08 Agustus 2007 | 16 years ago

Buruk Muka Aparat Pajak

Trust No. 42, Tahun V, 2007

966 Views
Orang pajak harus bijak mengakui bahwa performa mereka memang mengecewakan. Makanya, potensi dari sector pertambangan atau telekomunikasi acap melayang.


Fuad Bawazier punya cerita menarik. Mantan Dirjen Pajak dan mantan Menteri Keuangan ini menuturkan, dari tahun ke tahun, besaran cost recovery migas selalu saja mengikuti harga migas. Kisarannya sekitar 30% dari total penjualan. Padahal, ujar Fuad, nilai cost recovery seharusnya stabil. Atau, kalaupun naik, nilainya tak harus korelatif dengan kenaikan harga pasar. Wong dengan harga minyak US$ 20 per barel saja kontraktor sudah pasti untung besar, kok. Tahun ini nilai cost recovery migas mencapai US$ 10,4 miliar dan total penjualan migas sekitar US$ 30,5 miliar.

Hafiz Zawawi, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR, mengatakan, kalau cost recovery itu bisa ditekan-taruhlah sampai ke 20% maka hasil yang didapat negara akan semakin besar. Sayang, nilai cost recovery itu tetap bergeming di posisi semula. Makanya, dalam RAPBN-P 2007, target penerimaan PPh migas pun diturunkan sebesar Rp 3,7 triliun dari Rp 41,2 triliun menjadi Rp 37,5 triliun. Penerimaan negara bukan pajak (NPBP) sektor migas juga ikut dipangkas hingga Rp 34,5 triliun dari Rp 139,9 triliun menjadi Rp 105,5 triliun.

O, ya. cost recovery adalah biaya penggantian yang bisa diklaim kontraktor bagi hasil kepada pemerintah bila kawasan pertambangan yang dieksploitasinya telah berproduksi. Jika kontraktor gagal berproduksi, seluruh biaya menjadi risiko kontraktor.

Begitu kontraktor memasuki proses eksploitasi, seluruh pengeluaran bisa diremburs. Lantas, bagi hasil ditetapkan 85%-15% setelah dikurangi cost recovery. Namun, setiap kontrak kerja sama tidak pernah menjelaskan secara persis batasan nilai cost recovery itu tadi.

Selain nilai cost recovery yang acap tak masuk akal, kebijakan pemerintah dalam menentukan asumsi harga minyak di APBN-P 2007 juga membuat nilai pungutan pajak pertambangan minyak kita semakin kontet. Darmin Nasution, Dirjen Pajak, juga mengakui, turunnya asumsi harga minyak dari US$ 63 per barel menjadi US$ 60 per barel dalam APBN-P 2007 ikut membikin target penerimaan pajak tahun ini meleset.

Menurut Kurtubi, seorang analis, kalau saja asumsi harga minyak di APBN-P 2007 dinaikkan menjadi US$ 65 per barel, maka pendapatan pajak dan bukan pajak bagi negara jelas akan lebih besar. Toh, dipasar internasional, harga minyak juga sudah melesat tinggi. Akhir pekan silam, banderol minyak mentah Brent berada di level US$ 78 per barel. Banderol minyak mentah produksi kita sekitar US$ 71-an per barel. Secara rata-rata dari Januari hingga Juli 2007- harga minyak mentah made in Indonesia berada di kisaran US$ 66-an per barel.

Kurtubi juga menegaskan, penurunan asumsi harga minyak di APBN jelas memukul daerah penghasil minyak. Selama ini, produksi minyak turun terus. Nah, kalau kemudian asumsi harga minyak diturunkan, maka penerimaan daerah penghasil minyak menjadi berkurang. Dana bagi hasil buat daerah penghasil minyak jelas bakal berkurang.

Fuad menengarai, para pejabat Ditjen Pajak juga tak mengusahakan agar asumsi harga minyak di APBN tidak diturunkan. Mereka juga kurang serius mengupayakan agar cost recovery bisa dipangkas. “Pejabat pajak mau saja pendapatannya diutak-atik,” ujarnya, gregetan. “Kalau zaman Pak Harto (Soeharto, Presiden RI kedua), yang seperti itu tak mungkin terjadi”.

Selain itu, Fuad juga memandang, pemasukan pajak juga bisa sangat besar dari sektor pertambangan lain di luar migas. Seharusnya, ujar Fuad, sektor migas dan pertambangan lainnya adalah sebagai penyumbang pajak terbesar. Sayangnya, justru di sektor inilah, ketidakjelasan pajak acap terjadi.

Sonny Keraf, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, mengatakan, kerancuan soal pajak sudah menjadi cerita biasa dalam banyak kontrak karya. Sonny lalu menunjuk kasus yang terjadi di PT Freeport, ExxonMobil Indonesia (EMOI), atau Blok Natuna.

Di PT Freeport Indonesia, dugaan adanya potensi penerimaan pajak yang tak jelas juntrungannya sempat membuat pimpinan Freeport, James R. Moffet, dipanggil Panitia Kerja (Panja) DPR, Januari silam. Tapi, Moffet mangkir. Sejumlah anggota DPR termasuk Sonny menduga Freeport menyembunyikan sebagian penghasilannya. “Semua itu karena lemahnya sistem pengawasan yang dilakukan pemerintah. Makanya, penerimaan pajak jadinya tidak jelas,” ujar Sony.

Dari Sektor Telekomunikasi Juga Kurang

Sayang, aparat pajak sepertinya tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan pemasukan pajak lebih besar dari perusahaan pertambangan seperti Freeport. Darmin Nasution (Dirjen Pajak), bahkan tak pernah menyatakan upaya itu sebagai salah satu misinya.

Lemahnya aparat pajak dalam menggali potensi penerimaan juga terlihat pada sektor telekomunikasi. Menurut Fuad Bawazier, di masanya dulu menjabat Dirjen Pajak, PT Telkom dan Indosat selalu masuk dalam lima Besar pembayar pajak paling top. Kini, setoran pajak Indonesia justru menurun. Dradjad Wibowo pernah mencak-mencak soal ini.

Dradjad bilang, Indosat mengalami peningkatan laba sebelum pajak pada periode 2004-2006. tapi di kala itu, pembayaran pajak Indosat untuk negara malah turun. Jika pada 2004 Indosat masih menyetor pajak Rp 724,6 miliar, maka pada 2006 angkanya tinggal Rp 576,1 miliar.

Pada tahun 2002, ketika pendapatan Indosat sebesar Rp1,35 triliun, pembayaran pajaknya mencapai Rp 776,5 miliar. Tapi, di tahun 2004, tatkala Indosat membayar pajak Rp 724,6 miliar, pendapatannya sudah mencapai Rp 2,38 triliun. Pada 2006, pendapatan Indosat sebelum pajak Rp 2,022 triliun.

Indosat sendiri beralasan bahwa penurunan setoran pajak itu dilatari oleh kerugian transaksi derivatif yang dilakukan BUMN Singapura tersebut. Tapi, apa pun alasannya, yang jelas, Dradjad menegaskan, gara-gara penurunan itu, pemerintah kehilangan pendapatan sebesar Rp 323 miliar. Uang itu meliputi rincian potensi penerimaan pajak PPh badan sebesar Rp 196 miliar (30% dari kerugian derivatif yang katanya Rp 653 miliar), piden Rp 65 miliar (14,29% dari Rp 457 miliar), dan potensi pajak piden publik Rp 62 miliar.

Sejauh ini, Darmin Nasution tampaknya percaya begitu saja dengan alasan Indosat. Sayang, memang. Padahal, dulu, BUMN itu dijual ke negeri orang dengan satu harapan: agar performanya membaik sehingga penerimaan pajak bagi negara bisa meningkat. Nyatanya, itu tidak kesampaian.

Selesai? Belum. Selain pertambangan dan telekomunikasi, nyatanya Ditjen Pajak juga dinilai mengecewakan dalam menarik potensi pajak dari sektor perkebunan sawit. Menurut Fuad, dalam setahun, produksi CPO mencapai 17 juta ton. Namun, yang tercatat di kantor pajak tak lebih dari separuhnya. Fyad juga menengarai, laporan pendapatan pengusaha CPO yang dilaporkan ke aparat pajak paling banter hanya 10% dari pendapatan mereka.

Belakangan, aparat pajak memang mencoba lebih serius menggali potensi dari CPO. Apalagi, harga CPO dunia juga sedang bagus-bagusnya. Ya, lumayanlah. Kendati dari CPO, pendapatan pajak paling pol mungkin hanya Rp 10 triliun.

Hardy R. Hermawan, Ahmad Pahingguan, dan Julianto