Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-001153.99
Pokok Sengketa:
bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara gugatan ini adalah penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018 yang tidak disetujui oleh Penggugat;

Menurut Terbanding:
bahwa Tergugat menyampaikan penjelasan mengenai kronologis sengketa gugatan sebagai berikut:

Tanggal 25 April 2017
Diterbitkan STP PPN atas impor oleh KPP Madya Semarang Nomor 00002/127/15/511/17 Masa Pajak November 2015;
Dasar penerbitan STP PPN atas Impor Pasal 9 ayat (2a) UU KUP adalah sebagai berikut:
a. Penggugat melakukan impor Barang Kena Pajak (BKP) sesuai PIB Nomor 003935 pada tanggal 9 November 2015;
b. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU PPN Barang dan Jasa dan PPnBM disebutkan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b: Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak;
c. Bahwa atas impor sebagaimana tersebut di atas seharusnya terutang PPN impor pada tanggal 9 November 2015, namun Penggugat baru melakukan pembayaran PPN impor pada tanggal 2 Maret 2016. Dengan demikian Penggugat terlambat melakukan pembayaran PPN Impor tersebut sehingga dikenai sanksi administrasi berupa Bunga Pasal 9 ayat (2a) KUP;

Tanggal 27 Juli 2017
Penggugat mengajukan permohonan pembatalan STP yang tidak benar ke KPP Madya Semarang;

Tanggal 22 Desember 2017
KPP Madya Semarang melakukan pembetulan STP PPN Atas Impor dengan Nomor KEP-00018/WPJ.10/KP.01/2017;

Tanggal 16 Januari 2018
Diterbitkan KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas STP Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf C Karena Permohonan Wajib Pajak;

Tanggal 06 Februari 2018
Permohonan gugatan atas KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 diterima oleh Pengadilan Pajak;

bahwa Tergugat menerbitkan STP atas kekurangan pembayaran PPN Penggugat sebesar Rp6.919.091.000,00. Dasar perhitungan STP Tergugat dilihat dari PP Nomor 1/2012 tentang PPN, harus dilihat kapan saat terutangnya PPN impor, yaitu saat terjadinya impor BKP atau tanggal PIB. Ketika mengisi PIB, sifatnya self assesment di mana Penggugat mengisi sendiri baru kemudian DJBC akan menetapkan SPTNP apakah perhitungan Penggugat itu kurang atau lebih. Jika kurang, maka harus dibayar oleh Penggugat, dan jika lebih akan dikembalikan. Dalam hal ini, Penggugat mengajukan keberatan atas SPTNP sehingga menunda pembayaran PPN tadi, kemudian baru terbit SK Keberatan yang mengharuskan Penggugat untuk membayar kekurangannya;

bahwa Tergugat menyatakan Penggugat telah mengajukan SKTD (Surat Keterangan tidak Dipungut) PPN tapi sudah ditolak oleh KPP Madya Semarang. Ketika pengajuan impor, seharusnya SKTD itu dilampirkan, tapi Penggugat tidak melampirkan SKTD tersebut;

bahwa sesuai PMK-193 yang berhak mengajukan SKTD PPN untuk impor barang tersebut seharusnya adalah badan penyelenggara perkeretaapian dalam hal ini adalah PT Kai, bukan pengimportnya atau Penggugat;

bahwa Tergugat menyampaikan kronologis gugatan sebagai berikut

No Tanggal Uraian Keterangan
1 30-Oct-15 Penggugat Melakukan Impor barang PIB NO. 044233 tanggal 09 November 2015
2 30-Oct-15 Penggugat Melakukan Impor barang PIB NO. 044277 tanggal 09 November 2015
3 9-Nov-15 Penggugat Melakukan Impor barang P1B NO. 003935 tanggal 9 November 2015
4 18-Nov-15 Penggugat mengajukan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) PPN Surat Permohonan No. 001/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 002/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 003/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 004/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 005/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 006/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015;
No. 007/GA/XI/2015 Tanggal 18 November 2015
5 23-Nov-15 KPP Madya Semarang Menolak permohonan SKTD dengan alasan Penggugat ditunjuk sebagai penyedia barang/jasa oleh kementerian Perhubungan Direktur Jenderal Perkeretaapian bukan Badan Usaha Pemyelenggara Sarana Perkeretapian (Pasal 2 Huruf (j) PMK No. 193/PMK.03/2015 tgl 20 Oktober 2015 Surat KPP Madya Semarang No S-00001/SKTD-TLK/WPJ.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00002/SKTD-TLK/WPJ.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00003/SKTD-TLK/WPJ.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00004/SKTD-TLK/WP.1.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00005/SKTD-TLK/WPJ.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00006/SKTD-TLK/WP1.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
No S-00007/SKTD-TLK/WPJ.10/KP.1003/2015 tanggal 23 November 2015;
6 27-Nov-15 Terbit SPTNP No. 010848/SPKPN/WBC.09/KP.01/2017 tanggal 27 Nopember 2015 Atas PIB NO. 044233 tanggal 09 November 2015
7 27-Nov-15 Terbit SPTNP No. 010852/SPKPN/WBC.09/KP.01/2017 tanggal 27 Nopember 2015 Atas PIB NO. 044277 tanggal 09 November 2015
8 27-Nov-15 Terbit SPTNP No. 000233/NOTUL/WBCO5/KPP01/2015 Tanggal 27 Nopember 2015 Atas PIB NO. 003935 tanggal 9 November 2015
9 21-Dec-15 Penggugat mengajukan Keberatan atas SPTNP No. 010848/SPKPN/WBC.09/KP.01/2017 tanggal 27 Nopember 2015 Surat Keberatan No. 01/SSRT-GMY/XII/15 tanggal 21 Desember 2015
10 21-Dec-15 Penggugat mengajukan Keberatan atas SPTNP No. 010852/SPKPN/WBC.09/KP.01/2017 tanggal 27 Nopember 2015
11 29-Dec-15 Penggugat mengajukan Keberatan atas SPTNP No. 000233/NOTUL/WBC05/KPP01/2015 Tanggal 27 Nopember 2015 Surat Keberatan No. 059/GA-DN/XII/15 tanggal 29Desember 2015
12 23-Feb-16 Terbit KEP-57/WBC.05/2016 tangal 23 Februari 2016 Putusan Menolak dan Menetapkan Lain
13 26-Feb-16 Terbit KEP-90/WBC.09/2016 tangal 26 Februari 2016 Putusan Menolak dan Menetapkan Lain
14 26-Feb-16 Terbit KEP-91/WBC.09/2016 tangal 26 Februari 2016 Putusan Menolak dan Menetapkan Lain
15 1-Mar-16 melakukan Pembayaran atas KEP- 90/WBC.09/2016
16 1-Mar-16 melakukan Pembayaran atas KEP- 91/WBC.09/2016
17 2-Mar-17 melakukan Pembayaran atas KEP- 57/WBC.05/2016
18 17-Mar-17 Terbit Surat Ketetapan Pajak No. 00019/407/16/511/17 tanggal 17 Maret 2017 Hasil Pemeriksaan SPT PPN Masa Maret 2015
19 25-Apr-17 Terbit STP No. 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 STP Keterlambatan Pembayaran PPN Impor Masa Oktober 2015
20 25-Apr-17 Terbit STP No. 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 STP Keterlambatan Pembayaran PPN Impor Masa November 2015
21 16-Jan-18 Terbit KEP- 00041/NKEB/WPJ.10/2018 SK Permohonan 36C
22 16-Jan-18 Terbit KEP- 00041/NKEB/WPJ.10/2018 SK Permohonan 36C

bahwa Tergugat menyatakan pada awalnya ada temuan dari Pemeriksa bahwa PIB Penggugat tidak bisa dikreditkan dengan alasan pengkreditannya lebih dari 3 bulan. Tapi kemudian dikabulkan karena memang dikreditkan pada waktu pembayaran PIB, tetapi atas sanksinya tetap Tergugat terbitkan karena tetap terlambat. Jadi pendapat Penggugat yang menyatakan bahwa jaminan yang diserahkan Penggugat sudah dianggap sebagai pembayaran, dalam PMK-217/2010 menyebutkan bahwa pengajuan keberatan wajib menyertakan bukti jaminan sebesar tagihan atau bukti pelunasan” jadi jaminan tersebut hanya sebagai syarat untuk pengajuan keberatan. Dalam pengajuan keberatan, terdapat pilihan juga untuk membayar tagihan dengan SSP, tapi Penggugat memilih untuk memberikan jaminan saja. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan BC Nomor 01/2011 “keberatan yang mendapatkan keputusan ditolak dan ditetapkan lain serta mengakibatkan tagihan, Kepala KPPBC mencairkan jaminan menjadi penerimaan negara”. Ini menegaskan bahwa jaminan yang diberikan Penggugat sebelum pengajuan keberatan belum dianggap sebagai pembayaran pajak atau penerimaan negara. Di PMK-242/2014 tentang tata cara pembayaran dan penghitungan pajak, disebutkan bahwa pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Ayat (4) menyebutkan SSP dinyatakan sah apabila telah divalidasi dengan NTPN. Faktanya NTPN tervalidasi pada saat tanggal pembayaran yaitu pencairan dari BC di bulan Maret, sehingga secara formal penerbitan STP sudah benar;

bahwa Tergugat menyerahkan Penjelasan tertulis berupa pendapat akhir (closing statement) Nomor S-8186/PJ.07/2018 Tanggal 17 Juli 2018, yang isinya sebagai berikut:

KRONOLOGI PENGAJUAN GUGATAN
a. bahwa terhadap Penggugat diterbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai (STP PPN) atas Impor Nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017;
b. Penggugat mengajukan permohonan Pembatalan STP PPN atas Impor tersebut ke Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I melalui KPP Madya Semarang;
c. Tergugat telah menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018, yang menolak permohonan Penggugat;
d. Penggugat mengajukan gugatan atas Keputusan Tergugat Nomor KEP- 00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018 ke Pengadilan Pajak;

PENDAPAT PENGGUGAT

bahwa dalam surat gugatan Nomor 01/GA-PJK/I/2018 tanggal 25 Januari 2018, Penggugat mengajukan gugatan atas Keputusan Tergugat dengan alasan sebagai berikut:
a. Dasar Hukum Pengajuan Gugatan
1) Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP);
2) Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Pengadilan Pajak;
b. Alasan Gugatan
1) Atas Pemberitahuan Impor Barang Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 dikeluarkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) Nomor SPTNP-010848/SPKPN/WBC.09/KP.01/2015 dan SPTNP- 000233/NOTUL/WBC.05/KP.01/2015 yang Penggugat ajukan keberatan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menolak dan menetapkan lain SPTNP tersebut sehingga menimbulkan kurang bayar PPN sebesar Rp6.919.091,00 yang sudah dibayar Penggugat tanggal 02 Maret 2016;
2) Atas pembayaran PPN tersebut diterbitkan STP PPN atas sanksi administrasi Pasal 9(2a) oleh KPP Madya Semarang;
3) Menurut Penggugat, STP tersebut tidak benar karena PPN yang Penggugat bayarkan adalah sesuai dengan keputusan keberatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga seharusnya tidak dikenakan sanksi administrasi karena masih dalam kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
4) Penggugat kemudian mengajukan permohonan pembatalan sesuai Pasal 36 ayat (1c) UU KUP kepada Kanwil DJP Jawa Tengah I melalui KPP Madya Semarang;
5) Bahwa atas permohonan Penggugat, Kanwil DJP Jawa Tengah I telah menerbitkan keputusan yang menolak permohonan pembatalan STP Penggugat;
6) Bahwa atas pokok pajak yang mengakibatkan STP tersebut, Penggugat ajukan keberatan dan telah dikabulkan dengan Keputusan DJP Nomor 00133/KEB/WPJ.10/2017 tanggal 27 Oktober 2017. Hal ini berarti DJP telah menyetujui bahwa atas PIB Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 sebesar Rp6.919.091,00 bukanlah objek pajak. Oleh karena atas pokok pajak telah dikabulkan bukan sebagai objek pajak, maka atas denda bunganya sudah seharusnya dihapuskan;
7) Bahwa atas permasalahan yang sama, DJP mengeluarkan SKPLB nomor 00043/407/16/511/17 dan STP nomor 00315/107/16/511/17. Atas SKPLB tersebut Penggugat ajukan keberatan dan STP diajukan permohonan pembatalan dan telah ditetapkan menjadi NIHIL yang artinya tidak terdapat objek pajak. Berdasarkan hal tersebut di atas, DJP telah menetapkan keputusan yang berbeda atas sengketa pajak yang sama;

TANGGAPAN TERGUGAT

a) Dasar Hukum
1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP);
Pasal 9 ayat (1), bahwa Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak;
Pasal 9 ayat (2a), bahwa Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;
Pasal 14 ayat (4) huruf c, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN);
Pasal 11 ayat (1) huruf b, bahwa Terutangnya pajak terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak;
3) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
Pasal 17 ayat (1) huruf b, bahwa Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak;
Pasal 17 ayat (4), bahwa Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;
4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-242/PMK.03/2014 tentang Tatacara Pembayaran dan Penyetoran Pajak;
Pasal 2 ayat (9), bahwa PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor;
b) Pendapat Tergugat
1) Bahwa Penggugat melakukan impor BKP sesuai Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Nomor 003935 pada tanggal 09 November 2015;
2) Pasal 17 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, mengatutr bahwa terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah teriadi pada saat impor Baranq Kena Pajak;
3) Bahwa atas impor sebagaimana tersebut di atas seharusnya terutang PPN Impor pada tanggal 09 November 2015, namun Penggugat baru melakukan pembayaran PPN Impor pada tanggal 02 Maret 2016. Dengan demikian maka Penggugat terlambat melakukan pembayaran PPN atas impor tersebut, sehingga dikenai sanksi bungs Pasal 9 ayat (2a) KUP;
4) Berdasarkan penelitian atas Surat Tagihan Pajak (STP) Nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017, penerbitan STP sudah tepat dan penghitungan sanksi bunga telah sesuai dengan ketentuan yaitu sebagai berikut:

No Masa Pajak Jumlah Setoran Tanggal Bayar Jumlah bulan terlambat % Jumlah Sanksi
1 11112015 Rp6.919.091,00 02 Maret 2016 4 2% Rp553.527.280,00
TOTAL Rp553.527.280,00
5) Bahwa alasan Penggugat tersebut pada huruf b angka 6) di atas menyatakan pokok pajak yang mengakibatkan timbulnya STP, juga diajukan keberatan dan telah dikabulkan dengan Keputusan DJP Nomor 00133/KEB/WPJ.10/2017 tanggal 27 Oktober 2017 dan berarti DJP telah menyetujui bahwa Pemberitahuan Impor Barang Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 sebesar Rp6.919.091,00 bukanlah objek pajak, maka atas denda bunganya sudah seharusnya dihapuskan;

Tanggapan Tergugat:
a) Bahwa atas pembayaran PPN Impor yang mengakibatkan timbulnya STP telah diajukan keberatan dengan pokok sengketa Koreksi Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan. Sengketa keberatan tersebut apakah pembayaran PPN Impor atas PIB Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 yang dibayarkan tanggal 02 Maret 2016 tersebut boleh dikreditkan sebagai Pajak Masukan pada Masa Pajak Maret 2016 atau tidak;
b) Bahwa atas sengketa tersebut telah diterbitkan Keputusan Keberatan Nomor 00133/KEB/WPJ.10/2017 tanggal 27 Oktober 2017 dengan hasil penelitian bahwa pembayaran PPN impor atas PIB Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 yang dibayarkan tanggal 02 Maret 2016 tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan pada Masa Pajak Maret 2016;
c) Namun demikian, meskipun atas pembayaran PPN Impor atas PIB Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 yang dibayar tanggal 02 Maret 2016 dapat dikreditkan untuk Masa Pajak Maret 2016, namun pembayaran PPN Impor tersebut tetap terlambat sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) UU KUP dikenai sanksi bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan;
6) Bahwa alasan Penggugat tersebut pada huruf b angka 7) di atas menyatakan atas permasalahan yang sama, Penggugat mengajukan pembatalan atas STP Nomor 00315/107/16/511/17 sesuai UU KUP Pasal 36 ayat (1) huruf c dan berdasarkan hasil penelitian oleh Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah I telah ditetapkan menjadi NIHIL yang artinya tidak terdapat objek pajak. Berdasarkan hal tersebut di atas, DJP telah menetapkan keputusan yang berbeda atas sengketa pajak yang sama;

Tanggapan Tergugat:
a) Bahwa STP Nomor 00315/107/16/511/17 tanggal 25 April 2017 terbit untuk Masa Pajak Juni 2016;
b) Bahwa atas Surat Tagihan Pajak tersebut Penggugat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP;
c) Bahwa berdasarkan hasil penelitian atas permohonan Penggugat, diketahui STP Nomor 00315/107/16/511/17 tanggal 25 April 2017 seharusnya dikenakan untuk Masa Pajak Oktober 2015 karena merupakan keterlambatan pembayaran PPN impor sesuai PIB Nomor 003829 tanggal 27 Oktober 2015;
d) Atas dasar tersebut atas STP Nomor 00315/107/16/511/17 tanggal 25 April 2017 dibatalkan;
e) Dengan demikian tidak terdapat korelasi antara pembatalan STP Nomor 00315/107/16/511/17 tanggal 25 April 2017 dengan objek gugatan yang diajukan Penggugat;

TANGGAPAN TERGUGAT BERKAITAN DENGAN PERNYATAAN PENGGUGAT DALAM PERSIDANGAN
a. Dalam persidangan tanggal 17 Mei 2018, Penggugat menyatakan sudah membayar PPN Impor sebelum pengajuan keberatan yaitu dengan menyerahkan jaminan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

Tanggapan Tergugat:
1) Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK- 217/PMK.04/2010 tanggal 3 Desember 2010 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan, mengatur bahwa:
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan: a. fotokopi bukti penerimaan jaminan sebesar tagihan atau bukti pelunasan tagihan;
Hal ini menunjukkan penyerahan jaminan dalam rangka keberatan belum dianggap sebagai pembayaran pajak yang masuk ke Kas Negara dan menjadi penerimaan negara. Akan tetapi hanya sebagai salah satu syarat pengajuan keberatan yang wajib dipenuhi oleh Penggugat;
2) Pasal 19 ayat (4) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-1/BC/2011 tanggal 03 Januari 2011 tentang Tatacara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan di Bidang Kepabeanan mengatur bahwa:
Terhadap keberatan yang mendapat keputusan ditolak dan ditetapkan lain serta mengakibatkan tagihan, Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC mencairkan jaminan menjadi penerimaan Negara;
Peraturan tersebut menegaskan bahwa jaminan yang diberikan Penggugat sebelum pengajuan keberatan belum menjadi pembayaran pajak ataupun penerimaan Negara, akan tetapi baru menjadi pembayaran pajak apabila Kepala KPUBC atau Kepala KPPBC telah mencairkan jaminan tersebut menjadi penerimaan Negara;
3) Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-242/PMK.03/2014 tanggal 24 Desember 2014 tentang Tatacara Pembayaran dan Penyetoran Pajak mengatur:
Ayat (1) : Pembayaran dan Penyetoran Pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP;
Ayat (4) : SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan SAH dalam hal telah divalidasi dengan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara);
4) Fakta yang ada adalah Penggugat membayar PPN impor dengan tanggal NTPN sama dengan tanggal pembayaran PPN Impor yaitu tanggal 02 Maret 2016 sehingga terjadi keterlambatan pembayaran PPN Impor;
5) Oleh karena itu, pernyataan Penggugat bahwa penyerahan jaminan adalah sudah dianggap pembayaran pajak adalah tidak benar dan penerbitan STP PPN impor Pasal 9 (2a) telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. Dalam persidangan, Penggugat juga menyerahkan berkas terkait PIB dan Majelis Hakim memberikan kesempatan kepada Tergugat untuk mempelajari berkas tersebut;

Tanggapan Tergugat:
1) Berdasarkan penelitian berkas bahwa Penggugat telah menyalahi prosedur ketika mengajukan PIB karena Penggugat menyatakan PPN Impor dibebaskan tetapi tanpa dilampiri SKTD (Surat Keterangan Tidak Dipungut), yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN yang diterbitkan oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK- 193/PMK.03/2015;
2) Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-193/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu, disebutkan bahwa:
Pasal 6 ayat (2) : Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf j harus memiliki SKTD untuk setiap kali impor;
Pasal 10 ayat (1) : Atas impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, SKTD diserahkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan dilampiri Pemberitahuan Impor Barang serta dokumen impor lainnya;
Pasal 10 ayat (2) : Pemberitahuan Impor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan:
a) cap atau keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015"; dan
b) nomor dan tanggal SKTD,
pada setiap lembar Pemberitahuan Impor Barang pada saat penyelesaian dokumen impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
3) Peraturan Menteri Keuangan tersebut juga menjadi pertimbangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk menolak keberatan Penggugat karena Penggugat tidak memiliki SKTD ketika melakukan impor barang;
4) Fakta yang ada bahwa Penggugat telah mengajukan permohonan SKTD ke KPP Madya Semarang pada tanggal 18 November 2015 yaitu setelah mengajukan PIB karena PIB diajukan pada tanggal 30 Oktober 2015 dan 9 November 2015 sehingga hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor tersebut yang mengatur bahwa seharusnya permohonan SKTD diajukan sebelum pengajuan PIB;
5) Dengan demikian, Penggugat tidak memiliki SKTD, tidak menyerahkan SKTD ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tidak memberikan cap PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015 ketika melakukan impor barang;
6) Bahwa atas permohonan SKTD telah diterbitkan keputusannya oleh KPP Madya Semarang pada tanggal 23 November 2015 dengan hasil putusan menolak permohonan SKTD Penggugat. Dengan demikian seharusnya PPN Impor wajib dibayar oleh Penggugat pada waktu mengajukan PIB;
c. Dalam persidangan tanggal 28 Juni 2018, Penggugat menyatakan seharusnya tidak dikenakan bunga karena Penggugat mengajukan keberatan yang berdasarkan dokumen SPTNP disebutkan bahwa "Apabila tagihan tidak dilunasi atau tidak diajukan keberatan sampal dengan tanggal 25 Januari 2016, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan pembayaran, bagian bulan dihitung satu bulan penuh";

Majelis Hakim meminta kepada Tergugat untuk mempelajari Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-51/PMK.04/2008 tentang Tatacara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai;

Tanggapan Tergugat:
1) Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-51/PMK.04/2008 menyebutkan bahwa "Kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tercantum dalam surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 8 ayat (2) wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan;
2) Bahwa yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut adalah terkait dengan jangka waktu kewajiban pembayaran yang tercantum dalam surat penetapan dalam hal ini SPTNP yang nantinya akan menentukan terbit atau tidaknya surat teguran (di pasal selanjutnya) dan sama sekali tidak mengatur terkait adanya sanksi administrasi berupa bunga keterlambatan pembayaran PPN Impor;
3) Pasal 16 ayat (1) juga menegaskan bahwa Apabila orang yang berhutang sebagaimana tercantum dalam surat penetapan atau surat keputusan tidak melunasi kewajibannya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan tidak mengajukan keberatan atau tidak mengajukan banding, kepala kantor pabean menerbitkan surat teguran;

Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini apabila Penggugat tidak melakukan pembayaran SPTNP ataupun tidak diajukan keberatan sampai dengan waktu yang ditentukan maka akan diterbitkan surat teguran;

Adapun faktanya Penggugat tidak membayar SPTNP, tetapi menyerahkan jaminan sebagai syarat keberatan dan Penggugat mengajukan keberatan, make untuk sementara belum diterbitkan surat teguran tetapi ini bukan berarti meniadakan adanya bunga keterlambatan pembavaran PPN Impor apabila PPN atas impor dibayar setelah tanggal jatuh tempo pembayaran;
4) Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih jelas mengenai pengenaan bunga atas keterlambatan pembayaran ini diatur dalam Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 yaitu:
Utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampal hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan;
5) Adapun yang dimaksud dengan utang atau tagihan kepada negara terkait dengan impor berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan adalah bea masuk sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 15 UU Kepabeanan:
Bea masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang ini yang dikenakan terhadap barang yang diimpor;
6) Penjelasan Iebih lanjut mengenai tatacara penghitungan bunga atas keterlambatan pembayaran surat penetapan kepabeanan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-111/PMK.04/2013 tentang Tatacara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, yaitu:
Pasal 5 ayat (1): Surat Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berupa Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) atau keputusan keberatan harus dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai paling lambat 60 hari sejak tanggal penetapan;
Pasal 6 ayat (1): Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai mengajukan keberatan atas Surat Penetapan, Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), atau STCK-1, jatuh tempo pelunasan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) dapat ditangguhkan sampai dengan 60 hari terhitung sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan;
Pasal 41 ayat (1): Kekurangan pembayaran Bea Masuk, Cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada Negara yang tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan;
Pasal 41 ayat (2): Perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pokok Utang Bea Masuk dan/atau Cukai yang belum dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo;
Pasal 41 ayat (4): Dalam rangka Penagihan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, harus memperhitungkan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
Ketentuan tersebut diatas menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan "dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan" sebagaimana tersebut di dalam formulir SPTNP adalah terhadap kekurangan Bea Masuk dan/atau Cukai yang belum dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo;
7) Di dalam formulir SPTNP sendiri yang terdapat di dalam lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-25/BC/2009 tentang Bentuk dan Isi Surat Penetapan, Surat Keputusan, Surat Teguran, dan Surat Paksa juga menyebutkan bahwa:
"Apabila tagihan tidak dilunasi atau tidak diajukan keberatan sampai dengan .........., dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dari jumlah kekurangan pembayaran bea masuk dan sanksi administrasi berupa denda, bagian bulan dihitung satu bulan penuh";
8) Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan adanya "pengenaan bunga sebesar 2% setiap bulan" yang terdapat di dalam SPTNP berdasarkan ketentuan ini adalah dari jumlah Kekurangan pembayaran Bea Masuk. Cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada Negara dengan perhitungan bunganya didasarkan pada pokok Utang Bea Masuk

dan/atau Cukai dan bukanlah bunga kekurangan pembayaran PPN Impor ataupun bunga keterlambatan pembayaran PPN Impor;
9) Oleh karena itu, aturan mengenai batas waktu pembayaran PPN Impor tetap mengacu kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK- 242/PMK.03/2014 tentang Tatacara Pembayaran dan Penyetoran Pajak Pasal 2 ayat (9) yang menyebutkan bahwa PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembavaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor;
10) Dengan demikian pembayaran PPN Impor yang dilakukan setelah tanggal PIB akan diterbitkan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) UU KUP yang menyebutkan bahwa:

Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;

KESIMPULAN DAN USUL

bahwa berdasarkan uraian di atas, Tergugat berkesimpulan sebagai berikut:
a. STP PPN atas Impor diterbitkan oleh Tergugat karena Penggugat terlambat melakukan pembayaran PPN atas impor. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui kapan sebenarnya saat terutangnya PPN atas impor;
b. Pasal 11 ayat (1) huruf b UU PPN dengan jelas menyebutkan bahwa terutangnya pajak terjadi pada saat impor Baranq Kena Pajak;
c. Pasal 2 ayat (9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-242/PMK.03/2014 menegaskan Iebih lanjut bahwa PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor;
d. Apabila Penggugat melakukan impor BKP pada tanggal 09 November 2015 dan Penggugat baru melakukan pembayaran PPN Impor pada tanggal 02 Maret 2016, maka pembayaran PPN Impor tersebut berdasarkan ketentuan di atas adalah terlambat karena tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa penerbitan SPTNP maupun pengajuan keberatan atas SPTNP ke Direktur Jenderal Bea dan Cukai bisa mengakibatkan perubahan jatuh tempo pembayaran PPN Impor;
e. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) UU KUP Tergugat menerbitkan sanksi administrasi berupa bunga yang dihitung dari saat terutangnya PPN Impor yaitu tanggal PIB sampai dengan tanggal PPN Impor dilunasi yaitu sesuai tanggal NTPN pembayaran PPN Impor. Dengan demikian penerbitan STP PPN atas Impor adalah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Keputusan Tergugat Nomor KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018 telah diterbitkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga Tergugat mengusulkan agar Majelis Hakim untuk menolak gugatan Penggugat;

Menurut Penggugat:
bahwa Penggugat menyampaikan penjelasan mengenai kronologis pengajuan gugatan sebagai berikut:
1. bahwa pada tanggal 9 November 2015, Penggugat melakukan impor sparepart berupa UIC54 Rails dengan nomor PIB 003935 sebesar Rp69.190.908.362,00 untuk kebutuhan Satuan Kerja Pengembangan. Peningkatan dan Perawatan Prasarana Perkeretaapian;
2. bahwa pada tanggal 27 November 2015, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menerbitkan SPTNP Nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015 sebesar Rp6.919.091.000,00 berupa PPN. Atas SPTNP tersebut, Penggugat ajukan keberatan Tanggal 21 Desember 2015 kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dengan hasil ditolak Nomor Keputusan KEP-57/WBC.05/2016 tanggal 23 Februari 2016;
3. bahwa hasil keputusan keberatan ini Penggugat lakukan pembayaran pada tanggal 2 Maret 2016, sehingga Penggugat kreditkan pada PPN Masa Maret 2016;
4. bahwa pembayaran SPTNP akibat penolakan keberatan Penggugat, dikenakan bunga pasal 9 ayat (2a) oleh Tergugat dengan menerbitkan STP sebesar
5. bahwa STP tersebut Penggugat ajukan permohonan pembatalan melalui Pasal 36 (1c) dan ditolak oleh Tergugat dengan Nomor KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018, sehingga Penggugat ajukan gugatan ke Pengadilan Pajak melalui pasal 23 ayat (2c);
6. Alasan Gugatan:
a. Tergugat tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan STP dari masa penerbitan PIB sampai dengan Keberatan di Direktorat Jenderal Pajak Bea dan Cukai, menurut pendapatan Penggugat adalah kewenangan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerbitkan STP;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.04/2011, pasal 5 ayat (1) menyatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat menerbitkan SPTNP akibat kekurangan atau kelebihan pembayaran pajak dalam rangka impor. Dalam Pasal 9, wajib pajak diperbolehkan untuk mengajukan keberatan. Dalam Pasal 15 ayat (2), atas hasil pengajuan keberatan tersebut, wajib pajak diharuskan untuk membayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya surat keputusan keberatan;
c. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-33/PJ/2014 Pasal 1 huruf i mengatur dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB, untuk impor Barang Kena Pajak. Pada Pasal 5 dalam peraturan ini, menyatakan atas dokumen tersebut merupakan pajak masukan yang dapat dikreditkan;
d. Pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.51/2002 menyatakan apabila Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menagih PPN atas impor dengan menerbitkan surat pemberitahuan kekurangan bayar, atas pembayaran PPN impor dapat dikreditkan pada Masa Pajak dilakukan pembayaran, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan;
e. Direktorat Jenderal Pajak secara tidak langsung (implisit) mengakui dari tanggal PIB sampai dengan keberatan yang Penggugat lakukan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, tidak terjadi keterlambatan, karena atas pokok pajak telah ditetapkan dengan KEP-00133/KEB/WPJ.10/2017 tanggal 27 Oktober 2017 oleh Tergugat menjadi NIHIL. Hal ini berarti, terhadap pokok pajak saja secara tidak langsung, Tergugat mengakui bahwa tidak terjadi keterlambatan, maka seharusnya tidak ada STP yang timbul atas peristiwa tersebut;
7. Kesimpulan Pemohon Gugatan:
a. Mengabulkan permohonan Penggugat untuk seluruhnya;
b. Menghapuskan atau menetapkan NIHIL atas STP nomor 00002/127/15/511/17 yang dibetulkan dengan Keputusan Tergugat Nomor KEP-00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017 sebesar Rp553.527.280,00;
c. Membatalkan keputusan Tergugat Nomor KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018 sebesar Rp553.527.280,00 menjadi NIHIL;

bahwa menurut Penggugat, PIB terbit Tanggal 09 November 2015, kemudian pada Tanggal 27 November 2015 terbit SPTNP. Penggugat mengajukan keberatan pada Tanggal 21 Desember 2015, baru setelah itu Penggugat melakukan pembayaran pada Tanggal 02 Maret 2016 karena Penggugat diberikan tenggang waktu selama 60 hari sejak hasil keputusan keberatan oleh DJBC;

bahwa Penggugat dikenakan SPTNP Nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015 Tanggal 27 November 2015 pada PIB 003935 Tanggal 09 November 2015. Atas hal tersebut, Penggugat mengajukan keberatan kepada DJBC, namun permohonan keberatan Penggugat ditolak oleh DJBC. Dalam proses pengajuan keberatan, Penggugat menyampaikan Bank Garansi kemudian pada saat keberatan Penggugat ditolak oleh DJBC, bank garansi tersebut dicairkan. Tergugat (DJP) mengenakan sanksi bunga Pasal 9 ayat (2a) atas Tenggang waktu antara tanggal PIB dan tanggal pencairan tersebut kepada Penggugat melalui Surat Tagihan Pajak PPN Atas Impor Nomor 00002/127/15/511/17 Tanggal 25 April 2017;

bahwa menjawab pertanyaan Majelis mengenai apakah Penggugat mencairkan Bank Garansi dalam tempo 60 hari, Penggugat menyatakan Penggugat mencairkan Bank Garansi dalam tempo 60 hari;

bahwa menanggapi pernyataan Tergugat tentang ditolaknya SKTD yang diajukan oleh Penggugat, Penggugat menyatakan Penggugat menerima keputusan DJBC yang menolak SKTD Penggugat, yang Penggugat permasalahkan adalah diterbitkannya bunga oleh Tergugat atas penolakan tersebut;

bahwa Penggugat menyatakan atas pokok pajak yang ditolak oleh DJBC, maka Penggugat kreditkan karena memang ada aturan khusus bahwa importir boleh mengkreditkan apabila terdapat SPTNP. Pada saat Penggugat kreditkan, Penggugat dikoreksi;

bahwa Penggugat menyerahkan penjelasan tertulis berupa Kesimpulan Akhir tanpa nomor Tanggal 02 Juli 2018 yang isinya sebagai berikut:

ANALISIS

1. Pernyataan Tergugat
bahwa pihak Tergugat menyatakan bahwa berdasarkan penelitian proses impor dengan nomor PIB 003935 tanggal 9 November 2015 terjadi keterlambatan pembayaran PPN impor, sehingga atas dasar asumsi tersebut oleh tergugat dikenakan atau diperhitungkan bunga 2% (dua persen) selama 4 (empat) bulan dari tanggal PIB (tanggal 9 November 2015) sampai dengan tanggal penerimaari pembayaran/pencairan jaminan yaitu pada tanggal 2 Maret 2016 karena proses keberatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
2. Tanggapan Penggugat
a. Bahwa pada SPTNP terdapat kalimat, "Apabila tagihan tidak dilunasi atau tidak diajukan keberatan sampai dengan tanggal 25 Januari 2016, dikenakan bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 24 bulan dari jumlah kekurangan pembayaran bea masuk dan sanksi administrasi berupa denda, bagian denda dihitung satu bulan penuh";
Pada kasus ini, SPTNP Nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015 diajukan keberatan oleh Penggugat pada tanggal 21 Desember 2015 sehingga pengenaan bunga harus ditangguhkan sampai dengan proses keberatan mendapat keputusan (UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 38 Ayat (3));
b. Bahwa atas SPTNP nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015 Penggugat mengajukan keberatan pada tanggal 21 Desember 2015 dan sesuai dengan PMK nomor 51/PMK.04/2017 tentang Keberatan Di Bidang Kepabean dan Cukai pasal 5 ayat (1) mengatakan "Orang yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), wajib menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar." Oleh karena itu pada saat Penggugat mengajukan keberatan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, telah Penggugat lampirkan jaminan bank dari Bank Central Asia nomor 00223/BG/CAMS/0972/2015. Setelah adanya Surat Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-57/WBC.05/2016 tanggal 23 Februari 2016 yang menyatakan menolak keberatan Penggugat, maka jaminan tersebut dicairkan pada tanggal 2 Maret 2016 sesuai perintah dari Direktorat Bea dan Cukai;
c. Bahwa pemerintah (DJBC dan DJP) tidak dirugikan, demikian juga Penggugat tidak mendapatkan keuntungan apapun karena telah mengeluarkan uang dalam bentuk jaminan deposito. Dalam hal ini Penggugat telah melakukan sesuai dengan prosedur keberatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. (UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 93 Ayat (3));
d. Bahwa menurut Penggugat, semua kegiatan yang terkait dengan kepabeanan (tata cara, penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi) adalah kewenangan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 1 butir 4);
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT SENGKETA
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Atau Pejabat Bea dan Cukai Pasal 15 ayat (2) menyatakan kewajiban pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal wajib dibayar paling lambat 60 hari sejak tanggal keputusan;
2. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 1 butir 4 yang menyatakan kantor pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
3. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 1 butir 6 yang menyatakan kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini;
4. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 38 Ayat (1) yang menyatakan utang atau tagihan kepada negara berdasarkan Undang-Undang ini yang tidak atau kurang dibayar dikenai bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1(satu) bulan;
5. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 38 Ayat (3) yang menyatakan jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
a. Dalam hal tagihan negara kepada pihak yang terutang yaitu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan;
b. Dalam hal tagihan pihak yang berpiutang kepada negara yaitu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat keputusan pengembalian oleh Menteri;
6. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 93 Ayat (1) yang menyatakan orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar;
7. UU Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 Pasal Ayat (3) yang menyatakan apabila keberatan ditolak oleh Direktur Jenderal, jaminan dicairkan untuk membayar bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan;
KESIMPULAN

bahwa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Bahwa SPTNP nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015 tanggal 27 November 2015 yang dikeluarkan terkait PIB Nomor 003935 tanggal 9 November 2015 tidak terdapat keterlambatan pembayaran karena telah dibayar lunas sesuai dengan prosedur proses keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Bea dan Cukai;
- Bahwa penerbitan Surat Tagihan Pajak Nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 oleh Tergugat tidaklah tepat sehingga seharusnya dibatalkan;

PERMOHONAN

bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mengadili sengketa a quo kiranya berkenan memberi putusan:
- Membatalkan STP Nomor 00002/127 15 511/17 tanggal 25 April 2017;
- Menetapkan STP Nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 yang telah dibetulkan dengan KEP-00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017 sebesar Rp553.527.280 menjadi NIHIL;

Menurut Majelis:
bahwa Tergugat menerbitkan Surat Tagihan Pajak nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Tergugat Nomor KEP-00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017 karena Penggugat baru melakukan pembayaran PPN impor pada tanggal 02 Maret 2016 atas impor sparepart berupa UIC54 Rails dengan nomor PIB 003935 sebesar Rp69.190.908.362,00;

bahwa menurut pendapat Penggugat, penerbitan Surat Tagihan Pajak a quo tidak benar, karena PPN yang Penggugat bayarkan adalah sesuai dengan keputusan keberatan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sehingga seharusnya tidak dikenakan sanksi administrasi pasal 9 ayat (2a) karena masih dalam kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dalam proses keberatan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

bahwa menurut Penggugat atas PIB No. 003935 tanggal 9 November 2015 dikeluarkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) nomor 000233/NOTUL/WBC05/KPP.01/2015, yang mana atas SPTNP tersebut Penggugat ajukan keberatan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai karena menurut Penggugat tidak seharusnya dikenakan PPN maupun Bea Masuk. Atas pengajuan surat

keberatan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menolak dan menetapkan lain SPTNP tersebut, sehingga menimbulkan kurang bayar PPN sebesar Rp6.919.091.000,- dan telah Penggugat bayar pada tanggal 2 Maret 2016;

bahwa atas pembayaran PPN karena surat keputusan keberatan Penggugat, diterbitkan STP atas sanksi administrasi Ps. 9 ayat (2a) nomor 00002/127/15/511/17 pada tanggal 25 April 2017 sebesar Rp415.145.460,- oleh KPP Madya Semarang dan telah dilakukan pembetulan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017, sehingga nilai sanksi administrasi menjadi sebesar Rp553.527.280,-;

bahwa Majelis beradasarkan keterangan dan bukti-bukti yang disampaikan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

bahwa Pasal 11 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) menyatakan bahwa “Terutangnya pajak terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak”;

bahwa Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), mengatur bahwa Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;

bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 berbunyi :
Pasal 17 ayat (1) huruf b, bahwa Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak;
Pasal 17 ayat (4), bahwa Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;

bahwa Pasal 2 ayat (9) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-242/PMK.03/2014 tentang Tatacara Pembayaran dan Penyetoran Pajak mengatur bahwa PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor;

bahwa Penggugat melakukan impor BKP sesuai Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Nomor 003935 pada tanggal 09 November 2015;

bahwa atas Pemberitahuan Impor Barang Nomor 003935 tanggal 09 November 2015 dikeluarkan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) Nomor SPTNP- 000233/NOTUL/WBC.05/KP.01/2015 yang Penggugat ajukan keberatan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menolak dan menetapkan lain SPTNP tersebut sehingga menimbulkan kurang bayar PPN sebesar Rp6.919.091.000,00 yang sudah dibayar Penggugat tanggal 02 Maret 2016;

bahwa Penggugat ketika mengajukan PIB menyatakan PPN Impor dibebaskan tetapi tanpa dilampiri SKTD (Surat Keterangan Tidak Dipungut), yaitu surat keterangan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN yang diterbitkan oleh Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-193/PMK.03/2015;

bahwa Penggugat telah mengajukan permohonan SKTD ke KPP Madya Semarang pada tanggal 18 November 2015 yaitu setelah mengajukan PIB karena PIB diajukan pada tanggal 30 Oktober 2015 dan 9 November 2015 sehingga hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor tersebut yang mengatur bahwa seharusnya permohonan SKTD diajukan sebelum pengajuan PIB;

bahwa dengan demikian, Penggugat tidak memiliki SKTD, tidak menyerahkan SKTD ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan tidak memberikan cap PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 69 TAHUN 2015 ketika melakukan impor barang;

berdasarkan bukti yang ada dalam persidangan Penggugat membayar PPN impor dengan tanggal NTPN sama dengan tanggal pembayaran PPN Impor yaitu tanggal 02 Maret 2016 sehingga terjadi keterlambatan pembayaran PPN Impor;

bahwa atas impor sebagaimana tersebut di atas menurut Majelis seharusnya terutang PPN Impor pada tanggal 09 November 2015 sesuai dengan Pasal 11 ayat
(1) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN);

bahwa Penggugat baru melakukan pembayaran PPN Impor pada tanggal 02 Maret 2016, sehingga Penggugat terlambat melakukan pembayaran PPN atas impor tersebut, sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP);

bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan, Tergugat telah menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) Nomor 00002/127/15/511/17 tanggal 25 April 2017 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00018/WPJ.10/KP.10/2017 tanggal 22 Desember 2017 sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

bahwa Majelis berpendapat untuk menolak permohonan gugatan Penggugat atas Keputusan Tergugat Nomor KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018;

Mengingat:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan peraturan perudang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:
Menolak Gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00041/NKEB/WPJ.10/2018 tanggal 16 Januari 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf C Karena Permohonan Wajib Pajak, atas nama: Pemohon Banding.

Demikian diputus pada Sidang Di Luar Tempat Kedudukan di Yogyakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Kamis, tanggal 19 Juli 2018, oleh Hakim Majelis II.B Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis sebagai berikut :

Drs. BB, M.A., M.P.A. sebagai Hakim Ketua,
AH, SE., Ak., Msi., CA. sebagai Hakim Anggota,
YSW, S.E., M.Si. sebagai Hakim Anggota,
dengan dibantu oleh
MAF, S.E, M.M
sebagai Panitera Pengganti,
Putusan diucapkan dalam Sidang Di luar Tempat Kedudukan bertempat di Yogyakarta terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Kamis, tanggal 9 Agustus 2018, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti serta tidak dihadiri oleh Tergugat dan Penggugat.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA