30 Juli 2007 | 16 years ago

Ubah Perhitungan PBB Perkebunan

Bisnis Indonesia

2238 Views

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Gabungan Perusahaan Perkebunan Karet Indonesia (Gappindo), dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) minta Ditjen Pajak mengubah perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) perkebunan.

 

Tujuan pengubahan agar penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) areal perkebunan tidak naik setiap tahun karena usia tanaman dan produktivitas tanaman perkebunan semakin menurun, di mana paling lama berusia 25 tahun.

 

Ditjen Pajak sebelumnya meminta Kepala Kanwil Ditjen Pajak untuk membidik perkebunan kelapa sawit serta perusahaan yang terkait dengan produksi kelapa sawit. {Bisnis, 3 Juli).

 

Wakil Ketua Gapki Sumut Suhardi Hasibuan berpendapat sebaiknya pemerintah dalam menetapkan PBB sektor perkebunan mempertimbangkan umur tanaman, tingkat produktivitas, dan volume produksi, dan luas areal. "Jangan seperti saat ini hampir setiap tahun PBB sektor perkebunan dinaikkan NJOP-nya, sehingga PBB naik setiap tahun, padahal usia produktif tananam sawit, misalnya, hanya 15 tahun," tuturnya.

 

Dia menjelaskan pada umur satu sampai empat tahun tanaman kelapa sawit belum menghasilkan, kemudian baru memasuki tahun kelima hingga tahun ke-15 perkebunan sudah mulai menghasilkan dan mencapai puncaknya pada usia 15 tahun. Setelah melewati usia 15 tahun, produksi menurun.

 

Untuk itu, para pekebun minta pemerintah mengubah pola perhitungan NJOP yang naik setiap tahun, sementara umur tanaman sudah mendekati usia tanam ulang. "Inilah yang kurang adil dan tidak tepat karena walaupun umur tanaman kelapa sawit sudah 25 tahun PBB yang harus dibayarkan tetap tinggi."

 

Ketua Umum Gappindo Sumut Fauzi Hasballah mengungkapkan pihaknya hanya mengusahakan 1.400 ha areal perkebunan di Sumut, tetapi harus membayar PBB hampir Rp200 juta per tahun. "Saya kira pemerintah harus membuat formula baru untuk mencari perhitungan PBB yang adil dan sesuai dengan karakter perkebunan itu sendiri," tuturnya.