Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-006131.99
Pokok Sengketa:

bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah Penerbitan Surat Tergugat Nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak;

Menurut Tergugat:

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3A ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2b), Pasal 9 ayat (8f), Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (9), dan Pasal 15A ayat (2) UU PPN, pengkreditan faktur pajak atas faktur pajak yang diterbitkan sebelum tanggal NSFP tidak memenuhi ketentuan UU PPN;

bahwa Tergugat mempertahankan koreksi pada saat pemeriksaan atas Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan sebelum tanggal pemberitahuan NSFP karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

bahwa Tergugat berpendapat bahwa tidak terdapat ketidakbenaran dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

bahwa dalam persidangan Tergugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor S-383/PJ.07/2019 tanggal 21 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

KRONOLOGIS GUGATAN

No. Tanggal Uraian
1 4 Februari 2015 PT ITT membuat Faktur Pajak Nomor 010.00115.12419601 dengan lawan transaksi Penggugat
2 13 Februari 2015 Tergugat menerbitkan Surat Nomor S122/PPN.NSFP/WPJ.06/KP.0103/2015 hal Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak kepada PT ITT
3 31 Maret 2015 Penggugat melaporkan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2015 dan mengkreditkan Faktur Pajak Nomor 010.00115.12419601 sebagai Pajak Masukan
4 24 Oktober 2016 Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00589/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016
5 03 November 2016 Pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Penggugat
6 21 Agustus 2017 Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) Nomor SPHP00310/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2017
7 30 Agustus 2017 Penggugat menyampaikan Tanggapan atas SPHP
8 5 September 2017 Tergugat membuat Undangan Pembahasan Akhir
9 07 September 2017 Penggugat dan Tergugat melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
10 24 Oktober 2016 Tergugat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEM00590/WPJ.22/KP.0705/RIK.SIS/2016
11 01 Maret 2018 Penggugat mengajukan Permohonan Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf B KUP melalui surat nomor 01/PSKP/SLI/II/18 tanggal 28 Februari 2018. Alasan permohonan pembatalan yaitu:
  1. Jangka waktu pengujian melebihi 6 (enam) bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Penggugat sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Penggugat;
  2. Diluar kuasa Penggugatuntuk mengetahui NSFP yang diterbitkan lawan transaksi ganda atau diluar jatah NSFP atau tanggal NSFP karena tidak mungkin Penggugatmemeriksa semua penjualan setiap lawan transaksi;
12 28 Juni 2018 Tergugat menerbitkan Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas SKPKB PPN Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Huruf B Karena Permohonan Wajib Pajak
13 27 Juli 2018 Penggugat mengajukan gugatan atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP00993/NKEB/WPJ.22/2018 melalui Surat Nomor 002/SKI/G/VII/2018


URAIAN TERGUGAT

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

- Pasal 23 ayat (2) huruf c
- Pasal 23 ayat (2) huruf d
- Pasal 25 ayat (3a)
- Pasal 31
- Pasal 32 ayat (2)
- Pasal 36 ayat (1) huruf b
- Pasal 36 (1c)
- Pasal 36 ayat (1d)
- Pasal 36 ayat (1e)
- Pasal 36 ayat (2)


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

- Pasal 4 ayat (1) huruf a
- Pasal 9 ayat (2)
- Pasal 9 ayat (2b) dan Penjelasannya
- Pasal 9 ayat (8) huruf f
- Pasal 9 ayat (9) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (5) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (9) dan Penjelasannya
- Pasal 13 ayat (8)


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

- Pasal 1 angka 4
- Pasal 1 angka 5
- Pasal 1 angka 7
- Pasal 31 ayat (1)
- Pasal 31 ayat (3)
- Pasal 40
- Pasal 41 ayat (1)
- Pasal 43 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

- Pasal 38 ayat (1)
- Pasal 38 ayat (2) huruf b
- Pasal 38 ayat(3)


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 s.t.d.d. PER-17/PJ/2014 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

- Pasal 12
- Pasal 17 ayat (1)
- Pasal 17 ayat (2)


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak (selanjutnya disebut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013)

- Pasal 1 angka 5
- Pasal 13 ayat (3)
- Pasal 16 ayat (8)
- Pasal 16 ayat (9)
- Pasal 38 ayat(4)


Tanggapan Tergugat

1. Pendapat Tergugat bahwa Jangka Waktu Pemeriksaan telah Dilewati Sehingga Surat Ketetapan Pajak harus Dibatalkan
a. Daluwarsa Penerbitan Surat Ketetapan Pajak, Bukan Daluwarsa Pemeriksaan Pajak
bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
a) bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b) bahwa wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal dibatasi sampai dengan kurun 5 (lima tahun);
c) bahwa diketahuinya Wajib Pajak tidak atau kurang membayar pajak karena dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan, dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang;
d) bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan;
e) bahwa besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
a) bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
b) bahwa untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak;
c) bahwa apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

bahwa berdasarkan Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 17A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap;

bahwa batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan;

bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir;

bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur daluwarsa penetapan secara pasti atas wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dapat diketahui Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah pajak yang seharusnya terutang dan berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui kepastian kebenaran data lain yang belum dipenuhi kewajiban pajak oleh Wajib Pajak, sehingga atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;

bahwa daluwarsa yang diatur dalam undang-undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00140/207/16/431/17 untuk Masa Pajak Februari 2015 diterbitkan pada tanggal 19 September 2017;

bahwa daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak Januari 2015 yaitu 31 Desember 2019, sehingga Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00140/207/16/431/17 yang diterbitkan tanggal 19 September 2017 belum melampaui daluwarsa penetapan;

b. bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015 bersifat manajerial

bahwa berdasarkan UU KUP, Tergugat diberikan wewenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dengan jangka waktu penerbitan:
a) bahwa batas waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah 5 (lima) tahun, jangka waktu dihitung dari penyampaian SPT sampai dengan 5 (lima) tahun sejak masa pajak atau tahun pajak berakhir, dengan rincian:
- Untuk PPh Badan jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan;
- Untuk PPh Orang Pribadi jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 9 (sembilan) bulan;
- Untuk PPh Pasal 21/26, 23/26, jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
- Untuk PPN jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
b) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB untuk SPT Lengkap tanpa permohonan pengembalian adalah 5 (lima) tahun, jangka waktu dihitung dari penyampaian SPT sampai dengan 5 (lima) tahun sejak masa pajak atau tahun pajak berakhir, dengan rincian:
- Untuk PPh Badan jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 8 (delapan) bulan;
- Untuk PPh Orang Pribadi jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 9 (sembilan) bulan;
- Untuk PPh Pasal 21/26, 23/26, jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
- Untuk PPN jangka waktu penetapan selama 4 (empat) tahun 11 (sebelas) bulan;
c) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh OP disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah 9 (sembilan) bulan;
d) bahwa batas waktu penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh Badan disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah 8 (delapan) bulan;

bahwa dalam rangka penerbitan ketetapan pajak khususnya penerbitan SKPKB harus melalui tindakan pemeriksaan terlebih dahulu, sehingga pemeriksaan dan penerbitan ketetapan pajak merupakan satu rangkaian tindakan penetapan pajak;

bahwa hal yang paling krusial pada jangka waktu yang diamanahkan Undang-Undang yaitu jangka waktu penetapan untuk penerbitan SKPLB atas SPT Lengkap PPh Badan disertai dengan permohonan selama 8 (delapan) bulan, dan pula atas keterlambatan penerbitan Tergugat diharuskan memberikan imbalan bunga sebesar 2 (dua) persen per bulan;

bahwa untuk itu diperlukan pengaturan kegiatan pemeriksaan dan penerbitan agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional sehingga tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang;

c. Pendapat Tergugat atas Surat Ketetapan Pajak yang dapat dibatalkan

bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
  1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
  2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak;
bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 jo Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan No. 8/PMK.03/2013 dinyatakan, Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan;

bahwa berdasarkan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 dinyatakan:
(1) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang-Undang.
(2) Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak berdasarkan pada:
  1. hasil Verifikasi;
  2. hasil Pemeriksaan;
  3. hasil Pemeriksaan ulang; atau
  4. hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang-Undang.
(3) Termasuk dalam pengertian surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan.

bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00140/207/16/431/17 tanggal 19 September 2017 Masa Pajak Februari 2015 diterbitkan dengan melalui penyampaian SPHP pada tanggal 21 Agustus 2017 dan pembahasan akhir hasil pemeriksaan pada tanggal 7 September 2017;

bahwa daluwarsa penetapan untuk Masa Pajak Februari 2015 yaitu 31 Januari 2020, sehingga Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN Nomor 00140/207/16/431/17 yang diterbitkan tanggal 19 September 2017 belum melampaui daluwarsa penetapan;

bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan;

2. Pendapat Tergugat bahwa Tanggung Jawab Penerbitan Faktur Pajak adalah si Penjual dan Diluar Kuasa Penggugat untuk Mengetahui Tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak
  1. Kronologis Sengketa
    bahwa berdasarkan ketentuan yang berlaku, pemberian nomor urut seri faktur pajak sebelum 1 April 2013 wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit secara berurutan mulai awal tahun kalender tanpa membedakan kode transaksi, kode status, dan mats uang yang digunakan;

    bahwa dengan berlaku Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah beberapa kali diubah terkahir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 sejak 1 April 2013, nomor seri faktur pajak tidak dibuat secara berurutan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit, namun nomor seri diberikan oleh Tergugat kepada Pengusaha Kena Pajak dengan mekanisme tertentu. Penomoran Faktur Pajak yang ditentukan oleh Tergugat berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf;

    bahwa Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit yang dapat diberikan nomor seri faktur pajak oleh Tergugat, jika terhadapnya telah dilakukan kegiatan registrasi dan verifikasi pengusaha kena pajak yang menyatakan bahwa memenuhi persyaratan subyektif dan obyektif sehingga tetap dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan telah mendapatkan kode aktivasi dan password dari Tergugat;

    bahwa pada saat pemberian nomor seri faktur pajak, Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit telah memiliki kode aktivasi dan password dan telah menyampaikan SPT Masa pada 3 (tiga) masa terakhir;

    bahwa ketentuan penggunaan nomor faktur pajak yang telah diberikan oleh Tergugat kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit yaitu diatur pada Pasal 19 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah beberapa kali diubah terkahir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014, yang menyatakan bahwa Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan nomor secara urut, kemudian memperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak, maka Pengusaha Kena Pajak Penjual tersebut wajib menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak sejak tanggal surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak;

    bahwa atas sengketa aquo, pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit wajib membuat Faktur Pajak dengan lengkap, jelas, dan benar. Namun pada saat pembuatan Faktur Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak Penjual belum mempunyai nomor seri Faktur Pajak yang seharusnya telah diminta dan diberikan oleh Tergugat. Sehingga Pengusa Kena Pajak Penjual/Penerbit tidak dapat mengisi nomor seri faktur pajak sesuai dengan ketentuan;

    bahwa pada saat Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit mendapatkan pemberitahuan nomor seri faktur pajak dari Tergugat, Penggugat baru dapat melakukan pengisian nomor faktur pajak pada faktur pajak yang telah dibuat sebelum mendapatkan pemberitahuan nomor seri faktur pajak tersebut;

    bahwa Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual/Penerbit tersebut mencantumkan keterangan berupa tanggal pembuatan faktur pajak yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya;

    bahwa Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual termasuk kriteria faktur pajak tidak lengkap;

    bahwa atas Faktur Pajak yang Tidak Lengkap tersebut, berdasarkan ketentuan yang berlaku tidak dapat dikreditkan oleh Penggugat;

  2. Tanggapan Tergugat atas Diluar Kuasa Penggugat untuk Mengetahui Tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak, yaitu:
    bahwa Penggugat selaku pembeli yang mengeluarkan kas/uang untuk memperoleh barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak memiliki kewenangan untuk melakukan verifikasi atas kelengkapan dan kebenaran seluruh dokumen pembelian yang disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual. Bahwa Faktur Pajak merupakan satu kesatuan dengan dokumen pembelian lain seperti invoice, perjanjian jual beli, bukti penerimaan barang, dll sebagai dasar pembayaran atas barang dan/jasa yang dibeli oleh Penggugat;

    bahwa surat pemberitahuan nomor seri faktur pajak dapat diminta oleh Penggugat kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual selaku penerbit Faktur Pajak;

    bahwa Pemohon meyakini Faktur Pajak yang diterima dari PKP Penerbit telah diisi secara lengkap dan benar berdasarkan Pasal 13 (5) UU PPN, sehingga Penggugat telah meyakini bahwa secara formal dan material Faktur Pajak tersebut lengkap dan benar. Bahwa keyakinan Penggugat seharusnya didasari dengan semua persyaratan sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perpajakan yang berlaku;

  3. Tanggapan Tergugat Tanggung Jawab Penerbitan Faktur Pajak adalah si Penjual
    bahwa tata cara penerbitan faktur pajak berdasarkan Pasal 13 ayat (8) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013, kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ12014, sehingga Tergugat berpendapat bahwa tata cara penerbitan faktur pajak seyogyanya mengikuti ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku secara keseluruhan, mengingat bahwa peraturan-peraturan yang ada merupakan satu kesatuan;

    bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf f menyatakan, perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak, tidak dapat dikreditkan;

    bahwa Pasal 13 ayat (5) huruf f menyatakan, Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

    bahwa Pasal 13 ayat (8) menyatakan, Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material, dengan penjelasan Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan;

    bahwa Faktur Pajak yang dikreditkan oleh Penggugat tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f yaitu pada Faktur Pajak terdapat keterangan berupa tanggal pembuatan faktur pajak yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya;
3. Pendapat Tergugat atas Pengajuan Permohonan Gugatan
bahwa pada prinsipnya hanya dikenal 3 (tiga) upaya hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang tingkat penyelesaiannya ada pada kewenangan Direktur Jenderal Pajak, terdiri atas:
1) Pasal 16, upaya hukum pembetulan apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya;
2) Pasal 25, upaya hukum keberatan apabila terdapat ketidaksetujuan atas materi atau isi dari Surat Ketetapan Pajak. Bahwa atas keputusan keberatan dapat diajukan upaya hukum banding (Pasal 27 UU KUP) dan atas keputusan banding dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali (Pasal 77 UU Pengadilan Pajak);
3) Pasal 36, upaya hukum khusus/istimewa yaitu Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus (Peradilan Semu/Doleansi). Upaya hukum keberatan dikatakan sebagai upaya hukum yang utama, karena atas keputusan keberatan yang diterbitkan, masih dapat diajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak, dan selanjutnya dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, sesuai dengan sistem peradilan di sistem hukum nasional yang berlaku. Dengan perkataan lain, upaya hukum keberatan merupakan satusatunya pintu pertama (Level 1) bagi Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak, untuk selanjutnya secara berjenjang dapat diajukan upaya hukum pada tingkat peradilan yang lebih tinggi hingga bermuara pada Mahkamah Agung (upaya hukum Peninjauan Kembali) sesuai dengan sistem peradilan yang berlaku berdasarkan Konstitusi RI (UUD 1945);

bahwa upaya hukum keberatan dan upaya hukum pengurangan/pembatalan pada dasarnya bukan merupakan pilihan. Apabila dapat untuk dipilih maka satu sengketa dapat ditempuh upaya hukum lebih dari satu upaya, tanpa ada kriteria yang membedakannya, hal ini akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum;

bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak;

bahwa ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP dikatakan sebagai upaya hukum istimewa, karena ketentuan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf B UU KUP tersebut pada dasarnya merupakan "extra ordinary clause" bagi Wajib Pajak untuk mengajukan upaya hukum dalam tingkat I (peradilan semu/doleansi) yang masih merupakan kewenangan Fiskus/DJP, hanya dalam hal jalur utama untuk memasuki pintu peradilan doleansi untuk menguji kebenaran suatu Surat Ketetapan Pajak tersebut sudah tertutup, sehingga jalur upaya hukum untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak yang telah diputus dalam Surat Keputusan Keberatan tersebut pada tingkat peradilan yang sesungguhnya yang lebih tinggi (Banding ke Pengadilan Pajak dan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung) menjadi tertutup;

bahwa faktanya Penggugat tidak melakukan upaya hukum yang ideal/utama yaitu tidak mengajukan upaya hukum keberatan atas Surat Ketetapan Pajak aquo;

bahwa Penggugat langsung melakukan upaya hukum khusus/istimewa yaitu pengurangan/ pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36);

bahwa berdasarkan Pasal 36 UU KUP, dalam rangka memberikan keadilan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa Keputusan Tergugat tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak dan atau Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 karena permohonan Wajib Pajak, merupakan upaya hukum khusus. Sehingga Tergugat berpendapat proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku;


KESIMPULAN DAN USUL

A. Simpulan

bahwa daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah tindakan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar bukan pada proses pemeriksaan yang merupakan alat/sarana pengujian kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan Tergugat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

bahwa kegiatan pemeriksaan dan penerbitan ketetapan perlu diatur agar dapat dilaksanakan secara objektif dan profesional supaya tidak melewati jangka waktu penetapan yang telah ditetapkan undang-undang;

bahwa Surat Ketetapan Pajak yang Tergugat terbitkan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak dapat dibatalkan;

bahwa pengkreditan Faktur Pajak Masukan dapat dilakukan melalui SPT PPN Normal Masa Pajak yang sama, dan dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. Dalam hal jangka waktu tersebut terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan tersebut dapat dilakukan melalui SPT PPN Pembetulan Masa Pajak yang bersangkutan;

bahwa upaya hukum keberatan pada dasarnya merupakan jalur upaya hukum yang utama dalam sistem perpajakan untuk menguji kebenaran materi suatu surat ketetapan pajak pada tingkat pertama yang merupakan kewenangan DJP sebagai Fiskus;

bahwa upaya hukum pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar merupakan jalur upaya hukum istimewa yang dapat ditempuh Wajib Pajak untuk menguji kebenaran materi Surat Ketetapan Pajak;

bahwa Direktur Jenderal Pajak diberi wewenang untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;

bahwa proses gugatan atas Keputusan Tergugat sebatas menguji Keputusan Tergugat secara prosedur telah benar diterbitkan dan telah memenuhi ketentuan formal perpajakan yang berlaku;

B. Usul

bahwa oleh karena itu, diusulkan kepada Majelis Hakim untuk menolak permohonan gugatan Penggugat dan tetap mempertahankan Keputusan Tergugat Nomor KEP-00896/NKEB/WPJ.01/ 2017 tanggal 28 Juli 2017 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak;

Menurut Penggugat:

bahwa yang dipersengketakan adalah Faktur Pajak yang diterbitkan oleh lawan taransaksi, yaitu PT Indo Thai Trading sebagai Penjual yang menerbitkan Faktur Pajak dengan Nomor Faktur 010.001- 15.12419601 tanggal Faktur Pajak 4 Februari 2015 DPP USD43,860.00, PPN USD4,386.00;

bahwa di luar kuasa Penggugat sebagai Pembeli untuk mengetahui tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan Kantor Pajak kepada lawan transaksi Penggugat, dan pembeli tidak dapat memastikan kebenaran alamat si Penjual yang tersebar di berbagai daerah;

bahwa tangung jawab penerbitan Faktur Pajak adalah si Penjual bukan si Pembeli;

bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 Pasal 4 ayat (2), Wajib Pajak Pembeli tidak bertanggung jawab secara renteng, karena Wajib Pajak Pembeli telah membayar PPN tersebut kepada si Penjual;

bahwa alangkah tidak adilnya si Penjual membuat kesalahan tetapi yang dihukum adalah Pembeli;

bahwa dalam persidangan Penggugat menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor 002/SKI/KA G/I/20119 tanggal 18 Januari 2019 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan Akhir:

1. bahwa sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No 184/PMK.03/2015, dimana Pemeriksaan Lapangan dibidang perpajakan dilakukan paling lama 6 (enam ) bulan sejak diterbikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
2. bahwa Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Nomor PEMB 00589/WPJ.22/KP.0705/ RIK.SIS/2016 tanggal 24 Oktober 2016;
3. bahwa Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor SPHP 00310/WPJ.22/KP.0705/RIK SIS/2017 tanggal 21 Agustus 2017
4. bahwa dari uraian di atas dimana dari saat diterbitkanya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sampai dengan diterbitkanya Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan sudah melewati 6 (enam) bulan;
5. bahwa di luar kuasa Penggugat untuk mengetahui tanggal dan Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan Kantor Pajak kepada setiap lawan transaksi Penggugat;
6. bahwa Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan lawan transakasi PT Indo Thai Trading Nomor Seri Faktur Pajak 010.001-15.12419601 tanggal 4 Februari 2015. Pemberitahuan NSFP tanggal 13 Februari 2015;

Menurut Tergugat:
bahwa Penerbitan Faktur Pajak sebelum Tanggal Pemberitahuan NSFP sehingga tidak boleh dikreditkan;

Menurut Penggugat:
bahwa Sesuai dengan SE-26/PJ/2015 Huruf E Materi angka 5,angka 6 dan angka 9, faktur pajak yang diterbitkan oleh PT Indo Thai Trading adalah merupakan Faktur Pajak diterbitkan tidak tepat waktu dan dapat dikreditkan sebagai Faktur Pajak Masukan;

7. bahwa Penggugat seharusnya tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai;

Menurut Majelis:

Pemeriksaan Objek Gugatan

Menimbang, bahwa dalam Surat Tanggapan, Tergugat menyatakan keputusan yang diajukan gugatan bukan merupakan objek yang dapat diajukan gugatan. Permohonan gugatan yang diajukan oleh Penggugat atas Keputusan Tergugat nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 yang diajukan Penggugat melalui surat nomor 002/SKI/G/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tidak sesuai dengan landasan hukum yang diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP yang mengatur bahwa gugatan diajukan terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan. Keputusan Tergugat nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf b karena Permohonan Wajib Pajak merupakan keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar yang diajukan pertama kali oleh Penggugat, sesuai dengan Pasal 36 ayat (1a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Oleh karena itu, pengajuan gugatan atas Keputusan Tergugat nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 adalah prematur, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP. Oleh karena itu, Tergugat berpendapat Keputusan Tergugat nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/ 2018 tanggal 28 Juni 2018 tersebut bukan merupakan obyek gugatan sebagaimana dimaksud Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang KUP;


bahwa Majelis memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Upaya Hukum atas penerbitan surat ketetapan pajak

Menimbang, bahwa Wajib Pajak yang tidak setuju baik formal maupun material atas penerbitan skp dapat mengajukan upaya hukum berupa:
a. bahwa permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan surat ketetapan pajak yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Pasal 16 UU KUP);

bahwa pengertian "membetulkan" antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapus-kan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Kesalahan atau kekeliruan yangyang dapat dibetulkan bersifat manusiawi yaitu sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Ruang lingkup pembetulan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
1) kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
2) kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
3) kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak;

b. bahwa permohonan keberatan ke Direktur Jenderal Pajak, terkait materi/isi ketetapan pajak (Pasal 25 UU KUP);

bahwa materi atau isi dari ketetapan pajak meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak;

c. bahwa permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar (Pasal 36 ayat (1) huruf b);

bahwa berlandaskan unsur keadilan Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal meskipun persyaratan material terpenuhi;

d. bahwa permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak (Pasal 36 ayat (1) huruf d);
e. bahwa permohonan ke Direktur Jenderal Pajak untuk membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, atau pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak (Pasal 36 ayat (1) huruf d);

Menimbang, bahwa UU KUP tidak mengatur upaya hukum mana yang terlebih dahulu harus dilakukan terlebih dahulu. Pembatasan upaya hukum hanya dilakukan untuk permohonan keberatan yaitu keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat ketetapan pajak kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. Apabila Wajib Pajak tidak dapat memenuhi jangka waktu pengajuan keberatan, maka dianggap bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;

Menimbang, bahwa oleh karena itu untuk memberikan rasa keadilan bagi masayarat, penyusun UU KUP memberikan kesempatan untuk mengajukan upaya hukum lain yang tidak dibatasi dengan jangka waktu yaitu melalui permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar;

2. Keputusan Berjenjang Pasal 23 ayat (2) huruf c U U KUP

Menimbang, bahwa Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan
"Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak";

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP, keputusan yg dapat digugat adalah keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan dari suatu keputusan lainnya (besickhing atas besickhing atau keputusan berjenjang). Dengan demikian, harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan DJP mendahului keputusan yang digugat dan bukan suatu keputusan yang berdiri sendiri;

Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 37 Peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, yang mengatur :
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain
  1. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  2. Surat Keputusan Pembetulan;
  3. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
  4. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
  5. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  6. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
  7. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
  8. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
bahwa atas ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 telah dilakukan Judisial review dan dinyatakan tidak mengikat dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 Tentang Uji Materiil terhadap Pasal-pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak Dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;

Menimbang, bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 73 P/HUM/2013 yang membatalkan ketentuan pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, maka menurut majelis keputusan Pasal 36 ayat (1) UU KUP dikategorikan sebagai Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan;

Menimbang, bahwa Surat Gugatan Penggugat yang ditujukan kepada Pengadilan Pajak atas keputusan pengurangan/pembatalan skp yang tidak benar, dapat menyatakan alasan gugatan sebagai berikut:
1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak berwenang menerbitkan surat ketetapan pajak;
2) Kesalahan Prosedur Penerbitan surat ketetapan pajak
bahwa Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan. Yang dimaksud dengan “kesalahan prosedur” adalah kesalahan dalam hal tatacara penetapan Keputusan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau standar operasional prosedur (Pasal 13 ayat (3) PMK-8/PMK.03/2013);
3) Kesalahan dalam menetapkan jumlah pajak terutang;
bahwa Penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU KUP, mengatur : Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.

bahwa Pasal 13 ayat (1) dan (2) PMK-8/PMK.03/2013 pada pokoknya mengatur:
Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang tidak benar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP yang meliputi surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar.

bahwa oleh karena itu yang dimaksud dengan “kesalahan dalam menetapkan jumlah pajak terutang” adalah kesalahan dalam hal menghitung jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar oleh Tergugat yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar merupakan isi/materi ketetapan pajak;

3. Ruang Lingkup Pemeriksaan Terkait Pasal 36 Ayat (1) Huruf b UU KUP

Menimbang, bahwa terkait keputusan pengurangan/pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Surat ketetapan yang dapat dikurangkan atau dibatalkan adalah surat ketetapan pajak yang tidak benar;
2) Pembatalan surat ketetapan pajak dengan memperhatikan unsur keadilan meskipun persyaratan material terpenuhi;
3) Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar;
4) Surat ketetapan pajak yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak adalah surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan;

bahwa oleh karena itu Ruang Lingkup Pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak seharusnya tidak dibatasi hanya pemeriksaan prosedural formal penerbitan surat keputusan pajak akan tetapi juga meliputi pemeriksaan material terkait perhitungan jumlah pajak terutang;

bahwa tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b hanya mempersoal prosedural saja, karena secara jelas terkait sengketa prosedural upaya hukumnya diatur tersendiri dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP yaitu
….. penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak

bahwa Kewenangan pengadilan mengadili berdasarkan ketentuan pasal 31 ayat 3 yang menyatakan.......
Pengadilan Pajak dalam hal Gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan Pajak atau Keputusan pembetulan atau Keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (3) UU Pengadilan Pajak, Wajib Pajak dapat langsung mengajukan gugatan atas penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ke pengadilan pajak tanpa harus melalui permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP terlebih dahulu;


bahwa pengaturan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP, diawali dengan frasa “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak.“ Maksud dari frasa ini adalah Pasal 36 dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat karena inisiatif sendiri (jabatan), atau permohonan wajib pajak (“bersifat permohonan”). Permohonan Wajib Pajak, akan menimbulkan akibat hukum bagi Direktur Jenderal Pajak karena apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan (Pasal 36 ayat (1d) UU KUP);

Menimbang, bahwa hal ini sejalan dengan upaya hukum keberatan dan banding sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 25 UU KUP, Pasal 25 UU KUP yang memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak dan kewajiban Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (5) UU KUP yaitu apabila dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan;

Menimbang, bahwa dengan demikian upaya hukum atas suatu SKP yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dapat melalui mekanisme sebagaimana diatur dalam :
a. Pasal 25 ayat (1) dan 26 UU KUP, yaitu apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pernotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya. Apabila tidak sependapat dengan keputusan DJP dapat mengajulan Banding ke Pengadilan Pajak sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) UUKUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;
b. Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP berupa permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. Apabila Wajib Pajak tidak sependapat dengan keputusan DJP, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;
c. Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa penerbitan Surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan tidak sesuai dengan prosedur, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (2) huruf d UU KUP dan Pasal 31 ayat (2) UU PP;

Menimbang, bahwa dengan demikian kedudukan upaya hukum Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap Pasal 25 UU KUP adalah bersifat ultimum remidium administratif yaitu merupakan upaya administrasi terakhir bagi Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1a) UU KUP, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali. Apabila hanya dikaitkan dengan prosedur, maka tidak sesuai dengan semangat pemberian kesempatan sampai 2 kali yang pada dasarnya memberi kesempatan kepada Wajib Pajak apabila ditemukan data/dokumen atau peraturan perpajak yang dapat menguatkan dalilnya dan membuktikan bahwa SKP tidak benar;


Pasal 26A ayat (4) UU KUP
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

bahwa oleh karena pada proses keberatan tidak diberikan kewenangan DJP untuk memproses pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, maka sangat beralasan apabila Pasal 36 ayat (1) huruf b terhadap yang bersifat ultimum remidium administratif untuk memproses permohonan tersebut terkait materi atau isi surat ketetapan pajak;

Menimbang, bahwa Pasal 36 ayat (1a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk selanjutnya disebut UU KUP, mengatur:
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.


bahwa frasa “.....hanya dapat diajukan ...” , menurut Majelis bukan merupakan keharusan bagi penggugat untuk mengajukan 2 (dua Kali). Hal ini sesuai arah dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan dengan mengacu pada kebijakan pokok antara lain penyederhanakan prosedur administrasi perpajakan (Penjelasan Ketentuan Umum KUP);

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan permohonan gugatan atas Keputusan Tergugat nomor KEP-00993/NKEB/WPJ.22/2018 tanggal 28 Juni 2018 tidak prematur dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang KUP, sehingga merupakan sengketa pajak yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Pajak dan Majelis berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa a quo;


Pemeriksaan prosedur Pemeriksaan dan Penerbitan SKP

Menimbang, dalil penggugat yang menyatakan Jangka waktu pengujian melebihi 6 (enam) bulan sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Penggugat sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Penggugat;


bahwa Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Nomor 184/PMK.03/2015, mengatur bahwa Pemeriksaan Lapangan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sampai diterbikannya Hasil Pemeriksaan;

bahwa ketentuan yang mengatur daluwarsa penerbitan Surat Ketetapan diatur dalam beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. bahwa berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) huruf a dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 antara lain mengatur:
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
  1. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
  5. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a).
b. bahwa berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan:
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
(3) Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(4) Apabila jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah Jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(5) Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksudpada ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
c. bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
d. bahwa berdasarkan Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak;
e. bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan;
f. bahwa berdasarkan Pasal 17B Ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir;
g. bahwa berdasarkan Pasal 17C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
h. bahwa berdasarkan Pasal 17D Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dinyatakan,
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai;

Menimbang, bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berpendapat Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 merupakan kebijakan Kementerian Keuangan dalam rangka mengukur kinerja Direktorat Jenderal Pajak dalam menyelesaikan pemeriksaan pajak yang bersifat manajerial. Jangka waktu pemeriksaan paling lama 6 (enam) bulan bukan merupakan penambahan norma hukum yang dapat membatalkan keputusan Tergugat. Daluwarsa yang diatur dalam Undang-Undang KUP adalah terkait jangka waktu penerbitan surat ketetapan pajak dan bukan pada jangka waktu penyelesaian pemeriksaan pajak;


Pemeriksaan Materi

Koreksi positif atas Pajak Masukan sebesar Rp55.184.652,00;

Menimbang, bahwa berdasarkan pokok sengketa sebagaimana diuraikan di atas, Majelis berpendapat sengketa a quo adalah sengketa yuridis yang berhubungan dengan pengkreditan Faktur Pajak masukan yang diterbitkan oleh penjual sebelum tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dengan Nomor Faktur 010.001-15.12419601 tanggal Faktur Pajak 4 Februari 2015 sebesar DPP USD43,860.00, PPN USD4,386.00 (Rp55.184.652,00);

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dalilnya, Para Pihak mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti T-1 sampai dengan T-10 dan Penggugat mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1, P-2, P-3, P-4, P-5, P-7, P-8, P-9, P-16, dan P-17;

Menimbang bahwa atas sengketa yuridis, Majelis akan mempertimbangkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait sengketa aquo sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) antara lain mengatur sebagai berikut:

Pasal 1 angka 24
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

Pasal 9 ayat (2)
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

Pasal 9 ayat (2b)
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

Pasal 13 ayat (5)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
  1. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
  2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
  3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
  4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
  6. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
  7. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Pasal 9 ayat (8) huruh f
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
Pasal 13 ayat (8)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK Nomor 151/PMK.03/2013);

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 151/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak;

Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
  1. bentuk dan ukuran Faktur Pajak;
  2. prosedur pemberitahuan dalam rangka pembuatan Faktur Pajak;
  3. tata cara pembuatan dan pengisian keterangan pada Faktur Pajak;
  4. tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak;
  5. tata cara pembatalan Faktur Pajak;
  6. tata cara pengajuan permintaan dan pemberian data Faktur Pajak berbentuk elektronik yang rusak atau hilang, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. (PER-24/PJ/2012)
3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-24/PJ/2012 tanggal 22 November 2012 Tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan Atau Penggantian, Dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak.

Pasal 1 ayat 9
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.

4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-26/PJ/2015 Tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

Huruf E angka 1
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Huruf E angka 2
Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak digunakan untuk membuat Faktur Pajak pada tanggal Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak atau tanggal sesudahnya dalam tahun yang sama dengan Kode Tahun yang tertera pada Nomor Seri Faktur Pajak tersebut.

Contoh:
  • PKP A menerima Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak tertanggal 10 November 2014 dengan Nomor Seri Faktur Pajak 004-14.00000001.
  • Dengan demikian, PKP A hanya dapat menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut untuk membuat Faktur Pajak tanggal 10 November 2014 atau tanggal setelahnya dalam tahun 2014.
  • PKP A dilarang menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut untuk membuat Faktur Pajak sebelum tanggal 10 November 2014.
Huruf E angka 3
Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dan perubahannya, Faktur Pajak dengan tanggal mendahului (sebelum) tanggal surat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak yang mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya, sehingga merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap

5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan

Pasal 14 ayat (1) huruf d
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu;

Pasal 14 ayat (1) huruf e
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
  1. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
    1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
    2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
Pasal 14 ayat (4)
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.

Menimbang, bahwa berdasarkan peraturan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas dikaitkan dengan sengketa a quo Majelis berpendapat sebagai berikut:
bahwa syarat pengkreditan Pajak Masukan adalah harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN;
bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN;
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:
Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
bahwa agar Pengusaha Kena Pajak terhindar dari pengenaan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU KUP No. 6 Tahun 1983 s.t.d.t UU No. 16 Tahun 2009 maka PKP tidak boleh melakukan perbuatan sebagai berikut:
  1. Menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu;
  2. Menerbitkan Faktur Pajak yang isinya tidak lengkap;
  3. Melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan penerbitan Faktur Pajak.
bahwa dalam sengketa a quo Majelis memberikan penekanan terutama untuk kapan seharusnya Nomor Seri Faktur Pajak digunakan dan Nomor Seri yang digunakan adalah benar yang telah diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai berikut:
  • penerbitan Faktur Pajak yang tanggalnya sebelum tanggal surat pemberian jatah Nomor Seri Faktur Pajak dapat dikategorikan menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu;
  • penerbitkan Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan jatah nomor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak bisa dikategorikan sebagai PKP yang mengisi Faktur Pajak tidak lengkap karena Nomor Seri yang dicantumkan bukan Nomor Seri yang diberikan oleh DJP;
bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP), Faktur Pajak yang diterbitkan tetap sah sebagai Faktur Pajak Keluaran, karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut dinyatakan tidak sah untuk dilaporkan sebagai Pajak Keluaran dan terbukti Tergugat tidak melakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran pihak penjual;
bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;
bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP), Faktur Pajak yang diterbitkan tetap sah sebagai Faktur Pajak Keluaran, karena tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut dinyatakan tidak sah untuk dilaporkan sebagai Pajak Keluaran dan terbukti Tergugat tidak melakukan koreksi terhadap Pajak Keluaran pihak penjual;
bahwa terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak tidak tepat waktu (Pasal 14 ayat (1) huruf d UU KUP) atau tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap (Pasal 14 ayat (1) huruf e UU KUP) masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;

bahwa oleh karena itu Majelis berpendapat dengan telah dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, maka Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan pihak penjual dianggap telah memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan tetap dilaporkan sebagai Pajak Keluaran pihak penjual;

bahwa tidak ada kewajiban bagi pembeli atau pengguna Faktur Pajak untuk melakukan pengecekan/verifikasi atas Faktur Pajak terkait dengan kebenaran informasi apakah Faktur Pajak dari PKP Penjual tidak sesuai dengan tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dan/atau penggunaan Faktur Pajak diluar jatah Nomor Seri Faktur Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
bahwa berdasarkan uraian di atas dan untuk memenuhi rasa keadilan, Majelis berpendapat secara materi Pajak Masukan yang sudah Penggugat bayarkan ke Penjual atau Penggugat pungut dan setorkan ke kas negara, tetap dapat dikreditkan karena kelalaian PKP Penjual mencantumkan Nomor Seri Faktur Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak untuk memenuhi persyaratan formal tidak dapat ditanggung rentengkan kepada pihak Pembeli atau Penggugat;

Menimbang:

bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”

bahwa Penjelasan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyatakan :
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”

bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, Majelis berkesimpulan koreksi faktur pajak masukan yang diterbitkan oleh penjual sebelum tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak sebesar DPP USD43,860.00, PPN USD4,386.00,00 (Rp55.184.652,00) harus dibatalkan karena secara materi Pajak Masukan yang sudah Penggugat bayarkan ke Penjual atau Penggugat dan telah di setor ke kas negara, tetap dapat dikreditkan karena kelalaian PKP Penjual mencantumkan Nomor Seri Faktur Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak untuk memenuhi persyaratan formal tidak dapat ditanggung rentengkan kepada pihak Pembeli atau Penggugat;

bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan atas keterangan dan bukti-bukti dalam persidangan, ketentuan perundang-undangan yang berlaku, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan seluruhnya gugatan Penggugat;

Mengingat:

Undang-undang Nomor : 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:

Mengabulkan seluruhnya gugatan Pengugat terhadap Keputusan Tergugat Nomor : KEP-00993/ NKEB/WPJ.22/ 2018 tanggal 28 Juni 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf b Karena Permohonan Wajib Pajak, atas nama : Penggugat, dan menetapkan PPN Terutang untuk Masa Pajak Februari 2015 menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak Rp. 8.255.803.173,00
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri Rp. 534.835.664,00
Jumlah pajak yang dapat diperhitungkan Rp. 8.316.486.891,00
Jumlah penghitungan Pajak Pertambahan Nilai kurang/(lebih) bayar Rp. (7.781.651.227,00)
Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan Rp. 7.781.651.227,00
Pajak Pertambahan Nilai yang tidak/kurang (lebih) dibayar Rp. 0,00


Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan musyawarah Majelis XVA Pengadilan Pajak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 21 Januari 2019, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Ketua,
RSR, S.E., MAFIS, sebagai Hakim Anggota,
AS, S.H., M.E. sebagai Hakim Anggota,
Dra. IF, M.M. sebagai Panitera Pengganti.


Putusan Nomor: PUT-006131.99/2018/PP/M.XVA Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 01 April 2019 oleh Hakim Ketua Majelis XVA Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: PEN-052/PP/Ucp/2019 tanggal 28 Maret 2019 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Dr. TM, SE, Ak., M.M., M.Hum. sebagai Hakim Ketua,
RSR, S.E., MAFIS, sebagai Hakim Anggota,
AS, S.H., M.E., sebagai Hakim Anggota,
Yang dibantu oleh:
AAPN

sebagai Panitera Pengganti.


yang dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Tergugat dan dihadiri oleh Penggugat.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA