05 November 2007 | 16 years ago

Suap Masih Terjadi meski Ada Remunerasi: Tunjangan Tidak Akan Efektif jika Sanksinya Rendah

Kompas

784 Views

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, kasus suap masih terjadi meskipun aparatnya diberi tambahan imbalan atau remunerasi. Ini terjadi karena uang suap yang ditawarkan lebih besar dibandingkan dengan remunerasinya, dan integritas para aparatnya rendah.

"Ini menunjukkan, reformasi birokrasi tidak bisa berlangsung cepat. Sejak Juni 2007, saya memecat 15 pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai," ujar Sri Mulyani saat berbicara dalam Seminar Nasional Pencegahan Korupsi Melalui Reformasi Birokrasi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Kamis (1/11). Acara ini dihadiri Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Anwar Nasution dan Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Paulus E Lotulung.

Menurut Sri Mulyani, sangat sulit mencari orang berintegritas tinggi. "Bayangkan, pejabat golongan IIB di Ditjen Bea dan Cukai bisa menerima suap sebesar Rp 900 juta. Apa jadinya kalau suap itu diberikan pada golongan di atasnya," katanya.

Di awal reformasi birokrasi Depkeu, Menkeu memindahkan 1.200 pegawai Ditjen Bea dan Cukai yang bertugas di Pelabuhan Tanjung Priok dan menggantikannya dengan 800 pegawai baru. Mereka hasil seleksi atas 12.000 pegawai Depkeu.

"Pada awalnya, saya hanya menerima 600 orang yang benar-benar sesuai standar. Namun, Ditjen Bea dan Cukai protes karena biasa dilayani 1.200 orang. Akhirnya, terpaksa saya menurunkan standarnya dan mengambil 200 orang lainnya," katanya. Kelemahan lain yang ditemukan Menkeu selepas reformasi birokrasi dijalankan ialah kondisi pusat data yang amburadul. Terbukti ada pegawai yang sudah mangkir selama 10 tahun, namun tercatat baru bolos enam bulan. Artinya, Depkeu telah menggajinya selama sembilan tahun tanpa kerja apa pun.

"Saya disodori informasi ini tiga hari lalu. Jadi, saya harus memecat orang ini, yang sudah tidak bekerja sejak tahun 1997. Semuanya terungkap karena saya menangani sendiri masalah sumber daya manusia di Depkeu. Sebelumnya, tak pernah ada masalah SDM yang ditangani menkeu," ujar Sri Mulyani.

Reformasi birokrasi di Depkeu mulai dirintis dua tahun lalu. Perubahan yang menonjol antara lain pemendekan waktu pelayanan di berbagai direktorat jenderal, seperti penyelesaian Nomor Pokok Wajib Pajak di Ditjen Pajak dari tiga hari menjadi sehari, penyelesaian restitusi menjadi 12 bulan, dan pengurusan pabean jalur prioritas dari 16 jam menjadi 20 menit.

Reformasi birokrasi ini menimbulkan kontroversi karena berujung pada pemberian remunerasi berupa Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara. Tunjangan ini mendongkrak jumlah uang yang dibawa ke rumah (take home pay) oleh pegawai Depkeu menjadi Rp 2,091 juta -- Rp 49,33 juta per bulan.

Sanksi rendah Anggota Komisi XI DPR (mitra Menkeu dalam pembahasan anggaran) Dradjad H Wibowo mengatakan, kenaikan remunerasi tidak akan mampu menahan korupsi selama sanksi yang diterapkan rendah. Contohnya di China, pegawai negerinya takut korupsi karena manfaat yang diperoleh lebih kecil dibanding sanksinya, yakni hukuman mati.

"Hukuman lain adalah larangan bagi keluarga pelaku untuk menjadi pegawai negara. Jadi, mereka malah rugi," katanya.

Sebaliknya di Indonesia, ujar Dradjad, manfaat korupsi lebih besar dari sanksinya. Lebih parahnya lagi, karena sudah didukung secara sistemik.
"Orang yang tidak korupsi malah tersingkir. Artinya, remunerasi itu hanya menambah uang saku pegawai," katanya.