Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-006647.99
Pokok Sengketa:

bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah Penerbitan Surat Tergugat Nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak, yang tidak disetujui Penggugat;

Menurut Tergugat:

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2b), Pasal 9 ayat (8f), Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (9), dan Pasal 15A ayat (2) UU PPN, pengkreditan faktur pajak atas faktur pajak yang diterbitkan sebelum tanggal NSFP tidak memenuhi ketentuan UU PPN;

bahwa Tergugat mempertahankan koreksi pada saat pemeriksaan atas Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan sebelum tanggal pemberitahuan NSFP karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

bahwa Tergugat berpendapat bahwa tidak terdapat ketidakbenaran dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

bahwa dalam persidangan Tergugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor S-379/PJ.07/2019 tanggal 21 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

KRONOLOGIS GUGATAN

No. Tanggal Uraian
1 19 Agustus 2015 PT IAA (Persero) membuat Faktur Pajak Nomor 010.003-15.41091456 dengan lawan transaksi Penggugat.
2 30 November 2015 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Normal Masa Pajak Oktober 2015
3 29 Februari 2015 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Oktober 2015 dan mengkreditkan Faktur Pajak Nomor 010.003-15.41091456 sebagai Pajak Masukan
4 28 April 2016 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Pembetulan ke-2 Masa Pajak Oktober 2015
5 25 Juli 2016 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Pembetulan ke-3 Masa Pajak Oktober 2015
6 24 Oktober 2017 Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00589/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016
7 03 November 2016 Pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Penggugat
8 25 Juli 2017 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Pembetulan ke-3 Masa Pajak Oktober 2015 dan mengkreditkan Faktur Pajak Nomor 010.003-15.41091456 sebagai Pajak Masukan
9 21 Agustus 2017 Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) Nomor SPHP00310/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017
10 30 Agustus 2017 Penggugat menyampaikan Tanggapan atas SPHP
11 05 September 2017 Tergugat membuat undangan Pembahasan Akhir
12 20 September 2017 Tergugat menerbitkan SKPKB PPN Nomor 00146/207/15/431/17 Masa Pajak Oktober 2015
13 01 Maret 2018 Penggugat mengajukan Permohonan Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf B KUP melalui surat nomor 01/PSKP/SLI/II/18 tanggal 28 Februari 2018. Alasan permohonan pembatalan yaitu:
  1. Jangka waktu pengujian melebihi 6 (enam) bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Penggugat sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Penggugat;
  2. Penggugat telah melaporkan Faktur Pajak Nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 melalui pembetulan ke-1 SPT Masa PPN Masa Pajak Oktober 2015;
14 16 Juli 2018 Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-1084/NKEB/WPJ.22/2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak
15 21 Agustus 2018 Penggugat mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1084/NKEB/WPJ.22/2018 melalui Surat Nomor 003/SKI/G/VII/2018


URAIAN TERGUGAT

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

- Pasal 23 ayat (2) huruf c
- Pasal 23 ayat (2) huruf d
- Pasal 25 ayat (3a)
- Pasal 31
- Pasal 32 ayat (2)
- Pasal 36 ayat (1) huruf b
- Pasal 36 (1c)
- Pasal 36 ayat (1d)
- Pasal 36 ayat (1e)
- Pasal 36 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

- Pasal 4 ayat (1) huruf a
- Pasal 9 ayat (2)
- Pasal 9 ayat (2b) dan Penjelasannya
- Pasal 9 ayat (8) huruf f
- Pasal 9 ayat (9) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (5) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (9) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (8)


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

- Pasal 1 angka 4
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 1 angka 7
- Pasal 31 ayat (1)
- Pasal 31 ayat (3)
- Pasal 40
- Pasal 41 ayat (1)
- Pasal 43 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

- Pasal 38 ayat (1)
- Pasal 38 ayat (2) huruf b
- Pasal 38 ayat(3)


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (selanjutnya disebut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013)

- Pasal 1 angka 5
- Pasal 13 ayat (3)
- Pasal 16 ayat (8)
- Pasal 16 ayat (9)
- Pasal 38 ayat(4)


Tanggapan Tergugat

1. Pendapat Tergugat bahwa Jangka Waktu Pemeriksaan telah Dilewati Sehingga Surat Ketetapan Pajak harus Dibatalkan
a. Daluwarsa Penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Bukan Daluwarsa Pemeriksaan Pajak

bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
a) bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b) bahwa wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal dibatasi sampai dengan kurun 5 (lima tahun);
c) bahwa diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan, dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang;
d) bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan;
e) bahwa besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
a) bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
b) bahwa untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak;
c) bahwa apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

bahwa berdasarkan Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 17A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap;

batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan;

bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir;

bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur daluwarsa penetapan secara pasti atas wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dapat diketahui Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang dan berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui kepastian kebenaran data lain yang belum dipenuhi kewajiban pajak oleh Wajib Pajak, sehingga atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

bahwa daluwarsa yang diatur dalam undang-undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Penggugat;

bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00146/207/15/431/17 untuk Masa Pajak Oktober 2015 diterbitkan pada tanggal 20 September 2017;

bahwa daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak Oktober 2015 yaitu 31 Desember 2019, sehingga Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00146/207/15/431/17 yang diterbitkan tanggal 20 September 2017 belum melampaui daluwarsa penetapan;

b. bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015 bersifat manajerial

bahwa berdasarkan UU KUP, Tergugat diberikan wewenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dengan jangka waktu penerbitan:
a) bahwa batas waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah 5 (lima) tahun, jangka waktu dihitung dari penyampaian SPT sampai dengan 5 (lima) tahun sejak masa pajak atau tahun pajak berakhir, dengan rincian:
- Untuk PPh Badan jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan;
- Untuk PPh Orang Pribadi jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 9 (sembilan) bulan;
- Untuk PPh Pasal 21/26, 23/26, jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
- Untuk PPN jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
b) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB untuk SPT Lengkap tanpa permohonan pengembalian adalah 5 (lima) tahun, jangka waktu dihitung dari penyampaian SPT sampai dengan 5 (lima) tahun sejak masa pajak atau tahun pajak berakhir, dengan rincian:
- Untuk PPh Badan jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan;
- Untuk PPh Orang Pribadi jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 9 (sembilan) bulan;
- Untuk PPh Pasal 21/26, 23/26, jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
- Untuk PPN jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
c) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh OP disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah 9 (sembilan) bulan;
d) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh Badan disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah 8 (delapan) bulan;

bahwa dalam rangka penerbitan ketetapan pajak khususnya penerbitan SKPKB harus melalui tindakan pemeriksaan terlebih dahulu, sehingga pemeriksaan dan penerbitan ketetapan pajak merupakan satu rangkaian tindakan penetapan pajak;

bahwa hal yang paling krusial pada jangka waktu yang diamanahkan Undang-Undang yaitu jangka waktu penetapan untuk penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh Badan disertai dengan permohonan selama 8 (delapan) bulan, dan pula atas keterlambatan penerbitan Tergugat diharuskan memberikan imbalan bunga sebesar 2 (dua) persen per bulan;

bahwa untuk itu diperlukan pengaturan kegiatan pemeriksaan dan penerbitan agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional sehingga tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang;

c. Pendapat Tergugat atas Surat Ketetapan Pajak yang dapat dibatalkan

bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
  2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak;
bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 jo Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.03/2013 dinyatakan, Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan;

bahwa berdasarkan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 dinyatakan:
(1) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang.
(2) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak berdasarkan pada:
  1. hasil Verifikasi;
  2. hasil Pemeriksaan;
  3. hasil Pemeriksaan ulang; atau
  4. hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang.
(3) Termasuk dalam pengertian surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.

bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00146/207/15/431/17 tanggal 20 September 2017 Masa Pajak Oktober 2015 diterbitkan dengan melalui penyampaian SPHP pada tanggal 21 Agustus 2017 dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan pada tanggal 7 September 2017;

bahwa daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak Oktober 2015 yaitu 31 Oktober 2020, sehingga Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00146/207/15/431/17 yang diterbitkan tanggal 20 September 2017 belum melampaui daluwarsa penetapan;

bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan;

2. Pendapat Tergugat bahwa Penggugat telah Melakukan Pembetulan SPT Masa PPN Dimana Tidak Melewati Batas Waktu 3 (Tiga) Bulan Dari Masa Pajak Yang Dibetulkan

bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dinyatakan, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 dinyatakan, Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.

bahwa pada tanggal 19 Agustus 2015 PT Indonesia Asahan Aluminium selaku Pengusaha kena Pajak (PKP) penjual menerbitkan Faktur Pajak Nomor 010.003-15.41091456 dengan lawan transaksi Penggugat sebagai PKP pembeli dengan PPN terutang sebesar Rp.339.539.280,00;

bahwa Penggugat melakukan pelaporan SPT Masa Pajak Agustus 2015 :
  1. SPT PPN Normal Masa Pajak Agustus 2015 dilaporkan pada tanggal 30 September 2015;
  2. SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Agustus 2015 dilaporkan pada tanggal 31 Desember 2015;
  3. SPT PPN Pembetulan ke-2 Masa Pajak Agustus 2015 dilaporkan pada tanggal 29 Februari 2016;
  4. SPT PPN Pembetulan ke-3 Masa Pajak Agustus 2015 dilaporkan pada tanggal 29 April 2016;
bahwa melalui SPT PPN Masa Pajak Agustus 2015 tersebut, Penggugat tidak melakukan pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015;

bahwa Penggugat tidak melakukan pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo melalui SPT PPN Normal Masa Pajak September 2015, SPT PPN Normal Masa Pajak Oktober 2015, dan SPT PPN Normal Masa Pajak November 2015;

bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Oktober 2015 yang dilaporkan pada 29 Februari 2016;

bahwa berdasrkan ketentuan Pasal 9 ayat (9) UU PPN, pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak September 2015, SPT PPN Normal Masa Pajak Oktober 2015, dan paling lama melalui SPT PPN Normal Masa Pajak November 2015. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak Agustus 2015;

bahwa koreksi positif Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan dan Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

3. Pendapat Tergugat atas Pengajuan Permohonan Gugatan

bahwa pada prinsipnya hanya dikenal 3 (tiga) upaya hukum berdasarkan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan yang tingkat penyelesaiannya ada pada kewenangan Direktur Jenderal Pajak, terdiri atas:
1) Pasal 16, upaya hukum pembetulan apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya;
2) Pasal 25, upaya hukum keberatan apabila terdapat ketidaksetujuan atas materi atau isi dari Surat Ketetapan Pajak. Bahwa atas keputusan keberatan dapat diajukan upaya hukum banding (Pasal 27 UU KUP) dan atas keputusan banding dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali (Pasal 77 UU Pengadilan Pajak);
3) Pasal 36, upaya hukum khusus/istimewa yaitu Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus (Peradilan Semu/Doleansi). Upaya hukum keberatan dikatakan sebagai upaya hukum yang utama, karena atas keputusan keberatan yang diterbitkan, masih dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak, dan selanjutnya dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, sesuai dengan sistem peradilan di sistem hukum nasional yang berlaku. Dengan perkataan lain, upaya hukum keberatan merupakan satu-satunya pintu pertama (Level 1) bagi Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak, untuk selanjutnya secara berjenjang dapat diajukan upaya hukum pada tingkat peradilan yang lebih tinggi hingga bermuara pada Mahkamah Agung (upaya hukum Peninjauan Kembali) sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku berdasarkan Konstitusi RI (UUD 1945);

bahwa upaya hukum keberatan dan upaya hukum pengurangan/pembatalan pada dasarnya bukan merupakan pilihan. Apabila dapat untuk dipilih maka satu sengketa dapat ditempuh upaya hukum lebih dari satu upaya, tanpa ada kriteria yang membedakannya, hal ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum;

bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak;

bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP dikatakan sebagai upaya hukum istimewa, karena ketentuan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP tersebut pada dasarnya merupakan "extra ordinary clause" bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dalam tingkat I (peradilan semu/doleansi) yang masih merupakan kewenangan Fiskus/DJP, hanya dalam hal jalur utama untuk memasuki pintu peradilan doleansi untuk menguji kebenaran suatu Surat Ketetapan Pajak tersebut sudah tertutup, sehingga jalur upaya hukum untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak yang telah diputus dalam Surat Keputusan Keberatan tersebut pada tingkat peradilan yang sesungguhnya yang lebih tinggi (Banding ke Pengadilan Pajak dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung) menjadi tertutup;

bahwa faktanya Penggugat tidak melakukan upaya hukum yang ideal/utama yaitu tidak mengajukan upaya hukum keberatan atas Surat Ketetapan Pajak aquo;

bahwa Penggugat langsung melakukan upaya hukum khusus/istimewa yaitu pengurangan/ pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36);

bahwa berdasarkan Pasal 36 UU KUP, dalam rangka memberikan keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa Keputusan Tergugat tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 karena permohonan Wajib Pajak, merupakan upaya hukum khusus. Sehingga Tergugat berpendapat proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku;


KESIMPULAN DAN USUL

A. Simpulan

bahwa daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan Tergugat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

bahwa kegiatan pemeriksaan dan penerbitan ketetapan perlu diatur agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional supaya tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang;

bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan;

bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan a quo dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak September 2015, SPT PPN Normal Masa Pajak Oktober 2015, dan paling lama melalui SPT PPN Normal Masa Pajak November 2015. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak Agustus 2015;

bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus;

bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak;

bahwa Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku;

B. Usul

bahwa oleh karena itu, diusulkan kepada Majelis Hakim untuk menolak permohonan gugatan Penggugat dan tetap mempertahankan Keputusan Tergugat Nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/ 2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak;

Menurut Penggugat:

bahwa yang dipersengketakan adalah Faktur Pajak yang diterbitkan oleh lawan taransaksi, yaitu PT IAA sebagai Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Faktur Pajak 010.000- 15.41091456 tanggal Faktur Pajak 19 Agustus 2015 DPP Rp3.395.392.800,00, PPN Rp339.539.280,00;

bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 dimana Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbitkannya Hasil Pemeriksaan. Ternyata dari Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Nomor PEMB00589/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016 dan Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP-00310/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017 sudah melewati batas waktu 6 ( enam ) bulan;

bahwa Penggugat melakukan Pengkreditan Pajak Masukan melalui pembetulan SPM PPN pada bulan Oktober 2015 tidak melewati 3 (tiga) bulan dari masa Faktur Pajak tanggal 19 Agustus 2015;

bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (2), Wajib Pajak Pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng, karena Wajib Pajak Pembeli telah membayar PPN tersebut kepada si Penjual;

bahwa dalam persidangan Penggugat menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor 005/SKI/KA G/I/20119 tanggal 18 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan Akhir:

1. bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No 184/PMK.03/2015, dimana Pemeriksaan Lapangan dibidang perpajakan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterbikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
2. bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEMB 00589/WPJ.22/KP.0705/ RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016;
3. bahwa Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP 00310/WPJ.22/KP.0705/RIK SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017;
4. bahwa dari uraian di atas dimana dari saat diterbitkanya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan sudah melewati 6 (enam) bulan;
5. bahwa sesuai Surat Tanggapan Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II halaman 14 nomor 14 : Penggugat melaporkan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 sebesar Rp.339.539.280,00 atas nama PT Indonesia Asahan Aluminium di Form B2 Pembetulan ke-1, SPT Masa PPN Masa Pajak Oktober 2015 yang dilaporkan Penggugat pada tanggal 29 Februari 2016 yaitu melalui Pembetulan SPT Masa PPN tidak pada Masa Pajak yang bersangkutan (Pembetulan ke-1 dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan);

bahwa untuk Faktur Pajak yang diterbitkan pada Masa Pajak Agustus 2015 seharusnya Penggugat melaporkannya dengan melakukan pembetulan di SPT Masa PPN Masa Pajak Agustus 2015 bukan di pembetulan ke-1 SPT Masa PPN Masa Pajak Oktober 201. Dengan demikian Penggugat melaporkan Faktur Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN tidak pada Masa Pajak yang bersangkutan;

6. Menurut Penggugat :
bahwa dari uraian nomor urut 5 di atas, seharusnya Tergugat menerbitkan STP dengan sanksi administrasi berupa denda 2% dari DPP sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Pasal 14;
Ayat (1) : Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
Huruf (f) Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.
Ayat (4) : Terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (f) selain Wajib Pajak menyetorkan pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.

Menurut Majelis:

Pemeriksaan Objek Gugatan

Menimbang, bahwa dalam Surat Tanggapan, Tergugat menyatakan keputusan yang diajukan gugatan bukan merupakan objek yang dapat diajukan gugatan. Permohonan gugatan yang diajukan oleh Penggugat atas Keputusan Tergugat nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 yang diajukan Penggugat melalui surat nomor 003/SKI/G/VII/2018 tanggal 14 Agustus 2018 tidak sesuai dengan landasan hukum yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa gugatan diajukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Keputusan Tergugat nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b karena Permohonan Wajib Pajak merupakan keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar yang diajukan pertama kali oleh Penggugat, sesuai dengan Pasal 36 ayat (1a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Oleh karena itu, pengajuan gugatan atas Keputusan Tergugat nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 adalah prematur, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP. Oleh karena itu, Tergugat berpendapat Keputusan Tergugat nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tersebut bukan merupakan obyek gugatan sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP;


bahwa Majelis memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Upaya Hukum atas penerbitan surat ketetapan pajak

Menimbang, bahwa Wajib Pajak yang tidak setuju baik formal maupun material atas penerbitan skp dapat mengajukan upaya hukum berupa:
a. bahwa permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 16 UU KUP);

bahwa pengertian "membetulkan" antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapus-kan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Kesalahan atau kekeliruan yang dapat dibetulkan bersifat manusiawi yaitu sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Ruang lingkup pembetulan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
1) kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
2) kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
3) kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak;

b. Permohonan keberatan ke Direktur Jenderal Pajak, terkait materi/isi ketetapan pajak (Pasal 25 UU KUP).

Materi atau isi dari ketetapan pajak meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak.

c. Permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 ayat (1) huruf b)

Berlandaskan unsur keadilan Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan material terpenuhi.

d. Permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak (Pasal 36 ayat (1) huruf d).
e. Mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak, terkait penerbitan skp yang tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP )

Menimbang, bahwa UU KUP tidak mengatur upaya hukum mana yang terlebih dahulu harus dilakukan terlebih dahulu. Pembatasan upaya hukum hanya dilakukan untuk permohonan keberatan yaitu keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat ketetapan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu pengajuan keberatan, maka dianggap bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;

Menimbang, bahwa oleh karena itu untuk memberikan rasa keadilan bagi masayarat, penyusun UU KUP memberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum lain yang tidak dibatasi dengan jangka waktu yaitu melalui permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan/ pembatalan skp yang tidak benar;

2. Keputusan Berjenjang Pasal 23 ayat (2) huruf c U U KUP

Menimbang, bahwa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan
"Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak";

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP, keputusan yg dapat digugat adalah keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari suatu keputusan lainnya (besickhing atas besickhing atau keputusan berjenjang). Dengan demikian, harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan DJP mendahului keputusan yang digugat dan bukan suatu keputusan yang berdiri sendiri;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang mengatur :
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
  1. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  2. Surat Keputusan Pembetulan;
  3. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  4. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
  5. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  6. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
  7. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
  8. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
bahwa atas ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah dilakukan Judisial review dan dinyatakan tidak mengikat dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 tentang Uji Materiil terhadap pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

Menimbang, bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 yang membatalkan ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, maka menurut Majelis keputusan Pasal 36 ayat (1) UU KUP dikategorikan sebagai Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan;

Menimbang, bahwa Surat Gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Pengadilan Pajak atas keputusan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar, dapat menyatakan alasan gugatan sebagai berikut:
1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak.
2) Kesalahan Prosedur Penerbitan surat ketetapan pajak

bahwa surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan. Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur (Pasal 13 ayat (3) PMK-8/PMK.03/2013);

3) Kesalahan dalam menetapkan jumlah pajak terutang;

bahwa Penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU KUP, mengatur : Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

bahwa Pasal 13 ayat (1) dan (2) PMK-8/PMK.03/2013 pada pokoknya mengatur:
Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang tidak benar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP yang meliputi surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar.

bahwa oleh karena itu yang dimaksud dengan “kesalahan dalam menetapkan jumlah pajak terutang” adalah kesalahan dalam hal menghitung jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar oleh Tergugat yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar merupakan isi/materi ketetapan pajak;

3. Ruang Lingkup Pemeriksaan Terkait Pasal 36 Ayat (1) Huruf b UU KUP

Menimbang, bahwa terkait keputusan pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Surat ketetapan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan adalah surat ketetapan pajak yang tidak benar;
2) Pembatalan surat ketetapan pajak dengan memperhatikan unsur keadilan meskipun persyaratan material terpenuhi;
3) Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar;
4) Surat ketetapan pajak yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan;

bahwa oleh karena itu Ruang Lingkup Pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak seharusnya tidak dibatasi hanya pemeriksaan prosedural formal penerbitan surat keputusan pajak akan tetapi juga meliputi pemeriksaan material terkait perhitungan jumlah pajak terutang;

bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b hanya mempersoal prosedural saja, karena secara jelas terkait sengketa prosedural upaya hukumnya diatur tersendiri dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP yaitu
….. penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak

bahwa Kewenangan pengadilan mengadili berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan.......
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, Wajib Pajak dapat langsung mengajukan gugatan atas penerbitan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ke Pengadilan Pajak tanpa harus melalui permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP terlebih dahulu;


bahwa pengaturan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, diawali dengan frasa “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak.“ Maksud dari frasa ini adalah Pasal 36 dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat karena inisiatif sendiri (jabatan), atau permohonan wajib pajak (“bersifat permohonan”). Permohonan Wajib Pajak, akan menimbulkan akibat hukum bagi Direktur Jenderal Pajak karena apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan (Pasal 36 ayat (1d) UU KUP);

Menimbang, bahwa hal ini sejalan dengan upaya hukum keberatan dan banding sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 25 UU KUP, Pasal 25 UU KUP yang memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak dan kewajiban Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) UU KUP yaitu apabila dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan;

Menimbang, bahwa dengan demikian upaya hukum atas suatu SKP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dapat melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam :
a. Pasal 25 ayat (1) dan 26 UU KUP, yaitu apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pernotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya. Apabila tidak sependapat dengan keputusan DJP dapat mengajulan Banding ke Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUKUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;
b. Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan keputusan DJP, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;
c. Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan tidak sesuai dengan prosedur, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;

Menimbang, bahwa dengan demikian kedudukan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap Pasal 25 UU KUP adalah bersifat ultimum remidium administratif yaitu merupakan upaya administrasi terakhir bagi Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1a) UU KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali. Apabila hanya dikaitkan dengan prosedur, maka tidak sesuai dengan semangat pemberian kesempatan sampai 2 kali yang pada dasarnya memberi kesempatan kepada Wajib Pajak apabila ditemukan data/dokumen atau peraturan perpajak yang dapat menguatkan dalilnya dan membuktikan bahwa SKP tidak benar;


Pasal 26A ayat (4) UU KUP
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

bahwa oleh karena pada proses keberatan tidak diberikan kewenangan DJP untuk memproses pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, maka sangat beralasan apabila Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap yang bersifat ultimum remidium administratif untuk memproses permohonan tersebut terkait materi atau isi surat ketetapan pajak;

Menimbang, bahwa Pasal 36 ayat (1a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk selanjutnya disebut UU KUP, mengatur:
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.


bahwa frasa “.....hanya dapat diajukan ...” , menurut Majelis bukan merupakan keharusan bagi Penggugat untuk mengajukan 2 (dua Kali). Hal ini sesuai arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan dengan mengacu pada kebijakan pokok antara lain penyederhanakan prosedur administrasi perpajakan (Penjelasan Ketentuan Umum KUP);

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan pengajuan gugatan atas Keputusan Tergugat nomor KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tidak prematur dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga merupakan sengketa pajak yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak dan Majelis berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa a quo;


Pemeriksaan prosedur Pemeriksaan dan Penerbitan SKP

Menimbang, dalil penggugat yang menyatakan Jangka waktu pengujian melebihi 6 (enam) bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Penggugat sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Penggugat;


bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015, mengatur bahwa Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbikannya Hasil Pemeriksaan;

bahwa ketentuan yang mengatur daluwarsa penerbitan Surat Ketetapan diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 antara lain mengatur:
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
  5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
b. bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah Jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksudpada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
c. bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
d. bahwa berdasarkan Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak;
e. bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan;
f. bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir;
g. bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
h. bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

Menimbang, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berpendapat Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 merupakan kebijakan Kementerian Keuangan dalam rangka mengukur kinerja Tergugat dalam menyelesaikan pemeriksaan pajak yang bersifat manajerial. Jangka waktu pemeriksaan paling lama 6 (enam) bulan bukan merupakan penambahan norma hukum yang dapat membatalkan keputusan Tergugat. Daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah terkait jangka waktu penerbitan surat ketetapan pajak dan bukan pada jangka waktu penyelesaian pemeriksaan pajak;


Pemeriksaan Materi

Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp339.539.280,00;

Menimbang, bahwa berdasarkan pokok sengketa sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berpendapat sengketa a quo adalah sengketa yuridis terkait dengan pengkreditan Faktur Pajak pada masa pajak yang tidak sama (telah melampaui masa pengkreditan 3 bulan);

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalilnya, Para Pihak mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan T-11 dan Pemohon Banding mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1, P-2, P-3, P-4, P-5, P-7, P-8, P-16, dan P-17;


bahwa berdasarkan pemeriksaan atas bukti-bukti dan keterangan yang disampaikan Para Pihak di persidangan serta peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, Majelis memberikan pertimbangan dan pendapat sebagai berikut:

Menimbang, bahwa menurut Tergugat Faktur Pajak nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 atas nama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) NPWP 01.XXX.XXX.X-XXX.XXX dengan nilai PPN sebesar Rp339.539.280,00 merupakan Pajak Masukan pada Masa Pajak Agustus 2015, sehingga Pengkreditan Pajak Masukan tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan;


bahwa dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Namun demikian, Faktur Pajak nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 tersebut dilakukan pengkreditan Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Oktober 2015. Bahwa berdasarkan uraian tersebut, Penggugat telah mengkreditkan Pajak Masukan melalui pembetulan SPT Masa PPN bukan pada Masa Pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN;

bahwa berdasarkan bukti dan keterangan yang disampaikan para pihak di persidangan, terdapat fakta-fakta sebagai berikut:

No. Nama Penjual NPWP Nomor Faktur Tanggal DPP (Rp) PPN (Rp)
1 PT IAA (Persero) 01.XXX.XXXX-
XXX.XXX
010.003- 15.41091456 19/08/2015 3.395.392.800 339.539.280
Jumlah 3.395.392.800 339.539.280


bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan Nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan ke-1 Masa Pajak Oktober 2015 yang dilaporkan pada tanggal 29 Februari 2016 dan SPT PPN Pembetulan ke-2 Masa Pajak Oktober 2015 yang dilaporkan pada tanggal 28 April 2016;

bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk selanjutnya disebut UU PPN

Pasal 9 ayat (2) UU PPN:
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama
Pasal 9 ayat (9) UU PPN:
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 .(tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Penjelasan Pasal 9 ayat 9 UU PPN:
Ketentuan ini memungkinkan Pengusaha Kena Pajak untuk mengkreditkan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang tidak sama yang disebabkan, antara lain, Faktur Pajak terlambat diterima. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang tidak sama tersebut hanya diperkenankan dilakukan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan. Dalam hal jangka waktu tersebut telah dilampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan. Kedua cara pengkreditan tersebut hanya dapat dilakukan apabila Pajak Masukan yang bersangkutan belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) kepada harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bersangkutan dan terhadap Pengusaha Kena Pajak belum dilakukan pemeriksaan.
Contoh:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tertanggal 7 Juli 2010 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Juli 2010 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Oktober 2010.

Menimbang:

bahwa berdasarkan fakta dan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berpendapat sebagai berikut :

Faktur Pajak nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 atas nama PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) dengan nilai PPN sebesar Rp339.539.280,00 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Agustus 2015 atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama Masa Pajak Desember 2015;
Oleh karena jangka waktu 3 bulan tersebut telah dilampaui, Pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan yaitu untuk Masa Agustus 2015 sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (9) UU PPN;
bahwa Penggugat mengkerditkan Faktur Pajak nomor 010.003-15.41091456 tanggal 19 Agustus 2015 melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Oktober 2015 sehingga Penggugat telah mengkreditkan Pajak Masukan tersebut melalui pembetulan SPT Masa PPN bukan pada Masa Pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN. Dengan demikian koreksi positif Tergugat atas Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan telah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan perpajakan yang berlaku;


bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”

bahwa Penjelasan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”


bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis berkesimpulan sebagai berikut:

1. Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp339.539.280,00, tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Perhitungan jumlah koreksi menjadi sebagai berikut:
Koreksi menurut Terbanding Rp339.539.280,00
Koreksi dibatalkan Majelis Rp 0,00
Koreksi menurut Majelis Rp339.539.280,00


bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas keterangan dan bukti-bukti dalam persidangan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menolak gugatan Penggugat;

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:

Menolak gugatan Pengugat terhadap Keputusan Tergugat Nomor : KEP-01084/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 16 Juli 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak, Nomor: 00146/207/ 15/431/17 tanggal 20 September 2017, Masa Pajak Oktober 2015, atas nama : Penggugat, dan menetapkan PPN Terutang untuk Masa Pajak Oktober 2015 menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak Rp. 48.893.373.261,00
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri Rp. 2.960.258.276,00
Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan Rp. 19.681.686.169,00
Jumlah penghitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang/(lebih) bayar Rp.(16.721.427.693,00)
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan Rp. 17.060.967.173,00
Pajak Pertambahan Nilai yang tidak/kurang (lebih) dibayar Rp. 339.539.280,00
Sanksi administrasi kenaikan Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang KUP Rp. 339.539.280,00
Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar Rp. 679.078.560,00


Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan musyawarah Majelis XVA Pengadilan Pajak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 21 Januari 2019, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Ketua,
RSR, S.E., MAFIS, sebagai Hakim Anggota,
AS, S.H., M.E. sebagai Hakim Anggota,
Dra. IF, M.M. sebagai Panitera Pengganti.


Putusan Nomor: PUT-006647.99/2018/PP/M.XVA Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 01 April 2019 oleh Hakim Ketua Majelis XVA Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: PEN-052/PP/Ucp/2019 tanggal 28 Maret 2019 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Ketua,
RSR, S.E., MAFIS, sebagai Hakim Anggota,
AS, S.H., M.E., sebagai Hakim Anggota,
Yang dibantu oleh:
AAPN

sebagai Panitera Pengganti.


yang dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Tergugat dan dihadiri oleh Penggugat.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA