30 Juli 2007 | 16 years ago

Zakat Tak Akan Mengurangi Pajak

Republika

1561 Views

 

Kesadaran membayar pajak masyarakat Indoensia masih rendah. Indikasinya adalah tax ratio yang hanya 13,6 persen dari PDB. Di bawah rata-rata tax ratio negara-negara Eropa dan Amerika, 33 persen. Karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara (78 persen APBN berasal dari pajak), tak heran jika pemerintah terus melakukan usaha memperbesar perolehan pajak. Meskipun terus meningkat, usaha tersebut belum sepenuhnya berhasil. Majalah Berita Pajak edisi April 2003 menunjukkan, baru 2,3 juta penduduk dari 210 juta potensi yang terdaftar sebagai obyek pajak.

 

Banyak sebab mengapa masyarakat "alergi" pajak. Di antaranya, layanan publik dari pajak itu belum dirasakan maksimal oleh masyarakat. Bahkan, sebagian umat Islam enggan membayar pajak karena adanya kewajiban ganda. Zakat dan pajak. Di Indonesia, seorang muzaki (wajib zakat) adalah juga wajib pajak. Atas dasar ini tentu saja umat Islam lebih rela membayar zakat dari pada pajak. Meskipun zakat itu masih ditunaikan secara tradisional, dibayarkan langsung kepada penerima, sehingga belum berdampak pada aspek pemberda-yaannya.

 

Islam mengakui, pajak merupakan kewajiban setiap warga negara. Sebagai warga negara, seorang muslim wajib taat kepada pemerintah (ulil amri). Masalahnya, apakah pajak yang diterapkan sekarang telah sesuai dengan ketentuan pajak secara syariah. Abu Yusuf (798M) dalam kitab Al Kharaj, mengusulkan pajak atas tanah pertanian diganti dengan zakat pertanian, sehingga perhitungannya tidak berdasarkan harga tanahnya tetapi dikaitkan dengan jumlah hasil panennya. Pajak perniagaan digantikan dengan sistem zakat perniagaan. Dualisme kewajiban pajak dan zakat tersebut telah dikompromikan dengan Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, dengan mengakui zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Sayangnya, karena zakat hanya diakui sebagai biaya, maka dampak bagi kewajiban pajak masih relatif kecil. Sehingga regulasi tersebut belum cukup efektif untuk meningkatkan pajak maupun zakat. Lain halnya jika pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak, hilangnya kewajiban ganda itu tentu sangat melegakan umat Islam.

 

Akhir-akhir ini, berkembang aspirasi untuk mengamandemen UU No. 38/ 1999 dan revisi UU No. 17 tahun 2000 yang sedang dalam pembahasan. Berbagai usulan telah disampaikan agar pembayaran zakat mengurangi kewajiban pajak (tax deductable). Keinginan tersebut sama sekali bukan tanpa dasar. Di negara-negara Amerika dan Eropa, donasi yang dikeluarkan perseorangan atau perusahaan diterima pemerintah sebagai bagian pembayaran pajak. Di Malaysia, zakat yang dibayarkan telah diakui sebagai pengurang pajak. Dengan insentif itu, para muzaki akan berlomba-lomba membayarkan zakatnya kepada lembaga (amil).

 

Ada kekhawatiran pada sebagian kalangan,, bila zakat mengurangi pajak, maka perolehan pajak akan berkurang. Kekhawatiran tersebut tidaklah beralasan. Penerimaan zakat tidak akan banyak mengurangi penerimaan pajak. Khususnya PPh Pasal 21, karena perbedaan tarif pajak yang 30 persen dengan tarif zakat yang relatif sangat rendah yaitu 2.5 persen dari penghasilan. Selain itu, berdasarkan perhitungan perkiraan setoran penerimaan pajak penghasilan karyawan (PPh Pasal 21) nasional sebesar Rp. 25 triliun (dari perkiraan total penghasilan karyawan nasional sebesar Rr 125 triliuntarif efektif 20 persen) maka perkiraan setoran zakat (2,5 persen dari Rp 125 triliun) hanya Rp 3,2 triliun.

 

Fakta empiris membantah kekhawatiran tersebut. Prof Didin Hafidhuddin menunjukkan data penerimaan zakat dan pajak di Malaysia selama tahun 2001-2006, terlihat bahwa peningkatan zakat ternyata seiring dengan peningkatan pajak. Artinya saat zakat mengurangi pajak, maka penerimaan zakat dan pajak justru meningkat. Beranikah kita mencontohnya?