Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah Penerbitan Surat Tergugat Nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2b), Pasal 9 ayat (8f), Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (9), dan Pasal 15A ayat (2) UU PPN, pengkreditan faktur pajak atas faktur pajak yang diterbitkan sebelum tanggal NSFP tidak memenuhi ketentuan UU PPN;
bahwa Tergugat mempertahankan koreksi pada saat pemeriksaan atas Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan sebelum tanggal pemberitahuan NSFP karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
bahwa Tergugat berpendapat bahwa tidak terdapat ketidakbenaran dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
bahwa dalam persidangan Tergugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor S-383/PJ.07/2019 tanggal 21 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
KRONOLOGIS GUGATAN
No. | Tanggal | Uraian |
1 | 4 Februari 2015 | PT ITT membuat Faktur Pajak Nomor 010.00115.12419601 dengan lawan transaksi Penggugat |
2 | 13 Februari 2015 | Tergugat menerbitkan Surat Nomor S122/PPN.NSFP/WPJ.06/KP.0103/2015 hal Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak kepada PT ITT |
3 | 31 Maret 2015 | Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2015 dan mengkreditkan Faktur Pajak Nomor 010.00115.12419601 sebagai Pajak Masukan |
4 | 24 Oktober 2016 | Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00589/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016 |
5 | 03 November 2016 | Pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Penggugat |
6 | 21 Agustus 2017 | Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) Nomor SPHP00310/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017 |
7 | 30 Agustus 2017 | Penggugat menyampaikan Tanggapan atas SPHP |
8 | 5 September 2017 | Tergugat membuat Undangan Pembahasan Akhir |
9 | 07 September 2017 | Penggugat dan Tergugat melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan |
10 | 24 Oktober 2016 | Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00590/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016 |
11 | 01 Maret 2018 | Penggugat mengajukan Permohonan Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf B KUP melalui surat nomor 01/PSKP/SLI/II/18 tanggal 28 Februari 2018. Alasan permohonan pembatalan yaitu:
|
12 | 28 Juni 2018 | Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak |
13 | 27 Juli 2018 | Penggugat mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP00993/NKEB/WPJ.22/2018 melalui Surat Nomor 002/SKI/G/VII/2018 |
URAIAN TERGUGAT
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
- | Pasal 23 ayat (2) huruf c |
- | Pasal 23 ayat (2) huruf d |
- | Pasal 25 ayat (3a) |
- | Pasal 31 |
- | Pasal 32 ayat (2) |
- | Pasal 36 ayat (1) huruf b |
- | Pasal 36 (1c) |
- | Pasal 36 ayat (1d) |
- | Pasal 36 ayat (1e) |
- | Pasal 36 ayat (2) |
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
- | Pasal 4 ayat (1) huruf a |
- | Pasal 9 ayat (2) |
- | Pasal 9 ayat (2b) dan Penjelasannya |
- | Pasal 9 ayat (8) huruf f |
- | Pasal 9 ayat (9) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (5) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (9) dan Penjelasannya |
- | Pasal 13 ayat (8) |
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
- | Pasal 1 angka 4 |
- | Pasal 1 angka 5 |
- | Pasal 1 angka 7 |
- | Pasal 31 ayat (1) |
- | Pasal 31 ayat (3) |
- | Pasal 40 |
- | Pasal 41 ayat (1) |
- | Pasal 43 ayat (1) |
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
- | Pasal 38 ayat (1) |
- | Pasal 38 ayat (2) huruf b |
- | Pasal 38 ayat(3) |
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 s.t.d.d. PER-17/PJ/2014 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
- | Pasal 12 |
- | Pasal 17 ayat (1) |
- | Pasal 17 ayat (2) |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (selanjutnya disebut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013)
- | Pasal 1 angka 5 |
- | Pasal 13 ayat (3) |
- | Pasal 16 ayat (8) |
- | Pasal 16 ayat (9) |
- | Pasal 38 ayat(4) |
Tanggapan Tergugat
1. | Pendapat Tergugat bahwa Jangka Waktu Pemeriksaan telah Dilewati Sehingga Surat Ketetapan Pajak harus Dibatalkan
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Pendapat Tergugat bahwa Tanggung Jawab Penerbitan Faktur Pajak adalah si Penjual dan Diluar Kuasa Penggugat untuk Mengetahui Tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Pendapat Tergugat atas Pengajuan Permohonan Gugatan bahwa pada prinsipnya hanya dikenal 3 (tiga) upaya hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang tingkat penyelesaiannya ada pada kewenangan Direktur Jenderal Pajak, terdiri atas:
bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus (Peradilan Semu/Doleansi). Upaya hukum keberatan dikatakan sebagai upaya hukum yang utama, karena atas keputusan keberatan yang diterbitkan, masih dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak, dan selanjutnya dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, sesuai dengan sistem peradilan di sistem hukum nasional yang berlaku. Dengan perkataan lain, upaya hukum keberatan merupakan satusatunya pintu pertama (Level 1) bagi Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak, untuk selanjutnya secara berjenjang dapat diajukan upaya hukum pada tingkat peradilan yang lebih tinggi hingga bermuara pada Mahkamah Agung (upaya hukum Peninjauan Kembali) sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku berdasarkan Konstitusi RI (UUD 1945); bahwa upaya hukum keberatan dan upaya hukum pengurangan/pembatalan pada dasarnya bukan merupakan pilihan. Apabila dapat untuk dipilih maka satu sengketa dapat ditempuh upaya hukum lebih dari satu upaya, tanpa ada kriteria yang membedakannya, hal ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum; bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak; bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP dikatakan sebagai upaya hukum istimewa, karena ketentuan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP tersebut pada dasarnya merupakan "extra ordinary clause" bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dalam tingkat I (peradilan semu/doleansi) yang masih merupakan kewenangan Fiskus/DJP, hanya dalam hal jalur utama untuk memasuki pintu peradilan doleansi untuk menguji kebenaran suatu Surat Ketetapan Pajak tersebut sudah tertutup, sehingga jalur upaya hukum untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak yang telah diputus dalam Surat Keputusan Keberatan tersebut pada tingkat peradilan yang sesungguhnya yang lebih tinggi (Banding ke Pengadilan Pajak dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung) menjadi tertutup; bahwa faktanya Penggugat tidak melakukan upaya hukum yang ideal/utama yaitu tidak mengajukan upaya hukum keberatan atas Surat Ketetapan Pajak aquo; bahwa Penggugat langsung melakukan upaya hukum khusus/istimewa yaitu pengurangan/ pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36); bahwa berdasarkan Pasal 36 UU KUP, dalam rangka memberikan keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; bahwa Keputusan Tergugat tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 karena permohonan Wajib Pajak, merupakan upaya hukum khusus. Sehingga Tergugat berpendapat proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku; |
KESIMPULAN DAN USUL
A. | Simpulan bahwa daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Wajib Pajak; bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan Tergugat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; bahwa kegiatan pemeriksaan dan penerbitan ketetapan perlu diatur agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional supaya tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang; bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan; bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak yang sama, dan dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak yang bersangkutan; bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus; bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak; bahwa Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; bahwa proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku; |
B. | Usul bahwa oleh karena itu, diusulkan kepada Majelis Hakim untuk menolak permohonan gugatan Penggugat dan tetap mempertahankan Keputusan Tergugat Nomor KEP-00896/NKEB/WPJ.01/ 2017 tanggal 28 Juli 2017 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak; |
bahwa yang dipersengketakan adalah Faktur Pajak yang diterbitkan oleh lawan taransaksi, yaitu PT Indo Thai Trading sebagai Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Faktur 010.001- 15.12419601 tanggal Faktur Pajak 4 Februari 2015 DPP USD43,860.00, PPN USD4,386.00;
bahwa di luar kuasa Penggugat sebagai Pembeli untuk mengetahui tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan Kantor Pajak kepada lawan transaksi Penggugat, dan pembeli tidak dapat memastikan kebenaran alamat si Penjual yang tersebar di berbagai daerah;
bahwa tangung jawab penerbitan Faktur Pajak adalah si Penjual bukan si Pembeli;
bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (2), Wajib Pajak Pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng, karena Wajib Pajak Pembeli telah membayar PPN tersebut kepada si Penjual;
bahwa alangkah tidak adilnya si Penjual membuat kesalahan tetapi yang dihukum adalah Pembeli;
bahwa dalam persidangan Penggugat menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor 002/SKI/KA G/I/20119 tanggal 18 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Kesimpulan Akhir:
1. | bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No 184/PMK.03/2015, dimana Pemeriksaan Lapangan dibidang perpajakan dilakukan paling lama 6 (enam ) bulan sejak diterbikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; |
2. | bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEMB 00589/WPJ.22/KP.0705/ RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016; |
3. | bahwa Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP 00310/WPJ.22/KP.0705/RIK SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017 |
4. | bahwa dari uraian di atas dimana dari saat diterbitkanya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan sudah melewati 6 (enam) bulan; |
5. | bahwa di luar kuasa Penggugat untuk mengetahui tanggal dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan Kantor Pajak kepada setiap lawan transaksi Penggugat; |
6. | bahwa Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan lawan transakasi PT Indo Thai Trading Nomor Seri Faktur Pajak 010.001-15.12419601 tanggal 4 Februari 2015. Pemberitahuan NSFP tanggal 13 Februari 2015; Menurut Tergugat: bahwa Penerbitan Faktur Pajak sebelum Tanggal Pemberitahuan NSFP sehingga tidak boleh dikreditkan; Menurut Penggugat: bahwa Sesuai dengan SE-26/PJ/2015 Huruf E Materi angka 5,angka 6 dan angka 9, faktur pajak yang diterbitkan oleh PT Indo Thai Trading adalah merupakan Faktur Pajak diterbitkan tidak tepat waktu dan dapat dikreditkan sebagai Faktur Pajak Masukan; |
7. | bahwa Penggugat seharusnya tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai; |
Pemeriksaan Objek Gugatan
bahwa Majelis memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:
1. | Upaya Hukum atas penerbitan surat ketetapan pajak Menimbang, bahwa Wajib Pajak yang tidak setuju baik formal maupun material atas penerbitan skp dapat mengajukan upaya hukum berupa:
Menimbang, bahwa UU KUP tidak mengatur upaya hukum mana yang terlebih dahulu harus dilakukan terlebih dahulu. Pembatasan upaya hukum hanya dilakukan untuk permohonan keberatan yaitu keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat ketetapan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu pengajuan keberatan, maka dianggap bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;
Menimbang, bahwa oleh karena itu untuk memberikan rasa keadilan bagi masayarat, penyusun UU KUP memberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum lain yang tidak dibatasi dengan jangka waktu yaitu melalui permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar;
|
||||||||||||||||
2. | Keputusan Berjenjang Pasal 23 ayat (2) huruf c U U KUP Menimbang, bahwa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan
"Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak";Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP, keputusan yg dapat digugat adalah keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari suatu keputusan lainnya (besickhing atas besickhing atau keputusan berjenjang). Dengan demikian, harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan DJP mendahului keputusan yang digugat dan bukan suatu keputusan yang berdiri sendiri;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang mengatur :
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain
Menimbang, bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 yang membatalkan ketentuan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, maka menurut majelis keputusan Pasal 36 ayat (1) UU KUP dikategorikan sebagai Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan;
Menimbang, bahwa Surat Gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Pengadilan Pajak atas keputusan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar, dapat menyatakan alasan gugatan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
3. | Ruang Lingkup Pemeriksaan Terkait Pasal 36 Ayat (1) Huruf b UU KUP Menimbang, bahwa terkait keputusan pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
bahwa oleh karena itu Ruang Lingkup Pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak seharusnya tidak dibatasi hanya pemeriksaan prosedural formal penerbitan surat keputusan pajak akan tetapi juga meliputi pemeriksaan material terkait perhitungan jumlah pajak terutang; bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b hanya mempersoal prosedural saja, karena secara jelas terkait sengketa prosedural upaya hukumnya diatur tersendiri dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP yaitu ….. penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak bahwa Kewenangan pengadilan mengadili berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan....... Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, Wajib Pajak dapat langsung mengajukan gugatan atas penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ke pengadilan pajak tanpa harus melalui permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP terlebih dahulu;
|
bahwa pengaturan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, diawali dengan frasa “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak.“ Maksud dari frasa ini adalah Pasal 36 dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat karena inisiatif sendiri (jabatan), atau permohonan wajib pajak (“bersifat permohonan”). Permohonan Wajib Pajak, akan menimbulkan akibat hukum bagi Direktur Jenderal Pajak karena apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan (Pasal 36 ayat (1d) UU KUP);
a. | Pasal 25 ayat (1) dan 26 UU KUP, yaitu apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pernotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya. Apabila tidak sependapat dengan keputusan DJP dapat mengajulan Banding ke Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUKUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
b. | Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan keputusan DJP, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
c. | Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan tidak sesuai dengan prosedur, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP; |
Pasal 26A ayat (4) UU KUP
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.
bahwa oleh karena pada proses keberatan tidak diberikan kewenangan DJP untuk memproses pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, maka sangat beralasan apabila Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap yang bersifat ultimum remidium administratif untuk memproses permohonan tersebut terkait materi atau isi surat ketetapan pajak;
bahwa frasa “.....hanya dapat diajukan ...” , menurut Majelis bukan merupakan keharusan bagi penggugat untuk mengajukan 2 (dua Kali). Hal ini sesuai arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan dengan mengacu pada kebijakan pokok antara lain penyederhanakan prosedur administrasi perpajakan (Penjelasan Ketentuan Umum KUP);
Pemeriksaan prosedur Pemeriksaan dan Penerbitan SKP
bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015, mengatur bahwa Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbikannya Hasil Pemeriksaan;
bahwa ketentuan yang mengatur daluwarsa penerbitan Surat Ketetapan diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:
a. | bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 antara lain mengatur: Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
|
||||||||||
b. | bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
|
||||||||||
c. | bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; |
||||||||||
d. | bahwa berdasarkan Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak; |
||||||||||
e. | bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan; |
||||||||||
f. | bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir; |
||||||||||
g. | bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; |
||||||||||
h. | bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai; |
Pemeriksaan Materi
Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp55.184.652,00;
1. | Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) antara lain mengatur sebagai berikut: Pasal 1 angka 24 Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Pasal 9 ayat (2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pasal 9 ayat (2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). Pasal 13 ayat (5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 151/PMK.03/2013); |
2. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak; Pasal 19 Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
3. | Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Pasal 1 ayat 9 Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan: Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. |
4. | Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-26/PJ/2015 Tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak Huruf E angka 1 Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Huruf E angka 2 Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak digunakan untuk membuat Faktur Pajak pada tanggal Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak atau tanggal sesudahnya dalam tahun yang sama dengan Kode Tahun yang tertera pada Nomor Seri Faktur Pajak tersebut. Contoh:
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dan perubahannya, Faktur Pajak dengan tanggal mendahului (sebelum) tanggal surat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak yang mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya, sehingga merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap |
5. | Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan Pasal 14 ayat (1) huruf d Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu; Pasal 14 ayat (1) huruf e Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. |
• | bahwa syarat pengkreditan Pajak Masukan adalah harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN; |
• | bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN; Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan: Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak |
• | bahwa agar Pengusaha Kena Pajak terhindar dari pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU KUP No. 6 Tahun 1983 s.t.d.t UU No. 16 Tahun 2009 maka PKP tidak boleh melakukan perbuatan sebagai berikut:
|
• | bahwa dalam sengketa a quo Majelis memberikan penekanan terutama untuk kapan seharusnya Nomor Seri Faktur Pajak digunakan dan Nomor Seri yang digunakan adalah benar yang telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai berikut:
|
• | bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP), Faktur Pajak yang diterbitkan tetap sah sebagai Faktur Pajak Keluaran, karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut dinyatakan tidak sah untuk dilaporkan sebagai Pajak Keluaran dan terbukti Tergugat tidak melakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran pihak penjual; |
• | bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak; |
• | bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP), Faktur Pajak yang diterbitkan tetap sah sebagai Faktur Pajak Keluaran, karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut dinyatakan tidak sah untuk dilaporkan sebagai Pajak Keluaran dan terbukti Tergugat tidak melakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran pihak penjual; |
• | bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak; bahwa oleh karena itu Majelis berpendapat dengan telah dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, maka Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan pihak penjual dianggap telah memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan tetap dilaporkan sebagai Pajak Keluaran pihak penjual; |
• | bahwa tidak ada kewajiban bagi pembeli atau pengguna Faktur Pajak untuk melakukan pengecekan/verifikasi atas Faktur Pajak terkait dengan kebenaran informasi apakah Faktur Pajak dari PKP Penjual tidak sesuai dengan tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dan/atau penggunaan Faktur Pajak diluar jatah Nomor Seri Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak; |
• | bahwa berdasarkan uraian di atas dan untuk memenuhi rasa keadilan, Majelis berpendapat secara materi Pajak Masukan yang sudah Penggugat bayarkan ke Penjual atau Penggugat pungut dan setorkan ke kas negara, tetap dapat dikreditkan karena kelalaian PKP Penjual mencantumkan Nomor Seri Faktur Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak untuk memenuhi persyaratan formal tidak dapat ditanggung rentengkan kepada pihak Pembeli atau Penggugat; |
bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
bahwa Penjelasan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis berkesimpulan koreksi faktur pajak masukan yang diterbitkan oleh penjual sebelum tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak sebesar DPP USD43,860.00, PPN USD4,386.00,00 (Rp55.184.652,00) harus dibatalkan karena secara materi Pajak Masukan yang sudah Penggugat bayarkan ke Penjual atau Penggugat dan telah di setor ke kas negara, tetap dapat dikreditkan karena kelalaian PKP Penjual mencantumkan Nomor Seri Faktur Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak untuk memenuhi persyaratan formal tidak dapat ditanggung rentengkan kepada pihak Pembeli atau Penggugat;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas keterangan dan bukti-bukti dalam persidangan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan seluruhnya gugatan Penggugat;
Undang-undang Nomor : 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Mengabulkan seluruhnya gugatan Pengugat terhadap Keputusan Tergugat Nomor : KEP-00993/ NKEB/WPJ.22/ 2018 tanggal 28 Juni 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak, atas nama : Penggugat, dan menetapkan PPN Terutang untuk Masa Pajak Februari 2015 menjadi sebagai berikut :
Dasar Pengenaan Pajak | Rp. 8.255.803.173,00 |
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri | Rp. 534.835.664,00 |
Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan | Rp. 8.316.486.891,00 |
Jumlah penghitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang/(lebih) bayar | Rp. (7.781.651.227,00) |
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan | Rp. 7.781.651.227,00 |
Pajak Pertambahan Nilai yang tidak/kurang (lebih) dibayar | Rp. 0,00 |
Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan musyawarah Majelis XVA Pengadilan Pajak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 21 Januari 2019, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. | sebagai Hakim Ketua, |
RSR, S.E., MAFIS, | sebagai Hakim Anggota, |
AS, S.H., M.E. | sebagai Hakim Anggota, |
Dra. IF, M.M. | sebagai Panitera Pengganti. |
Putusan Nomor: PUT-006131.99/2018/PP/M.XVA Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 01 April 2019 oleh Hakim Ketua Majelis XVA Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: PEN-052/PP/Ucp/2019 tanggal 28 Maret 2019 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. | sebagai Hakim Ketua, |
RSR, S.E., MAFIS, | sebagai Hakim Anggota, |
AS, S.H., M.E., | sebagai Hakim Anggota, |
Yang dibantu oleh: AAPN |
sebagai Panitera Pengganti. |
yang dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Tergugat dan dihadiri oleh Penggugat.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.