30 Juli 2007 | 16 years ago

BPK Merasa Dilecehkan Depkeu

Harian Seputar Indonesia

1572 Views

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merasa dilecehkan Departemen Keuangan (Depkeu) terkait proses audit terhadap Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini dipicu kehadiran Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang akan dicatatkan dalam lembaran negara.

 

"BPK sebagai lembaga tinggi negara, seharusnya sejajar dengan presiden dan DPR, jadi tidak benar BPK harus minta izin ke menteri keuangan. Itu penghinaan," ujar Ketua BPK Anwar Nasution di Jakarta, kemarin.

 

Anwar mengaku, sejak 2006 sudah lima surat yang dilayangkan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) terkait izin untuk memeriksa, namun tidak mendapat jawaban hingga saat ini. Di sisi lain, BPK berusaha kooperatif dan berusaha memperbaiki surat permohonan agar mendapat izin memeriksa. Hasilnya tetap saja nihil dan tidak mendapat jawaban.

 

Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) ini menegaskan institusinya merasa terbina oleh menteri keuangan dan Dirjen Pajak yang membatasi BPK memeriksa semua kekayaan negara, termasuk pajak yang memberi kontribusi 70% terhadap penerimaan negara. "Kami (BPK) bukan mau memeriksa wajib pajak, tetapi memeriksa aparat pajak, terutama dalam (hal) penetapan kewajiban pajak," timpal Anwar.

 

Dia mengakui, sikap Depkeu ini dipicu kehadiran UU KUP. Pasal 34 UU KUP dinilai mengebiri kewenangan BPK untuk mengaudit semua penerimaan negara. Karena itu, BPK akan melakukan uji materi (judicial review) atas regulasi tersebut.

 

Selain memeriksa semua kekayaan negara, terutama pajak, Anwar menjelaskan BPK harus diberi wewenang untuk memeriksa penyelesaian keberatan atau peninjauan kembali dari sengketa pajak, administrasi hitungan dan penagihan pajak, hingga pemberian restrukturisasi pajak. Hal terpenting lainnya adalah pajak yang sudah disetorkan, dapat diketahui berapa lama mengendap di bank persepsi dan sebelum masuk ke kas negara. Kondisi ini menjadi potensi korupsi negara karena sistem pembukuannya tidak transparan dan ke mana setoran itu pergi sebelum masuk ke kas negara.

 

"Sistem teknologi dan informasi (TI) di Depkeu amburadul dan tidak konsisten dengan TI Kantor Perbendaharaan Negara hingga Bea Cukai. Jadi, kalau sebulan kemudian baru masuk ke kas negara, ke mana perginya dana itu selama sebulan. Padahal, bunga surat utang negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maupun overnight (suku bunga jangka pendek) begitu tinggi saat ini."

 

Lebih lanjut Anwar menegaskan pembatasan itii tidak ada dan tidak akan ditemui di negara lain seperti Malaysia, India, dan Australia. Pada dasarnya, BPK bisa masuk ke mana saja untuk memeriksa keuangan negara dari mana pun sumbernya. Hal itu dipertegas dengan undang-undang mengenai keuangan negara. Namun, kenyataannya, BPK mengalami kesulitan dalam melakukan pemeriksaan ke Ditjen Pajak maupun akuntan publik lain.

 

"Permohonan terakhir pada saat audit laporan keuangan pemerintah pusat. Hasil audit ada pajak sekitar Rp377 triliun dan meminta izin kepada Menkeu. Hasilnya tidak ada jawaban dan seharusnya tetap dijawab walaupun tidak diberi izin. Ini menunjukkan (Menkeu) tidak menghargai BPK sebagai lembaga tinggi negara," tandas dia.

 

Pada saat bersamaan, Anwar dengan tegas mengatakan akan tetap memberikan penilaian disclaimer (belum menyampaikan pendapat) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) selama BPK tidak bisa memeriksa sumber penerimaan pajak. Padahal, sejak 2004-2006 BPK memberikan penilaian disclaimer atas LKPP. "Bagaimana BPK akan memberikan pendapat atas apa yang tidak pernah diperiksa," papar dia.

 

Anwar menuturkan, seharusnya BPK memeriksa besarnya penerimaan negara dari pajak dan memeriksa besarnya piutang pajak. Sebab, selama ini penetapan penerimaan berdasarkan tarif yang seharusnya dibayar atau disetor oleh wajib pajak dinilai tidak transparan.

 

Anwar menambahkan hal ini yang menyebabkan jumlah wajib pajak meningkat signifikan, tetapi tax ratio tetap 13% selama 60 tahun. Di sisi lain, jika pemerintah tetap bersikukuh untuk tidak memberi kewenangan memeriksa sumber penerimaan tersebut, dampaknya sangat besar terhadap penciptaan iklim investasi. Sebab, pemerintah tetap akan kesulitan mendanai defisit APBN dari penerbitan surat utang negara (SUN) maupun global bond.

 

Dihubungi terpisah, Direktur Ekstensifikasi Pajak Ditjen Pajak Hasan Rachmany mengatakan, Ditjen Pajak tidak menghalangi BPK untuk mengaudit instansinya. Bahkan, setiap tahun laporan keuangan Ditjen Pajak tidak pernah luput dari pemeriksaan BPK. "Setiap tahun kita diaudit. Karena itu, kami tidak tahu apa maksud dari BPK," katanya.

 

Namun, apabila objek audit yang dimaksud BPK adalah wajib pajak, maka hal itu tidak mungkin dikabulkan. Menurut Hasan, tidak ada satu pun contoh di negara lain yang memperbolehkan wajib pajak diaudit oleh auditor negara, pasalnya informasi wajib pajak diluar lingkup keuangan negara. "Itu sangat prinsip, karena data-data itu menyangkut trik bisnis mereka," katanya.

 

Hasan menjelaskan, keinginan BPK untuk mengaudit wajib pajak tidak dihalang-halangi oleh Ditjen Pajak, tapi oleh UU KUP. Dalam Pasal 34 UU KUP disebutkan, Ditjen Pajak wajib melindungi semua informasi tentang wajib pajak yang telah diserahkan. Pemeriksaan terhadapnya hanya dimungkinkan apabila BPK menemukan temuan yang mencurigakan. "Setelah mereka (BPK) mengirimkan surat izin ke Ditjen Pajak yang kemudian kami sampaikan kepada menteri keuangan," ujarnya.

 

Menurut anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP Maruarar Sirait, DPR tidak lagi berurusan dengan masalah yang jadi kontroversi tersebut. Karena sudah ada UUKUP.

 

"Jika ada perbedaan pendapat antara dua lembaga, wajar saja bila salah satu lembaga meminta ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilakukan judicial review. Keputusan itu harus dihormati. Di sisi lain masih ada cara lain," jelas dia.

 

Maruarar menambahkan, MK berkewajiban menyelesaikan permasalahan tersebut karena termasuk dalam ranah hukum. Sedangkan cara lainnya adalah sesama lembaga pemerintah (Depkeu dan BPK) harus mengintensifkan komunikasi politik sehingga terjalin persamaan persepsi di antara keduanya. Selain itu, hendaknya para pejabat di dua lembaga itu menyelesaikan masalah ini secara santun, tidak hanya diselesaikan secara hukum. "Jika diselesaikan secara hukum pun tidak menjadi masalah. Namun, lebih baik jika diselesaikan antarlembaga, melalui komunikasi yang lancar," tegas dia. (tomi su jal mi ko/muhani mad ma'ruf)