30 Juli 2007 | 16 years ago

BPK Akan Minta Uji Materiil UU Pajak yang Baru

Kompas

1403 Views

Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan akan segera meminta Mahkamah Konstitusi melakukan uji materiil (judicial review) terhadap Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan begitu UU bersangkutan dicatatkan dalam lembaran negara. Salah satu pasal dalam UU yang baru diselesaikan DPR itu dinilai menghambat kerja BPK dalam memeriksa keuangan negara.

 

Ketua BPK Anwar Nasution kepada wartawan akhir pekan lalu di Jakarta, menjelaskan, pada masa pembahasan UU tersebut BPK telah mengusulkan kepada DPR dan Presiden agar diberi kewenangan untuk mengakses langsung data wajib pajak, terutama belanja modal wajib pajak. Tujuannya bukan untuk memeriksa wajib pajak, tetapi untuk mengetahui apakah aparat pajak transparan dan benar dalam melakukan tugasnya. Usulan BPK tersebut tidak diakomodasi.

 

Dalam UU tersebut, yakni pada Pasal 34, BPK tetap harus memohon izin kepada Menteri Keuangan untuk bisa mengakses data wajib pajak. Sistem ini, kata Anwar, sangat menghambat kerja BPK dalam menciptakan transparansi keuangan negara. Pasalnya, permohonan BPK tak pernah digubris Menkeu.

 

Kata Anwar, BPK merupakan lembaga tinggi negara yang sejajar Presiden sebagai lembaga eksekutif. Adapun Menkeu hanya pembantu Presiden. "Karena itulah kami akan mengajukan uji materi ke MK untuk meninjau kembali Pasal 34 itu," katanya.

 

Anwar menjelaskan, dalam proses pemungutan pajak yang dilakukan aparat pajak terdapat indikasi kesalahan prosedur dan penyelewengan. Untuk mengetahuinya, BPK perlu mengetahui seberapa besar belanja modal dan penghasilan dari wajib pajak, lalu disinkronkan dengan yang disetor aparat pajak. "Pemeriksaan akan dilakukan secara sampling," kata Anwar.

 

"Disclaimer"

Anwar juga menegaskan, selama BPK tidak bisa mengetahui apakah proses pemungutan pajak dilakukan secara benar atau tidak, selama itu pula lembaga tinggi negara itu akan tetap memberikan penilaian disclaimer (menolak berpendapat) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP). BPK selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2004-2006 memberikan penilaian disclaimer atas LKPP. "Bagaimana kami memberikan pendapat atas apa yang tidak kami ketahui," kata Anwar.

 

Selain itu, hasil pungutan pajak yang ditempatkan dalam rekening bank tidak pernah disampaikan berapa lama mengendap, di mana diinvestasikan, dan berapa bunga yang diperoleh dari penempatan dana tersebut. Praktik ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rasio pajak (tax ratio) tetap berkisar 13 persen meskipun jumlah wajib pajak meningkat signifikan.

 

Transparansi pajak, kata Anwar, juga berdampak besar terhadap iklim investasi. Investor ingin kepastian soal pajak. (FAJ)