25 Oktober 2007 | 16 years ago

Penerimaan Fiskal Rp1T Raib

Harian Seputar Indonesia

929 Views

JAKARTA(SINDO) – Penerimaan fiskal penumpang luar negeri di Bandara Soekarno- Hatta Rp1 triliun diperkirakan hilang. Hal itu terungkap dalam kunjungan kerja Komisi XI DPR ke wilayah Provinsi Banten, yang mencakup kawasan bandara internasional tersebut, kemarin.

Anggota Komisi XI DPR Dradjad H Wibowo mengatakan, setoran pajak perjalanan ke luar negeri yang hilang itu terungkap dari diskrepansi atau perbedaan data jumlah penumpang ke luar negeri melalui Bandara Soekarno-Hatta, yaitu antara data Unit Fiskal Luar Negeri (UFLN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dengan data PT Angkasa Pura II antara tahun 2004 hingga 2006. ”Selama 2004–2006 terdapat diskrepansi jumlah penumpang tujuan luar negeri sebanyak lebih dari 1 juta orang,” ungkap Dradjad di Jakarta, kemarin.

Data UFLN menyebutkan, selama tiga tahun itu terdapat 7,75 juta penumpang. Namun versi Angkasa Pura II mencapai 8,75 juta sehingga terdapat uang pajak yang tidak tersetor dari 1 juta penumpang. ”Dengan nilai fiskal Rp1 juta per orang, potensi penerimaan fiskal yang hilang mencapai Rp 1 triliun,” katanya. Terlebih lagi, data UFLN tersebut sudah memasukkan penumpang yang mendapat pembebasan pembayaran fiskal sehingga potensi setoran pajak yang hilang diperkirakan lebih besar dari Rp1 triliun.

”Memang dari tahun 2004 diskrepansi tadi sudah turun. Kalau 2004 diskrepansinya 18,4%, tahun 2005 11,5%, dan 2006 turun menjadi 5,7%,” katanya. Meski turun, perbedaan data itu tetap menimbulkan potensi kehilangan yang cukup besar. Dengan diskrepansi hanya 5,7% pada 2006, nilai potensi fiskal yang hilang sekitar Rp150 miliar. Padahal, penumpang penerbangan tujuan luar negeri tidak bisa berangkat apabila tidak menunjukkan kuitansi pembayaran fiskal.

Mereka harus melewati dua pemeriksaan, yaitu meja petugas fiskal dari Ditjen Pajak dan pemeriksaan imigrasi oleh petugas Departemen Hukum dan HAM. ”Jadi diskrepansi tersebut seharusnya tidak ada. Ditjen Pajak harus meningkatkan penertiban penerimaan fiskal,” katanya. Dihubungi terpisah, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Djoko Slamet mengatakan, asumsi hilangnya penerimaan fiskal tersebut sebetulnya bersumber dari perbedaan dasar perhitungan antara UFLN dengan pihak Angkasa Pura II.

Perhitungan UFLN menyatakan ada beberapa kategori penumpang yang mendapat fasilitas pembebasan fiskal seperti TKI, orang asing, kalangan diplomat, pejabat negara, tim olahraga, tim kesenian hingga orang sakit. ”Jumlahnya banyak, bahkan kalau tidak salah lebih dari 70 kategori,”ujar dia. Sementara dasar perhitungan Angkasa Pura II menggunakan aturan bahwa setiap penumpang yang menggunakan fasilitas penerbangan di kawasan itu dikenai beban pajak bandara (airport tax).

Dengan demikian, pihak yang mendapat keringanan tanggungan fiskal pun dikenai pajak tersebut. Atas dasar itu, kata Djoko, pengenaan asumsi atas hilangnya potensi penerimaan fiskal negara seperti diungkapkan Komisi XI kurang begitu mengena. ”Bagaimana itu bisa dikatakan begitu (hilang) kalau dasar perhitungannya juga berbeda?” ujar dia. Senada dengan Djoko,Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Hasan Rachmany mengatakan, asumsi atas hilangnya potensi fiskal bersumber dari pemahaman informasi yang tidak terlalu akurat. Menurut dia, seharusnya yang harus dipahami terlebih dulu adalah dasar perhitungan kedua lembaga (UFLN dan Angkasa Pura). Seandainya dasar perhitungan ini difahami secara tepat, kata dia, asumsi tersebut tidak akan berkembang. (muhammad ma’ruf/ zaenal muttaqin)