Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi atas Penghasilan Neto sebesar Rp169.441.094.065,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian accessoir antara debitur dan kreditur yang isinya tentang pernyataan penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak milik debitur kepada kreditur, namun benda-benda tersebut tetap dikuasai oleh debitur sebagai peminjam pakai dan bertujuan hanya untuk jaminan atas pembayaran kembali uang pinjaman. Untuk penyerahannya diserahkan secara constitution possessorium, yaitu penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas benda-benda yang bersangkutan karena memang benda-benda tersebut masih berada di tangan debitur. Bahwa dalam perjanjian dengan Jaminan Fidusia bahwa dalam satu waktu telah terjadi suatu perjanjian dengan dua perbuatan sekaligus, yaitu di satu pihak debitur menyerahkan hak milik atas benda-bendanya secara kepercayaan kepada kreditur, artinya benda-benda tersebut tidak diserahkan secara harfiah tetapi hanya hak miliknya saja yang diserahkan. Di lain pihak, dalam waktu yang bersamaan kreditur selaku pemilik baru benda-benda tersebut secara kepercayaan kepada debitur untuk dipakai olehnya tanpa kreditur terlebih dahulu harus menyerahkan, karena memang benda-benda tersebut dari semula masih di tangan debitur;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3), Pasal 30, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang- Undang Jaminan Fidusia diketahui bahwa apabila Pemberi Fidusia/debitur cidera janji, maka Penerima Fidusia/kreditor mempunyai hak untuk melaksanakan eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia terhadap Objek Jaminan Fidusia. Pengambilan pembayaran piutang dari penjualan Objek Jaminan Fidusia dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Jaminan Fidusia;
bahwa apabila hasil penjualan melebihi penjaminan, Penerima Fidusia/kreditur wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia/debitur;
bahwa apabila hasil penjualan tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, maka Pemberi Fidusia/debitur tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar. Para pihak tidak boleh untuk memperjanjikan cara-cara tertentu yang ditempuh untuk mengeksekusi Objek Jaminan Fidusia. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Objek Jaminan Fidusia yang bertentangan dengan ketiga cara tersebut maka janji tersebut batal demi hukum. Demikian pula apabila ada perjanjian yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia/debitur untuk memiliki Objek Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji maka janji tersebut juga batal demi hukum;
bahwa terkait dengan alasan keberatan Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Loss on sale and impairment of foreclosed adalah kerugian yang timbul akibat penjualan kolateral yang diambil alih dari debitur macet dan Pemohon Banding masih melakukan tindakan penagihan kepada debitur sehingga menurut Pemohon Banding hal tersebut bukan merupakan penghapusan piutang seperti yang dimaksud pada Pasal 6 ayat 1 huruf h UU PPh, namun merupakan kerugian penjualan aktiva kolateral seperti yang tertera dalam laporan keuangan tahun 2012 adalah tidak tepat. Terbanding berpendapat saat menjual aset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan Total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan. Atas pencatatan tersebut secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan ini merupakan permasalahan penghapusan piutang tak tertagih;
bahwa Terbanding berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan, Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi piutang yang nyata- nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
- telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan;
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan.
bahwa terkait dengan alasan keberatan Pemohon Banding atas pendapat Terbanding yang menyatakan asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan dan bukan asset milik sendiri yang dipakai untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sehingga secara fiskal tidak bisa dibebankan sebagai biaya.Atas dasar Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI), Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dikategorikan sebagai aktiva non produktif dan mengatur bahwa AYDA dibukukan sebagai aset bagi kreditur walaupun secara hukum tidak dimiliki kreditur, namun disajikan secara terpisah dari aktiva lainnya dalam neraca dan tidak dapat disusutkan. Tim Peneliti Keberatan berpendapat bahwa Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) tersebut berlaku untuk kegiatan perusahaan jasa perbankan sedang Pemohon Banding mempunyai kegiatan usaha berupa jasa pembiayaan seharusnya menggunakan Standar Akuntansi Keuangan. Terbanding sependapat dengan pernyataan Pemohon Banding yang tertuang dalam surat keberatan Pemohon Banding dinyatakan secara jelas bahwa Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dikategorikan sebagai aktiva non produktif dan menyatakan bahwa AYDA dibukukan sebagai aset bagi kreditur walaupun secara hukum tidak dimiliki kreditur. Terbanding sependapat dengan Terbanding saat pemeriksaan bahwa AYDA bukan aset milik Pemohon Banding sebagai mana ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa dengan demikian, koreksi Terbanding atas pembebanan kerugian penjualan aset yang diambil alih telah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan karena aset yang ditarik dari debitur karena cidera janji bukan milik/asset Pemohon Banding selaku kreditur;
bahwa terkait dengan alasan keberatan Pemohon Banding berdasar penjelasan pasal 28 ayat (7) KUP yang menyatakan bahwa pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29, dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain;
bahwa menurut Pemohon Banding karena tidak ada pengaturan khusus perpajakan mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Sedangkan Terbanding melihat adanya perbedaan penerapan ketentuan kebijakan akuntansi atas asset yang diambil alih oleh Pemohon Banding dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Pemohon Banding diketahui telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur, selisih kurang, perseroan akan mencatat sebagai kerugian penjualan asset yang diambil alih yang berarti Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, sehingga kerugian atas piutang yang belum dilunasi bukan merupakan kerugian. Meskipun tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
Terbanding berpendapat bahwa koreksi penyesuaian fiskal positif sebesar Rp169.441.094.065,00 tetap dipertahankan dengan perhitungan sebagai berikut:
Uraian |
Menurut |
Koreksi |
Pemohon Banding |
Terbanding (Pemeriksa) |
Terbanding (Keberatan) |
Penyesuaian fiskal positif-loss on sale and impairment of foreclosed
|
46.009.149.986,00 |
215.450.244.051,00 |
215.450.244.051,00 |
169.441.094.065,0 |
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding atas koreksi Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00 dan oleh karenanya mengajukan banding dengan alasan dan penjelasan sebagai berikut:
• |
Sejumlah 441.094.065,00 merupakan pembebanan biaya secara fiskal di Tahun 2012;
bahwa Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00 adalah kerugian yang timbul akibat penjualan kendaraan kolateral yang di ambil alih dari debitur macet. Jika harga jual kendaraan kolateral lebih rendah dari nilai kolateral, maka Pemohon Banding mencatat kerugian. Terbanding mendasari koreksi dengan dasar hukum Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh dan PMK Nomor 57/PMK.03/2010. Merujuk pada dasar hukum koreksi tersebut, Terbanding menyimpulkan bahwa kerugian ini adalah pada dasarnya merupakan biaya penghapusan piutang tak tertagih, yang tidak dapat dibebankan pada tahun 2012 karena pada tahun 2011, persyaratan penghapusan piutang seperti yang disebutkan di dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (“UU PPh”) Pasal 6 huruf h belum terpenuhi;
bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, kerugian sejumlah tersebut bukan merupakan penghapusan piutang seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang- Undang PPh dan PMK Nomor 57/PMK.03/2010 namun merupakan kerugian dari penjualan aktiva kolateral seperti yang tertera dalam laporan keuangan Pemohon Banding tahun 2012. Adapun Laporan keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2012 telah diaudit oleh akuntan Independen dan opini atas pembukuan Pemohon Banding adalah wajar tanpa syarat. Dalam laporan keuangan tersebut tertera asset yang diambil alih (“ foreclosed Asset”). Pada catatan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan independen tersebut yaitu pada huruf l halaman 14, dinyatakan:
“Forelosed assets are stated at net realizable value at the time of foreclosure. The excess of net realizable value of the foreclosed collateral over the balance of the uncollectible receivables is credited or charged to profit or loss. Expenses related to the foreclosed assets and its maintenance are charged to the statement of comprehensive income as incurred. At the end of the year, foreclosed collateral are reviewed for any impairment in value. When the foreclosed collaterals are disposed of, their carrying values are removed from the accounts and any resulting gain or losses are credited or charged to profit or loss”;
bahwa yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Aset yang diambil alih dicatat pada nilai realisasi bersih pada saat pengalihan aset. Kelebihan dari nilai realisasi bersih atas jaminan yang dialihkan tersebut, yang nilainya melebihi saldo piutang tidak tertagih, dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi. Beban- beban yang terkait pengalihan aset serta perawatannya dicatat pada laporan pendapatan komprehensif sebagaimana terjadinya. Pada akhir tahun, aset jaminan yang dialihkan ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai (impairment). Saat aset jaminan dialihkan, nilai bukunya dikeluarkan dari pencatatan dan atas hasil laba atau ruginya dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi”;
bahwa aset yang diambil alih ini merupakan aktiva yang secara hukum tidak dimiliki tetapi dikuasai oleh Pemohon Banding dimana secara akuntansi, aset tersebut dicatat dikategorikan sebagai aktiva lain-lain yang nilainya tidak didepresiasikan tetapi ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai;
|
|
|
• |
Substansi Kerugian Foreclosed Assets bukan merupakan Penghapusan Piutang
bahwa sehubungan dengan alasan koreksi Terbanding bahwa substansi kerugian foreclosed asset Pemohon Banding adalah penghapusan piutang, dimana menurut Terbanding sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh, biaya ini bisa dibebankan asal memenuhi 4 syarat kumulatif dan Pemohon Banding tidak melakukan hal tersebut sehingga oleh Terbanding biaya rugi penjualan asset tersebut dikoreksi;
bahwa perlu Pemohon Banding sampaikan disini bahwa Pemohon Banding telah membedakan biaya penghapusan piutang tak tertagih dengan kerugian foreclosed asset. Sehubungan dengan penghapusan piutang tak tertagih adalah penghapusan piutang atas jaminan kendaraan yang tidak berhasil disita ataupun ditemukan oleh Pemohon Banding dan dengan demikian atas kerugian yang Pemohon Banding tanggung adalah dengan mekanisme membebankan piutang tak tertagih tersebut dengan cara memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh tersebut. Adapun dalam hal barang jaminan ditemukan dan berhasil dijual/dilelang maka atas nilai penjualan tersebut akan menjadi recovery bagi Pemohon Banding dan Pemohon Banding akui sebagai penghasilan. Adapun sehubungan biaya penghapusan piutang tak tertagih tersebut tidak dilakukan koreksi oleh Terbanding atau tidak menjadi sengketa. Berbeda halnya dengan pembebanan biaya foreclosed asset tersebut secara substansi dan nature-nya tidaklah dapat disamakan dengan penghapusan piutang tak tertagih. Pembebanan kerugian atas foreclosed asset adalah sehubungan dengan kerugian yang timbul yang disebabkan oleh nilai penjualan/lelang dari asset jaminan yang berhasil disita/ditarik oleh Pemohon Banding tersebut tidak menutupi nilai pokok hutang yang masih tersisa dari customer/debitur tersebut;
bahwa lebih tegasnya disini bahwa pembebanan foreclosed of assets tidak tepat apabila dianggap sebagai penghapusan piutang tak tertagih dan diharuskan memenuhi 3 akumulasi syarat untuk melakukan pembebanannya tersebut. Berbeda dengan penghapusan piutang tak tertagih tersebut yang masih dimungkinkan adanya recovery atas pembebanan tersebut, akan tetapi pembebanan foreclosed asset adalah merupakan nilai kerugian yang sudah pasti (final) dikarenakan jaminan asset tersebut telah berhasil disita/ditarik dan berhasil dijual/dilelang;
bahwa sebagai tambahan terlepas dari penjelasan Pemohon Banding diatas bahwa tidak dimungkinkan pula bagi Pemohon Banding untuk diharuskan melakukan/memenuhi syarat pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh terutama syarat ketiga yaitu nilai piutang yang tertagih diterbitkan dalam surat kabar/majalah umum atau khusus atau telah diserahkan perkaranya ke pengadilan. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan dikarenakan atas jaminan asset tersebut telah berhasil ditarik ataupun telah diserahkan oleh customer/debitur yang selanjutnya assets tersebut telah berhasil dilelang atau dijual oleh Pemohon Banding;
|
|
|
• |
Mengenai Kepemilikan Asset untuk Harta Jaminan Perusahaan Jasa Keuangan diatur Khusus;
bahwa menurut Pemohon Banding bahwa asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan yang telah diambil alih yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sehingga secara fiskal bisa dibebankan sebagai biaya;
bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, ketentuan perpajakan juga seharusnya mempertimbangkan prinsip akuntansi yang dianut Pemohon Banding secara konsisten dimana dalam hal ini, penerapan prinsip akuntansi akan menghasilkan pencatatan transaksi yang objektif dan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sebagai referensi tambahan, pencatatan Agunan Yang Diambil Alih atau yang dapat disingkat dengan AYDA dapat juga merujuk pada Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dimana berdasarkan PAPI buku ke 2, PAPI mengategorikan AYDA sebagai aktiva non-produktif;
bahwa dalam hal 111 dan 112 dari PAPI disebutkan:
Hal 111
“AYDA adalah aset yang diperoleh bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank”;
Hal 112:
“1. |
Untuk kepentingan penerapan prinsip kehati-hatian perbankan, AYDA merupakan salah satu bentuk aset non produktif yang wajib ditetapkan kualitasnya dan dibentuk penyisihan penghapusan aset non produktif (PPANP) sesuai Peraturan Bank Indonesia; |
2. |
Kewajiban pembentukan PPANP untuk AYDA pada dasarnya bukan merupakan cadangan kerugian penurunan nilai, namun lebih merupakan disinsentif kepemilikan aset yang tidak digunakan dalam kegiatan usaha bank; |
3. |
Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki yaitu mengupayakan penjualan dengan segera serta mendokumentasikan upaya penyelesaian tersebut;” |
bahwa PAPI mengatur bahwa AYDA dibukukan sebagai asset bagi pihak kreditur walaupun AYDA tersebut secara hukum tidak dimiliki oleh kreditur (misalnya diambil alih dengan dasar kuasa jual), namun disajikan secara terpisah dari aktiva lainnya dalam neraca (yaitu AYDA disajikan sebagai aktiva non produktif), diungkapkan dalam laporan keuangan, dan AYDA tersebut tidak dapat disusutkan seperti aktiva tetap;
|
|
|
• |
Dasar Hukum Pembebanan Kerugian atas Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp 169.441.094.065
bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang Undang KUP tahun 2008 disebutkan bahwa:
“Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang;
bahwa selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan;
bahwa dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.”
bahwa merujuk pada penjelasan pasal 28 ayat (7), karena tidak ada peraturan khusus perpajakan mengenai bagaimana penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Dalam hal ini, Pembukuan Pemohon Banding mencatat adanya Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00, yang merupakan kerugian dari penjualan aset kolateral, yang oleh karenanya dapat dibiayakan secara perpajakan;
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding tersebut di atas, maka mohon kiranya agar Majelis Hakim yang Terhormat membatalkan koreksi atas Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00;
|
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan keterangan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding atas Penghasilan Neto, yaitu terkait dengan koreksi atas Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp169.441.094.065,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa menurut Terbanding, berdasarkan penelitian terhadap Laporan Laba Rugi Komprehensif untuk tahun-tahun yang berakhir 31 Desember 2012 dan 2011 yang telah diaudit KAP Osman Bing Satrio & Rekan, diketahui bahwa Pemohon Banding membebankan kerugian penjualan aset yang diambil alih (loss on sale and impairment losses of foreclosed assets) sebesar Rp166.586.769.303,00;
bahwa Gain (loss) on sale and impairment losses of foreclosed assets ini merupakan keuntungan atau kerugian atas asset tarikan yang dijual kembali oleh Pemohon Banding;
bahwa loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, dimana saat pertama melakukan akad kredit, atas asset tersebut dilakukan penandatangan perjanjian berupa surat kuasa membebankan jaminan secara fidusia dan perjanjian surat kuasa untuk mengambil kendaraan bermotor;
bahwa sesuai dengan SOP Pemohon Banding penarikan atas asset dilakukan jika debitor atau customer menunggak melebihi waktu yang telah ditentukan, sudah mempunyai indikasi tidak baik dan berdasarkan analisis collection. Atas sepeda motor yang telah ditarik atau diambil alih oleh Pemohon Banding menjadi aset tarikan;
bahwa selama masih dalam status sepeda motor tarikan, Pemohon Banding masih melakukan tindakan penagihan kepada debitor atau customer untuk melunasi hutang yang masih harus dibayar;
bahwa saat menjual asset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank-In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan. Atas pencatatan tersebut secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet;
bahwa menurut Terbanding, terdapat perbedaan penerapan ketentuan kebijakan akuntansi atas asset yang diambil alih oleh Pemohon Banding dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Pemohon Banding diketahui telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur, selisih kurang, perseroan akan mencatat sebagai kerugian penjualan asset yang diambil alih, yang berarti Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, sehingga kerugian atas piutang yang belum dilunasi bukan merupakan kerugian;
bahwa meskipun tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh), kerugian atas penjualan/pengalihan harta yang dimiliki/digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam hal ini,
asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah
asset jaminan dan bukan
asset milik sendiri yang dipakai untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sehingga secara fiskal tidak bisa dibebankan sebagai biaya;
bahwa selain itu menurut Terbanding, Rugi penjualan Asset sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon Banding, pada dasarnya merupakan penghapusan piutang, dimana sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, biaya ini bisa dibebankan asal memenuhi 4 syarat kumulatif, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh a quo, namun faktanya Pemohon Banding tidak melakukan hal tersebut, sehingga oleh Terbanding biaya rugi penjualan asset tersebut dikoreksi;
bahwa menurut Pemohon Banding, Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00 adalah kerugian yang timbul akibat penjualan kendaraan kolateral yang di ambil alih dari debitur macet. Jika harga jual kendaraan kolateral lebih rendah dari nilai kolateral, maka Pemohon Banding mencatat kerugian;
bahwa merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, karena tidak ada peraturan khusus perpajakan mengenai bagaimana penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Dalam hal ini secara akuntansi Pemohon Banding mencatat adanya Loss On Sale And Impairment Of Foreclosed sebesar Rp169.441.094.065,00 yang merupakan kerugian dari penjualan aset Kolateral, yang oleh karenanya dapat dibiayakan secara perpajakan;
bahwa Laporan Keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2012 telah diaudit oleh akuntan Independen dengan opini wajar tanpa syarat, dan dalam Laporan a quo, yaitu pada huruf L halaman 13, dinyatakan: “Aset yang diambil alih dicatat pada nilai realisasi bersih pada saat pengalihan aset. Kelebihan dari nilai realisasi bersih atas jaminan yang dialihkan tersebut, yang nilainya melebihi saldo piutang tidak tertagih, dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi. Beban-beban yang terkait pengalihan aset serta perawatannya dicatat pada laporan pendapatan komprehensif sebagaimana terjadinya. Pada akhir tahun, aset jaminan yang dialihkan ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai (impairment). Saat aset jaminan dialihkan, nilai bukunya dikeluarkan dari pencatatan dan atas hasil laba atau ruginya dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi”;
bahwa aset yang diambil alih ini merupakan aktiva yang secara hukum tidak dimiliki tetapi dikuasai oleh Pemohon Banding, dimana secara akuntansi, aset tersebut dicatat dikategorikan sebagai aktiva lain-lain yang nilainya tidak didepresiasikan tetapi ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai;
bahwa menurut Pemohon Banding, kerugian sejumlah tersebut bukanlah merupakan penghapusan piutang seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-undang PPh dan PMK Nomor
57/PMK.03/2010, namun merupakan kerugian dari penjualan aktiva kolateral seperti yang tertera dalam laporan keuangan Pemohon Banding tahun 2012;
bahwa sehubungan dengan alasan koreksi Terbanding yang menyatakan bahwa substansi kerugian foreclosed asset Pemohon Banding adalah penghapusan piutang, dimana sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh, biaya ini bisa dibebankan asal memenuhi empat syarat kumulatif dan Pemohon Banding tidak melakukan hal tersebut sehingga oleh Terbanding biaya rugi penjualan asset tersebut dikoreksi, Pemohon Banding telah membedakan biaya penghapusan piutang tak tertagih dengan kerugian foreclosed asset;
bahwa pembebanan biaya foreclosed asset secara substansi dan nature-nya tidaklah dapat disamakan dengan penghapusan piutang tak tertagih. Pembebanan kerugian atas foreclosed asset adalah sehubungan dengan kerugian yang disebabkan oleh nilai penjualan/lelang dari asset jaminan yang berhasil disita/ditarik oleh Pemohon Banding tersebut tidak menutupi nilai pokok hutang yang masih tersisa dari customer/debitur tersebut;
bahwa berbeda dengan penghapusan piutang tak tertagih yang masih dimungkinkan adanya recovery atas pembebanannya, tetapi pembebanan foreclosed asset adalah merupakan nilai kerugian yang sudah pasti (final) dikarenakan jaminan asset tersebut telah berhasil disita/ditarik dan berhasil dijual/dilelang;
bahwa sebagai tambahan, Pemohon Banding juga tidak dimungkinkan untuk memenuhi syarat pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh terutama syarat ketiga yaitu nilai piutang yang tertagih diterbitkan dalam surat kabar/majalah umum atau khusus atau telah diserahkan perkaranya ke pengadilan. Hal tersebut dikarenakan atas jaminan asset tersebut telah berhasil ditarik ataupun telah diserahkan oleh customer/debitur yang selanjutnya assets tersebut telah berhasil dilelang atau dijual oleh Pemohon Banding;
bahwa selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Fidusia), pemilik barang yang dijaminkan memang adalah konsumen/debitur, akan tetapi Pemohon Banding sebagai penerima fidusia berhak untuk melakukan eksekusi atas jaminan fidusia;
bahwa kendatipun UU Fidusia juga mengatur bahwa apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar, akan tetapi pada kenyataan di lapangan, tidaklah mungkin untuk menagih sisa kekurangan pelunasan piutang tersebut kepada debitur (terutama dengan kondisi aset jaminan sudah ditarik dan berhasil dijual), sehingga atas kerugian tersebut harus ditanggung Pemohon banding sendiri;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas dokumen banding dan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp169.441.094.065,00 yang menurut Terbanding seharusnya merupakan penghapusan piutang, sedangkan menurut Pemohon Banding adalah merupakan kerugian;
bahwa loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, adalah berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, yang kemudian di ambil alih dari debitur macet dan dijual oleh Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti (pembukuan) yang telah disampaikan oleh Pemohon Banding dalam persidangan, diketahui bahwa saat menjual asset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank-In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan;
bahwa menurut Majelis, berdasarkan bukti-bukti a quo, secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet, dengan demikian substansinya adalah merupakan penghapusan piutang;
bahwa menurut Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh : Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
- syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa Pemohon Banding tidak tidak dapat menunjukkan terpenuhinya ke empat syarat a quo;
bahwa terkait dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, karena tidak ada pengaturan khusus perpajakan mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi, Dalam hal ini secara akuntansi Pemohon Banding mencatat adanya Loss On Sale And Impairment Of Forclosed sebesar Rp169.441.094.065,00 yang merupakan kerugian dari penjualan aset Kolateral, yang oleh karenanya dapat dibiayakan secara perpajakan, Majelis berpendapat bahwa oleh karena loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, maka meskipun mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU 42/1999) : Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar;
bahwa menurut Majelis, sesuai dengan ketentuan a quo maka apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar;
bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa Pemohon Banding telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur (selisih kurang) sebagai kerugian penjualan asset yang diambilalih, di samping itu debitor ternyata masih tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar a quo, dengan demikian menurut Majelis, asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan yang bukan merupakan asset milik pemohon Banding sendiri;
bahwa dalam persidangan tanggal 06 Maret 2018, Pemohon Banding juga menyatakan bahwa secara hak milik memang aset tersebut milik konsumen, tetapi secara fidusia aset tersebut milik Pemohon Banding;
Pasal 6 ayat (1) huruf d : Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk : kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
bahwa berdasarkan ketentuan a quo Majelis berpendapat, bahwa oleh karena Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, dan asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan yang bukan merupakan asset milik sendiri, maka secara fiskal kerugian a quo tidak dapat dibebankan sebagai biaya;
bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak :
Pasal 69 ayat (1)
alat bukti dapat berupa:
a. |
surat atau tulisan; |
|
... dst |
d. |
pengakuan para pihak; dan/atau |
e. |
pengetahuan Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya; |
Pasal 74 : Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal;
Pasal 76 : Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
bahwa dalam Penjelasan Pasal a quo dinyatakan : Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang dia jukan oleh para pihak;
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan
... dst;
Pasal 78 : "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";
Memori penjelasan pasal 78 : "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan";
bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan para pihak dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Terbanding sudah benar, oleh karena itu koreksi Terbanding atas Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp169.441.094.065,00 tetap dipertahankan;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak banding Pemohon Banding;
Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 00188/KEB/WPJ.04/2017 tanggal 12 Juni 2017, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Nomor 00014/206/12/062/16 tanggal 21 Juli 2016 Tahun Pajak 2012, atas nama Pemohon Banding;
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 24 Juli 2018 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
M.Z. AF, S.H., M.Kn. |
sebagai Hakim Ketua, |
JEW, Ak., M.P.P. |
sebagai Hakim Anggota, |
RM, S.H., M.Kn |
sebagai Hakim Anggota, |
Dengan dibantu oleh AA, S.E., M.M. |
sebagai Panitera Pengganti, |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri oleh Terbanding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.