30 Juli 2007 | 16 years ago

Mencari Yurisprudensi Untuk Mengaudit Pajak

Bisnis Indonesia

1428 Views

Meski sama-sama bermarga Nasution, bukan berarti Anwar dan Darmin selalu kompak. Yang terjadi justru saling perang pernyataan di media massa.

 

Mereka bertengkar demi eksistensi institusi yang tengah mereka pimpin. Anwar Nasution sebagai ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Darmin Nasution sebagai Dirjen Pajak. Sebagai lembaga negara, yang oleh konstitusi diberi amanat untuk mengawasi keuangan negara, Anwar tidak bisa menerima bila BPK harus mengemis kepada menteri keuangan untuk mendapatkan akses data penerimaan perpajakan.

 

Sebab, menurut dia, sehebat apa pun menteri keuangan, dia hanyalah pembantu presiden.Sementara itu, BPK berdasarkan konstitusi adalah lembaga negara yang setingkat dengap presiden.

 

BPK berkali-kali mengancam akan tetap tidak memberikan opini (disdamef) atas laporan keuangan pemerintah pusat, bila lembaga itu tidak diberi akses untukmengaudit penerimaan pajak. Menkeu Sri Mulyani Indrawati tetap keukeuh, tidak peduli bila di-DO (disclaerner opinion) oleh BPK. Di sisi lain, Darmin juga tidak bisa disalahkan. Undang-undangnya memang mengatur seperti itu.

 

Darmin hanya pejabat yang bertugas menjalankan undang-undang. Jika BPK keberatan dengan isi undang-undang, ya silakan usul ke DPR.

 

Yurisprudensi Jika Anwar bersikap taktis, pertengkaran dengan pejabat lain, apalagi sama-sama Nasution, seharusnya tidak perlu terjadi. Dalam kapasitasnya sebagai pimpinan lembaga negara, dia tentu bisa memperoleh selembar surat, seperti yang bernomor S-1234/MK.04/1987 yang ditandatangani Menteri Keuangan (saat itu) Radius Prawiro. Surat itu dikirim kepada Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan pada 3 November 1987.

 

Surat bertajuk Realisasi pemberian restitusi pajak itu muncul setelah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan bukti bahwa dalam proses pemberian restitusi pajak telah terjadi sejumlah penyimpangan. Dokumen itu kemudian dibawa ke sidang kabinet dan disampaikan langsung kepada Presiden (saat itu) Soeharto.

 

Menanggapi temuan BPKP itu, Radius menjawab dengan mengutip Pasal 34 UU KUP lengkap dengan penjelasannya, persis seperti disampaikan oleh Darmin maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

 

Mendengar penjelasan tersebut, Presiden Soeharto menjawab, "Jika menteri keuangan tidak bisa membuat surat izin kepada BPKP untuk mengaudit pajak, maka saya sendiri yang akan menandatangani surat itu." Tidak sampai 24 jam kemudian, kata seorang mantan pejabat BPKP, sebuah surat dengan tembusan kepada Kepala BPKP dan Dirjen Pajak sudah ada di meja kerja Menko Ekuin dan Wasbang saat itu.

 

Surat itu menjadi awal kerja sama Ditjen Pajak dan BPKP yang terus berlangsung hingga hari ini, tak sebatas pemeriksaan khusus restitusi pajak, tetapi juga pemeriksaan khusus WP grup, pemeriksaan khusus WP potensial, tim pemeriksaan gabungan dan tim optimalisasi penerimaan negara.

 

Mungkinkah surat Radius itu bisa dijadikan yurisprudensi, sehingga BPK, yang derajatnya di atas BPKP, bisa mengaudit pajak?