Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-114035.32
Pokok Sengketa:
bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah koreksi Nilai Jual Objek Pajak sebesar Rp2.280/M2 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

Menurut Terbanding:
bahwa sengketa timbul karena Pemohon Banding kurang bayar atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan – Hak Guna Usaha - atas tanah Negara seluas 16.661,06 ha terletak di Desa Pangkalan Teluk, Sungai Kelik, Siantau Raya, Nanga Tayap, Simpang Tiga Sembelangaan dan Tajuk Kayong Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat sebagaimana diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 17 Oktober 2014 Nomor Peta 088-14.07-2014;

bahwa yang menjadi perbedaan antara perhitungan Pemohon Banding dengan perhitungan Terbanding terletak pada Nilai NJOP per M2 yang digunakan untuk menghitung NPOP, Pemohon Banding menggunakan Nilai per M2 sebesar Rp820,00 yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 cfm Rincian perhitungan Nilai dalam SPPT PBB tahun 2015, sedangkan Terbanding (Bappenda) menggunakan NJOP per M2 sebesar Rp3.100,00 yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 ditambah Nilai Standar Investasi Tanaman/SIT sebagaimana tercantum dalam SPPT PBB Pemohon Banding Tahun 2015;

bahwa menurut Terbanding, perhitungan yang dilakukan terkait SKPDKB-BPHTB telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Untuk pemberian hak baru atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU), maka NPOP sebagai dasar pengenaan BPHTB menggunakan Nilai Pasar dan bukan menggunakan Nilai Dasar Tanah, dalam hal ini Nilai Dasar Tanah bukanlah Nilai Pasar;

bahwa mengingat nilai pasar sebagai dasar pengenaan BPHTB tidak diketahui maka harus merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (3) yang mengatur bahwa "Jika Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak".;

bahwa selanjutnya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, dalam Pasal 5 ayat (3) diatur dengan tegas bahwa "Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP, maka NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak". Dengan demikian tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa Nilai Dasar Tanah sebagai dasar pengenaan BPHTB;

bahwa selain mengemukakan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, Terbanding dalam persidangan menyampaikan penjelasan tertulis dengan surat tanggal 9 Februari 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:


POKOK SENGKETA

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan Keputusan Terbanding Nomor 106/BAPPENDA-E tanggal 03 April 2017 yang isinya memutuskan menolak permohonan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SKPDKB BPHTB) nomor 000629 tanggal 18 April 2016 dan mempertahankan jumlah BPHTB yang kurang dibayar dalam SKPDKB BPHTB nomor 000629 sebesar Rp18.993.608.400,00 yang diterbitkan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang. Menurut Pemohon Banding, perhitungan BPHTB tidak boleh didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sebagaimana tertuang dalam SPPT PBB Pemohon Banding tahun pajak 2015 sebesar Rp3.100,-/m2 (Tiga Ribu Seratus Rupiah) permeter persegi, namun harus dihitung dari Nilai Dasar Tanah saja, yaitu sebesar Rp820,-/m2 (Delapan ratus Rupiah) permeter persegi;


MATERI SENGKETA

bahwa berdasarkan Pasal 87 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD dan dan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2011 tentang BPHTB mengatur “Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP, maka NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak”. Hal ini secara jelas apabila ditinjau dari dari metode penafsiran Hukum secara subyektif, yaitu dari apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-Undang, dimana dalam hal ini adalah Presiden dan DPR RI sebagai pembuat Undang-Undang serta antara Pemerintah Kabupaten Ketapang dan DPRD Kabupaten Ketapang sebagai pembuat Perda, maka jelas bahwasanya NJOP PBB yang dimaksud adalah NJOP PBB pada SPPT PBB pada Tahun perolehan Hak, yang dimana Terbanding hanya mengikuti apa yang digariskan dalam Undang-Undang dan Perda tersebut, jadi apabila dalam hal ini Pemohon Banding keberatan akan Undang-Undang dan Perda tersebut, semestinya Pemohon Banding mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang kepada Mahkamah Konstitusi dan judicial review terhadap Perda Nomor 3 Tahun 2011 tentang BPHTB tersebut kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang berdasarkan ketentuan dan perundangan yang berlaku memberikan Hak atas uji materi maupun uji formil bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu Peraturan PerundangUndangan (Undang-Undang atau Perda), jadi dalam hal ini Kompetensi Absolut untuk perkara ini berada pada Mahkamah Agung Republik Indonesia;

bahwa Pemohon Banding belum membayar 50 % (Lima puluh Persen) dari jumlah Pajak yang terutang. Berdasarkan SKPDKB Nomor 000629 tanggal 18 April 2016 Pajak yang terutang dari Pemohon Banding adalah sebesar Rp25.821.643.000,00 semestinya Pemohon Banding terlebih dahulu membayar 50 % dari Rp25.821.643.000,00 atau sebesar Rp12.910.821.500,00 sebelum mengajukan permohonan banding, hal ini merujuk pada Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak yang sebagai lex specialis dalam perkara a quo. Pembayaran Pajak BPHTB Pemohon Banding baru dilakukan sebesar Rp6.828.034.600,00 atau baru sebesar 26,44 % dari Pajak terutang;

bahwa apa yang disampaikan Pemohon Banding yaitu mendapatkan Izin Lokasi pada Tahun 2004 dan pada tahun tersebut melakukan Penanaman tanaman Kelapa Sawit dan Pembangunan Prasarana penunjang lainnya adalah suatu hal yang salah dan melanggar Hukum dan ketentuan yang berlaku, yang dimana apabila merujuk pada Persetujuan IUP yang didapatkan pada Tahun 2005, dan IUP yang didapatkan pada Tahun 2012, seharusnya Pemohon Banding melakukan kegiatan Penanaman Kelapa Sawit setelah Persetujuan IUP atau IUP diberikan kepada Pemohon Banding;

bahwa Pemohon Banding mendalilkan perhitungan BPHTB yang mereka setorkan sebesar Rp6.828.034.600,00 atas perolehan tanah seluas 166.610.600 M² adalah berdasarkan nilai dasar tanah per M² sebesar Rp820 adalah suatu hal yang mengada-ada dan berusaha melakukan Tax Avoidance, atau perlawanan Aktif yang ditujukan kepada fiskus dengan tujuan menghindari Pajak, dimana metode dan teknik yang digunakan cenderung memanfaatkan “grey area” yang terdapat di dalam Undang-Undang dan Peraturan Perpajakan itu sendiri, untuk memperkecil jumlah Pajak yang terhutang. Dalam Penghindaran Pajak ini Pemohon Banding memang tidak secara jelas melanggar Undang-Undang, akan tetapi dengan jelas menafsirkan Undang-Undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat Undang-Undang;

bahwa apa yang disampaikan pada Point-4 diatas tergambarkan dengan adanya dalil harga dasar tanah yang dikemukakan oleh Pemohon Banding, tidak terdapat pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pajak BPHTB. Apabila melakukan penafsiran secara gramatikal pada Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, maka disitu secara jelas dinyatakan bahwa jika NPOP lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan, Secara semantik pasal tersebut mempertegas tentang NJOP PBB dan bukan Harga Dasar Tanah yang menjadi dasar perhitungan BPHTB;

bahwa Terbanding hanya melaksanakan Norma yang secara gamblang dan jelas dibunyikan didalam peraturan Perundang-Undangan, yaitu Perda Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang PDRD, permasalahan Standar Investasi Tanaman tersebut masuk atau tidak didalam perhitungan NJOP PBB bukanlah ranah daripada Pemda Ketapang untuk menafsirkannya, karena secara jelas dan gamblang Norma yang tercantum didalam Pasal 87 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP, hal ini mendapat pengecualian pada Pasal 87 ayat (3) yaitu apabila NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP PBB, maka yang dijadikan dasar perhitungan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. yang dijadikan perhitungan dalam penagihan BPHTB sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah NJOP PBB tahun perolehan hak, apabila Pemda Ketapang (Bappenda) berusaha menafsirkan sendiri bahwa NJOP PBB yang dipakai pada perhitungan BPHTB adalah harga dasar tanah (yang bukan menjadi norma dalam UU tersebut), hal tersebut kemungkinan bisa menjadi temuan saat pemeriksaan Keuangan, karena Norma yang tercantum didalam Pasal 87 ayat (3) UU PDRD tersebut adalah “NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak” tidak ada norma “Harga Dasar Tanah” yang tercantum dalam UU PDRD. Apabila hal ini terjadi Pemda Ketapang dapat dianggap melakukan tindakan yang merugikan Keuangan Negara dengan adanya Potential Lost karena tidak melakukan upaya dan menuruti perhitungan yang dilakukan oleh Pemohon Banding dalam perhitungan besarnya BPHTB tanpa mengikuti aturan yang digariskan oleh Peraturan yang berlaku. Sebagai tambahan dan perlu diketahui juga bahwa beberapa Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit antara lain PT. LGIS, PT. LSM, PT. SISM yang berada disekitar lahan Perkebunan Pemohon Banding mempergunakan NJOPPBB seperti yang tertera didalam SPPT-PBB, begitu juga dengan beberapa Perusahaan lain yang berusaha di Kabupaten Ketapang, perusahaan-perusahaan tersebut tidak menafsirkan adanya Nilai Dasar Tanah dalam pembayaran BPHTB yang mereka lakukan, mereka melakukan pembayaran BPHTB dengan dasar NJOP PBB seperti yang tercantum dalam SPPT PBB Perusahaan tersebut. Jika Banding dari Pemohon Banding dikabulkan, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan gejolak dari Perusahaan lain yang telah membayar, dan akan menjadi tolak ukur yang akan merugikan Pemerintah Kabupaten Ketapang apabila ada Perusahaan yang akan membayar BPHTB. Mohon Majelis mempertimbangkan bahwasanya BPHTB ini merupakan salah satu Pajak Daerah yang dibayarkan dari Sektor Perkebunan, selain BPHTB ini Pajak dari Sektor Perkebunan tidak ada yang langsung dapat dinikmati oleh daerah, hal ini yang membuat Pajak BPHTB menjadi penting dalam menunjang pembangunan daerah, apabila Permohonan Pemohon Banding dikabulkan, maka hal tersebut pasti akan berpengaruh secara signifikan pada penurunan pendapatan daerah;

bahwa berkaitan dengan penafsiran Norma yang terdapat didalam UU Nomor 28 Tahun 2009terkait dengan dasar perhitungan BPHTB, diketahui bahwa dalam penafsiran PerundangUndangan, pertama-tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks Peraturan Perundang-Undangan harus dimengerti dulu arti kata-katanya. Secara gramatikal secara jelas yang disebutkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menjadi dasar perhitungan adalah NPOP dan NJOP PBB, tidak ada harga dasar tanah yang disebutkan dalam peraturan tersebut, dalam sengketa a quo Terbanding berpendapat bahwasanya apabila dikehendaki lain oleh Pembuat Undang-Undang selain NJOP PBB sebagai dasar perhitungan BPHTB, pasti ada pasal atau ayat lain yang memunculkan tentang Harga Dasar Tanah dalam NJOP PBB apabila dipakai untuk perhitungan BPHTB. Akan tetapi Harga Dasar Tanah seperti yang didalilkan oleh Pemohon Banding tidak pernah muncul secara gramatikal dalam Peraturan Perundang-Undangan tersebut, maka menyimpulkan itu semua Terbanding berpendapat bahwa dasar perhitungan yang dilakukan oleh Terbanding dengan menggunakan NJOP PBB adalah sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan Perundangan yang berlaku;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa untuk memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat, yang merupakan salah satu prinsip yang terdapat didalam penegakan hukum, sangatlah mencederai rasa keadilan didalam masyarakat apabila Wajib Pajak diberikan keleluasaan dalam menentukan tarif yang mereka inginkan dalam perhitungan BPHTB, rasa keadilan tersebut semakin tercedarai dengan harga sebesar Rp820/M², dimana saat ini tidak ada lagi tanah yang senilai Rp820,-/M², yang lebih murah daripada tarif parkir motor roda dua, apabila hal tersebut berdasarkan penetapan yang sah mungkin bisa diterima didalam kerangka Negara Hukum, akan tetapi harga Rp820,-/M² berasal dari taksiran sepihak Pemohon Banding yang menjadikan hal tersebut mencederai rasa keadilan yang timbul di masyarakat. Hal yang berbeda terjadi pada penetapan BPHTB apabila mempergunakan mekanisme hukum yang berlaku, yang dimana walaupun harga Rp3.100,-/M² juga dirasa masih kecil jumlahnya, akan tetapi hal tersebut memang sudah ada aturan dan mekanisme yang jelas tentang Pejabat Tata Usaha Negara yang menetapkan dan mekanisme penetapannya, sehingga rasa keadilan tersebut telah terpenuhi karena telah berdasarkan Peraturan Perundangan yang berlaku. Pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat itu semakin jauh apabila dilihat dari mulainya Pemohon Banding berusaha yaitu pada tahun 2004 sampai saat ini, yang dimana pada saat ditagih kewajibannya untuk memberikan kontribusi kepada Daerah melalui Pajak BPHTB, yang dimana Pajak tersebut juga akan dipakai untuk membangun masyarakat di tempat Pemohon Banding, ternyata Pemohon Banding berusaha mengelak dengan dalil-dalil yang terkesan dicari-cari, hal ini membuat PEMDA KABUPATEN KETAPANG mempertanyakan komitmen Pemohon Banding untuk membantu membangun daerah tempat Pemohon Banding berusaha, dalam hal ini pertanyaan yang mengemuka adalah kenapa Pemohon Banding tidak mengurus saja HGU tersebut pada saat lahan perkebunan Kelapa Sawit belum ada investasi apapun diatas tanah tersebut, sehingga tidak menimbulkan polemik seperti yang terjadi saat ini;

bahwa Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) Nomor 00629 Tanggal 18 April 2016, Tahun Pajak 2015, dibandingkan perhitungan dari Pemohon Banding dengan perhitungan sebagai berikut:

No. Uraian Jumlah (Rp) Koreksi (Rp)
Wajib Pajak Pemeriksaan
1. Luas Tanah/Bumi (M2) 166.610.600 166.610.600 0
2. NJOP PBB/M2 820 3.100 2.280
2. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) 136.620.692.000 516.492.860.000 379.872.168.000
3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) 60.000.000,00 60.000.000,00 0
4. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) = (1-2) 136.560.692.000 516.432.860.000 379.872.168.000
5. Pajak yang seharusnya terutang : 5% x NPOP 6.828.034.600 25.821.643.000 18.993.608.400
6. Pajak yang telah dibayar 6.828.034.600 6.828.034.600 0
7. Pajak yang Kurang Bayar 0 18.993.608.400 18.993.608.400

bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya (tanah yang dikuasai Negara), guna perusahaan pertanian, perkebunan atau perikanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pokok agraria, Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara. Sedangkan hak atas tanaman kelapa sawit yang ada diatasnya diperoleh oleh Pemohon Banding sebelum hak guna usaha tersebut diberikan karena tanaman kelapa sawit tersebut memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasi. Dengan kata lain hak atas bangunan, tanaman, sarana, dan prasarana yang ada di atas tanah tersebut diperoleh tidak pada saat hak guna usaha tersebut diberikan. Pembanding memakai Undang-Undang Pokok Agraria sebagai acuan dalam pengertian Hak didalam kasus BPHTB, Pembanding lupa bahwa apabila berbicara tentang BPHTB, maka undang-Undang yang dipakai adalah Undang-Undang yang mengatur tentang BPHTB itu sendiri, yaitu Undang-Undang nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jadi asas hukum lex specialis derogat legi generalis yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum berlaku dalam hal ini, dimana Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 adalah lex specialis-nya dan Undang-Undang Pokok Agraria menurut pembanding (seharusnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria) adalah lex generalis dalam kasus BPHTB ini, pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 di pasal 1 pengertian umum angka 41 bahwa “Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan” kemudian di angka 42 berbunyi “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”, kemudian di angka 43 berbunyi “Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”. Jadi sudah jelas dalam hal ini bahwasanya Hak Pengelolaan (Kebun Kelapa Sawit) juga termasuk didalam Hak atas tanah yang dikenakan BPHTB mengacu kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut;

bahwa hanya Nilai Dasar Tanah saja yang menjadi dasar pengenaan Pajak BPHTB menurut Pemohon Banding adalah sesuatu hal yang tidak memiliki landasan hukum, karena hal tersebut tidak diatur dalam peraturan Perundang-undangan. Pemohon Banding tidak dapat menjelaskan atau membuktikan secara jelas dan tegas ketentuan Peraturan Perundangan mana yang mengatur tentang hal tersebut;

bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai peraturan tertinggi dalam sumber hukum di Indonesia terkait pengenaan BPTHB telah menyatakan secara jelas dan tegas pada Pasal 87 ayat (3) bahwa jika Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak. Dengan demikian tidak perlu lagi menafsirkan mengenai nilai lain (nilai dasar tanah saja) sebagaimana pendapat dari Pemohon Banding;


PERMOHONAN

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dimohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada Sengketa Pajak nomor 32-114035-2016 untuk:

a. Menyatakan bahwa Banding Pemohon Banding TIDAK DAPAT DITERIMA karena Surat Banding Nomor 050/AMNL-PP/VI/17 tanggal 20 Juni 2017 Cacat secara Formil dan tidak memenuhi persyaratan materiil untuk mengajukan Permohonan Banding;
b. MENOLAK Banding dari Pemohon Banding Nomor 050/AMNL-PP/VI/17 tanggal 20 Juni 2017 dan menyatakan bahwa Keputusan Terbanding Nomor 106/BAPENDA-E tanggal 03 April 2017 tentang Penolakan Permohonan Pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SKPDKB-BPHTB) TETAP BERLAKU dan TELAH SESUAI DENGAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANGAN.;
c. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono);

Menurut Pemohon Banding:
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan perhitungan Terbanding (Dispenda) dalam menghitung BPHTB Tahun 2016 terhutang dengan menggunakan NJOP Bumi SPPT PBB Tahun 2015 sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP);

bahwa Pemohon Banding telah memperoleh Ijin Usaha Perkebunan (IUP) dan Ijin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit pertama kali dari Bupati Ketapang di Tahun 2004, dimana kondisi lahannya masih berupa hutan dan tidak terdapat tanaman menghasilkan maupun prasarana penunjang lainnya;

bahwa perusahaan perkebunan yang telah memiliki Ijin Usaha Perkebunan (IUP) wajib merealisasikan pembangunan perkebunan, pembukaan lahan dan pembangunan sarana dan prasarana;

bahwa atas areal yang telah dikuasai sejak tahun 2004 tersebut telah diterbitkan SK Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015 sehingga secara kenyataan di lapangan Pemohon Banding telah menguasai lahan tanah tersebut dari tahun 2004 namun secara hukum baru diakui haknya pada tahun 2015;

bahwa sejak tahun 2004 dimana lahan yang tadinya berupa hutan sekunder oleh Pemohon Banding dilakukan pengolahan lahan (land clearing) dan kemudian dilakukan penanaman tanaman kelapa sawit beserta pembangunan sarana dan prasarana seperti perumahan karyawan, jalan dan sarana serta prasarana lainnya, sehingga pada saat terbitnya Hak Guna Usaha (HGU) No. 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015 sudah ada tanaman kelapa sawit, kantor, perumahan karyawan, sarana dan prasarana lainnya sehingga nilai obyek pajak tersebut (khususnya tanah) meningkat harganya dibandingkan ketika masih berupa hutan;

bahwa izin usaha dan izin lokasi yang diberikan kepada Pemohon Banding sebelumnya hanya berupa tanah dan dalam bentuk hutan sekunder, sehingga investasi atas tanaman kelapa sawit, bangunan prasarana dan lain-lain dilakukan oleh Pemohon Banding sendiri, maka dengan kata lain bahwa sejak pencadangan lahan/izin lokasi sampai dengan diterbitkannya HGU atau kepemilikan atas hak tersebut, tidak pernah terjadi pemindahan hak dari investasi yang dilakukan, karena investasi yang dilakukan diatas tanah tersebut baik berupa tanaman, bangunan prasarana dan lain-lainnya memang dilakukan oleh Pemohon Banding sendiri. Oleh sebab itu nilai investasi tanaman kelapa sawit, bangunan, sarana dan prasarana lainnya tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang harus dibayarkan oleh Pemohon Banding;

bahwa sesuai penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf b angka 2 UU No 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2000, bahwa yang dimaksud hak baru diluar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut perundang-undangan yang berlaku. Sehingga atas tanaman maupun bangunan diatasnya tidak dikenakan BPHTB karena tidak termasuk dalam pengertian pemberian hak baru;

bahwa selain itu, bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2000, dijelaskan bahwa:
”Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Hak Guna Usaha”;

bahwa didalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2000 menyatakan bahwa: ”Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku”;

bahwa dengan demikian karena Pemohon Banding memperoleh hak baru berupa HGU dimana investasi dilakukan sendiri oleh Pemohon Banding dan berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 disebutkan bahwa HGU diberikan atas tanah, maka seharusnya obyek pajak BPHTB adalah atas tanah saja dan tidak termasuk tanaman dan atau bangunan diatasnya serta sarana dan prasarana lainnya;

bahwa Terbanding seharusnya tidak menggunakan NJOP Bumi (tanaman ditambah SIT) SPPT PBB Tahun 2015 sebagai dasar penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) BPHTB. Dapat kami jelaskan bahwa Dasar Pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan Dasar Pengenaan PBB adalah kenikmatan atas penggunaan tanah dan bangunan tersebut. Dengan demikian dalam pengenaan PBB, faktor yang menentukan adalah nilai dari kenikmatan dari tanah dan bangunan tersebut tanpa mempertanyakan hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang secara nyata menikmati tanah dan bangunan tersebut. Apakah pihak yang menikmati tanah dan bangunan tersebut adalah pemiliknya sendiri, penyewa atau bahkan pihak yang menikmati tanah tersebut secara tidak sah untuk pengenaan PBB merupakan faktor yang tidak menentukan;

bahwa sebaliknya dalam pengenaan BPHTB, faktor yang menentukan justru menyangkut hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang memperolehnya. Jadi sekalipun pada saat Hak Guna Usaha tersebut diterbitkan sudah ada Tanaman Kelapa Sawit, namun hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding hanyalah hak atas tanahnya saja, karena tidak ada peralihan hak atas tanaman kelapa sawit yang sejak semula karena memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasinya;

bahwa dengan demikian untuk pengenaan BPHTB nilai perolehan yang dijadikan dasar untuk menentukan BPHTB terutang terbatas pada nilai dari apa yang secara hukum diperoleh (dalam kasus ini hanya tanahnya saja);

bahwa jelas dalam sengketa ini hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara, guna usaha pertanian, perkebunan atau perikanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara;

bahwa dari uraian dan penjelasan di atas maka menurut Pemohon Banding untuk perhitungan BPHTB atas luas tanah seluas 16.661,06 Ha (NOP: 61.04.080.016.900-0007.1) sebagaimana tercantum dalam SK Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015 seharusnya hanya menggunakan nilai dari hak yang secara hukum diperoleh oleh Pemohon Banding saja yaitu terbatas pada nilai tanah saja;

bahwa selain mengemukakan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, Pemohon Banding dalam persidangan menyampaikan penjelasan tertulis yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

- surat nomor : 001/AMNL-PP/I/2018 tanggal 22 Januari 2018

Latar Belakang

bahwa pada Tahun 2004, Pemohon Banding memperoleh Izin Lokasi untuk pembangunan perkebunan Kelapa Sawit di Desa Sungai Kelik, Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang. Sejak memperoleh Izin Lokasi tersebut, Pemohon Banding telah melakukan sendiri pengolahan lahan, penanaman tanaman kelapa sawit, dan pembangunan prasarana penunjang lainnya;

bahwa atas lahan yang telah didapatkan Izin Lokasi Perkebunan Kelapa Sawit tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 32/HGU/KEMATR/BPN/2015 tanggal 07 Mei 2015 tentang Pemberian Hak Guna Usaha atas nama PT. AM atas Tanah di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat;

bahwa sehingga secara fakta, Pemohon Banding telah menguasai lahan tanah dari sejak awal izin lokasi diperoleh, namun pelepasan hak negara kepada Pemohon Banding baru dilakukan pada tahun 2015;

bahwa sehubungan dengan proses pengurusan Hak Guna Usaha tersebut, maka pada tanggal 22 Juli 2015 Wajib Pajak telah menyetorkan BPHTB sebesar Rp6.828.034.600,00 atas perolehan tanah seluas 16.661,06 ha (166.610.600 M2 ) dengan NJOP PBB/M2 sebesar Rp820,- (berdasarkan nilai dasar tanah per M2 sesuai Rinciari Perhitungan Nilai dalam SPPT PBB tahun 2015 yang diterbitkan oleh KPP Pratama Ketapang);

bahwa pada tanggal 18 April 2016, Dinas Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten Ketapang menerbitkan SKPDKB-BPHTB Nomor 000629, dengan rincian sebagai berikut:

1 Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) Rp 516.492.860.000
2 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp 60.000.000
3 Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (1-2) Rp 516.432.860.000
4 Pajak yang seharusnya terhutang : 5% x Rp 516.432.860.000 Rp 25.821.643.000
5 Pengenaan Hak Pengelolaan/Hibah Wasiat : Rp
6 Pajak yang seharusnya dibayar (4 atau 5) Rp 25.821.643.000
7 Pajak yang telah dibayar Tgl 30/0712015 Rp 6.828.034.600
8 Diperhitungkan:
a. Pokok STPD Rp
b. Pengurangan Rp
c. Jumlah (8.a +8.b) Rp
d. Dikurangi Pokok SKPDLBISKPKP
-BPHTB
Rp
e. Jumlah (8.c - 8.d) Rp
9 Jumlah yang dapat diperhitungkan (7 + 8.e) Rp 6.828.034.600
10 Pajak yang kurang dibayar (6 - 9) Rp 18.993.608.400
11 Sanksi administrasi berupa bunga (Pasal 12 ayat (5) Perda BPHTB No. 3 Tahun 2011)
Bunga : .... Bulan x 2% x Rp Rp
12 Jumlah yang harus dibayar (10 + 11 ) Rp 18.993.608.400
Dengan Huruf: Delapan Belas Milyar Sembilan Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Delapan Ribu Empat Ratus Rupiah

bahwa dengan demikian, perhitungan BPHTB menurut Pemohon Banding dan Terbanding adalah sebagai berikut:

No. Uraian Jumlah (Rp) Koreksi (Rp)
Wajib Pajak Pemeriksaan
1. Luas Tanah/Bumi (M2) 166.610.600 166.610.600
2. NJOP PBB/M2 820 3.100 2.280
2. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) 136.620.692.000 516.492.860.000 379.872.168.000
3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) 60.000.000,00 60.000.000,00
4. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) = (1-2) 136.560.692.000 516.432.860.000 379.872.168.000
5. Pajak yang seharusnya terutang : 5% x NPOP 6.828.034.600 25.821.643.000 18.993.608.400
6. Pajak yang telah dibayar 6.828.034.600 6.828.034.600
7. Pajak yang Kurang Bayar 18.993.608.400 18.993.608.400

Materi Sengketa Banding

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan besarnya BPHTB yang kurang dibayar menurut perhitungan Terbanding (Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang) sebesar Rp18.993.608.400,00. Adapun yang menjadi perbedaan antara perhitungan Pemohon Banding dengan perhitungan Terbanding terletak pada Nilai NJOP Per M2 yang digunakan untuk menghitung NPOP;

bahwa Pemohon Banding menggunakan Nilai Per M2 sebesar Rp820,- yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 cfm Rincian Perhitungan Nilai dalam SPPT PBB Pemohon Banding tahun 2015. Sedangkan Terbanding menggunakan NJOP per M2 sebesar Rp3.100,- yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 ditambah Nilai Standar Investasi Tanaman / SIT sebagaimana tercantum dalam SPPT PBB Wajib Pajak tahun 2015;

bahwa menurut Pemohon Banding BPHTB seharusnya dihitung dari Nilai Dasar Tanah saja (tidak termasuk SIT) karena peristiwa hukum yang terjadi pada saat perolehan HGU ini adalah perolehan hak atas tanah oleh Pemohon Banding yang didapatkan dari Negara. Sedangkan investasi tanaman dibangun sendiri oleh Pemohon Banding, dan tidak diperoleh dari Negara;

bahwa hal ini sesuai dengan Pasal 85 UU Pajak Daerah No. 28 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
(1) Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
b. Pemberian hak baru karena:
2) Di Iuar pelepasan hak
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
d. Hak pakai

bahwa kemudian dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa:
(1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai Iangsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
(2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau Iebih harus memakai investasi modal yang Iayak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

bahwa dalam hal ini hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya (tanah yang dikuasai Negara), guna perusahaan pertanian, perkebunan atau perikanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara;

bahwa sedangkan hak atas tanaman kelapa sawit yang ada di atasnya diperoleh oleh Pemohon Banding sebelum hak guna usaha tersebut diberikan karena tanaman kelapa sawit tersebut memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasi. Dengan kata lain hak atas bangunan, tanaman, sarana, dan prasarana yang ada di atas tanah tersebut diperoleh tidak pada saat hak guna usaha tersebut diberikan;

bahwa dengan demikian hak yang diperoleh Pemohon Banding atas diterbitkannya hak guna usaha hanyalah hak atas tanah. Oleh karena itu dasar pengenaan BPHTB atas perolehan hak guna usaha tersebut hanyalah nilai jual dari tanah saja yaitu sebesar Rp820/m2 ;

bahwa berbeda dengan penentuan NJOP dalam perhitungan PBB terhutang yang dikenakan sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah perolehan hak (atas tanah dan bangunan), sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang dikenakan pajak itu adalah kenikmatan atas tanah dan bangunan;

bahwa oleh karena itu Dasar Pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan Dasar Pengenaan PBB adalah kenikmatan atas penggunaan tanah dan bangunan tersebut, dengan demikian dalam pengenaan PBB, faktor yang menentukan adalah nilai dari kenikmatan dari tanah dan bangunan tersebut tanpa mempertanyakan hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang secara nyata menikmati tanah dan bangunan tersebut. Apakah pihak yang menikmati tanah dan bangunan tersebut adalah pemiliknya sendiri, penyewa atau bahkan pihak yang menikmati tanah tersebut secara tidak sah untuk pengenaan PBB merupakan faktor yang tidak menentukan;

bahwa sebaliknya dalam pengenaan BPHTB, faktor yang menentukan justru menyangkut hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang memperolehnya. Jadi sekalipun pada saat Hak Guna Usaha tersebut diterbitkan di atas tanah seluas 16.661,06 ha sudah ada Tanaman Kelapa Sawit, namun hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding hanya hak atas tanahnya saja, karena tidak ada peralihan hak atas tanaman kelapa sawit yang sejak semula memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasinya;

Referensi

bahwa tanpa bermaksud untuk melakukan intervensi atas independensi Majelis Hakim Yang Mulia, Pemohon Banding mendapatkan referensi putusan hukum atas kasus yang sama dengan Pemohon Banding yaitu:
1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 58/B/PK/PJK/2005 tanggal 27 Maret 2006;
2. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 76530/PP/M.VIB/32/2016 tanggal 3 November 2016;
3. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 70996/PP/M.VIA/32/2016 tanggal 24 Mei 2016;
4. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 08295/PP/M.X/18/2006 tanggal 16 Juni 2006;
5. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 40727/PP/M.VIII/32/2012 tanggal 15 Oktober 2012;
6. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 37886/PP/M.XI/32/2012 tanggal 30 April 2012;
7. Putusan Pengadilan Pajak Nomor 35344/PP/M.I/32/2011 tanggal 5 Desember 2011;
- surat nomor: 003/AMNL-PP/II/2018 tanggal 7 Februari 2018,
A. Pendapat Terbanding
1. Formal Pengajuan Banding

bahwa dalam persidangan tanggal 23 Januari 2018 Terbanding menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 36 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Pemohon Banding harus telah melakukan pembayaran sebesar 50% dari jumlah terutang; dalam sengketa ini pajak yang terhutang menurut SKPDKB-BPHTB Nomor 000629 adalah sebesar Rp18.993.608.400,-. Dengan demikian, menurut Terbanding, Pemohon Banding harus melakukan pembayaran terlebih dahulu sebesar Rp9.496.804.200,- sebelum melakukan pengajuan banding, sehingga permohonan banding Pemohon Banding telah cacat formal;
2. Sengketa Materi Banding

bahwa dalam Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Peraturan Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28 tahun 2009 disebutkan “Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;
bahwa kemudian dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan diatur bahwa Jika NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP, maka NPOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan hak”;
bahwa berdasarkan peraturan tersebut di atas, Terbanding menyatakan bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Dasar Tanah saja tanpa Standar Investasi Tanaman (SIT) sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon Banding;
bahwa Terbanding juga menyatakan bahwa pendapat Pemohon Banding yang telah menafsirkan sendiri NJOP sebesar Rp820,- / M2 adalah tidak berdasar dan sangat subjektif. Sedangkan perhitungan Terbanding yang menggunakan NJOP sebesar Rp3.100,- / M2 adalah ketentuan yang diharuskan oleh Undang-Undang, dan dalam hal ini Badan Pendapatan Daerah hanya menghitung BPHTB dengan acuan NJOP yang ditetapkan oleh KPP Pratama sebagai institusi yang berwenang menurut peraturan Penundang-undangan. Apabila semua Wajib Pajak menetapkan NJOP berdasarkan tafsir sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Pemohon Banding maka tidak menutup kemungkinan akan timbul harga tanah yang dinilai sebesar Rp10,- / M2 sehingga bertentangan dengan apa yang menjadi ketetapan dari Pemerintah;
B. Tanggapan Dan Penjelasan Pemohon Banding

1. Formal Pengajuan Banding

bahwa pernyataan Terbanding yang menyebutkan bahwa permohonan Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak yang terutang telah dibayar sebesar 50% berdasarkan Pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 adalah tidak benar;

bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (5A) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (perubahan terakhir dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) disebutkan bahwa:
“Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan putusan banding”;

bahwa lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan sebagai berikut:

Pasal 103 ayat (4)
“Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak”;

Pasal 105 ayat (3)
“Pengajuan permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding”;
bahwa kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, yang diterbitkan sendiri oleh Terbanding, dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 25 ayat (4)
“Permohonan keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah melakukan pembayaran paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak”;

Pasal 27 ayat (1) dan ayat (3)
"(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Bupati;
(3) Pengajuan permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding”;
bahwa kemudian dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa:
bahwa dengan demikian, pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa permohonan banding Pemohon Banding harus melakukan pembayaran 50% dari jumlah yang terutang sangat tidak berdasar pada peraturan yang ada bahkan melanggar peraturan yang telah diterbitkan sendiri oleh Terbanding. Oleh karena itu, permohonan banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding;
2. Sengketa Materi Banding

bahwa menurut Pemohon Banding BPHTB seharusnya dihitung dari Nilai Dasar Tanah saja (tidak termasuk SIT) karena peristiwa hukum yang terjadi pada saat perolehan HGU ini adalah perolehan hak atas tanah oleh Pemohon Banding yang didapatkan dari Negara. Sedangkan investasi tanaman dibangun sendiri oleh Pemohon Banding, dan tidak diperoleh dari Negara;
bahwa hal ini sesuai dengan Pasal 85 UU Pajak Daerah No. 28 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa:
(1) Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
b. Pemberian hak baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak;
(3) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
b. Hak guna usaha;
bahwa di dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dijelaskan sebagai berikut:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum;
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi;
bahwa kemudian dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa:
(1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan;
(2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman;
bahwa dalam hal ini hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya (tanah yang dikuasai Negara), guna perusahaan pertanian, perkebunan atau perikanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara;
bahwa sedangkan hak atas tanaman kelapa sawit yang ada di atasnya diperoleh oleh Pemohon Banding sebelum hak guna usaha tersebut diberikan karena tanaman kelapa sawit tersebut memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasi. Dengan kata lain hak atas bangunan, tanaman, sarana, dan prasarana yang ada di atas tanah tersebut diperoleh tidak pada saat hak guna usaha tersebut diberikan;
bahwa berbeda dengan penentuan NJOP dalam perhitungan PBB terhutang, yang dikenakan sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah perolehan hak (atas tanah dan bangunan), sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang dikenakan pajak itu adalah kenikmatan atas tanah dan bangunan;
bahwa oleh karena itu Dasar Pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan Dasar Pengenaan PBB adalah kenikmatan atas penggunaan tanah dan bangunan tersebut. Dengan demikian dalam pengenaan PBB, faktor yang menentukan adalah nilai dari kenikmatan dari tanah dan bangunan tersebut tanpa mempertanyakan hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang secara nyata menikmati tanah dan bangunan tersebut. Apakah pihak yang menikmati tanah dan bangunan tersebut adalah pemiliknya sendiri, penyewa atau bahkan pihak yang menikmati tanah tersebut secara tidak syah untuk pengenaan PBB merupakan faktor yang tidak menentukan;
bahwa sebaliknya dalam pengenaan BPHTB, faktor yang menentukan justru menyangkut hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang memperolehnya. Jadi sekalipun pada saat Hak Guna Usaha tersebut diterbitkan diatas tanah seluas 16.661,06 Ha sudah ada Tanaman Kelapa Sawit, namun hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding hanya hak atas tanahnya saja, karena tidak ada peralihan hak atas tanaman kelapa sawit yang sejak semula memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasinya;
bahwa berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama Pemohon Banding Atas Tanah Di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat disebutkan sebagai berikut:
KESATU : Memberikan kepada Pemohon Banding berkedudukan di Jakarta Pusat, Hak Guna Usaha selama 35 (tiga puluh lima) tahun sejak tanggal Surat Keputusan ini, atas tanah Negara seluas 16.661,06 ha (enam belas ribu enam ratus enam puluh satu koma enam hektar), terletak di Desa Pangkalan Teluk, Sungai Kelik, Siantau Raya, Nanga Tayap, Simpang Tiga Sembelangaan dan Tajuk Kayong, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, sebagaimana diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 17 Oktober 2014 Nomor Peta 088-14.07-2014, terdiri dari:
- NIB. 14.07.00.00.00318................................seluas 6.098,69 ha;
- NIB. 14.07.00.00.00319................................seluas 6.285,74 ha
- NIB. 14.07.00.00.00320................................seluas 3.433,67 ha;
- NIB. 14.06.00.00.00321................................seluas 111,76 ha;
- NIB. 14.06.00.00.00322................................seluas 731,20 ha;
yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
KEDUA : Pemberian Hak Guna Usaha tersebut pada diktum KESATU Keputusan ini disertai syarat dan ketentuan sebagai berikut:
d. Penerima Hak Guna Usaha dilarang menelantarkan tanahnya.
e. Tanah yang diberikan Hak Guna Usaha ini harus dipergunakan untuk usaha perkebunan, dengan jenis tanaman yang telah mendapat persetujuan dari Instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang usahanya.
bahwa dengan demikian hak yang diperoleh Pemohon Banding atas diterbitkannya hak guna usaha hanyalah hak atas tanah. Oleh karena itu dasar pengenaan BPHTB atas perolehan hak guna usaha tersebut hanyalah nilai jual dari tanah saja yaitu sebesar Rp820,-/M2 ;
bahwa Pemohon Banding juga sangat tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa Pemohon Banding telah secara subjektif menetapkan NJOP sebesar Rp820,- / M2 ;

bahwa berdasarkan Pasal 87 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan sebagai berikut:

“(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar”;

bahwa kemudian berdasarkan Pasal 90 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan sebagai berikut:
“(1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak”;

bahwa Pemohon Banding memperoleh Hak Guna Usaha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015. Dengan demikian mengacu kepada Pasal 87 ayat (2) huruf i dan Pasal 90 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 diatas, bahwa perhitungan BPHTB terutang menggunakan perhitungan NJOP dalam SPPT PBB Tahun 2015 yaitu sebesar Rp820,- / M2 (Nilai Dasar Tanah) yang Pemohon Banding peroleh dari SPPT PPB dan Rincian Perhitungan Nilai tahun 2015 tapi tanpa memperhitungkan SIT. Dengan demikian perhitungan NJOP Pemohon Banding telah sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (2) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009;

bahwa dapat Pemohon Banding jelaskan perhitungan NJOP menurut Pemohon Banding sebagai berikut:

Berdasarkan Kelas Tanah (sesuai RPN SPT-PBB 2015)
No keterangan RPN (M2) Nilai Dasar Tanah/M2 NOP
1 Area Produktif 94,688,500 IDR 1,162 IDR 110,028,
037,000
2 Area Belum Produktif
a. Areal Belum Diolah - IDR - IDR -
b.Areal Sudah Diolah Tapi Belum ditanami 1,343,600 IDR 1,145 IDR 1,538,422,
000
c.Areal Pembibitan 310,200 IDR 902 IDR 279,800,
400
3 Areal TidakProduktif 92,616,500 IDR 278 IDR 25,747,387,
000
4 Areal Pengaman - IDR - IDR -
5 Areal Emplasemen 1,041,200 IDR 11,930 IDR 12,421,516,
000
Total 190,000,000 IDR150,015,162,
400

Nilai Pengelompokkan NJOP (Rp / M2 ) = Rp 150.015.162.400 Rp 150.015.162.400
190.000.000 M2 190.000.000 M2

= Rp790,-

Nilai NJOP PPB sesuai PMK 139/2014 (Klas 186) (Rp / M2 ) = Rp820,-

bahwa berdasarkan perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perhitungan NPOP Pemohon Banding adalah berdasarkan NJOP (Nilai Dasar Tanah) sehingga telah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139/PMK.03/2014 tentang Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan. Dengan demikian perhitungan NPOP Pemohon Banding telah sesuai dengan ketentuan yang ada dan bukan perhitungan subjektif;
C. Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960

bahwa dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan sebagai berikut: “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air”;

bahwa dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan sebagai berikut:
“Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”;

bahwa dalam Pasal 4 ayat (2) disebutkan sebagai berikut:
“Hak-hak atas tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi”;

bahwa dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e disebutkan sebagai berikut:
“Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah: hak guna usaha”;

bahwa dalam Pasal 28 ayat (1) disebutkan sebagai berikut:
“Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan”;

bahwa berdasarkan peraturan tersebut di atas dapat Pemohon Banding simpulkan sebagai berikut:

1. bahwa berdasarkan pengertian bumi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU Pokok Agraria adalah bumi atau permukaan bumi, yang disebut tanah atas dasar hak yang diberikan oleh Negara kepada orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum;
2. bahwa hal ini juga telah sesuai dengan Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 7 Mei 2015 Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama Pemohon Banding Atas Tanah Di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat disebutkan sebagai berikut:

KESATU : Memberikan kepada Pemohon Banding berkedudukan di Jakarta Pusat, Hak Guna Usaha selama 35 (tiga puluh lima) tahun sejak tanggal Surat Keputusan ini, atas tanah Negara seluas 16.661,06 ha (enam belas ribu enam ratus enam puluh satu koma enam hektar), terletak di Desa Pangkalan Teluk, Sungai Kelik, Siantau Raya, Nanga Tayap, Simpang Tiga Sembelangaan dan Tajuk Kayong, Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, sebagaimana diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 17 Oktober 2014 Nomor Peta 088-14.07-2014, terdiri dari:
- NIB.14.07.00.00.00318................................seluas 6.098,69 ha;
- NIB.14.07.00.00.00319................................seluas 6.285,74 ha
- NIB.14.07.00.00.00320................................seluas 3.433,67 ha;
- NIB. 14.06.00.00.00321................................seluas 111,76 ha;
- NIB. 14.06.00.00.00322................................seluas 731,20 ha;
yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
3. bahwa sesuai dengan fakta hukum yang terjadi (Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Bupati Ketapang) dan berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, jelas bahwa Hak atau wewenang yang diberikan oleh Negara kepada Pemohon Banding adalah Hak Guna Usaha atas Tanah saja. Berdasarkan kronologis yang terjadi dari diberikannya Izin Lokasi sampai dengan didapatkannya SK HGU, Tanaman Kelapa Sawit beserta Sarana dan Prasarananya merupakan Investasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding sendiri bukan perolehan dari Negara;
4. bahwa dengan demikian sudah jelas bahwa seharusnya BPHTB terutang yang dibebankan kepada Pemohon Banding hanya sebesar nilai dasar tanah saja sesuai dengan hak yang diberikan oleh Negara kepada Pemohon Banding. Sedangkan tanaman yang berada di atas permukaan tanah merupakan wujud investasi dan pengelolaan tanah yang dilakukan oleh Pemohon Banding sendiri;

bahwa dengan demikian perhitungan Terbanding untuk menghitung besarnya NPOP BPHTB yang menggunakan NJOP dalam SPPT PBB tahun 2015 sebesar Rp3.100,00 (yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 ditambah dengan Standar Investasi Tanaman) adalah keliru dan harus dibatalkan;

bahwa sesuai penjelasan dan uraian di atas, maka menurut Pemohon Banding perhitungan BPHTB terutang atas tanah seluas 16.661,06 Ha (NOP: 61.04.080.016.900-0007.1) yang berlokasi di KO. PKB PT. AM, Desa Sungai Kelik, Kec. Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang seharusnya adalah sebagai berikut:

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) 166.610.600 m 2 x 820 Rp 136.620.692.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Rp 60.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) Rp 136.560.692.000
BPHTB yang Terutang (5% x NPOPKP) Rp 6.828.034.600

Menurut Majelis:
bahwa pokok sengketa banding ini adalah penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) Nomor 000629 Tanggal 18 April 2016, Tahun Pajak 2016 berupa koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak BPHTB Tahun Pajak 2016 yang mendasarkan pada nilai NJOP Tahun 2015 sebesar Rp3.100/M2 (nilai dasar tanah per M2 ditambah dengan Nilai Standar Investasi Tanaman/SIT);

bahwa Pemohon Banding menggunakan Nilai Rp820/M2 yang merupakan Nilai Dasar Tanah per M2 berdasarkan Rincian Perhitungan Nilai dalam SPPT PBB Pemohon Banding tahun 2015;

bahwa koreksi Terbanding didasarkan pada fakta bahwa pada tahun 2015 Pemohon Banding mengajukan permohonan dan mendapatkan Hak Guna Usaha atas tanah yang dikuasai oleh negara;

bahwa perbandingan perhitungan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) Nomor 000629 Tanggal 18 April 2016 Tahun Pajak 2016 dibandingkan perhitungan dari Pemohon Banding adalah sebagai berikut :

No. Uraian Jumlah (Rp) Koreksi (Rp)
Pemohon Banding Terbanding
1. Luas Tanah/Bumi (M2) 166.610.600 166.610.600 0
2. NJOP PBB/M2 820 3.100 2.280
2. Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) 136.620.692.000 516.492.860.000 379.872.168.000
3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) 60.000.000,00 60.000.000,00 0
4. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) = (1-2) 136.560.692.000 516.432.860.000 379.872.168.000
5. Pajak yang seharusnya terutang : 5% x NPOP 6.828.034.600 25.821.643.000 18.993.608.400
6. Pajak yang telah dibayar 6.828.034.600 6.828.034.600 0
7. Pajak yang Kurang Bayar 0 18.993.608.400 18.993.608.400

bahwa fakta yang terungkap dalam persidangan terkait kronologi penerbitan SKPDKB adalah sebagai berikut:

bahwa pada tanggal 1 November 2004, Pemohon Banding memperoleh Persetujuan Izin Usaha Perkebunan (IUP) melalui Surat Keputusan Nomor 551.31/2471/DISBUN-C untuk areal seluas 27.500 Ha di Kec Naga Tayap, kabupaten Ketapang;

bahwa berdasarkan IUP a quo, Pemohon Banding diwajibkan untuk memperoleh izin lokasi dan Hak Guna Usaha (HGU) sesuai ketentuan yang berlaku;

bahwa pada tanggal 21 Desember 2004 Pemohon Banding memperoleh Izin Lokasi melalui Surat Keputusan Nomor 385 Tahun 2004 dari Bupati Ketapang untuk pembangunan perkebunan Kelapa Sawit di Desa Sungai Kelik, Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang;

bahwa dalam izin lokasi a quo Pemohon disyaratkan untuk melakukan perolehan tanah dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, dan dapat diperpanjang paling lama dua belas bulan dengan syarat perolehan lahan telah melebihi 50% dari luas keseluruhan;

bahwa sejak memperoleh Izin a quo, Pemohon Banding telah melakukan pengolahan lahan, penanaman tanaman kelapa sawit, dan pembangunan prasarana penunjang lainnya;

bahwa pada tanggal 19 Mei 2005, Pemohon Banding memperoleh revisi izin Usaha Perkebunan (IUP) melalui Surat Keputusan Nomor 551.31/0551/DISBUN-C untuk areal seluas 16.500 Ha di Kec Naga Tayap, kabupaten Ketapang;

bahwa sesuai IUP bertanggal 19 Mei 2005 a quo, Pemohon Banding diwajibkan antara lain untuk memproses izin lokasi dan HGU dalam jangka waktu 2 tahun sejak IUP ditetapkan;

bahwa pada faktanya Pemohon Banding tidak dapat memperoleh HGU sesuai waktu yang ditetapkan dalam IUP tahun 2005 a quo;

bahwa pada tanggal 7 Mei 2012, Terbanding dalam hal ini Bupati Ketapang menerbitkan kembali IUP Nomor 231/DISBUN-D/2012;

bahwa kemudian pada tahun 2015 Pemohon Banding mengajukan permohonan perolehan Hak atas tanah, dan kemudian Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 32/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 07 Mei 2015 tentang Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas nama PT. AM;

bahwa atas perolehan HGU a quo, Terbanding kemudian menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) atas BPHTB Tahun Pajak 2016 yang mendasarkan pada nilai NJOP Tahun 2015 sebesar Rp3.100/M2 (nilai dasar tanah per M2 ditambah dengan Nilai Standar Investasi Tanaman/SIT);

bahwa terkait saat terutang BPHTB, Pemohon Banding dan Terbanding dalam persidangan mengakui bahwa saat terutang BPHTB adalah pada tahun 2015 yaitu saat perolehan HGU;

bahwa menurut Terbanding, Dasar Pengenaan BPHTB Tahun 2016 adalah berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak PBB Tahun 2015, dengan dalil Pasal 87 ayat (1), ayat (2) huruf i dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur sebagai berikut;


Pasal 87:

(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak;
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. tukar menukar adalah nilai pasar;
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar; dan/atau
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang;
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;

bahwa menurut Terbanding berkaitan dengan penafsiran Norma yang terdapat didalam pertama-tama selalu dilakukan adalah penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks Peraturan Perundang-Undangan harus dimengerti dulu arti kata-katanya. Secara gramatikal jelas disebutkan dalam UU Nomor 28 Tahun 2009, yang menjadi dasar perhitungan adalah NPOP dan NJOP PBB, tidak ada harga dasar tanah yang disebutkan dalam peraturan tersebut. Bahwasanya apabila dikehendaki lain oleh Pembuat Undang-Undang selain NJOP PBB sebagai dasar perhitungan BPHTB, pasti ada pasal atau ayat lain yang memunculkan tentang Harga Dasar Tanah dalam NJOP PBB apabila dipakai untuk perhitungan BPHTB. Akan tetapi Harga Dasar Tanah seperti yang didalilkan oleh Pemohon Banding tidak pernah muncul secara gramatikal dalam Peraturan Perundang-Undangan tersebut. Bahwa dasar perhitungan yang dilakukan oleh Terbanding dengan menggunakan NJOP PBB adalah sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan Perundangan yang berlaku;

bahwa menurut Terbanding Pengertian Umum Undang-Undang Pajak Daerah No. 28 Tahun 2009 angka 41 menyebutkan “Bea Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan” kemudian di angka 42 menyebutkan “Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan”, kemudian di angka 43 berbunyi “Hak atas tanah dan/atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan”. Jadi sudah jelas dalam hal ini bahwasanya Hak Pengelolaan (Kebun Kelapa Sawit) juga temasuk didalam Hak atas tanah yang dikenakan BPHTB mengacu kepada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut;


bahwa menurut Pemohon Banding Pasal 85 ayat (1) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah No. 28 Tahun 2009 menyebutkan:

(1) Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;


bahwa Pasal 1 butir 41 dan butir 42 UU No. 28 tahun 2009 menjelaskan:

(41) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan;
(42) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan;

bahwa di dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dijelaskan sebagai berikut:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum;
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi;

bahwa kemudian dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjelaskan bahwa:
(1) Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan;
(2) Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman;

bahwa dalam hal ini hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya (tanah yang dikuasai Negara), guna perusahaan pertanian, perkebunan atau perikanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria, Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan atas tanah yang dikuasai Negara;

bahwa sedangkan hak atas tanaman kelapa sawit yang ada di atasnya diperoleh oleh Pemohon Banding sebelum hak guna usaha tersebut diberikan karena tanaman kelapa sawit tersebut memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasi. Dengan kata lain hak atas bangunan, tanaman, sarana, dan prasarana yang ada di atas tanah tersebut diperoleh tidak pada saat hak guna usaha tersebut diberikan;

bahwa berbeda dengan penentuan NJOP dalam perhitungan PBB terhutang, yang dikenakan sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah perolehan hak (atas tanah dan bangunan), sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 yang dikenakan pajak itu adalah kenikmatan atas tanah dan bangunan;

bahwa oleh karena itu Dasar Pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan hak atas tanah dan bangunan, sedangkan Dasar Pengenaan PBB adalah kenikmatan atas penggunaan tanah dan bangunan tersebut;

bahwa sebaliknya dalam pengenaan BPHTB, faktor yang menentukan justru menyangkut hubungan hukum antara tanah dan bangunan dengan pihak yang memperolehnya. Jadi sekalipun pada saat Hak Guna Usaha tersebut diterbitkan diatas tanah seluas 16.661,06 Ha sudah ada Tanaman Kelapa Sawit, namun hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding hanya hak atas tanahnya saja, karena tidak ada peralihan hak atas tanaman kelapa sawit yang sejak semula memang merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasinya;

bahwa pemberian Hak Guna Usaha tersebut pada diktum KESATU Keputusan ini disertai syarat dan ketentuan sebagai berikut:
a. Penerima Hak Guna Usaha dilarang menelantarkan tanahnya;
b. Tanah yang diberikan Hak Guna Usaha ini harus dipergunakan untuk usaha perkebunan, dengan jenis tanaman yang telah mendapat persetujuan dari Instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang usahanya;

bahwa dengan demikian hak yang diperoleh Pemohon Banding atas diterbitkannya hak guna usaha hanyalah hak atas tanah. Oleh karena itu dasar pengenaan BPHTB atas perolehan hak guna usaha tersebut hanyalah nilai jual dari tanah saja yaitu sebesar Rp820,-/M2, tidak termasuk Standar Investasi Tanaman;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan para pihak dalam persidangan serta ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku, Majelis berpendapat sebagai berikut:

bahwa Pasal 1 butir 41 dan butir 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menjelaskan bahwa:
(41) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan;
(42) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan;


bahwa Pasal 85 ayat (1) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) No. 28 Tahun 2009 yang menyebutkan sebagai berikut:

(1) Obyek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;


bahwa Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menjelaskan bahwa:

(1) Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak;
(2) Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. ......... ;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
o. .......;
(3) Jika Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan;

bahwa menurut pendapat Majelis, secara jelas Pasal 1 butir 41 dan butir 42 serta Pasal 85 Undang-Undang PDRD a quo menyatakan bahwa BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah/bangunan, dan Objek BPHTB adalah perolehan Hak atas tanah/bangunan, dalam sengketa ini adalah HGU;

bahwa berdasarkan ketentuan a quo, BPHTB adalah pajak atas perolehan hak, bukan atas perolehan (phisik) tanah. Secara yuridis tanah tetap dimiliki oleh negara, namun demikian negara memberikan hak pengelolaannya (HGU) kepada seseorang atau badan usaha dalam jangka waktu tertentu;

bahwa menurut pendapat Majelis, secara jelas Pasal 87 UU PDRD a quo mengatur bahwa Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), objek pajaknya adalah berupa perolehan hak (HGU) dan bukan nilai perolehan (phisik) tanah/bangunan;

bahwa UU PDRD mengatur bahwa terkait sengketa banding ini, NPOP adalah nilai pasar, apabila NPOP tidak diketahui maka yang digunakan adalah NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding dan Terbanding mengakui bahwa saat terutang BPHTB adalah pada Tahun 2015 yaitu saat perolehan HGU;

bahwa salah satu fakta yang terungkap dalam persidangan adalah Pemohon Banding tidak segera melakukan perolehan Hak atas Tanah sesuai yang ditentukan dalam IUP Tahun 2005 bertanggal 19 Mei 2005, yaitu dalam jangka waktu 2 tahun sejak IUP ditetapkan;

bahwa selang waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2015 dimana Pemohon Banding baru mengajukan perolehan HGU, adalah waktu dalam penguasaan Pemohon Banding, sehingga apabila Pemohon Banding baru mengajukan HGU pada tahun 2015 maka konsekuensi hukumnya juga kembali kepada Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas DPP BPHTB yang mendasarkan pada NJOP PBB tahun pajak 2015 adalah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;

bahwa terkait dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa hak yang diperoleh oleh Pemohon Banding atas diterbitkannya Hak Guna Usaha adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya (tanah yang dikuasai Negara), sedangkan tanaman kelapa sawit merupakan milik Pemohon Banding sebagai wujud dari investasi yang tidak diperoleh pada saat hak guna usaha tersebut diberikan, Majelis berpendapat bahwa secara jelas ketentuan dalam UU PDRD hanya mengatur bahwa DPP BPHTB adalah harga pasar atau NJOP PBB tanah/bangunan pada saat perolehan Hak (HGU);

bahwa menurut pendapat Majelis, tidak terdapat ketentuan dalam UU PDRD a quo yang mengatur bahwa DPP BPHTB dikaitkan dengan nilai (phisik) tanah/bangunan yang diperoleh negara;

bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Majelis berkesimpulan menolak banding Pemohon Banding dan mempertahankan koreksi Terbanding;

Menimbang:
bahwa Majelis menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a untuk menolak banding Pemohon Banding;
Mengingat:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:
Mengabulkan seluruhnya Pemohon Banding terhadap Keputusan Bupati Ketapang Nomor 106/BAPENDA-E tanggal 3 April 2017, tentang Penolakan Permohonan Pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SKPDKB-BPHTB) nomor 000629 tanggal 18 April 2016 Tahun Pajak 2016, atas nama: Pemohon Banding.
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2018 oleh Majelis VIA Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
WST, S.H., M.H., M.Sc., Ak., CA sebagai Hakim Ketua
JEW, S.E., M.M sebagai Hakim Anggota,
W, S.P., M.M sebagai Hakim Anggota,
yang dibantu oleh Ir. H, M.M sebagai Panitera Pengganti

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 10 Juli 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Terbanding dan dihadiri oleh Pemohon Banding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA