Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-000052.99
Pokok Sengketa:

penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 08 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Surat Tagihan Pajak Karena Permohonan Wajib Pajak yang tidak disetujui oleh Penggugat;

Menurut Tergugat:

bahwa Laporan uraian penolakan Tergugat berisi hal berikut:

bahwa sehubungan dengan proses persidangan banding pada Majelis Hakim VIII Pengadilan Pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana tersebut pada pokok surat di atas, berikut ini Tergugat sampaikan penjelasan Tergugat berkaitan dengan sidang banding:

A. POKOK SENGKETA
Sanksi Administrasi Dalam STP Berupa Denda Pasal 4 ayat (4) UU KUP
Alasan penerbitan :
bahwa Pemohon Gugatan menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas dan benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud daiam Pasal 5 ayat (2) UU PPN;
B. KRONOLOGIS
  1. bahwa kepada Pemohon Gugatan diterbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai;
  2. bahwa atas Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Niiai dimaksud, Pemohon Gugatan mengajukan mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Pertama);
  3. bahwa atas surat permohonan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang pertama tersebut telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (Pertama) yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak;
  4. bahwa atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (Pertama) dimaksud, Pemohon Gugatan mengajukan mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Kedua);
  5. bahwa atas surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Kedua), telah diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (kedua) yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak;
  6. bahwa atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (kedua), Pemohon Gugatan mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak tanggal 19 Januari 2018;
B. PENJELASAN TERGUGAT
1. Dasar Hukum
a. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan

Pasal 14 ayat (1)
“Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
  1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
  4. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
    1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Niiai 1984 dan perubahannya; atau
    2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan ofeh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
  5. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak”;
Pasal 14 ayat (4)
"Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dan Dasar Pengenaan Pajak";

Pasal 36 ayat (1) huruf a
“Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
bahwa selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak”;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pefaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pasal 35 ayat (1) huruf a
"Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda dart kenaikan yang terutang sesuai dengan ketetntuan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan, dalam hal sanksi tersebut dikenakan Karen akekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”;

Pasal 36 ayat (1)
“Wajib Pajak yang dikenai sanksiadministrasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP”;

c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggar 2 Januari 2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak

Pasal 2 huruf a
“Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”;

Pasal 4
“Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
  1. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13 A Undang-Undang KUP;
  2. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP; dan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan;
  3. Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b”;
Pasal 5 ayat (1)
“Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak”;

Pasal 12
(1) Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan;
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dapat dilakukan apabila:
  1. Sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib pajak;
  2. Jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
  3. Memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    1. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang KUP;
    2. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    3. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa Iainnya; atau
    4. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya;
2. Tanggapan Tergugat
a. bahwa berdasarkan hasil penelitian atas data perpajakan berupa Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai Masa Mei tahun 2012, berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, diketahui bahwa WP menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas dan benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak dengan mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak benar yaitu kode cabang yang tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar;
c. bahwa berdasarkan Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang ditegaskan bahwa Kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan oleh Wajib Pajak tidak dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan;
d. bahwa dalam butir angka 3 Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang disebutkan bahwa :
1) PT. IRS Tbk (PT IRS) sebagai Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pratama yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM) yang sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantorkantor Cabang-nya maka Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan yaitu diisi dengan kode '000' untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor Cabang;
2) Atas hal tersebut pada huruf a, PT IRS wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas Kode Cabang yang digunakan beserta keterangan dari Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVA PER-159;
3) Keterangan dari Kode Cabang yang harus dicantumkan dalam pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b termasuk tanggal pengukuhan PKP Dengan demikian, Cabang-cabang yang dapat membuat Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar PT IRS adalah atas Cabang-cabang PT IRS yang sebelumnya telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak yang kemudian dilakukan pemusatan tempat pajak terutang;
4) Dalam hal PT. IRS menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah diatur dalam PER-159, maka Faktur Pajak Standar tersebut merupakan Faktur Pajak Cacat;
e. bahwa berdasarkan uraian pada huruf a, b, c dan d serta sesuai Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP, terhadap PKP yang membuat faktur pajak tidak lengkap, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;
f. bahwa Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 02 Januari 2013 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak disebutkan bahwa :
(1) Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan;
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dapat dilakukan apabila:
  1. Sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;
  2. Jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
  3. Memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    1. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang KUP;
    2. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    3. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
    4. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya;
g. bahwa penelitian terhadap Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, dapat diketahui bahwa :

No Uraian Hasil Penelitian
1 Sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak (Pasal 12 (2) huruf a PMK 8/PMK.03/2013) Tidak terpenuhi
2 Dikenai sanksi administrasi karena Kesalahan Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK 8/PMK.03/2013) Tidak terpenuhi
3 dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak (Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK 8/PMK.03/2013) Tidak terpenuhi
4 dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya (Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK 8/PMK.03/2013) Tidak terpenuhi
5 Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya (Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK 8/PMK.03/2013) Tidak terpenuhi
6 Pengusaha Kena Pajak (PKP) Baru Tidak terpenuhi, karena Wajib Pajak telah menjadi PKP sejak 01 Januari 2005.
h. bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak diusulkan untuk ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

C. KESIMPULAN
  1. bahwa penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana tersebut pada pokok surat di atas, telah sesuai dengan data dan ketentuan yang berlaku;
  2. bahwa koreksi TERGUGAT telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
  3. bahwa alasan Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
D. USUL
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Tergugat berpendapat Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana tersebut pada pokok surat, telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga Tergugat mengusulkan agar Majelis Hakim Yang Mulia menolak permohonan gugatan Penggugat;

bahwa demikian penjelasan tertulis ini Tergugat sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim VIII Pengadilan Pajak dalam memutus sengketa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;


bahwa Tergugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor S-5863/PJ.07/2018 tanggal 01 Agustus 2018, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

A. POKOK SENGKETA
Sanksi Administrasi Dalam STP Berupa Denda Pasal 14 ayat (4) UU KUP
alasan penerbitan:
bahwa Penggugat menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas dan benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) UU PPN;
B. KRONOLOGIS
  1. bahwa kepada Penggugat diterbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai;
  2. bahwa atas Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai dimaksud, Penggugat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Pertama);
  3. bahwa atas surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang pertama tersebut telah diterbitkan Keputusan tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (Pertama) yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak (Penggugat);
  4. bahwa atas Keputusan tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (Pertama) dimaksud, Penggugat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Kedua);
  5. bahwa atas surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi (Kedua), telah diterbitkan Keputusan Tergugat tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (Kedua) yang isinya menolak permohonan Wajib Pajak (Penggugat);
  6. bahwa atas Keputusan Tergugat tentang Penghapusan Sanksi Administrasi (kedua), Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak tanggal 19 Januari 2018;
B. PENJELASAN TERGUGAT
1. Dasar Hukum
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Pasal 14 ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
  1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
  2. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
  3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
  4. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu;
  5. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain:
    1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
    2. identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
  6. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak;
Pasal 14 ayat (4)
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, atau huruf f masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;

Pasal 36 ayat (1) huruf a
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

bahwa dalam Penjelasan disebutkan bahwa Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pasal 35 ayat (1) huruf a
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena kesalahannya;

Pasal 36 ayat (1):
Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang;

c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 2 Januari 2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak

Pasal 2 huruf a
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

Pasal 4
Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
  1. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
  2. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP; dan
  3. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b;
Pasal 5 ayat (1)
Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak;

Pasal 12
(1) Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan;
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila:
  1. sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;
  2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
  3. memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    1. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
    2. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    3. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
    4. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya;
2. Tanggapan Tergugat
a. bahwa berdasarkan hasil penelitian atas data perpajakan berupa Surat Pemberitahuan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juli 2011, berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, diketahui bahwa Penggugat menerbitkan Faktur Pajak yang tidak memuat keterangan dan/atau tidak mengisi secara lengkap, jelas dan benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Wajib Pajak menerbitkan Faktur Pajak dengan mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak benar yaitu kode cabang yang tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar;
c. bahwa berdasarkan Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang ditegaskan bahwa Kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan oleh Penggugat tidak dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan;
d. bahwa dalam butir angka 3 Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang disebutkan bahwa :
1) PT. IRS Tbk (PT IRS) sebagai Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor Pelayanan Pratama yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM) yang sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya maka Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan yaitu diisi dengan kode '000' untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor Cabang;
2) Atas hal tersebut pada huruf a, PT IRS wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas Kode Cabang yang digunakan beserta keterangan dari Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVA PER-159;
3) Keterangan dari Kode Cabang yang harus dicantumkan dalam pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf b termasuk tanggal pengukuhan PKP. Dengan demikian, Cabang-cabang yang dapat membuat Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar PT IRS adalah atas Cabang-cabang PT IRS yang sebelumnya telah berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak yang kemudian dilakukan pemusatan tempat pajak terutang;
4) Dalam hal PT. IRS menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah diatur dalam PER-159, maka Faktur Pajak Standar tersebut merupakan Faktur Pajak Cacat;
e. bahwa berdasarkan uraian pada huruf a, b, c dan d serta sesuai Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP, terhadap PKP yang membuat faktur pajak tidak lengkap, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak;
f. bahwa Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 02 Januari 2013 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak disebutkan bahwa:
(1) Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) buIan;
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila:
  1. sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh wajib pajak;
  2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak telah dilunasi oleh wajib pajak; dan
  3. memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    1. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP;
    2. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    3. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
    4. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya;
g. bahwa penelitian terhadap Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, dapat diketahui bahwa:

No Uraian Hasil Penelitian
1 Sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak
(Pasal 12 (2) huruf a PMK-8/PMK.03/2013)
Tidak terpenuhi
2 Dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Wajib Pajak
(Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK-8/PMK.03/2013)
Tidak terpenuhi
3 Dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak
(Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK-8/PMK.03/2013)
Tidak terpenuhi
4 Dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara / kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya
(Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK-8/PMK.03/2013)
Tidak terpenuhi
5 Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya
(Pasal 12 (2) huruf a angka 1 PMK-8/PMK.03/2013)
Tidak terpenuhi
6 Pengusaha Kena Pajak (PKP) Baru Tidak terpenuhi, karena Wajib Pajak telah menjadi PKP sejak 01 Januari 2015
h. bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak ditolak karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
i. bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 diterbitkan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Pasal 35 ayat (5} Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 merupakan peraturan yang mengikat semua pihak untuk dilaksanakan;
j. bahwa objek gugatan adalah Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi. Oleh karena itu, dapat dipahami, bahwa Penggugat mengakui bahwa penerbitan STP benar, namun mengajukan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi karena mengakui adanya kesalahan dalam penerbitan Faktur Pajak yang disebabkan ketidaksengajaan, atau khilaf;
k. bahwa berdasarkan surat permohonan, diketahui bahwa alasan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan gugatan, alasan permohonan gugatan adalah kekhilafan Wajib Pajak;
l. bahwa dalam persidangan, Penggugat menyatakan keadaan keuangan Penggugat tidak dalam keadaan kesulitan likuiditas;
m. bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka tidak terdapat alasan untuk mengabulkan permohonan gugatan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

C. SIMPULAN
  1. bahwa penerbitan STP a quo telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
  2. bahwa alasan Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
  3. bahwa penerbitan Keputusan Tergugat a quo, telah sesuai dengan data dan ketentuan yang berlaku;
D. USUL
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Tergugat berpendapat Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 08 Desember 2017, telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga Tergugat mengusulkan agar Majelis menolak permohonan gugatan Penggugat;

Menurut Penggugat:

bahwa Penggugat menyerahkan surat permohonan dan penjelasan tertulis mengenai definisi khilaf yang berisi sebagai berikut:

bahwa dengan ini disampaikan pendapat Penggugat mengenai terpenuhinya Pengertian "Kekhilafan Wajib Pajak" dalam Surat Permohonan Pasal 36 Ayat (1) huruf a UU KUP dari Penggugat sebagaimana tercantum dalam Surat Gugatan Penggugat Nomor PP/Gugatan/2011/001/I/2018 tanggal 5 Januari 2018, sebagai berikut :

1. bahwa sesuai Pasal 36 Ayat 1 Huruf (a) UU KUP disebutkan bahwa "Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat : mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya";
2. bahwa sesuai Pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak disebutkan bahwa "Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya";
3. bahwa STP diterbitkan sebagai hasil dari pemeriksaan PPN masa pajak Desember 2009, tetapi hasil pemeriksaan tersebut telah dibatalkan oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan tertanggal 23 Desember 2014. Adapun menurut kesimpulan Tim Quality Assurance Pemeriksaan pada angka 5, adalah sebagai berikut :
"Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa berdasarkan Risalah Pembahasan dan tanggapan Wajib Pajak dalam pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan dan kewajibannya: yaitu memiliki sistem penerbitan Faktur Pajak Standar yang belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor cabangnya dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan penggunaan kode cabang pada kode Faktur Pajak Standar sebelum Faktur Pajak diterbitkannya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) PER-159/PJ/2006. Berdasarkan Pasal 7 ayat (8) huruf a PER159/PJ/2006 yang merupakan faktur pajak cacat adalah jika Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau (7), Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa tidak terdapat faktur pajak cacat sesuai yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (8) huruf a PER-159/PJ/2006, oleh karena itu Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak dapat mempertahankan koreksi Tim Pemeriksa";


bahwa berdasarkan angka 1, 2, 3 dan 4 di atas, maka Penggugat berpendapat bahwa telah terjadi unsur kekhilafan pada diri Penggugat dimana Penggugat memilih untuk menerapkan hasil Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan tahun pajak 2009 yang telah membatalkan koreksi atas kekeliruan penggunaan kode cabang di Faktur Pajak. Sedangkan KPP PMB (Penggugat) tetap melakukan koreksi atas kekeliruan penggunaan kode cabang (4,5,6,7) di Faktur Pajak dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP);

bahwa dengan demikian, Penggugat berkesimpulan bahwa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi pengertian "kekhilafan Wajib Pajak" sesuai dengan Pasal 36 Ayat (1) huruf a UU KUP dan Peraturan Menteri Keuangan nomor 8/PMK.03/2013;

bahwa dalam Surat Tergugat nomor S-32.TG/WPJ.07/2018 tanggal 30 Januari 2018 (masa pajak September 2011), S-34.TG/WPJ.07/2018 tanggal 5 Februari 2018 (masa pajak Agustus 2011), S-39.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (masa pajak Juni 2011), S-54.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (masa pajak Oktober 2011), S-40.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (masa pajak November 2011), S-41.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (masa pajak Desember 2011) dinyatakan bahwa :

1. "Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia "ke-khilaf-an" didefinisikan sebagai kekeliruan, kesalahan yang tidak disengaja dapat saja terjadi dalam pergaulan sehari-hari;
2. bahwa Pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang tercantum dalam STP, yang dikenakan bukan murni atas kesalahan Wajib Pajak telah memenuhi kriteria kekhilafan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;


bahwa dengan demikian, baik Penggugat dan Tergugat telah menyatakan kesepahaman mengenai penggunaan Pasal 36 Ayat 1 huruf (a) UU KUP adalah benar”;

bahwa Penggugat menyampaikan tanggapan atas penjelasan Tergugat yang pada pokoknya berisi sebagai berikut:

bahwa sehubungan dengan tanggapan Tergugat pada angka 2 huruf h halaman ke-7 yang menyatakan bahwa “Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak diusulkan untuk ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013”, dengan ini disampaikan tanggapan Penggugat atas pendapat Tergugat tersebut, sebagai berikut :

1. bahwa sesuai dengan surat dari Tergugat (Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus) nomor S-2621/WPJ.07/2017 tertanggal 5 Juni 2017, S-2622/WPJ.07/2017 tertanggal 5 Juni 2017, dan S-3497/WPJ.07/2017 tertanggal 31 Juli 2017 pada angka 3 disebutkan bahwa “Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi saudara atas Surat Tagihan Pajak nomor 0115/107/11/054/16 tanggal 26 Mei 2016 Masa Pajak Mei 2011, 00147/107/11/054/16 tanggal 30 November 2016 Masa Pajak November 2011, dan 00146/107/11/054/16 tanggal 30 November 2016 Masa Pajak Desember 2011 ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013”;
2. bahwa sesuai Laporan Penelitian Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi karena Permohonan Wajib Pajak nomor LAP-03106/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 7 Desember 2017, LAP-03116/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, LAP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, LAP-03259/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03161/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 19 Desember 2017, LAP-03263/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03264/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03267/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, dinyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
3. bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 disebutkan bahwa “pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan dapat dilakukan apabila sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak.”;


bahwa berdasarkan angka 1, 2 dan 3 di atas, maka alasan penolakan yang telah disampaikan oleh Tergugat adalah karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, yaitu Penggugat dianggap telah melakukan pembayaran atau pelunasan oleh Wajib Pajak. Namun pelunasan tersebut sebenarnya dilakukan oleh Tergugat (KPP PMB), bukan oleh Penggugat, dengan cara memperhitungkan utang pajak (dalam hal ini STP PPN melalui SKPKPP).

bahwa adapun pernyataan Penggugat dalam persidangan yang menyatakan bahwa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 adalah tidak tepat, karena tidak sesuai dengan fakta angka 1 (Surat dari Tergugat) dan angka 2 (Laporan Penelitian Tergugat) di atas yang bersumber dari dokumen Tergugat sendiri. Persyaratan pada Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 memang merupakan syarat kumulatif (huruf a, b, dan c), namun berdasarkan Surat Tergugat dan Laporan Penelitian Tergugat diketahui penolakan yang dilakukan oleh DJP adalah karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

bahwa adapun terhadap penolakan permohonan Penggugat karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, bahwa Penggugat dianggap telah membayar atau melunasi STP, maka Penggugat menyatakan tidak menyetujui dengan alasan sebagai berikut :

1. bahwa kalimat “dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak” mengandung arti yang melakukan pembayaran atau pelunasan tersebut adalah Wajib Pajak. Membayar atau melunasi STP tersebut adalah suatu bentuk Perbuatan Hukum dimana dalam pengertiannya Perbuatan Hukum adalah perbuatan subjek hukum (orang atau badan hukum) yang secara sengaja (opzet) dilakukan sehingga menimbulkan/menghilangkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu;
2. bahwa berdasarkan pengertian pada butir 2 di atas, Penggugat tidak melakukan perbuatan hukum membayar atau melunasi STP tersebut sehingga atas kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang timbul atau menjadi hilang akibat peristiwa tersebut tidak dikehendaki dan diketahui oleh penggugat. Pelunasan tersebut dilakukan oleh Tergugat (KPP PMB) dengan cara memperhitungkan utang pajak (dalam hal ini STP PPN melalui SKPKPP). Penggugat tidak pernah berniat melakukan pembayaran atau pelunasan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam STP PPN;


bahwa dengan demikian, Penggugat tidak melakukan perbuatan hukum membayar atau melunasi STP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 sehingga surat permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Penggugat seharusnya diterima;

bahwa Penggugat menyampaikan pendapat dalam penjelasan tertulis yang pada pokoknya berisi sebagai berikut:

bahwa sehubungan dengan permintaan Majelis untuk membuktikan terpenuhinya salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2013 terkait STP yang diterbitkan oleh Tergugat dengan ini disampaikan pendapat Penggugat sebagai berikut :

1. bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi Penggugat berpendapat bahwa STP yang diterbitkan tersebut tersebut memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2013 yaitu "Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP";

2. bahwa mengutip surat tanggapan dari Tergugat pada halaman ke-5 angka 2 (Tanggapan Tergugat) pada huruf c disebutkan bahwa "Berdasarkan Surat Direktur Peraturan Perpajakan 1 Nomor S-1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang ditegaskan bahwa kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan oleh Wajib Pajak tidak dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan";

bahwa berdasarkan alasan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak karena Penggugat tidak melakukan pemberitahuan secara tertulis atas kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan Penggugat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan, sehingga Faktur Pajak Penggugat dianggap cacat; adalah tidak benar karena tidak sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi;

3. bahwa Penggugat telah menyampaikan surat pemberitahuan kode cabang sebelum faktur pajak diterbitkan ke KPP PMB dengan kronologis sebagai berikut:
  1. bahwa pada tanggal 20 Desember 2006, Penggugat menyampaikan surat nomor 02/IRS/KPP-PMB/12/2006 perihal Kode Cabang pada Faktur Pajak dan Pembagian Serial Pemakaian Faktur Pajak yang diterima di KPP PMB pada tanggal 21 Desember 2006 dengan nomor Bukti Penerimaan Surat PEM:014828/054/dec/2006, dalam rangka memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 2;
  2. bahwa pada tanggal 28 Desember 2006, Penggugat menyampaikan surat nomor 01/IRS/KPP-PMB/XII/2006 perihal pemberitahuan penggunaan kode cabang di Faktur Pajak ke KPP PMB (Tergugat) yang diterima di KPP PMB pada tanggal 28 Desember 2006 dengan nomor Bukti Penerimaan Surat PEM:014994/054/dec/2006, Hal ini sesuai dengan hasil konsultasi dengan pegawai Direktorat PPN & PTLL dan KPP PMB, serta untuk memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 4;
  3. bahwa pada tanggal 31 Januari 2007, Penggugat menyampaikan surat nomor 03/IRS/KPP-PMB/I/2007 perihal pemberitahuan penambahan penggunaan kode cabang di Faktur Pajak ke KPP PMB (Tergugat) yang diterima di KPP PMB pada tanggal 12 Februari 2007 dengan nomor Bukti Penerimaan Surat PEM:001000/054/feb/2007, dalam rangka memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 4;
  4. bahwa pada tanggal 23 Desember 2014, telah terbit Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang memberikan kesimpulan sebagai berikut :
    "Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa berdasarkan Risalah Pembahasan dan tanggapan Wajib Pajak dalam pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan dan kewajibannya: yaitu memiliki sistem penerbitan Faktur Pajak Standar yang belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor cabangnya dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan penggunaan kode cabang pada kode Faktur Pajak Standar sebelum Faktur Pajak diterbitkannya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) PER-159/PJ/2006. Berdasarkan Pasal 7 ayat (8) huruf a PER-159/PJ/2006 yang merupakan faktur pajak cacat adalah jika Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau (7)”;

bahwa berdasarkan angka 2 dan 3 di atas, maka secara jelas dan nyata bahwa alasan diterbitkannya STP yang dilakukan oleh Tergugat tidak sesuai dengan fakta yang ada dan terjadi sehingga Penggugat berpendapat unsur yang terdapat terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2013 terpenuhi karena terdapat kesalahan Tergugat dengan tidak mempertimbangkan penyampaikan surat pemberitahuan penggunaan kode cabang dari Penggugat yang telah diterima oleh KPP PMB (Tergugat) dengan Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang sah;

bahwa dengan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2013, Penggugat berpendapat bahwa Surat Permohonan Penghapusan Sanksi Administrasi (Pasal 36 ayat (1) huruf a) telah memenuhi semua unsur yang terdapat Pasal 12 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan No 8/PMK.03/2013 sehingga atas dasar tersebut Penggugat memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim untuk dapat menjadikan hal ini sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) atas permohonan Penggugat;

bahwa Penggugat menyampaikan Pendapat Akhir Nomor PP/Surat/07-2011/045/VII/2018 tanggal 31 Juli 2018, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

FAKTA DAN BUKTI DALAM PERSIDANGAN

bahwa Penggugat tetap mempertahankan alasan-alasan Gugatan yang dimuat dalam Surat Permohonan Gugatan karena Penggugat memiliki fakta dan bukti yang sah dan telah ditunjukkan dalam persidangan;

A. Terpenuhinya Alasan Penggugat atas Penggunaan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dalam Surat Penggugat, dengan fakta dan bukti yang telah disampaikan pada saat persidangan yaitu sebagai berikut:
  1. bahwa sesuai Pasal 36 ayat 1 Huruf (a) UU KUP disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. bahwa sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak pada:
    1. bahwa Pasal 2 huruf a disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
    2. bahwa Pasal 4 disebutkan bahwa Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
      1. sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
      2. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP; atau
      3. sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b;
bahwa berdasarkan angka 1 dan 2 di atas, maka Penggugat memilih menggunakan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dikarenakan:
  1. memenuhi definisi “khilaf” sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia dan bukan murni atas kesalahan Wajib Pajak;
  2. memenuhi Pasal 4 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
B. Terpenuhinya Persyaratan yang tercantum pada Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, dengan fakta dan bukti yang telah disampaikan pada saat persidangan yaitu sebagai berikut :
1. bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terjadi Penggugat berpendapat bahwa STP yang diterbitkan tersebut tersebut memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 yaitu Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;

2. bahwa mengutip surat tanggapan dari Tergugat tertanggal 9 Mei 2018 yang telah disampaikan di persidangan, pada halaman ke-5 angka 2 (Tanggapan Tergugat) pada huruf c disebutkan bahwa Berdasarkan Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1267/PJ.02/2015 tanggal 8 Desember 2015 tentang Penegasan atas Penerapan Peraturan Penomoran Faktur Pajak Kode Cabang ditegaskan bahwa kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan oleh Wajib Pajak tidak dilakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan;

bahwa berdasarkan alasan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak karena Penggugat tidak melakukan pemberitahuan secara tertulis atas kode cabang 4, 5, 6, 7 yang digunakan Penggugat kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa sebagai Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dengan batas waktu paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan, sehingga Faktur Pajak Penggugat dianggap cacat;

3. bahwa Penggugat telah menyampaikan surat pemberitahuan kode cabang sebelum Faktur Pajak diterbitkan ke KPP PMB (Tergugat) dengan kronologis sebagai berikut :
  1. bahwa pada tanggal 20 Desember 2006, Penggugat menyampaikan Surat Nomor 02/IRS/KPP-PMB/12/2006 perihal Kode Cabang pada Faktur Pajak dan Pembagian Serial Pemakaian Faktur Pajak yang diterima di KPP PMB pada tanggal 21 Desember 2006 dengan nomor Bukti Penerimaan Surat PEM:014828\054\dec\2006, dalam rangka memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 2;
  2. bahwa pada tanggal 28 Desember 2006, Penggugat menyampaikan Surat Nomor 01/IRS/KPP-PMB/XII/2006 perihal pemberitahuan penggunaan kode cabang 04, 05, dan 06 di Faktur Pajak ke KPP PMB (Tergugat) yang diterima di KPP PMB pada tanggal 28 Desember 2006 dengan Bukti Penerimaan Surat Nomor PEM:014994\054\dec\2006, Hal ini sesuai dengan hasil konsultasi dengan pegawai Direktorat PPN & PTLL dan KPP PMB, serta untuk memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 4;
  3. bahwa pada tanggal 31 Januari 2007, Penggugat menyampaikan Surat Nomor 03/IRS/KPP-PMB/I/2007 perihal Pemberitahuan Penambahan Penggunaan Kode Cabang 07 di Faktur Pajak ke KPP PMB (Tergugat) yang diterima di KPP PMB pada tanggal 12 Februari 2007 dengan Bukti Penerimaan Surat Nomor PEM:001000\054\feb\2007, dalam rangka memenuhi PER-159/PJ/2006 Pasal 7 angka 4;
  4. bahwa pada tanggal 23 Desember 2014, telah terbit Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang memberikan kesimpulan sebagai berikut:
    Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa berdasarkan Risalah Pembahasan dan tanggapan Wajib Pajak dalam pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan dan kewajibannya: yaitu memiliki sistem penerbitan Faktur Pajak Standar yang belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor cabangnya dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan penggunaan kode cabang pada kode Faktur Pajak Standar sebelum Faktur Pajak diterbitkannya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) PER-159/PJ/2006. Berdasarkan Pasal 7 ayat (8) huruf a PER-159/PJ/2006 yang merupakan faktur pajak cacat adalah jika Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau (7);

    bahwa berdasarkan angka 1, 2, dan 3 di atas, maka secara jelas dan nyata bahwa alasan diterbitkannya STP yang dilakukan oleh Penggugat tidak sesuai dengan fakta yang ada dan terjadi sehingga Penggugat berpendapat unsur yang terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 terpenuhi karena terdapat kesalahan Tergugat dengan tidak mempertimbangkan penyampaian surat pemberitahuan penggunaan kode cabang dari Penggugat yang telah diterima oleh KPP PMB (Tergugat) dengan Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang sah;
C. Terpenuhinya Pengertian “Kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya” dalam Surat Permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP, dengan fakta dan bukti yang telah disampaikan pada saat persidangan yaitu sebagai berikut :
  1. bahwa sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  2. bahwa sesuai Pasal 2 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Atau Surat Tagihan Pajak disebutkan bahwa Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat: mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
  3. bahwa STP diterbitkan sebagai hasil dari pemeriksaan PPN Masa Pajak Desember 2009, tetapi hasil pemeriksaan tersebut telah dibatalkan oleh Tim Quality Assurance Pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan tertanggal 23 Desember 2014. Adapun menurut kesimpulan Tim Quality Assurance Pemeriksaan pada angka 5, adalah sebagai berikut :
    Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa berdasarkan Risalah Pembahasan dan tanggapan Wajib Pajak dalam pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan dan kewajibannya: yaitu memiliki sistem penerbitan Faktur Pajak Standar yang belum online antara Kantor Pusat dan Kantor-kantor cabangnya dan telah menyampaikan Surat Pemberitahuan penggunaan kode cabang pada kode Faktur Pajak Standar sebelum Faktur Pajak diterbitkannya sesuai dengan Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (2) PER-159/PJ/2006. Berdasarkan Pasal 7 ayat (8) huruf a PER-159/PJ/2006 yang merupakan faktur pajak cacat adalah jika Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau (7).
    Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Tim Quality Assurance Pemeriksaan berpendapat bahwa tidak terdapat faktur pajak cacat sesuai yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (8) huruf a PER-159/PJ/2006, oleh karena itu Tim Quality Assurance Pemeriksaan tidak dapat mempertahankan koreksi Tim Pemeriksa”;

    bahwa berdasarkan angka 1, 2, dan 3 di atas, maka Penggugat tetap mengikuti hasil Risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan tahun pajak 2009 yang telah membatalkan koreksi atas penggunaan kode cabang di Faktur Pajak. Sedangkan KPP PMB (Tergugat) tetap melakukan koreksi atas penggunaan kode cabang (4,5,6,7) di Faktur Pajak dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP);

    bahwa Penggugat berpendapat bahwa STP tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya. Dengan demikian, Penggugat berkesimpulan bahwa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi yang diajukan oleh Penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

    bahwa dalam Surat Tergugat Nomor S-32.TG/WPJ.07/2018 tanggal 30 Januari 2018 (Masa Pajak September 2011), S-34.TG/WPJ.07/2018 tanggal 5 Februari 2018 (Masa Pajak Agustus 2011), S-39.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Juni 2011), S-54.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Oktober 2011), S-40.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak November 2011), S-41.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Desember 2011) dinyatakan bahwa:
    1. Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia “ke-khilaf-an” didefinisikan sebagai kekeliruan, kesalahan yang tidak disengaja dapat saja terjadi dalam pergaulan sehari-hari;
    2. Bahwa Pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang tercantum dalam STP, yang dikenakan bukan murni atas kesalahan Wajib Pajak telah memenuhi kriteria kekhilafan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;

    bahwa dengan demikian, baik Penggugat dan Tergugat telah menyatakan bahwa pengajuan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP adalah benar sesuai dengan peraturan perpajakan;

  4. bahwa tidak terpenuhinya alasan Tergugat yaitu Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 sebagaimana tercantum dalam Surat Tergugat Nomor S-2621/WPJ.07/2017 tanggal 5 Juni 2017, S-2622/WPJ.07/2017 tanggal 5 Juni 2017, dan S-3497/WPJ.07/2017 tanggal 31 Juli 2017, dengan fakta dan bukti yang telah disampaikan pada saat persidangan yaitu sebagai berikut :
    1. bahwa sesuai dengan surat dari Tergugat (Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus) Nomor S-2621/WPJ.07/2017 tanggal 5 Juni 2017, S-2622/WPJ.07/2017 tanggal 5 Juni 2017, dan S-3497/WPJ.07/2017 tanggal 31 Juli 2017 pada angka 3 disebutkan bahwa Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi saudara atas Surat Tagihan Pajak Nomor 0115/107/11/054/16 tanggal 26 Mei 2016 Masa Pajak Mei 2011, 00147/107/11/054/16 tanggal 30 November 2016 Masa Pajak November 2011, dan 00146/107/11/054/16 tanggal 30 November 2016 Masa Pajak Desember 2011 ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
    2. bahwa sesuai Laporan Penelitian Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi karena Permohonan Wajib Pajak Nomor LAP-03106/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 7 Desember 2017, LAP-03116/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, LAP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, LAP-03259/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03161/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 19 Desember 2017, LAP-03263/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03264/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, LAP-03267/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 29 Desember 2017, dinyatakan bahwa permohonan Wajib Pajak ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;
    3. bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 disebutkan bahwa pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan dapat dilakukan apabila sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;

    bahwa berdasarkan angka 1, 2 dan 3 di atas, maka alasan penolakan yang telah disampaikan oleh Tergugat adalah karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, yaitu Penggugat dianggap telah melakukan pembayaran atau pelunasan oleh Wajib Pajak. Namun pelunasan tersebut sebenarnya dilakukan oleh Tergugat (KPP PMB), bukan oleh Penggugat, dengan cara memperhitungkan utang pajak (dalam hal ini STP PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 melalui SKPKPP Nomor KEP-00265.PPN/WPJ.07/KP.0803/2016 tanggal 15 November 2016);

    bahwa pernyataan Penggugat dalam persidangan yang menyatakan bahwa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak ditolak karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 adalah tidak tepat, karena tidak sesuai dengan fakta angka 1 (Surat dari Tergugat) dan angka 2 (Laporan Penelitian Tergugat) di atas yang bersumber dari dokumen Tergugat sendiri. Persyaratan pada Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 memang merupakan syarat kumulatif (huruf a, b, dan c), namun berdasarkan Surat Tergugat dan Laporan Penelitian Tergugat diketahui penolakan yang dilakukan oleh DJP adalah karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013;

    bahwa terhadap penolakan permohonan Penggugat karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013, bahwa Penggugat dianggap telah membayar atau melunasi STP, maka Penggugat menyatakan tidak menyetujui dengan alasan sebagai berikut :
    1. bahwa kalimat “dibayar atau dilunasi oleh Wajib Pajak” mengandung arti yang melakukan pembayaran atau pelunasan tersebut adalah Wajib Pajak. Membayar atau melunasi STP tersebut adalah suatu bentuk Perbuatan Hukum dimana dalam pengertiannya Perbuatan Hukum adalah perbuatan subjek hukum (orang atau badan hukum) yang secara sengaja (opzet) dilakukan sehingga menimbulkan/menghilangkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yang mengartikan “kesengajaan” (opzet) sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). (Pompe : 166). Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan di samping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu;
    2. bahwa berdasarkan pengertian pada butir 2 di atas, Penggugat tidak melakukan perbuatan hukum membayar atau melunasi STP tersebut sehingga atas kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang timbul atau menjadi hilang akibat peristiwa tersebut tidak dikehendaki dan diketahui oleh Penggugat. Pelunasan tersebut dilakukan oleh Tergugat (KPP PMB) dengan cara memperhitungkan utang pajak (dalam hal ini STP PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 melalui SKPKPP nomor KEP-00265.PPN/WPJ.07/KP.0803/2016 tanggal 15 November 2016). Penggugat tidak pernah berniat melakukan pembayaran atau pelunasan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam STP PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011;

    bahwa dengan demikian, Penggugat tidak melakukan perbuatan hukum membayar atau melunasi STP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 sehingga surat permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Penggugat seharusnya diterima;

  5. bahwa untuk menanggapi Pendapat Tergugat pada sidang tanggal 4 Juli 2018, Penggugat menyampaikan pendapat secara lisan sebagai berikut :
    1. bahwa terkait dengan pernyataan Tergugat mengenai diskresi Tergugat mengenai penilaian terhadap terpenuhinya unsur khilaf atau bukan kesalahan Wajib Pajak, Penggugat menyatakan bahwa diskresi ini sudah tidak menjadi perdebatan karena Tergugat telah menyatakan bahwa “Pengenaan sanksi administrasi berupa denda yang tercantum dalam STP, yang dikenakan bukan murni atas kesalahan Wajib Pajak telah memenuhi kriteria kekhilafan” sebagaimana tercantum dalam Surat Tergugat Nomor S-32.TG/WPJ.07/2018 tanggal 30 Januari 2018 (Masa Pajak September 2011), S-34.TG/WPJ.07/2018 tanggal 5 Februari 2018 (Masa Pajak Agustus 2011), S-39.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Juni 2011), S-54.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Oktober 2011), S-40.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak November 2011), S-41.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Desember 2011);
    2. bahwa Tergugat menyatakan bahwa ada alasan lain selain permasalahan surat pemberitahuan kode cabang, tetapi sampai dengan sidang terakhir, Tergugat tidak dapat menyampaikan alasan lain tersebut. Bahwa berdasarkan surat penjelasan Tergugat tertanggal 9 Mei 2018 yang disampaikan di persidangan, tidak ditemukan alasan lain yang dicantumkan dalam surat penjelasan tersebut;

  6. bahwa untuk menanggapi Pendapat Tergugat pada sidang tanggal 18 Juli 2018, Penggugat menyampaikan pendapat secara lisan sebagai berikut :
    1. bahwa Tergugat menyatakan bahwa seharusnya permohonan Penggugat didasarkan atas Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP, namun dalam dalam Surat Tergugat Nomor S-32.TG/WPJ.07/2018 tanggal 30 Januari 2018 (Masa Pajak September 2011), S-34.TG/WPJ.07/2018 tanggal 5 Februari 2018 (Masa Pajak Agustus 2011), S-39.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Juni 2011), S-54.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Oktober 2011), S-40.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak November 2011), S-41.TG/WPJ.07/2018 tanggal 19 Februari 2018 (Masa Pajak Desember 2011), Tergugat menyatakan surat Penggugat telah memenuhi Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP. Pendapat Tergugat yang disampaikan dalam persidangan jelas berbeda dengan penjelasan yang disampaikan dalam surat Tergugat;

    bahwa selain fakta-fakta yang Penggugat uraikan di atas, Penggugat sampaikan bahwa dengan adanya STP tersebut, hak restitusi yang seharusnya Penggugat terima, menjadi berkurang. Hal ini mengakibatkan terganggunya likuiditas perusahaan. Untuk menutup kekurangan likuiditas tersebut, Penggugat telah melakukan pinjaman tambahan ke Bank HSBC, dimana pinjaman tersebut menambah beban perusahaan terkait dengan kewajiban pembayaran bunga;

KESIMPULAN DAN USUL PENGGUGAT

bahwa berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, Penggugat menyimpulkan bahwa:

1. bahwa Surat Gugatan telah memenuhi seluruh ketentuan formal pengajuan Gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU KUP serta Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pengadilan Pajak;
2. bahwa Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 08 Desember 2017, telah mengabaikan fakta-fakta dan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;


bahwa Penggugat mengusulkan kepada Majelis agar:

1) menyatakan bahwa gugatan yang diajukan Penggugat dapat diterima karena telah memenuhi seluruh ketentuan formal;
2) membatalkan keputusan Tergugat yang dikeluarkan melalui Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 08 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Surat Tagihan Pajak karena Permohonan Wajib Pajak atas Surat Tagihan Pajak PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011;
3) memerintahkan kepada Tergugat untuk mengabulkan permohonan Penggugat dalam Surat Nomor PMB/STP/2011/013/VII/2017 tanggal 24 Juli 2017 yang meminta penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 menjadi Rp0,00 (NIHIL), dengan perhitungan sebagai berikut:

Uraian Menurut Tergugat Dikurangi / (ditambah) Menurut Penggugat
Pajak yang tidak/kurang dibayar Nihil Nihil Nihil
Sanksi administrasi
i. Denda Pasal 14 ayat 4 UU KUP 3.357.118.668 3.357.118.668 Nihil
Nihil Jumlah Pajak yang masih harus dibayar 3.357.118.668 3.357.118.668 Nihil

Menurut Majelis:

bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Surat Tagihan Pajak Karena Permohonan Wajib Pajak yang tidak disetujui oleh Penggugat;

bahwa berdasarkan Laporan Penelitian Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi karena Permohonan Wajib Pajak Nomor LAP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, alasan Tergugat menolak permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 adalah karena tidak memenuhi Pasal 12 ayat (2) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 2 Januari 2013;

bahwa atas penolakan Tergugat dalam KEP-03119 a quo Penggugat menyampaikan bantahan bahwa yang melakukan pelunasan tersebut sebenarnya adalah Tergugat sendiri (dalam hal ini KPP PMB), bukan oleh Penggugat, dengan cara memperhitungkan utang pajak (dalam hal ini STP PPN) melalui Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP), Penggugat tidak melakukan perbuatan hukum membayar atau melunasi STP tersebut sehingga atas kewajiban-kewajiban dan hak-hak yang timbul atau menjadi hilang akibat peristiwa tersebut tidak dikehendaki dan diketahui oleh Penggugat;

bahwa selanjutnya atas bantahan tersebut Penggugat menyampaikan petitum untuk membatalkan keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi atas Surat Tagihan Pajak karena Permohonan Wajib Pajak atas Surat Tagihan Pajak PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 serta memerintahkan kepada Tergugat untuk mengabulkan permohonan Penggugat dalam Surat Nomor PMB/STP/2011/013/VII/2017 tanggal 24 Juli 2017 yang meminta pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 menjadi Rp0,00 (NIHIL);

bahwa yang menjadi Dasar Hukum yang terkait dengan sengketa gugatan ini adalah:

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Pasal 36 ayat (1) huruf a
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

bahwa dalam Penjelasan disebutkan bahwa Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak;

b Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pasal 35 ayat (1) huruf a
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena kesalahannya;

Pasal 36 ayat (1):
Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang;

c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tanggal 2 Januari 2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak

Pasal 2 huruf a
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;

Pasal 4
Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
  1. Sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
  2. Sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) UU KUP; atau
  3. Sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b;
Pasal 5 ayat (1)
Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak;

Pasal 12
(1) Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan;
(2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila:
  1. Sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;
  2. Jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
  3. Memenuhi kriteria yang dapat berupa:
    1. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
    2. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
    3. Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
    4. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal sebagai berikut:

1. prosedur penerbitan keputusan penolakan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017;
2. alasan Tergugat melakukan penolakan atas permohonan Penggugat Nomor PMB/STP/2011/013/VII/2017 tanggal 24 Juli 2017 perihal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP dan pemenuhan unsur ketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf a PMK Nomor 8/PMK.03/2013 serta alasan ketidaksetujuan Penggugat terhadap penolakan dan bukti-bukti pendukungnya;


bahwa dalam menerbitkan keputusan penolakan Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017, dari data dan fakta di persidangan terbukti Tergugat telah menempuh prosedur sebagaimana diatur pada Pasal 16 PMK Nomor 8/PMK.03/2013 diantaranya :

- bahwa Penggugat telah dimintakan keterangan dan data-data oleh Tergugat saat memprosesnya;
- bahwa Penggugat telah dipanggil sesuai dengan ketentuan dalam/saat Tergugat memprosesnya;
- bahwa penelitian permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP mencakup penelitian atas formal dan materi yang diajukan sengketa;
- bahwa prosedur penelitian permohonan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP telah dilakukan oleh Tergugat yang diakhiri dengan penyampaian Berita Acara Penelitian Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP kepada Penggugat;


bahwa dari prosedur yang telah ditempuh oleh Tergugat, Majelis berpendapat bahwa Tergugat telah memenuhi prosedur penelitian/pemeriksaan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP sebagaimana mestinya sesuai aturan yang berlaku sehingga Majelis tidak akan memeriksa lagi masalah materi yang telah dibahas/diproses oleh Tergugat;

bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017 penerbitannya telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak, yang dilakukan Tergugat telah benar;

bahwa berdasarkan Laporan Penelitian Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi Tergugat Nomor LAP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017 yang menjadi alasan Tergugat menolak permohonan pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi (Pasal 36 ayat (1) huruf a) UU KUP adalah karena berdasarkan system informasi Tergugat menunjukkan data tunggakan pajak dari Penggugat yang terdapat dalam STP PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 sudah lunas dan tidak ada tunggakan lagi. Dari data dan fakta yang ditemukan di persidangan diketahui bahwa tunggakan STP tersebut telah lunas karena diterbitkannya SKPKPP (Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak) oleh Tergugat. Dengan diterbitkannya SKPKPP tersebut oleh Tergugat maka melalui mekanisme pemindahbukuan secara jabatan (bukan atas permohonan pihak Penggugat) maka tunggakan pajak yang wajib dilunasi oleh Penggugat dengan sendirinya akan menjadi lunas;

bahwa dengan adanya penerbitan SKPKPP dan proses pbk (pemindahbukuan) oleh pihak Tergugat Majelis menilai tidak ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh Penggugat, dalam hal ini posisi Penggugat adalah pasif tidak melakukan tindakan apapun sehingga Majelis berpendapat bahwa pelunasan tunggakan yang tercantum dalam STP a quo yang diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP bukanlah atas kehendak atau kemauan dari pihak Penggugat melainkan atas tindakan Tergugat secara sepihak (secara jabatan);

bahwa atas tidak diatur secara jelas mengenai bagaimana kondisi atau asal mula pelunasan tunggakan Penggugat, Majelis berpendapat bahwa karena tidak diatur secara tegas maka tidak bisa serta merta pihak Tergugat menyatakan bahwa tunggakan a quo sudah dilunasi oleh Penggugat tanpa ditelusuri terlebih dahulu kondisi dalam hal bagaimana pelunasan utang pajak tersebut terjadi. Berdasarkan fakta dan data yang terungkap di persidangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya Majelis menilai bahwa pelunasan tersebut bukan berasal dari inisiatif Penggugat melainkan dari pihak Tergugat melalui proses pemindahbukuan;

bahwa dalam kondisi demikian Majelis mengambil suatu konstruksi hukum yang merupakan salah satu metode penemuan hukum yang Majelis anggap tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas dan jelas dalam kondisi pelunasan utang pajak a quo. Konstruksi hukum yang dilakukan adalah dengan menggunakan logika berpikir secara argumentum a contrario (a contrario) yaitu menafsirkan atau menjelaskan peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dimaksud. Bahwa dengan tidak diatur secara jelas tentang bagaimana kondisi saat pelunasan utang pajak maka dapat diartikan bahwa tidak terjadi suatu keadaan adanya pelunasan pajak dalam hal STP a quo yang berasal dari adanya inisiatif atau kemauan sendiri dari pihak Penggugat. Majelis menilai persyaratan untuk mendapatkan pengurangan sanksi administrasi (menjadi paling lama 24 (dua puluh empat) bulan) sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a PMK Nomor 8/PMK.03/2013 memiliki multi tafsir yang menimbulkan keraguan dan tidak adanya kepastian hukum bagi para pencari keadilan;

bahwa Majelis tidak akan memeriksa lebih lanjut mengenai latar belakang penerbitan STP a quo dan pemenuhan unsur khilaf serta syarat-syarat dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c PMK Nomor 8/PMK.03/2013 karena hal-hal demikian merupakan diskresi dari pihak Tergugat dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak sebagai bahan pertimbangan dalam memproses permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang diajukan Penggugat berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf a UU KUP;

bahwa dengan melihat data dan fakta di persidangan, maka Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan Penggugat dengan membatalkan Keputusan Tergugat Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 8 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Surat Tagihan Pajak Karena Permohonan Wajib Pajak serta memerintahkan Tergugat untuk memproses lebih lanjut permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua dengan Surat Nomor PMB/STP/2011/013/VII/2017 tanggal 24 Juli 2017 tentang permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak PPN Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 atas nama PT IRS Tbk NPWP -;

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;

Memutuskan:

Mengabulkan seluruhnya permohonan gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-03119/NKEB/WPJ.07/2017 tanggal 08 Desember 2017 tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Surat Tagihan Pajak Karena Permohonan Wajib Pajak Nomor 00127/107/11/054/16 tanggal 26 Juli 2016 Masa Pajak Juli 2011 atas nama Pemohon Banding.

Demikian diputus berdasarkan musyawarah Majelis VIIIB Pengadilan Pajak yang telah dicukupkan dalam sidang pemeriksaan terakhir pada hari Rabu tanggal 1 Agustus 2018 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :

NW, S.H., M.Si. sebagai Hakim Ketua,
Drs. SH, Ak. sebagai Hakim Anggota,
DD, S.H., M.M. sebagai Hakim Anggota,

dengan dibantu oleh

DWH, S.H., M.H.



sebagai Panitera Pengganti.


Putusan Nomor : PUT-000052.99/2018/PP/M.VIIIB Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Rabu tanggal 27 Februari 2019 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti dengan susunan sebagai berikut :

NW, S.H., M.Si. sebagai Hakim Ketua,
Drs. SSBH, M.M. sebagai Hakim Anggota,
DD, S.H., M.M. sebagai Hakim Anggota,

Yang dibantu oleh DWH, S.H., M.H.

sebagai Panitera Pengganti.


serta tidak dihadiri oleh Tergugat maupun Penggugat.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA