dalam mekanisme pajak. Program CSR merupakan domain dunia usaha yang tidak perlu campur tangan oleh pemerintah.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto menegaskan bahwa prinsipnya dunia usaha menolak upaya pemerintah untuk mengatur kewajiban CSR tersebut.

"Pirnsipnya kami tidak setuju, dalam perusahaan itu ada corporate obligation (kewajiban perusahaan) ini termasuk membayar pajak. Hal-hal yang berhubungan dengan public services seharusnya diambilkan dari pajak, bukan CSR," ujarnya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.

Dia mencontohkan masalah perbaikan jalan yang digunakan oleh perusahaan pertambangan, menurutnya ini lebih pada pelayanan publik yang harus diambillkan dari pajak. "CSR bukan begitu. Masalah CSR, besarannya, kapannya, dan dimananya itu domain perusahaan bukan pemerintah," tegasnya.

Djimanto menambahkan bahwa dengan ditangani langsung oleh perusahaan maka jalur dana CSR tersebut akan langsung diterima oleh masyarakat. "Kalau nanti diatur oleh pemerintah. Dananya kan pasti masuk ke pemerintah dulu," sorotnya.

Kewajiban CSR direncanakan tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas pasal 74 dalam RUU-PT. Dalam aturan baru, CSR diwajibkan, tapi secara terbatas. Wajib CSR ini dibebankan kepada perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam.

Sejumlah asosiasi yang menolak kewajiban tersebut karena menilai bisa menurunkan daya saing, menghambat iklim investasi di dalam negeri, sehingga dikhawatirkan menurunkan ekspor yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.

Djimanto mengemukakan bahwa respons aktif yang akan dilakukan bila dunia usaha keberatan dengan peraturan yang akan membebani biaya operasional perusahaan tersebut adalah dengan mengalihkan investasinya dari Indonesia. "Ya yang paling mudah adalah tidak lagi menginvetastasikan di tempat itu. Ngapain repot-repot," katanya.

Sementara terkait rencana pemerintah menetapkan PP untuk menjelaskan UU tersebut, Djimanto mengakui bahwa dalam PP, penjelasannya bisa dilakukan dengan lebih rinci. "Harus libatkan masyarakat. Contohnya untuk CSR yang masuk ke pelayanan public, seharusnya ada potongan pajak untuk perusahaan tersebut, karena itu sebetulnya ranah pajak," pungkasnya.


Diskriminatif

Keputusan pemerintah untuk mengatur soal CSR perusahaan dari sektor pengelolaan sumber daya alam juga bukan tanpa masalah. Justru kekhawatiran muncul dari pejabat pemerintah yang banyak berurusan dengan sektor tersebut.

Dirjen Mineral dan Pertambangan Umum Departemen ESDM Simon Sembiring mengemukakan kekhawatirannya bahwa peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut bernuansa diskriminatif.

"Seharusnya untuk semua. Mengapa hanya yang berhubungan dengan sumber daya alam saja, ini bisa dinilai diskriminatif oleh kalangan pengusaha," ujarnya.

Menurut Simon, dalam UU Minerba yang ada, pemerintah juga telah mengatur masalah CD (community development) untuk perusahaan migas dan pertambangan. "Kalau di migas dan pertambangan itu kan sudah ada. Cuma diatur kalau dulu lebih bersifat charity sekarang diarahkan untuk pengembangan sehingga lebih efektif," jelasnya.

Selain itu, Simon juga mengemukakan bahwa pemerintah tidak akan mencampuri besaran CSR yang ditetapkan oleh perusahaan. "Masalah besarannya juga diserahkan pada perusahaan masing-masing. Tidak fair kalau ditetapkan karena ada perusahaan yang besar dan ada yang kecil," tegasnya. (iw)