Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi atas Penghasilan Neto sebesar Rp200.281.817.600,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian accessoir antara debitur dan kreditur yang isinya tentang pernyataan penyerahan hak milik secara kepercayaan atas benda-benda bergerak milik debitur kepada kreditur, namun benda-benda tersebut tetap dikuasai oleh debitur sebagai peminjam pakai dan bertujuan hanya untuk jaminan atas pembayaran kembali uang pinjaman. Untuk penyerahannya diserahkan secara constitution possessorium, yaitu penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas benda-benda yang bersangkutan karena memang benda-benda tersebut masih berada di tangan debitur. Bahwa dalam perjanjian dengan Jaminan Fidusia bahwa dalam satu waktu telah terjadi suatu perjanjian dengan dua perbuatan sekaligus, yaitu di satu pihak debitur menyerahkan hak milik atas benda-bendanya secara kepercayaan kepada kreditur, artinya benda-benda tersebut tidak diserahkan secara harfiah tetapi hanya hak miliknya saja yang diserahkan. Di lain pihak, dalam waktu yang bersamaan kreditur selaku pemilik baru benda-benda tersebut secara kepercayaan kepada debitur untuk dipakai olehnya tanpa kreditur terlebih dahulu harus menyerahkan, karena memang benda-benda tersebut dari semula masih di tangan debitur;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3), Pasal 30, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang- Undang Jaminan Fidusia diketahui bahwa apabila Pemberi Fidusia/debitur cidera janji, maka Penerima Fidusia/kreditor mempunyai hak untuk melaksanakan eksekusi berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia terhadap Objek Jaminan Fidusia. Pengambilan pembayaran piutang dari penjualan Objek Jaminan Fidusia dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu:
a) |
Apabila hasil penjualan melebihi penjaminan, Penerima Fidusia/kreditur wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia/debitur; |
b) |
Apabila hasil penjualan tidak mencukupi untuk pelunasan hutang, maka Pemberi Fidusia/debitur tetap bertanggung jawab atas hutang yang belum terbayar; |
bahwa para pihak tidak boleh untuk memperjanjikan cara-cara tertentu yang ditempuh untuk mengeksekusi Objek Jaminan Fidusia. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi terhadap Objek Jaminan Fidusia yang bertentangan dengan ketiga cara tersebut maka janji tersebut batal demi hukum. Demikian pula apabila ada perjanjian yang memberi kewenangan kepada Penerima Fidusia/debitur untuk memiliki Objek Jaminan Fidusia apabila debitur cidera janji maka janji tersebut Juga batal demi hukum;
bahwa terkait dengan alasan keberatan Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Loss on sale and impairment of foreclosed adalah kerugian yang timbul akibat penjualan kolateral yang diambil alih dari debitur macet dan Pemohon Banding masih melakukan tindakan penagihan kepada debitur sehingga menurut Pemohon Banding hal tersebut bukan merupakan penghapusan piutang seperti yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, namun merupakan kerugian penjualan aktiva kolateral seperti yang tertera dalam laporan keuangan tahun 2011 adalah tidak tepat. Terbanding berpendapat saat menjual aset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan Total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan, Atas pencatatan tersebut secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet;
Terbanding berpendapat bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pajak Penghasilan, Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat:
- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
- telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan;
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan;
bahwa terkait dengan alasan keberatan Pemohon Banding atas pendapat Terbanding yang menyatakan asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan dan bukan asset milik sendiri yang dipakai untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sehingga secara fiskal tidak bisa dibebankan sebagai biaya. Atas dasar Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI), Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dikategorikan sebagai aktiva non produktif dan mengatur bahwa AYDA dibukukan sebagai aset bagi kreditur walaupun secara hukum tidak dimiliki kreditur, namun disajikan secara terpisah dari aktiva lainnya dalam neraca dan tidak dapat disusutkan. Tim Peneliti Keberatan berpendapat bahwa Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) tersebut berlaku untuk kegiatan perusahaan jasa perbankan sedang wajib pajak mempunyai kegiatan usaha berupa jasa pembiayaan seharusnya menggunakan Standar Akuntansi Keuangan. Terbanding sependapat dengan pernyataan Pemohon Banding yang tertuang dalam surat keberatan Pemohon Banding dinyatakan secara jelas bahwa Agunan yang Diambil Alih (AYDA) dikategorikan sebagai aktiva non produktif dan menyatakan bahwa AYDA dibukukan sebagai aset bagi kreditur walaupun secara hukum tidak dimiliki kreditur. Terbanding sependapat dengan Terbanding saat pemeriksaan bahwa AYDA bukan aset milik wajib pajak sebagai mana ketentuan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa dengan demikian, koreksi Terbanding atas pembebanan kerugian penjualan aset yang diambil alih telah sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan karena aset yang ditarik dari debitur karena cidera janji bukan milik/asset Pemohon Banding selaku kreditur;
bahwa terkait dengan alasan keberatan wajib pajak berdasar penjelasan Pasal 28 ayat (7) KUP yang menyatakan bahwa pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29, dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan menentukan lain;
bahwa menurut Pemohon Banding karena tidak ada pengaturan khusus perpajakan mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Sedangkan Terbanding melihat adanya perbedaan penerapan ketentuan kebijakan akuntansi atas asset yang diambil alih oleh wajib pajak dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan bahwa Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Pemohon Banding diketahui telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur, selisih kurang, perseroan akan mencatat sebagai kerugian penjualan asset yang diambil alih yang berarti Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, sehingga kerugian atas piutang yang belum dilunasi bukan merupakan kerugian. Meskipun tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
Terbanding berpendapat bahwa koreksi penyesuaian fiskal positif sebesar Rp200.281.817.600,00 tetap dipertahankan dengan perhitungan sebagai berikut:
bahwa berdasarkan hasil penelitian atas ketentuan perpajakan yang berlaku sebagaimana telah diuraikan di alas, Terbanding menyimpulkan bahwa koreksi yang dilakukan Terbanding sudah benar dan mengusulkan untuk menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan koreksi yang dilakukan Terbanding dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan nomor 00037/206/11/062/15 tanggal 10 Desember 2015 Tahun Pajak 2011 dengan rincian sebagai berikut:
No. |
Uraian |
Menurut |
Koreksi |
Pemohon Banding |
Terbanding (Pemeriksa) |
Terbanding (Keberatan) |
1 |
Koreksi penyesuaian fiskal positif |
0,00 |
200.281.817.600,00 |
200.281.817.600,00 |
0,00 |
bahwa Terbanding telah salah dalam membedakan substansi kerugian Foreclosed Assets dengan Penghapusan Piutang
bahwa Terbanding jelas telah salah dalam membedakan substansi antara kerugian foreclosed assets dengan penghapusan piutang. Perlu Pemohon Banding sampaikan bahwa laporan keuangan Pemohon Banding telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian yang berarti bahwa laporan keuangan Pemohon Pemohon Banding telah disajikan dengan wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Di dalam laporan keuangan Pemohon Banding, telah pula dibedakan antara kerugian (/keuntungan) foreclosed assets dengan penghapusan piutang;
bahwa penghapusan piutang tak tertagih pada substansinya adalah saat barang jaminan kendaraan tidak berhasil disita/ditemukan oleh Pemohon Banding, sehingga atas kerugian ini dicatat dengan menghapuskan piutang tak tertagih. Dan oleh karena itu, Pemohon Banding menggunakan mekanisme pembebanan piutang tak tertagih sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh. Dan atas pembebanan piutang tak tertagih ini tidak dikoreksi oleh Terbanding. Sementara itu, untuk kerugian foreclosed asset, barang jaminan kendaraan berhasil disita/ditemukan oleh Pemohon Banding yang kemudian berhasil dijual/dilelang. Atas hasil penjualan ini, maka menjadi recovery bagi Pemohon Banding dan diakui sebagai penghasilan, sementara atas sisanya apabila hasil penjualan/nilai lelang tidak mencukupi untuk menutupi nilai pokok hutang debitur, maka akan diakui sebagai kerugian dimana hal ini sesuai dengan prinsip kekonsistenan akuntansi;
bahwa perlu diingat bahwa prinsip lain dari biaya penghapusan piutang tak tertagih adalah masih dimungkinkannya terjadi recovery atas piutang tak tertagih yang sudah dihapuskan tersebut apabila di kemudian hari setelah penghapusan piutang diakui, ternyata debitur melunasi hutangnya yang sebelumnya. Sementara pada kerugian foreclosed asset, barang jaminan telah disita dan telah dilelang/dijual oleh kreditur, sehingga penghasilan/kerugian yang diakui dari hasil selisih nilai jual barang jaminan dan nilai pokok hutang debitur merupakan pencatatan penghasilan/kerugian akhir yang sudah pasti dan final (tidak dimungkinkan untuk adanya perubahan/revovery di kemudian hari);
bahwa atas dasar penjelasan Pemohon Banding di atas, maka kerugian foreclosed asset jelas berbeda dengan piutang tak tertagih. Dan oleh karena Terbanding telah salah dalam mempersepsikan kedua hal tersebut, maka mengakibatkan Terbanding salah dalam mengimplementasikan dasar hukum yang digunakan, yakni Pasal 6 ayat (1) huruf h
Undang-Undang PPh dan PMK Nomor
57/PMK.03/2010. Kerugian
foreclosed asset merupakan biaya yang terkait untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan serta dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam penghitungan penghasilan kena pajak Pemohon Banding. Oleh karena biaya ini tidak termasuk dalam kategori piutang tak tertagih, maka tidaklah perlu bagi Pemohon Banding untuk melakukan sebagaimana persyaratan pada Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh sebagaimana pengertian Terbanding agar dapat diakui sebagai biaya per fiskal;
bahwa sebagai tambahan, terlepas dari penjelasan Pemohon Banding di atas bahwa kerugian foreclosed berbeda dengan penghapusan piutang tak tertagih, tidaklah memungkinkan bagi Pemohon Banding untuk memenuhi persyaratan untuk dapat diakuinya piutang tak tertagih terutama persyaratan pada poin 3, yakni piutang yang tak tertagih diterbitkan dalam surat kabar/majalah umum atau khusus atau telah diserahkan perkaranya ke pengadilan. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan karena atas jaminan asset tersebut telah berhasil ditarik/diserahkan oleh debitur/customer dan telah dilelang/dijual oleh Pemohon Banding;
Kepemilikan asset untuk harta jaminan perusahaan jasa keuangan diatur khusus
bahwa sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan bahwa apabila tidak ada peraturan khusus perpajakan mengenai penilaian dan pencatatan atas asset kolateral yang diambil alih, maka penilaian dan pencatatannya seharusnya mengikuti prinsip akuntansi. Sesuai dengan prinsip akuntansi, Pemohon Banding telah secara konsisten telah menerapkan pencatatan transaksi yang objektif dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sebagai referensi tambahan, pencatatan Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dapat juga merujuk pada Pedoman Akutansi Perbankan Indonesia (PAPI). Dimana berdasarkan PAPI buku ke 2, PAPI mengategorikan AYDA sebagai aktiva non-produktif;
Dalam hal 111 dan 112 dari PAPI disebutkan:
Hal 111:
“AYDA adalah aset yang diperoleh bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank”;
Hal 112:
“1. |
Untuk kepentingan penerapan prinsip kehati-hatian perbankan, AYDA merupakan salah satu bentuk aset non produktif yang wajib ditetapkan kualitasnya dan dibentuk penyisihan penghapusan aset non produktif (PPANP) sesuai Peraturan Bank Indonesia; |
2. |
Kewajiban pembentukan PPANP untuk AYDA pada dasarnya bukan merupakan cadangan kerugian penurunan nilai, namun lebih merupakan disinsentif kepemilikan aset yang tidak digunakan dalam kegiatan usaha bank; |
3. |
Bank wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA yang dimiliki yaitu mengupayakan penjualan dengan segera serta mendokumentasikan upaya penyelesaian tersebut;” |
PAPI mengatur bahwa AYDA dibukukan sebagai aset bagi pihak kreditur walaupun AYDA tersebut secara hukum tidak dimiliki oleh kreditur (misalnya diambil alih dengan dasar kuasa jual), namun disajikan secara terpisah dari aktiva lainnya dalam neraca (yaitu AYDA disajikan sebagai aktiva non produktif), diungkapkan dalam laporan keuangan, dan AYDA tersebut tidak dapat disusutkan seperti aktiva tetap;
bahwa Menanggapi pernyataan Terbanding yang berpendapat bahwa Pemohon Banding bukanlah merupakan perusahaan pembiayaan dan bukanlah jasa perbankan sehingga penggunaan PAPI tidaklah berlaku bagi Pemohon Banding, perlu Pemohon Banding terangkan bahwa PAPI merupakan penjabaran lebih lanjut/petunjuk lebih teknis dari Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang terkait dengan perbankan. Dengan demikian, pada hakikatnya PAPI tidaklah bertentangan dengan PSAK, sebaliknya justru memberikan detail lebih teknis mengenai penerapan PSAK pada laporan keuangan terkait, sehingga dapatlah dijadikan sebagai referensi tambahan;
bahwa terkait dengan pendapat Terbanding mengenai Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berkaitan dengan penjualan asset yang ditarik dan kaitannya dengan pelunasan hutang dari debitur. Perlu Pemohon Banding sampaikan di sini bahwa pada prakteknya yang sering terjadi adalah hasil eksekusi lebih rendah dibandingkan dengan aset jaminan, sehingga terjadilah kerugian. Pada kenyataannya, saat hutang konsumen/debitur mulai tertunggak, Pemohon Banding tetap melakukan upaya penagihan hingga ke tahap penyitaan. Dalam hal ini berarti bahwa pihak debitur sudah tidak ada niatan ataupun kemampuan bayar kepada Pemohon Banding (oleh karena itulah Pemohon Banding harus melakukan upaya akhir dengan melakukan penyitaan);
bahwa sebagai konsekuensinya, terdapat sejumlah kerugian atas lebih rendahnya hasil eksekusi dibandingkan dengan nilai asset yang dijaminkan/disita. Akan tetapi, seperti yang sudah disampaikan, upaya penyitaan adalah upaya terakhir Pemohon Banding sebagai akibat debitur yang tidak lagi memiliki niat/kemampuan bayar kepada Pemohon Banding. Oleh karena itu, atas kerugian yang Pemohon Banding alami ini, Pemohon Banding mencatatnya ke dalam pembukuan Pemohon Banding sebagai kerugian piutang titipan. Begitu pula sebaliknya, demi asas konsistensi sebagaimana dalam prinsip akuntansi, andaipun Pemohon Banding menerima keuntungan dari hasil eksekusi aset jaminan ini, maka Pemohon Banding akan membukukannya sebagai laba. Hal ini sesuai dengan aturan di dalam standar akuntansi keuangan dan telah diungkapkan pula pada catatan laporan keuangan audited Pemohon Banding;
bahwa sebagaimana yang sudah Pemohon Banding sampaikan di atas, dikarenakan tidak ada peraturan khusus perpajakan yang mengatur mengenai penilaian dan pencatatan asset kolateral yang diambil alih, maka sudah seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP “pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain.” Sehingga, menurut pendapat Pemohon Banding, Pemohon Banding telah mencatat laba atau rugi dari asset yang dieksekusi dengan seharusnya, dan mengikuti peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PSAK sebagai dasar pencatatan pembukuan Pemohon Banding
bahwa pada halaman 12 Poin 8 SUB, Terbanding menggunakan UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia dalam menganalisis pendapatnya;
“Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Wajib Pajak diketahui telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur, selisih kurang, perseroan akan mencatat sebagai kerugian penjualan asset yang diambil alih yang berarti Wajib Pajak masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, sehingga kerugian atas piutang yang belum dilunasi bukan merupakan kerugian”;
bahwa sebagaimana yang sudah kami sampaikan pada Poin 2 di atas, pada prakteknya yang sering terjadi adalah hasil eksekusi lebih rendah dibandingkan dengan aset jaminan, sehingga terjadilah kerugian. Dan upaya penyitaan ini adalah upaya terakhir Pemohon Banding terhadap debitur/konsumen yang sudah tidak memiliki niat bayar/kemampuan untuk melunasi hutang. Sehingga atas kerugian yang Pemohon Banding alami ini, Pemohon Banding mencatatnya ke dalam pembukuan Pemohon Banding sebagai kerugian piutang titipan. Begitu pula sebaliknya, demi asas konsistensi sebagaimana dalam prinsip akuntansi, andaipun Pemohon Banding menerima keuntungan dari hasil eksekusi aset jaminan ini, maka Pemohon Banding akan membukukannya sebagai laba. Hal ini sesuai dengan aturan di dalam standar akuntansi keuangan dan telah diungkapkan pula pada catatan laporan keuangan audited Pemohon Banding;
bahwa selain itu, di dalam catatan laporan keuangan audited Pemohon Banding pada huruf L halaman 14 mengenai Foreclosed Assets, dinyatakan sebagai berikut:
“Forelosed assets are stated at net realizable value at the time of foreclosure. The excess of net realizable value of the foreclosed collateral over the balance of the uncollectible receivables is credited or charged to profit or loss. Expenses related to the foreclosed assets and its maintenance are charged to the statement of comprehensive income as incurred. At the end of the year, foreclosed collateral are reviewed for any impairment in value. When the foreclosed collaterals are disposed of, their carrying values are removed from the accounts and any resulting gain or losses are credited or charged to profit or loss”;
bahwa yang dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Aset yang diambil alih dicatat pada nilai realisasi bersih pada saat pengalihan aset. Kelebihan dari nilai realisasi bersih atas jaminan yang dialihkan tersebut, yang nilainya melebihi saldo piutang tidak tertagih, dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi. Beban-beban yang terkait pengalihan aset serta perawatannya dicatat pada laporan pendapatan komprehensif sebagaimana terjadinya. Pada akhir tahun, aset jaminan yang dialihkan ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai (impairment). Saat aset jaminan dialihkan, nilai bukunya dikeluarkan dari pencatatan dan atas hasil laba atau ruginya dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi”;
bahwa aset yang diambil alih ini merupakan aktiva yang secara hukum tidak dimiliki tetapi dikuasai oleh Pemohon Banding, dimana secara akuntansi, aset tersebut dicatat dikategorikan sebagai aktiva lain-lain yang nilainya tidak didepresiasikan tetapi ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai;
bahwa sehingga, atas dasar ini, Pemohon Banding meyakini bahwa Pemohon Banding telah melakukan pencatatan akuntansi dengan semestinya sesuai dengan PSAK yang berlaku, serta memperhitungkan dengan benar kerugian foreclosed asset ke dalam perhitungan SPT Tahunan Badan Tahun Pajak 2011 Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding tersebut di atas, maka mohon kiranya agar Majelis Hakim membatalkan koreksi atas Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets sebesar Rp200.281.817.600,00;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan keterangan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding atas Penghasilan Neto, yaitu terkait dengan koreksi atas Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp200.281.817.600,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa menurut Terbanding, berdasarkan penelitian terhadap Laporan Laba Rugi Komprehensif untuk tahun-tahun yang berakhir 31 Desember 2011 dan 2010 yang telah diaudit KAP Osman Bing Satrio & Rekan, diketahui bahwa Pemohon Banding membebankan kerugian penjualan aset yang diambil alih (loss on sale and impairment losses of foreclosed assets) sebesar Rp202.195.917.984,00;
bahwa Gain (loss) on sale and impairment losses of foreclosed assets ini merupakan keuntungan atau kerugian atas asset tarikan yang dijual kembali oleh Pemohon Banding;
bahwa loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, dimana saat pertama melakukan akad kredit, atas asset tersebut dilakukan penandatangan perjanjian berupa surat kuasa membebankan jaminan secara fidusia dan perjanjian surat kuasa untuk mengambil kendaraan bermotor;
bahwa sesuai dengan SOP Pemohon Banding penarikan atas asset dilakukan jika debitor atau customer menunggak melebihi waktu yang telah ditentukan, sudah mempunyai indikasi tidak baik dan berdasarkan analisis collection. Atas sepeda motor yang telah ditarik atau diambil alih oleh Pemohon Banding menjadi aset tarikan;
bahwa selama masih dalam status sepeda motor tarikan, Pemohon Banding masih melakukan tindakan penagihan kepada debitor atau customer untuk melunasi hutang yang masih harus dibayar;
bahwa saat menjual asset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank-In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan. Atas pencatatan tersebut secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet;
bahwa menurut Terbanding, terdapat perbedaan penerapan ketentuan kebijakan akuntansi atas asset yang diambil alih oleh Wajib Pajak dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar. Pemohon Banding diketahui telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur, selisih kurang, perseroan akan mencatat sebagai kerugian penjualan asset yang diambil alih, yang berarti Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, sehingga kerugian atas piutang yang belum dilunasi bukan merupakan kerugian;
bahwa meskipun tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa sesuai Pasal 6 ayat (1) huruf d
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh), kerugian atas penjualan/pengalihan harta yang dimiliki/digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam hal ini,
asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah
asset jaminan dan bukan
asset milik sendiri yang dipakai untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sehingga secara fiskal tidak bisa dibebankan sebagai biaya;
bahwa selain itu menurut Terbanding, Rugi penjualan Asset sebagaimana yang dimaksud oleh Pemohon Banding, pada dasarnya merupakan penghapusan piutang, dimana sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, biaya ini bisa dibebankan asal memenuhi syarat kumulatif, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh a quo, namun faktanya Pemohon Banding tidak melakukan hal tersebut, sehingga oleh Terbanding biaya rugi penjualan asset tersebut dikoreksi;
bahwa menurut Pemohon Banding, Loss on sale and impairment of foreclosed sebesar Rp200.281.817.600,00 adalah kerugian yang timbul akibat penjualan kendaraan kolateral yang di ambil alih dari debitur macet. Jika harga jual kendaraan kolateral lebih rendah dari nilai kolateral, maka Pemohon Banding mencatat kerugian;
bahwa merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, karena tidak ada peraturan khusus perpajakan mengenai bagaimana penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi. Dalam hal ini secara akuntansi Pemohon Banding mencatat adanya Loss On Sale And Impairment Of Forclosed sebesar Rp200.281.817.600,00, yang merupakan kerugian dari penjualan aset Kolateral, yang oleh karenanya dapat dibiayakan secara perpajakan;
bahwa Laporan Keuangan Pemohon Banding untuk tahun 2011 telah diaudit oleh akuntan Independen dengan opini wajar tanpa syarat, dan dalam Laporan a quo, yaitu pada huruf L halaman 14, dinyatakan: “Aset yang diambil alih dicatat pada nilai realisasi bersih pada saat pengalihan aset. Kelebihan dari nilai realisasi bersih atas jaminan yang dialihkan tersebut, yang nilainya melebihi saldo piutang tidak tertagih, dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi. Beban-beban yang terkait pengalihan aset serta perawatannya dicatat pada laporan pendapatan komprehensif sebagaimana terjadinya. Pada akhir tahun, aset jaminan yang dialihkan ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai (impairment). Saat aset jaminan dialihkan, nilai bukunya dikeluarkan dari pencatatan dan atas hasil laba atau ruginya dikreditkan atau dicatat sebagai laba atau rugi”;
bahwa aset yang diambil alih ini merupakan aktiva yang secara hukum tidak dimiliki tetapi dikuasai oleh Pemohon Banding, dimana secara akuntansi, aset tersebut dicatat dikategorikan sebagai aktiva lain-lain yang nilainya tidak didepresiasikan tetapi ditinjau ulang seandainya terjadi penurunan nilai;
bahwa menurut Pemohon Banding, kerugian sejumlah tersebut bukanlah merupakan penghapusan piutang seperti apa yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh dan PMK Nomor
57/PMK.03/2010, namun merupakan kerugian dari penjualan aktiva kolateral seperti yang tertera dalam laporan keuangan Pemohon Banding tahun 2011;
bahwa sehubungan dengan alasan koreksi Terbanding yang menyatakan bahwa substansi kerugian foreclosed asset Pemohon Banding adalah penghapusan piutang, dimana sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh, biaya ini bisa dibebankan asal memenuhi empat syarat kumulatif dan Pemohon Banding tidak melakukan hal tersebut sehingga oleh Terbanding biaya rugi penjualan asset tersebut dikoreksi, Pemohon Banding telah membedakan biaya penghapusan piutang tak tertagih dengan kerugian foreclosed asset;
bahwa pembebanan biaya foreclosed asset secara substansi dan nature-nya tidaklah dapat disamakan dengan penghapusan piutang tak tertagih. Pembebanan kerugian atas foreclosed asset adalah sehubungan dengan kerugian yang disebabkan oleh nilai penjualan/lelang dari asset jaminan yang berhasil disita/ditarik oleh Pemohon Banding tersebut tidak menutupi nilai pokok hutang yang masih tersisa dari customer/debitur tersebut;
bahwa berbeda dengan penghapusan piutang tak tertagih yang masih dimungkinkan adanya recovery atas pembebanannya, tetapi pembebanan foreclosed asset adalah merupakan nilai kerugian yang sudah pasti (final) dikarenakan jaminan asset tersebut telah berhasil disita/ditarik dan berhasil dijual/dilelang;
bahwa sebagai tambahan, Pemohon Banding juga tidak dimungkinkan untuk memenuhi syarat Pasal 6 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPh terutama syarat ketiga yaitu nilai piutang yang tertagih diterbitkan dalam surat kabar/majalah umum atau khusus atau telah diserahkan perkaranya ke pengadilan. Hal tersebut dikarenakan atas jaminan asset tersebut telah berhasil ditarik ataupun telah diserahkan oleh customer/debitur yang selanjutnya assets tersebut telah berhasil dilelang atau dijual oleh Pemohon Banding;
bahwa selanjutnya menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU Fidusia), pemilik barang yang dijaminkan memang adalah konsumen/debitur, akan tetapi Pemohon Banding sebagai penerima fidusia berhak untuk melakukan eksekusi atas jaminan fidusia;
bahwa kendatipun UU Fidusia juga mengatur bahwa apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar, akan tetapi pada kenyataan di lapangan, tidaklah mungkin untuk menagih sisa kekurangan pelunasan piutang tersebut kepada debitur (terutama dengan kondisi aset jaminan sudah ditarik dan berhasil dijual), sehingga atas kerugian tersebut harus ditanggung Pemohon banding sendiri;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas dokumen banding dan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp200.281.817.600,00 yang menurut Terbanding seharusnya merupakan penghapusan piutang, sedangkan menurut Pemohon Banding adalah merupakan kerugian;
bahwa loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, adalah berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, yang kemudian di ambil alih dari debitur macet dan dijual oleh Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas bukti-bukti (pembukuan) yang telah disampaikan oleh Pemohon Banding dalam persidangan, diketahui bahwa saat menjual asset tarikan, Pemohon Banding telah menghapuskan total sisa kewajiban nasabah dengan mengkreditkan Akun Piutang Titipan serta mendebet Akun Bank-In-Cabang dan mendebetkan Akun Kerugian Piutang Titipan;
bahwa menurut Majelis, berdasarkan bukti-bukti a quo, secara jelas Pemohon Banding telah menghapuskan Saldo Piutang Nasabah yang kreditnya macet, dengan demikian substansinya adalah merupakan penghapusan piutang;
bahwa menurut Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh: Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
- telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
- Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
- telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
- syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan terpenuhinya ke empat syarat a quo;
bahwa terkait dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa merujuk pada penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP, karena tidak ada pengaturan khusus perpajakan mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih, maka seharusnya penilaian dan pencatatannya mengikuti prinsip akuntansi, Dalam hal ini secara akuntansi Pemohon Banding mencatat adanya Loss On Sale And Impairment Of Forclosed sebesar Rp200.281.817.600,00, yang merupakan kerugian dari penjualan aset Kolateral, yang oleh karenanya dapat dibiayakan secara perpajakan, Majelis berpendapat bahwa oleh karena loss on sale and impairment losses of foreclosed assets a quo, berkaitan dengan asset yang dijamin dengan fidusia, maka meskipun mengenai penilaian dan pencatatan atas aset kolateral yang diambil alih tidak diatur secara khusus, namun secara prinsip pembukuan Pemohon Banding harus mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU 42/1999): Apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar;
bahwa menurut Majelis, sesuai dengan ketentuan a quo maka apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur, debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar;
bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa Pemohon Banding telah membukukan hasil penjualan asset tarikan yang apabila belum cukup untuk melunasi seluruh utang debitur kepada kreditur (selisih kurang) sebagai kerugian penjualan asset yang diambilalih, di samping itu debitor ternyata masih tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar a quo, dengan demikian menurut Majelis, asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan yang bukan merupakan asset milik pemohon Banding sendiri;
bahwa dalam persidangan tanggal 06 Maret 2018, Pemohon Banding juga menyatakan bahwa secara hak milik memang aset tersebut milik konsumen, tetapi secara fidusia aset tersebut milik Pemohon Banding;
Pasal 6 ayat (1) huruf d: Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
bahwa berdasarkan ketentuan a quo Majelis berpendapat, bahwa oleh karena Pemohon Banding masih mempunyai hak untuk menagih sisa piutang tersebut, dan asset yang diakui atas rugi penjualan oleh Pemohon Banding adalah asset jaminan yang bukan merupakan asset milik sendiri, maka secara fiskal kerugian a quo tidak dapat dibebankan sebagai biaya;
Pasal 69 ayat (1)
alat bukti dapat berupa:
a. |
surat atau tulisan; |
|
... dst |
d. |
pengakuan para pihak; dan/atau |
e. |
pengetahuan Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya; |
Pasal 74: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal;
Pasal 76: Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
bahwa dalam Penjelasan Pasal a quo dinyatakan: Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang dia jukan oleh para pihak;
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan
... dst;
Pasal 78: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";
Memori penjelasan Pasal 78: "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan";
bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan para pihak dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Terbanding sudah benar, oleh karena itu koreksi Terbanding atas Loss on Sale and Impairment Losses of Foreclosed Assets, sebesar Rp200.281.817.600,00 tetap dipertahankan;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak banding Pemohon Banding;
Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 00080/KEB/WPJ.04/2017 tanggal 23 Februari 2017, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Nomor 00037/206/11/062/15 tanggal 10 Desember 2015 Tahun Pajak 2011, atas nama Pemohon Banding;
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2018 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
M.Z. AF, S.H., M.Kn. |
sebagai Hakim Ketua, |
JEW, Ak., M.P.P. |
sebagai Hakim Anggota, |
RM, S.H., M.Kn |
sebagai Hakim Anggota, |
Dengan dibantu oleh AA, S.E., M.M. |
sebagai Panitera Pengganti, |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri oleh Terbanding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.