08 Agustus 2007 | 16 years ago

Ekonomi Oke, Pajak Malah Seret

Trust No. 42, Tahun V, 2007

1024 Views

Jumpa pers itu siap digelar, Jumat siang kemarin. Kursi dibariskan dan para pejabat pajak terlihat siap mendampingi sang bos, Darmin Nasution, untuk memberikan keterangan kepada wartawan. Sejumlah nasi bungkus dihidangkan. Dirjen Pajak Darmin Nasution sedianya akan memberikan keterangan seputar target penerimaan pajak yang dipangkas dalam APBN-P 2007. Namun, acara itu nyatanya urung digelar. “Pak Darmin tiba-tiba sakit,” bisik seorang pejabat pajak.

Maka, kontroversi soal penurunan target pajak pun terus berkumandang. Sebelumnya, dalam APBN-Perubahan 2007, Menteri Keuangan Sri Mulyani memang sudah mengumumkan bahwa target penerimaan pajak tahun 2007 akan dipangkas dari sasaran semula. Tadinya, penerimaan pajak tahun ini dipatok sebesar Rp 509,5 triliun. Belakangan, dalam APBN-P, target itu berkurang menjadi Rp 489,9 triliun.

Kalau Sri Mulyani konsisten dengan ucapannya, maka posisi Darmin sejatinya sudah terancam. Soalnya, bukan apa-apa, dalam acara peresmian modernisasi administrasi Kantor Pusat Ditjen Pajak dan 13 Kantor Wilayah Ditjen Pajak, akhir Desember 2006 lalu, Sri Mulyani sudah menegaskan bahwa selisih antara potensi dan realisasi pajak harus bisa dikurangkan seiring adanya modernisasi kantor pajak itu. Menteri ketika itu meminta target penerimaan pajak benar-benar tercapai. “Sekarang ujiannya dimulai, Pak Darmin,” ujar Sri Mulyani. “Dukungan politik sudah diberikan. Praktis tidak ada alasan untuk gagal.”

Ibu Menteri benar. Praktis tidak ada alasan untuk gagal. Dukungan memang jelas-jelas sudah diberikan. Modernisasi kantor itu adalah salah satu buktinya. Selain itu, Ibu Menteri acap membela Darmin, koleganya sesama dosen FEUI, tatkala menghadapi sejumlah masalah. Hampir semua kritikan terhadap aparat pajak, mulai dari soal penerimaan hingga mutasi yang kacau, dijawab langsung dengan penuh pembelaan oleh Menteri Keuangan.

Hingga beberapa bulan setelah pernyataan Sri Mulyani itu, Darmin masih terlihat pede. Ia memastikan penerimaan pajak hingga akhir Maret 2007 akan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun lalu, sekalipun sudah dikurangi restitusi pajak. Menurut Darmin, penerimaan pajak hingga akhir Maret 2007 mencapai Rp 103,1 triliun, atau meningkat 35% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Jumlah itu adalah yang terbesar selama enam tahun terakhir,”ujar Darmin.

Waktu terus berlalu. Setelah itu, Darmin mulai merasakan betapa seretnya memungut pajak. Samapai akhir Juni silam, penerimaan pajak ternyata baru mencapai Rp166,83 triliun. Itu artinya, selama semester I-2007, penerimaan pajak hanya sekitar 40% dari target. Padahal, masa panen bagi petugas pajak biasanya justru terjadi di semester I itu tadi. Maka, terjadilah pengurangan target penerimaan pajak tersebut.

Darmin sendiri sempat menegaskan, turunnya penerimaan tahun 2007 dilatari oleh perubahan indikator ekonomi makro, terutama dari harga minyak mentah Indonesia yang sebelumnya US$ 63 per barel menjadi US$ 60 per barel. Selain itu, penurunan lifting minyak mentah dari 1 juta barel per hari dalam APBN 2007 menjadi 950.000 barel per hari juga menjadi penyebab. Begitu juga dengan menguatnya nilai tukar rupiah dari Rp 9.300 per dolar AS menjadi Rp 9.100 per dolar AS, dan penurunan suku bunga SBI 3 bulan dari 8,5% menjadi 8,0%.

Selain itu, kebijakan pemerintah di bidang perpajakan-seperti percepatan pembayaran restitusi PPN, pemberian fasilitas perpajakan dengan penghapusan PPN atas produk primer, dan pengenaan PPh dengan tarif rendah atas piden yang dibayarkan subyek pajak luar negeri untuk menghindari pajak berganda-juga ikut mendorong turunnya penerimaan tadi.

Tim Ekonomi Loyo, Internal Pajak Kacau


Namun, seorang aparat pajak level menengah mengatakan, bukan itu saja alasan terjadinya penurunan tersebut. Ia bilang, penurunan itu memang merupakan keniscayaan sejak lama. Sebab, aparat pajak terlihat agak gamang dalam melakukan pungutan belakangan ini. Aparat pajak itu menuturkan, kegamangan tadi muncul lantaran terlalu berlebihnya pembenahan dan mutasi di lingkungan Ditjen Pajak. Kadang, seseorang yang baru enam bulan ditempatkan di satu posisi, segera lagi dipindahkan ke posisi lain.

Mutasi itu sering pula gagal menempatkan the right man in the right place. Syahdan, sekarang banyak aparat pajak yang resah. Mereka merasa tidak dipercayai oleh bosnya. Para aparat pajak pun bekerja setengah hati. Mereka tak lagi giat menggali pendapatan pajak.

Sayang, tak ada pejabat pajak yang bersedia dikonfirmasikan seputar masalah ini. Jumat kemarin, Darmin sakit. Setelah itu, semua pejabat di bawahnya jadi terlibat seperti sakit gigi, takut buka mulut. “Saya tak enak kalau diminta memberikan keterangan,” ujar Petrus Tambunan, seorang direktur di lingkungan Ditjen Pajak.

Sebelumnya, Darmin Nasution juga sempat mengatakan, penurunan target pajak tidak serta-merta mencerminkan anjloknya performa aparat pajak. “Target pajak tergantung besaran PDB. Sebab, besaran PDB akan membuat basis pajaknya berbeda,” ujarnya.

Pernyataan Darmin memang logis. Gagalnya pencapaian target penerimaan pajak juga tak lepas dari kegagalan pemerintah dalam mendorong bergeraknya sektor riil yang merupakan salah satu penggerak utama pertumbuhan PDB.

Ekonom Kahlil Rowter menegaskan, penerimaan pajak saat ini tidak dapat diandalkan lantaran banyak perusahaan yang kinerjanya anjlok. Selain itu, turunnya suku bunga perbankan juga menjadi penyebab. “Selama ini, pemerintah banyak menerima pendapatan pajak bunga yang cukup tinggi,” ujar Kahlil.

Di mata Hendri Saparini , Managing Director Econit, pemerintah memang terlalu loyo, tidak ambisius, dalam mengejar target penerimaan pajak. Tengok saja, realisasi APBN yang amat lambat. “Sampai semester I-2007, realisasi belanja pemerintah cuma 17%,” ujar Hendri. Akibatnya, ekonomi tidak tumbuh pesat dan pajak jadi seret.

Gejala ini sejatinya sudah terlihat sejak awal Susilo Bambang Yudhoyono memerintah. Gaya yang kelewat hati-hati ala Yudhoyono sepertinya menular ke para pembantunya. Pada 2005 dan 2006 lalu, anggaran belanja pemerintah selalu kurang dari 40%. Hendri menegaskan, “Jelas ada masalah pada tim ekonomi dalam mengelola anggaran”.

Sudah begitu, proyek-proyek sejumlah BUMN juga banyak yang tidak berjalan. Para pejabat BUMN kini juga ketularan gaya penuh kehati-hatian. Lantas, privatisasi BUMN-yang dulu selalu dijadikan andalan kini mulai seret. BUMN yang bagus sudah pada laku. Yang tersisa sekarang kebayakan dalam kondisi busuk.

Lambatnya pergerakan sektor riil juga disebabkan banyaknya dana pemerintah yang mengganggur dan tidak dikelola secara tepat. Hendri menunjuk dana sisa anggaran, dana reboisasi, dan dana pensiun. Semuanya itu hanya ngumpul di rekening bank. Padahal, kalau digulirkan, tentu dana itu akan merangsang sektor riil untuk menggeliat.

Yang jelas, melesatnya target penerimaan pajak pasti akan berdampak buruk terhadap perekonomian nasional. Wakil Presiden Jusuf Kalla kemudian meminta setiap menteri untuk meninjau kembali anggaran belanja di departemen/kementeriannya masing-masing. Dradjad Wibowo, anggota komisi XI DPR, mengatakan, kalau sudah begini, boleh jadi pemerintah kemudian memangkas alokasi anggaran untuk program pembangunan, pemberdayaan masyarakat, atau kesejahteraan rakyat. “Kemungkinan, subsidi yang akan dipotong,” katanya.

Taruhannya, Kompetensi Pribadi Darmin

Pemerintah sendiri meyakini, penurunan pajak (shortfall) pada semester II-2007 ini hanya akan sekitar Rp 4,37 triliun. Tapi, Dradjad tidak percaya. Ia menduga, penurunan pada semester II ini akan sebesar semester I kemarin. Jadi, jumlahnya bisa sekitar Rp 18 triliunan. “Apalagi kita belum melihat ada terobosan nyata dari aparat pajak sendiri,” kata Dradjad.

Apa pun alasannya, Fuad Bawazier (mantan Dirjen Pajak dan mantan Menteri Keuangan), mengatakan, turunnya target penerimaan pajak menjelaskan secara gamblang bahwa gembar-gembor pemerintah tentang perbaikan kondisi makro ekonomi adalah sesat. Kalau begini terus, ujar Fuad, pemerintah bisa-bisa kembali akan gagal memenuhi target penerimaan pajak yang sudah direvisi itu.

Padahal, penurunan itu memiliki dampak yang tak bisa disepelekan. Asumsinya begini, menurunnya penerimaan pajak penghasilan (PPh) berarti menunjukkan penghasilan orang menurun. Itu artinya, semakin banyak pengganguran. Kalau menggunakan angka konstan, maka penurunan PPh sebesar 1% bisa meningkatkan angka penggangguran hingga 1% pula.

Namun, tentunya tak ada satu pihak pun bisa memonopoli kesalahan-atau kebenaran. Makanya, tidak semua kesalahan dalam urusan penurunan target pajak ini bisa dibebankan ke tim ekonomi. Persoalan internal di Ditjen Pajak sendiri patut diperhatikan. Iman Sugema, Direktur InterCafe IPB, mengatakan, Ditjen Pajak juga selalu gagal dalam meningkatkan jumlah wajib pajak.

Dulu, sesama Dirjen Pajak dijabat Hadi Purnomo, jumlah wajib pajak perorangan bisa digenjot dari tiga juta menjadi hingga 10 juta. Kini, Darmin Nasution menargetkan tambahan lima juta orang lagi. Tapi, yang mendaftar hingga Juni 2007 baru 250 ribu orang. Sepertinya, ini memang agak jauh panggang dari api.

Selain itu, Dradjad Wibowo menegaskan, penurunan penerimaan pajak juga terjadi akibat banyak diobralnya insentif pajak ke sektor-sektor usaha yang selama ini “pintar melakukan lobi”. Sektor usaha apa? Dradjad menunjukkan dua: pertambangan dan telekomunikasi. “Dua sektor itu punya performa paling bagus saat ini. Tapi, penerimaan pajaknya malah menurun,” ujar Dradjad.

Lantas, masalah keresahan internal gara-gara mutasi dan perombakan personel itu tadi juga menjadi sorotan. Dradjad mengaku, Darmin Nasution adalah orang baik. Tapi, ia tidak memiliki pengalaman di bidang pajak. Seorang mantan pejabat teras di lingkungan Dirjen Pajak justru menghasilkan dampak negatif terhadap penerimaan negara.

Menurut Dradjad, ia sudah banyak menemui teman-temannya di lingkungan Ditjen Pajak. Dari sana, ia mengetahui, ada demoralisasi dan demotivasi di kalangan aparat pajak. “Mereka bukannya memikirkan target, tapi sibuk berebut jabatan. Sekarang, setelah target pajak diturunkan, demoralisasi bisa jadi permanen,” katanya.

Darmin memang harus memperhatikan benar soal ancaman demoralisasi ini. Lebih dari itu, Darmin juga mesti mengingat ucapan Sri Mulyani ketika acara peresmian modernisasi administrasi pajak dulu itu. Ketika itu, Ibu Menteri sempat bilang, “Kalau gagal, berarti kompetensi pribadi Anda, Pak Darmin”.

Hardy R. Hermawan, Ahmad Pahingguan, Julianto, Priyanto Sukandar, dan Wisnu Arto Subari