30 Juli 2007 | 16 years ago

Keberatan dengan UU Perpajakan Baru

Suara Pembaruan

1329 Views
BPK Siap Ajukan Uji Materiil ke MK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera akan meminta judicial review (uji materiil) atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang baru setelah dicatatkan dalam lembaran negara.

 

Keberatan BPK terutama atas pasal 34 yang tidak memberikan akses ke lembaga tinggi negara itu untuk memeriksa aparat pajak.

 

"Kami bukan mau memeriksa wajib pajak, tetapi memeriksa aparat pajak terutama dalam penetapan kewajiban pajak apakah sudah sesuai dengan yang seharusnya," kata Ketua BPK Anwar Nasution di Jakarta, Jumat (13/7).

 

Dikatakan, masukan ini sudah disampaikan BPK ke Presiden dan DPR agar mereka diberi kewenangan memeriksa aparat pajak, te' tapi dalam prosesnya DPR tidak meloloskan itikad ba ik tersebut.

 

Sebagai pimpinan BPK, institusinya merasa dihina Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak yang membatasi mereka untuk memeriksa semua kekayaan negara terutama pajak yang memberikan kontribusi 70 persen terhadap penerimaan negara.

 

"BPK lembaga tinggi negara, seharusnya sejajar dengan Presiden sebagai eksekutif dan DPR. Jadi, tidak benar BPK harus minta izin ke Menteri Keuangan, itu penghinaan," kata Anwar.

 

Diajukan Dia menegaskan, begitu UU KUP dicatatkan dalam lembaran negara, BPK akan segera mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali pasal 34 yang dinilai mengebiri kewenangan lembaga tersebut mengaudit semua pene rimaan negara.

 

Anwar dalam kesempatan itu dengan tegas mengatakan akan tetap memberikan penilaian disclaimer (belum menyampaikan pendapat) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) selama mereka tidak bisa memeriksa sumber penerimaan pajak. BPK selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2004-2006 memberikan penilaian disclaimer atas LKPP. "Bagaimana kami akan memberikan pendapat atas apa yang tidak pernah kami periksa," kata Anwar.

 

BPK tutur Anwar seharusnya memeriksa besarnya penerimaan negara dari pajak, dan memeriksa besarnya piutang pajak. Sebab, selama ini tidak transparan apakah penetapan penerimaan tersebut sudah sesuai dengan tarif yang seharusnya dibayar atau disetor oleh wajib pajak.

 

Selain itu, hasil'pungut-an pajak yang ditempatkan dalam rekening bank tidak pernah disampaikan berapa lama mengendap di situ dan diinvestasikan dimana serta berapa bunga yang diperoleh dari penempatan tersebut.

 

"Suku bunga SBI kan lumayan, penempatan di Fasbi over night tetap di kasih bunga, tetapi tidak pernah diketahui berapa hasilnya," katanya. Hal ini yang menyebabkan jumlah wajib pajak meningkat signifikan, tetapi tax ratio tetap 13 persen selama 60 tahun.

 

Berdampak Besar Anwar menambahkan, jika pemerintah tetap bersikukuh untuk tidak memberi kewenangan memeriksa sumber penerimaan tersebut dampaknya sangat besar terhadap penciptaan iklim investasi.

 

Sebab, pemerintah tetap akan kesulitan mendanai defisit APBN dari penerbitan surat utang negara (SUN) terutama global bond.

 

"Kenapa rating Indonesia tidak membaik, karena para investor tidak tahu dan kurang yakin dari mana akan membayar obligasinya. Sumber penerimaan yang terbesar seperti pajak tidak pernah transparan," kata Anwar.

 

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI-P Maruarar Sirait mengatakan, proses di lembaga legislatif sudah selesai. Selanjutnya, sudah diserahkan ke lembaga eksekutif untuk menindaklanjuti.

 

"Jika ada perbedaan pendapat antara dua lembaga, maka wajar saja salah satunya meminta ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar dilakukan judicial review," kata Maruarar.