Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah Penerbitan Surat Tergugat Nomor KEP-01085/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak, yang tidak disetujui Penggugat;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2b), Pasal 9 ayat (8f), Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (9), dan Pasal 15A ayat (2) UU PPN, pengkreditan faktur pajak atas faktur pajak yang diterbitkan sebelum tanggal NSFP tidak memenuhi ketentuan UU PPN;
bahwa Tergugat mempertahankan koreksi pada saat pemeriksaan atas Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan sebelum tanggal pemberitahuan NSFP karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
bahwa Tergugat berpendapat bahwa tidak terdapat ketidakbenaran dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
bahwa dalam persidangan Tergugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor S-380/PJ.07/2019 tanggal 21 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
KRONOLOGIS GUGATAN
No. | Tanggal | Uraian |
1 | 15 Desember 2015 | PT WLI membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.90848058 dengan lawan transaksi Penggugat. |
2 | 16 Desember 2015 | PT WLI membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.90848059 dengan lawan transaksi Penggugat. |
3 | 17 Desember 2015 | PT WLI membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.90848060 dengan lawan transaksi Penggugat. |
4 | 18 Desember 2015 | PT WLI membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.90848061 dan 010.003-15.90848048 dengan lawan transaksi Penggugat. |
5 | 21 Desember 2015 | PT WLI membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.90848049 dengan lawan transaksi Penggugat. |
6 | 21 Desember 2015 | PT PLN Kantor Pusat membuat Faktur Pajak Nomor 010.004-15.69072393 dengan lawan transaksi Penggugat. |
7 | 21 Desember 2015 | PT PLN Kantor Pusat membuat Faktur Pajak Nomor 010.004-15.16367755 dengan lawan transaksi Penggugat. |
8 | 25 Februari 2016 | Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Normal Masa Pajak Januari 2016 |
9 | 19 Agustus 2016 | Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Januari 2016 dan mengkreditkan Faktur Pajak yang menjadi sengketa sebagai Pajak Masukan |
10 | 24 Oktober 2016 | Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00590/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016 |
11 | 03 November 2016 | Pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Penggugat |
12 | 21 Agustus 2017 | Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) Nomor SPHP00311/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017 |
13 | 30 Agustus 2017 | Penggugat menyampaikan Tanggapan atas SPHP |
14 | 05 September 2017 | Tergugat membuat undangan Pembahasan Akhir |
15 | 07 September 2017 | Penggugat dan tergugat melakukan pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan |
16 | 19 September 2017 | Tergugat menerbitkan SKPKB PPN Nomor 00041/207/16/431/17 Masa Pajak Januari 2016 |
17 | 01 Maret 2018 | Penggugat mengajukan Permohonan Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b KUP melalui surat nomor 09/PSKP/SLI/II/18 tanggal 28 Februari 2018. Alasan permohonan pembatalan yaitu:
|
18 | 16 Juli 2018 | Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-1085/NKEB/WPJ.22/2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak |
19 | 14 Agustus 2018 | Penggugat mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1085/NKEB/WPJ.22/2018 melalui Surat Nomor 004/SKI/G/VII/2018 |
URAIAN TERGUGAT
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
- | Pasal 23 ayat (2) huruf c |
- | Pasal 23 ayat (2) huruf d |
- | Pasal 25 ayat (3a) |
- | Pasal 31 |
- | Pasal 32 ayat (2) |
- | Pasal 36 ayat (1) huruf b |
- | Pasal 36 (1c) |
- | Pasal 36 ayat (1d) |
- | Pasal 36 ayat (1e) |
- | Pasal 36 ayat (2) |
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
- | Pasal 4 ayat (1) huruf a |
- | Pasal 9 ayat (2) |
- | Pasal 9 ayat (2b) dan Penjelasannya |
- | Pasal 9 ayat (8) huruf f |
- | Pasal 9 ayat (9) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (5) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (9) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (8) |
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
- | Pasal 1 angka 4 |
- | Pasal 1 angka 5 |
- | Pasal 1 angka 7 |
- | Pasal 31 ayat (1) |
- | Pasal 31 ayat (3) |
- | Pasal 40 |
- | Pasal 41 ayat (1) |
- | Pasal 43 ayat (1) |
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
- | Pasal 38 ayat (1) |
- | Pasal 38 ayat (2) huruf b |
- | Pasal 38 ayat(3) |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (selanjutnya disebut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013)
- | Pasal 1 angka 5 |
- | Pasal 13 ayat (3) |
- | Pasal 16 ayat (8) |
- | Pasal 16 ayat (9) |
- | Pasal 38 ayat(4) |
Tanggapan Tergugat
1. | Pendapat Tergugat bahwa Jangka Waktu Pemeriksaan telah Dilewati Sehingga Surat Ketetapan Pajak harus Dibatalkan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Pendapat Tergugat bahwa Penggugat telah Melakukan Pembetulan SPT Masa PPN Dimana Tidak Melewati Batas Waktu 3 (Tiga) Bulan Dari Masa Pajak Yang Dibetulkan bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dinyatakan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dinyatakan, Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan. bahwa Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan lawan transaksi Penggugat selaku PKP Pembeli adalah sebagai berikut :
bahwa Penggugat melakukan pelaporan SPT Masa Pajak Oktober 2015 :
bahwa Penggugat tidak melakukan pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo melalui SPT PPN Normal Masa Pajak November 2015, SPT PPN Normal Masa Pajak Desember 2015, dan SPT PPN Normal Masa Pajak Januari 2016; bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Januari 2016 yang dilaporkan pada 19 Agustus 2016; bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (9) UU PPN, pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak November 2015, SPT PPN Normal Masa Pajak Desember 2015, dan paling lama melalui SPT PPN Normal Masa Pajak Januari 2016. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak Oktober 2015; bahwa Penggugat melakukan pelaporan SPT Masa Pajak Desember 2015 :
bahwa Penggugat tidak melakukan pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo melalui SPT PPN Normal Masa Pajak Januari 2016, SPT PPN Normal Masa Pajak Februari 2016, dan SPT PPN Normal Masa Pajak Maret 2016; bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Januari 2016 yang dilaporkan pada 19 Agustus 2016; bahwa berdasrkan ketentuan Pasal 9 ayat (9) UU PPN, pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak Januari 2016, SPT PPN Normal Masa Pajak Februari 2016, dan paling lama melalui SPT PPN Normal Masa Pajak Maret 2016. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak Desember 2015; bahwa koreksi positif Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan dan Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Pendapat Tergugat atas Pengajuan Permohonan Gugatan bahwa pada prinsipnya hanya dikenal 3 (tiga) upaya hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang tingkat penyelesaiannya ada pada kewenangan Direktur Jenderal Pajak, terdiri atas:
bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus (Peradilan Semu/Doleansi). Upaya hukum keberatan dikatakan sebagai upaya hukum yang utama, karena atas keputusan keberatan yang diterbitkan, masih dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak, dan selanjutnya dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, sesuai dengan sistem peradilan di sistem hukum nasional yang berlaku. Dengan perkataan lain, upaya hukum keberatan merupakan satu-satunya pintu pertama (Level 1) bagi Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak, untuk selanjutnya secara berjenjang dapat diajukan upaya hukum pada tingkat peradilan yang lebih tinggi hingga bermuara pada Mahkamah Agung (upaya hukum Peninjauan Kembali) sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku berdasarkan Konstitusi RI (UUD 1945); bahwa upaya hukum keberatan dan upaya hukum pengurangan/pembatalan pada dasarnya bukan merupakan pilihan. Apabila dapat untuk dipilih maka satu sengketa dapat ditempuh upaya hukum lebih dari satu upaya, tanpa ada kriteria yang membedakannya, hal ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum; bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak; bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP dikatakan sebagai upaya hukum istimewa, karena ketentuan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP tersebut pada dasarnya merupakan "extra ordinary clause" bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dalam tingkat I (peradilan semu/doleansi) yang masih merupakan kewenangan Fiskus/DJP, hanya dalam hal jalur utama untuk memasuki pintu peradilan doleansi untuk menguji kebenaran suatu Surat Ketetapan Pajak tersebut sudah tertutup, sehingga jalur upaya hukum untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak yang telah diputus dalam Surat Keputusan Keberatan tersebut pada tingkat peradilan yang sesungguhnya yang lebih tinggi (Banding ke Pengadilan Pajak dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung) menjadi tertutup; bahwa faktanya Penggugat tidak melakukan upaya hukum yang ideal/utama yaitu tidak mengajukan upaya hukum keberatan atas Surat Ketetapan Pajak aquo; bahwa Penggugat langsung melakukan upaya hukum khusus/istimewa yaitu pengurangan/ pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36); bahwa berdasarkan Pasal 36 UU KUP, dalam rangka memberikan keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; bahwa Keputusan Tergugat tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 karena permohonan Wajib Pajak, merupakan upaya hukum khusus. Sehingga Tergugat berpendapat proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku; |
KESIMPULAN DAN USUL
A. | Simpulan bahwa daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Wajib Pajak; bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan Tergugat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; bahwa kegiatan pemeriksaan dan penerbitan ketetapan perlu diatur agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional supaya tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang; bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan; bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak yang sama, dan dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak yang bersangkutan; bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus; bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak; bahwa Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; bahwa proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku; |
B. | Usul bahwa oleh karena itu, diusulkan kepada Majelis Hakim untuk menolak permohonan gugatan Penggugat dan tetap mempertahankan Keputusan Tergugat Nomor KEP-01085/NKEB/WPJ.22/ 2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak; |
bahwa yang dipersengketakan adalah Faktur Pajak dengan DPP Rp6.366.071.577,00, PPN Rp636.607.156,00;
bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 dimana Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbitkannya Hasil Pemeriksaan. Ternyata dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Nomor PEMB-00590/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016 dan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP-00311/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017 sudah melewati batas waktu 6 ( enam ) bulan;
bahwa Penggugat melakukan Pengkreditan Pajak Masukan melalui pembetulan SPM PPN pada bulan Januari 2016 tidak melewati 3 (tiga) bulan dari masa Faktur Pajak tanggal 19 Agustus 2015;
bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (2), Wajib Pajak Pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng, karena Wajib Pajak Pembeli telah membayar PPN tersebut kepada si Penjual;
bahwa dalam persidangan Penggugat menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor 006/SKI/KA G/I/20119 tanggal 18 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Kesimpulan Akhir:
1. | bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No 184/PMK.03/2015, dimana Pemeriksaan Lapangan dibidang perpajakan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterbikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; | ||||||||||||||||
2. | bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEMB 00589/WPJ.22/KP.0705/ RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016; | ||||||||||||||||
3. | bahwa Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP 00311/WPJ.22/KP.0705/RIK SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017; | ||||||||||||||||
4. | bahwa dari uraian di atas dimana dari saat diterbitkanya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan sudah melewati 6 (enam) bulan; | ||||||||||||||||
5. |
|
||||||||||||||||
6. | bahwa sesuai Surat Tanggapan Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II halaman 21 :
|
||||||||||||||||
7. | Menurut Penggugat : bahwa dari uraian nomor urut 6 di atas, seharusnya Tergugat menerbitkan STP dengan sanksi administrasi berupa denda 2% dari DPP sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 14;
|
Pemeriksaan Objek Gugatan
bahwa Majelis memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. | Upaya Hukum atas penerbitan surat ketetapan pajak Menimbang, bahwa Wajib Pajak yang tidak setuju baik formal maupun material atas penerbitan skp dapat mengajukan upaya hukum berupa:
Menimbang, bahwa UU KUP tidak mengatur upaya hukum mana yang terlebih dahulu harus dilakukan terlebih dahulu. Pembatasan upaya hukum hanya dilakukan untuk permohonan keberatan yaitu keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat ketetapan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu pengajuan keberatan, maka dianggap bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;
Menimbang, bahwa oleh karena itu untuk memberikan rasa keadilan bagi masayarat, penyusun UU KUP memberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum lain yang tidak dibatasi dengan jangka waktu yaitu melalui permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan/ pembatalan skp yang tidak benar;
|
||||||||||||||||
2. | Keputusan Berjenjang Pasal 23 ayat (2) huruf c U U KUP Menimbang, bahwa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan
"Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak";Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP, keputusan yg dapat digugat adalah keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari suatu keputusan lainnya (besickhing atas besickhing atau keputusan berjenjang). Dengan demikian, harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan DJP mendahului keputusan yang digugat dan bukan suatu keputusan yang berdiri sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang mengatur :
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
Menimbang, bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 yang membatalkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, maka menurut Majelis keputusan Pasal 36 ayat (1) UU KUP dikategorikan sebagai Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan;
Menimbang, bahwa Surat Gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Pengadilan Pajak atas keputusan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar, dapat menyatakan alasan gugatan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
3. | Ruang Lingkup Pemeriksaan Terkait Pasal 36 Ayat (1) Huruf b UU KUP Menimbang, bahwa terkait keputusan pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
bahwa oleh karena itu Ruang Lingkup Pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak seharusnya tidak dibatasi hanya pemeriksaan prosedural formal penerbitan surat keputusan pajak akan tetapi juga meliputi pemeriksaan material terkait perhitungan jumlah pajak terutang; bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b hanya mempersoal prosedural saja, karena secara jelas terkait sengketa prosedural upaya hukumnya diatur tersendiri dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP yaitu ….. penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak bahwa Kewenangan pengadilan mengadili berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan....... Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, Wajib Pajak dapat langsung mengajukan gugatan atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ke Pengadilan Pajak tanpa harus melalui permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP terlebih dahulu;
|
bahwa pengaturan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, diawali dengan frasa “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak.“ Maksud dari frasa ini adalah Pasal 36 dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat karena inisiatif sendiri (jabatan), atau permohonan wajib pajak (“bersifat permohonan”). Permohonan Wajib Pajak, akan menimbulkan akibat hukum bagi Direktur Jenderal Pajak karena apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan (Pasal 36 ayat (1d) UU KUP);
a. | Pasal 25 ayat (1) dan 26 UU KUP, yaitu apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pernotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya. Apabila tidak sependapat dengan keputusan DJP dapat mengajulan Banding ke Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUKUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
b. | Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan keputusan DJP, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
c. | Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan tidak sesuai dengan prosedur, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
Pasal 26A ayat (4) UU KUP
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
bahwa oleh karena pada proses keberatan tidak diberikan kewenangan DJP untuk memproses pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, maka sangat beralasan apabila Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap yang bersifat ultimum remidium administratif untuk memproses permohonan tersebut terkait materi atau isi surat ketetapan pajak;
bahwa frasa “.....hanya dapat diajukan ...” , menurut Majelis bukan merupakan keharusan bagi Penggugat untuk mengajukan 2 (dua Kali). Hal ini sesuai arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan dengan mengacu pada kebijakan pokok antara lain penyederhanakan prosedur administrasi perpajakan (Penjelasan Ketentuan Umum KUP);
Pemeriksaan prosedur Pemeriksaan dan Penerbitan SKP
bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015, mengatur bahwa Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbikannya Hasil Pemeriksaan;
bahwa ketentuan yang mengatur daluwarsa penerbitan Surat Ketetapan diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. | bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 antara lain mengatur: Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
|
||||||||||
b. | bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
|
||||||||||
c. | bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; |
||||||||||
d. | bahwa berdasarkan Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak; |
||||||||||
e. | bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan; |
||||||||||
f. | bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir; |
||||||||||
g. | bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; |
||||||||||
h. | bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai; |
Pemeriksaan Materi
Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp636.607.156,00;
bahwa berdasarkan pemeriksaan atas bukti-bukti dan keterangan yang disampaikan Para Pihak di persidangan serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, Majelis memberikan pertimbangan dan pendapat sebagai berikut:
Menimbang, bahwa menurut Tergugat Faktur Pajak dengan rincian sebagai berikut :
No. | Nama Wajib Pajak | Nomor Faktur | Tanggal | DPP (Rp) | PPN (Rp) |
1 | PT WLI | 010.003-15.90848048 | 18/12/2015 | 1.216.106.402 | 121.610.640 |
2 | PT WLI | 010.003-15.90848049 | 21/12/2015 | 1.332.637.483 | 133.263.748 |
3 | PT WLI | 010.003-15.90848058 | 15/12/2015 | 519.665.695 | 51.966.569 |
4 | PT WLI | 010.003-15.90848059 | 16/12/2015 | 2.030.178.303 | 203.017.830 |
5 | PT WLI | 010.003-15.90848060 | 17/12/2015 | 1.033.835.984 | 103.383.598 |
6 | PT WLI | 010.003-15.90848061 | 18/12/2015 | 206.152.710 | 20.615.271 |
7 | PT PLN Kantor Pusat | 010.004-15.16367755 | 22/10/2015 | 14.025.000 | 1.402.500 |
8 | PT PLN Kantor Pusat | 010.004-15.69072393 | 21/12/2015 | 13.470.000 | 1.347.000 |
Jumlah | 6.366.071.577 | 636.607.156 |
merupakan Pajak Masukan pada Masa Pajak Oktober 2015 dan Desember 2015, sehingga Pengkreditan Pajak Masukan tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan;
bahwa dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Namun demikian, Faktur Pajak nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 tersebut dilakukan pengkreditan Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2015;
bahwa atas Faktur Pajak dengan rincian sebagai berikut :
No. | Nama Wajib Pajak | Nomor Faktur | Tanggal | DPP (Rp) | PPN (Rp) |
1 | PT WLI | 010.003-15.90848048 | 18/12/2015 | 1.216.106.402 | 121.610.640 |
2 | PT WLI | 010.003-15.90848049 | 21/12/2015 | 1.332.637.483 | 133.263.748 |
3 | PT WLI | 010.003-15.90848058 | 15/12/2015 | 519.665.695 | 51.966.569 |
4 | PT WLI | 010.003-15.90848059 | 16/12/2015 | 2.030.178.303 | 203.017.830 |
5 | PT WLI | 010.003-15.90848060 | 17/12/2015 | 1.033.835.984 | 103.383.598 |
6 | PT WLI | 010.003-15.90848061 | 18/12/2015 | 206.152.710 | 20.615.271 |
7 | PT PLN Kantor Pusat | 010.004-15.69072393 | 21/12/2015 | 13.470.000 | 1.347.000 |
Jumlah | 6.352.046.577 | 635.204.656 |
Faktur Pajak Masukan tersebut dilakukan pengkreditan Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2016;
bahwa berdasarkan uraian tersebut, Penggugat telah mengkreditkan Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN bukan pada Masa Pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN;
bahwa berdasarkan bukti dan keterangan yang disampaikan para pihak di persidangan, terdapat fakta-fakta sebagai berikut
No. | Nama Wajib Pajak | Nomor Faktur | Tanggal | DPP (Rp) | PPN (Rp) |
1 | PT WLI | 010.003-15.90848048 | 18/12/2015 | 1.216.106.402 | 121.610.640 |
2 | PT WLI | 010.003-15.90848049 | 21/12/2015 | 1.332.637.483 | 133.263.748 |
3 | PT WLI | 010.003-15.90848058 | 15/12/2015 | 519.665.695 | 51.966.569 |
4 | PT WLI | 010.003-15.90848059 | 16/12/2015 | 2.030.178.303 | 203.017.830 |
5 | PT WLI | 010.003-15.90848060 | 17/12/2015 | 1.033.835.984 | 103.383.598 |
6 | PT WLI | 010.003-15.90848061 | 18/12/2015 | 206.152.710 | 20.615.271 |
7 | PT PLN Kantor Pusat | 010.004-15.16367755 | 22/10/2015 | 14.025.000 | 1.402.500 |
8 | PT PLN Kantor Pusat | 010.004-15.69072393 | 21/12/2015 | 13.470.000 | 1.347.000 |
Jumlah | 6.366.071.577 | 636.607.156 |
bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo sebesar Rp636.607.156,00 dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Januari 2016 yang dilaporkan pada tanggal 19 Agustus 2016;
bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk selanjutnya disebut UU PPN
• | Pasal 9 ayat (2) UU PPN: Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama |
• | Pasal 9 ayat (9) UU PPN: Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 .(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Penjelasan Pasal 9 ayat 9 UU PPN: Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan. Contoh: Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010. |
• | bahwa Faktur Pajak nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 atas nama PT PLN Kantor Pusat dengan nilai PPN sebesar Rp1.402.500,00 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Oktober 2015 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Januari 2016; | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | bahwa oleh karena jangka waktu 3 bulan tersebut telah dilampaui, Pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan yaitu untuk Masa Oktober 2015 sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (9) UU PPN. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | bahwa Penggugat mengkerditkan Faktur Pajak nomor 010.004-15.16367755 tanggal 22 Oktober 2015 melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2016 sehingga Penggugat telah mengkreditkan Pajak Masukan tersebut melalui pembetulan SPT Masa PPN bukan pada Masa Pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN. Dengan demikian koreksi positif Tergugat atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang berlaku | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | bahwa Faktur Pajak dengan rincian sebagai berikut :
dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Desember 2015 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Maret 2016; |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | bahwa oleh karena jangka waktu 3 bulan tersebut telah dilampaui, Pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan yaitu untuk Masa Desember 2015 sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (9) UU PPN. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
• | bahwa Penggugat mengkreditkan Faktur Pajak a quo sebesar Rp.635.204.656,00 melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2016 sehingga Penggugat telah mengkreditkan Pajak Masukan tersebut melalui pembetulan SPT Masa PPN bukan pada Masa Pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN. Dengan demikian koreksi positif Tergugat atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang berlaku; |
bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
bahwa Penjelasan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan : “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis berkesimpulan sebagai berikut:
1. | Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp7.959.606,00, tidak dapat dipertahankan; | ||||||
2. | Perhitungan Pajak Masukan menjadi sebagai berikut:
|
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas keterangan dan bukti-bukti dalam persidangan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menolak gugatan Penggugat;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan peraturan perundangundangan serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Menolak gugatan Pengugat terhadap Keputusan Tergugat Nomor : KEP-01085/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak, atas nama : Penggugat, dan menetapkan PPN Terutang untuk Masa Pajak Januari 2016 menjadi sebagai berikut :
Dasar Pengenaan Pajak | Rp. 24.275.498.760,00 |
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri | Rp. 2.388.722.914,00 |
Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan | Rp. 18.639.210.966,00 |
Jumlah penghitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang/(lebih) bayar | Rp.(16.250.488.052,00) |
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan | Rp. 16.887.095.208,00 |
Pajak Pertambahan Nilai yang tidak/kurang (lebih) dibayar | Rp. 636.607.156,00 |
Sanksi administrasi kenaikan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang KUP | Rp. 636.607.156,00 |
Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar | Rp. 1.273.214.312,00 |
Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan musyawarah Majelis XVA Pengadilan Pajak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 21 Januari 2019, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. | sebagai Hakim Ketua, |
RSR, S.E., MAFIS, | sebagai Hakim Anggota, |
AS, S.H., M.E. | sebagai Hakim Anggota, |
Dra. IF, M.M. | sebagai Panitera Pengganti. |
Putusan Nomor: PUT-006648.99/2018/PP/M.XVA Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 01 April 2019 oleh Hakim Ketua Majelis XVA Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: PEN-052/PP/Ucp/2019 tanggal 28 Maret 2019 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. | sebagai Hakim Ketua, |
RSR, S.E., MAFIS, | sebagai Hakim Anggota, |
AS, S.H., M.E., | sebagai Hakim Anggota, |
Yang dibantu oleh: AAPN |
sebagai Panitera Pengganti. |
yang dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Tergugat dan dihadiri oleh Penggugat.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.