Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa nilai sengketa Nilai Pajak Air Permukaan Yang Terutang Masa Pajak Juli 2016 terbukti dalam sengketa banding ini adalah sebesar Rp36.961.920.000,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa terhadap alasan permohonan banding dari Pemohon Banding, Terbanding memberikan tanggapan sebagai berikut
1. |
bahwa alasan Pemohon Banding sebagaimana tertuang dalam Permohonan Banding (Memori Banding), sangatlah tidak berdasar dan Pemohon Banding berusaha untuk memanipulir ketentuan yang terdapat dalam Kontrak Karya; |
|
|
2. |
bahwa dikaitkan dengan penerapan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata maka penerapan azas pacta sunct servanda (dalam sengketa pajak daerah) haruslah berdasarkan itikad baik dengan memperhatikan Pasal 1339 KUH Perdata: “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang”. Penerapan azas pacta sunct servanda haruslah dilakukan dengan menempatkan unsur keadilan sebagai keutamaan ketika para pihak saling mengikatkan diri dalam suatu persetujuan/perjanjian. Selain itu, penerapan azas pacta sunct servanda harus pula didasarkan atas suatu UndangUndang, dalam sengketa ini Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diikut dengan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagai peraturan delegasi dan bukan didasarkan atas Perda Nomor 5 Tahun 1990 yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998. Itulah yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemohon Banding sebagaimana pertimbangan dan pendapat DPR-RI sebagai Hasil Konsultasi Naskah Kontrak Karya Pertambangan Umum pada Tahun 1991, namun sampai dengan perkara ini diajukan ke Pengadilan, Pemohon Banding tidak dengan sungguhsungguh melaksanakan rekomendasi DPR-RI tersebut dalam pelaksanaan Kontrak Karya; bahwa berdasarkan ketentuan KUHPerdata Pasal 1320, Pasal 1337, Pasal 1338, Pasal 1339 dikaitkan dengan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (selanjutnya disebut Undang-Undang OTSUS Papua), maka penerapan Pasal 13 Kontrak Karya beserta penjelasannya harus ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan prinsip-prinsip adil dan berimbang dalam semangat keberpihakan kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Rakyat Papua menurut UndangUndang Otsus Papua; |
|
|
3. |
bahwa terkait dengan kedudukan hukum Kontrak Karya dan Undang-Undang atau Perdasi dijelaskan bahwa Kontrak Karya (Kontrak Karya) adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh subyek hukum perdata yang masuk dalam perbuatan hukum privat yang didasarkan atas kecakapan bertindak dari subyek hukum (Pemerintah maupun PT. FI), yang diatur dalam Sedangkan pembentukan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 maupun Perdasi Nomor 4 Tahun 2011 adalah perbuatan hukum publik dari pemerintah berdasarkan kewenangan yang diberikan secara konstitusional kepada pemerintah (jabatan) secara atribusi. Wewenang hukum publik adalah wewenang untuk menimbulkan akibat hukum yang bersifat publik, seperti mengeluarkan aturan-aturan, menetapkan keputusan-keputusan atau menetapkan suata rencana dengan akibat hukum;
bahwa Kontrak Karya tunduk pada hukum kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUHPerdata. Sedangkan pembentukan Undang-Undang maupun Perdasi tunduk pada pedoman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kontrak Karya masa berlakunya berdasarkan kesepakatan para pihak/subyek hukum Kontrak Karya (masa berlaku sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya), sedangkan Undang-Undang atau Perdasi berlaku sepanjang tidak dicabut oleh Peraturan yang lebih tinggi atau sederajat tingkatannya atau berdasarkan putusan lembaga peradilan (uji materil dalam hal ini Mahkamah Konstitusi bagi Undang-Undang dan Mahkamah Agung bagi Perdasi/Perdasus);
bahwa daya mengikat, Kontrak Karya mengikat para pihak (subyek hukum) yang membuatnya, sedangkan Undang-Undang maupun Perdasi mengikat semua warga negara termasuk badan hukum perdata, dan berlaku pada saat diundangkannya Undang-Undang atau Perdasi tersebut;
bahwa berdasarkan penjelasan kedudukan hukum antara Kontrak Karya dan Undang-Undang atau Perdasi tersebut diatas, ditegaskan :
1) |
bahwa Kontrak Karya tidak berkedudukan sebagai lex spesialis terhadap Undang-Undang atau Perdasi Pajak Daerah karena :
- bahwa Kontrak Karya tidak termasuk dalam pengertian peraturan perundang- undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sehingga tidak tepat jika Kontrak Karya disamakan dengan Undang-Undang;
- bahwa dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tidak diatur pengecualian pengaturan mengenai Kontrak Karya;
- bahwa untuk adanya kepastian dan keserasian hukum, yang dijamin dengan asas “lex posterior derogat legi priori” artinya aturan yang kemudian mengesampingkan aturan Disamping itu, hal ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan adanya pertentangan internal dan eksternal dalam keberlakuan yuridikal hukum;
|
2) |
bahwa Pemerintah Provinsi Papua tidak dapat menetapkan pajak terutang sesuai Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan yang didasarkan Pasal 13 (x) Kontrak Karya yang dikaitkan dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah, karena :
- bahwa Perda Nomor 5 Tahun 1990 telah diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 17 Tahun 1998 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Wilayah-wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Paniai;
- bahwa selanjutnya Perda Nomor 17 Tahun 1998 diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Provinsi Papua;
- bahwa kemudian Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 dicabut dengan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
|
|
|
|
4. |
bahwa pada saat Kontrak Karya ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991, Pemerintah Daerah Provinsi Papua telah mengeluarkan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah, yang diantaranya mengatur pungutan Daerah terhadap pengambilan air permukaan sehingga oleh karenanya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 butir (X) Kontrak Karya dan penjelasannya dimaksud Pemohon Banding wajib untuk mentaati Peraturan Daerah dimaksud; |
|
|
5. |
bahwa selanjutnya Peraturan Daerah Propinsi Tingkat I Irian Jaya Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah, yang menjadi dasar pengenaan Pajak Air Permukaan terhadap Pemohon Banding diubah dengan Peraturan Daerah Tingkat I Provinsi Irian Jaya Nomor 17 Tahun 1998 Tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Wilayah-wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Paniai, selanjutnya diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Papua Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Provinsi Papua dan terakhir dengan berlakunya Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2002 diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang menjadi dasar pengenaan Pajak Air Permukaan terhadap Pemohon Banding (vide Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 Perdasi Pajak Daerah), sehingga jelaslah bahwa Perdasi Pajak Daerah bukanlah Perda Pajak Daerah yang berlaku setelah Kontrak Karya ditandatangani sebagaimana didalilkan oleh Pemohon Banding; |
|
|
6. |
bahwa ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya harus dipahami dalam konteks kemudahan- kemudahan perpajakan pada awal-awal kegiatan penambangan. Pemohon Banding telah beroperasi di bumi Papua lebih dari 35 tahun sudah seharusnya penerapan pasal-pasal ini sudah tidak relevan. Pemohon Banding telah memperoleh keuntungan besar, sehingga adalah tidak patut dan tidak adil jika tetap menerapkan pasal-pasal tersebut, padahal peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum lahirnya Kontrak Karya yakni Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara; |
|
|
7. |
bahwa Pemohon Banding Indonesia sebenarnya telah mengakui keabsahan Perdasi Pajak Hal mana sangat jelas terlihat dalam Kesepakatan yang dibuat tanggal 6 Desember 2012 antara Terbanding dengan Pemohon Banding terkait dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan, Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, pada angka 1 antara lain menyebutkan: “Pajak air Permukaan akan dihitung dan dibayarkan oleh Perusahaan berdasarkan tarif dari Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, khususnya Bab VI tentang Pajak Air Permukaan...”. Hal ini membuktikan bahwa dalil Pemohon Banding yang selalu berlindung pada Kontrak Karya sebenarnya dalam pelaksaanaannya telah disimpangi. Pelaksanaan kesepakatan ini juga dituntut berdasarkan “keadilan”, “undang-undang” sebagaimana penerapan Pasal 1339 KUHPerdata, dimana unsur “keadilan” dan penerapan “undang-undang” yang berlaku dari waktu ke waktu yakni Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Perdasi Pajak Daerah turut dipertimbangkan ketika merumuskan dan menerapkan suatu kesepakatan/perjanjian (juga berlaku bagi Kontrak Karya). Artinya penerapan azas pacta sunct servanda dalam Kontrak Karya tidak berdiri sendiri tapi dikaitkan dengan Pasal 1339 KUHPerdata;
bahwa Pemohon Banding sebenarnya tidak secara tegas dan kuat memegang dan bersandar pada Kontrak Karya khususnya menyangkut kepentingan daerah (Provinsi Papua) karena dalam Kontrak Karya khususnya pasal-pasal yang terkait dengan pembebanan tarif pajak- pajak dan tarif pungutan-pungutan daerah, tidak adil dan tidak mencerminkan manfaat kehadiran Pemohon Banding bagi Rakyat Papua. Tarif-tarif tersebut sudah tidak layak lagi atau sudah tidak pantas dan tidak patut untuk dipertahankan karena sangat merugikan Pemerintah Daerah dan rakyat Papua yang alamnya telah digali dan telah memberikan Pemohon Banding keuntungan yang besar;
bahwa menurut Prof. DR. PPP M. HHH, SH dalam Pendapat Hukum Tata Negara menyangkut Ketentuan Pasal 13 butir (x) Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dan PT. FFF Company, Kesepakatan mengikat para pihak. Butir terakhir pertimbangan Kesepakatan a quo menyatakan:
“Bahwa ... memahami dan mengakui bahwa diantara Kontrak Karya dan Peraturan Perundang-undangan pajak dan retribusi daerah terdapat perbedaan, dan Provinsi Papua dan perusahaan berkeinginan untuk mencarikan jalan keluar atas perbedaan tersebut...”;
bahwa dengan pertimbangan tersebut, kesepakatan a quo secara analogi dapat dipandang sebagai lex spesialis, dengan demikian berdasarkan asas preferensi, Pajak Air Permukaan yang diterapkan/diberlakukan adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
bahwa Butir 1 Kesepakatan tersebut menyangkut Pajak Air Permukaan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011. Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 jelas berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam konteks ini persetujuan Pemerintah Pusat atas Perda Pajak Daerah diatur dalam Bab VIII khususnya Pasal 157 ayat (6) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dikaitkan dengan Pasal 13 butir (x) Kontrak Karya, Pajak Daerah Provinsi Papua a quo jelas telah disetujui Pemerintah Pusat;
bahwa terkait dengan kedudukan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dijabarkan lebih lanjut dengan Perdasi Pajak Daerah terhadap Kontrak Karya perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut\:
1) |
bahwa dalam sengketa ini, Kontrak Karya dan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan dua produk hukum yang berbeda, dimana Kontrak Karya merupakan produk hukum perdata dan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan produk hukum publik. Sehingga Kontrak Karya tidak bisa disamakan dengan Undang-Undang karena Kontrak Karya tidak termasuk dalam jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; |
2) |
bahwa Kontrak Karya tidak secara khusus diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah oleh karena itu, pungutan Pajak Air Permukaan tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Perdasi Pajak Daerah. Dengan demikian secara yuridis, ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya tidak dapat diberlakukan; |
3) |
bahwa Ketentuan Perpajakan Daerah saat Kontrak Karya ditandatangani pada 30 Desember 1991 adalah Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 Tentang Peraturan Pajak Daerah. Undang-Undang tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kedua Undang-Undang tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dengan demikian secara yuridis Ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya tidak dapat dijadikan dasar permohonan banding karena tidak mempunyai kekuatan hukum lagi; |
bahwa penjelasan point 1), 2) dan 3) sesuai dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Jakarta dalam putusannya Nomor Put-58116/PP/M.XIIA/22/2014 Tanggal 4 Desember 2014;
|
|
|
8. |
bahwa terkait dengan Kesepakatan tanggal 6 Desember 2012 bukan pembayaran pajak air permukaan yang disengketakan. Kesepakatan ini terkait dengan pemanfaatan air permukaan yang digunakan untuk kepentingan pabrik pengolahan yang berlokasi di MP 74 dan untuk kepentingan air bersih karyawan di Tembagapura dan Ridge Camp. Hal ini telah pula diakui secara tegas dan langsung oleh kuasa hukum Pemohon Banding dalam Persidangan Sengketa Pajak Air Permukaan tanggal 13 April 2016 di hadapan Majelis XVb Pengadilan Pajak, bahwa Kesepakatan tanggal 6 Desember 2012 berkaitan dengan penggunaan air permukaan untuk kepentingan produksi dan karyawan sebesar 150.000 US Dollar. Dengan demikian tidak terkait/tidak termasuk pajak air permukaan yang disengketakan. Objek Pajak Pajak Air Permukaan yang disengketakan dalam perkara ini adalah Pajak Air Permukaan atas Pemanfaatan Sungai Aghawagon-Otomona berdasarkan Izin Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya; |
|
|
9. |
bahwa berdasarkan tanggapan Terbanding sebagaimana tersebut di atas jelas secara hukum pengenaan pajak pemanfaatan air permukaan terhadap Pemohon Banding adalah sah menurut hukum dan tidak ada alasan bagi Pemohon Banding untuk berlindung kepada ketentuan yang terdapat dalam Kontrak Karya dimaksud; |
|
|
10. |
bahwa alasan Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Perda Provinsi Papua No. 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum berlaku dan atau belum disetujui oleh Pemerintah Pusat adalah tidak berdasar sama sekali dan sepatutnya dikesampingkan sebab Perda Provinsi Papua 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah telah mendapat persetujuan Pemerintah Pusat berdasarkan :
a) |
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 973-749 Tahun 2011 tanggal 26 Oktober 2011 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; |
b) |
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-348 Tahun 2012 tanggal 28 Mei 2012 tentang Klarifikasi Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah; |
bahwa dengan demikian tidak ada alasan pembenar bagi Pemohon Banding sebagai Wajib Pajak Pajak Air Permukaan untuk tidak memenuhi kewajiban membayar Pajak Pajak Air Permukaan Terutang Masa Pajak Juli 2016 sesuai Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan yang telah diterbitkan; |
|
|
11. |
bahwa terkait dengan konstruksi Pasal 18 Kontrak Karya Tahun 1991 tentang “Ketentuan- Ketentuan Kemudahan” khususnya ayat (2) dan ayat (4), Menurut Pendapat Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, Ph.D, sebagai berikut :
- bahwa dalam ayat (4) disebutkan bahwa ‘’ .... perusahaan dapat mengambil dan menggunakan dari Wilayah Kontrak Karya atau suatu Wilayah-wilayah Proyek kayu (untuk keperluan konstruksi), ’’ Dalam kalimat tersebut meski dibuat dalam kurung ada kata-kata ‘untuk keperluan konstruksi’ yang mengindikasikan secara jelas bahwa keperluan ini digunakan pada saat perusahaan melakukan tahap konstruksi, tidak dalam proses operasional perusahaan sehari-hari;
- bahwa selanjutnya disebutkan bahwa ‘’tanah, batu, pasir, kerikil, gamping, air dan produk serta bahan-bahan lainnya yang dibutuhkan untuk atau yang akan digunakan oleh Perusahaan’’. Kata ‘air’’ tidak sama sekali merujuk pada air yang ada dalam sungai. Artinya air yang dapat digunakan bisa berasal dari mana saja. Tujuan digunakan airpun masih dalam rangka ‘untuk keperluan konstruksi’, tidak digunakan untuk operasional dari Perusahaan;
- bahwa adapun yang disengketakan tidak hanya menggunakan air yang memiliki penafsiran yang sangat luas, tetapi air yang secara spesifik ditemui dan yang dimanfaatkan untuk keperluan operasional Perusahaan sehari-hari yaitu air sungai untuk mendorong dan mengendapkan sisa produksi berupa berupa pasir sisa tambang (tailing). Keperluan sehari-hari ini tidak sesuai dengan ruh atau maksud dari Pasal 18 ayat (4), Kontrak Karya 1991 yaitu pada tahap konstruksi;
|
|
|
12. |
bahwa terkait dengan Pasal 18 ayat (1) ii Kontrak Karya, yang menyatakan : “Dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya berdasarkan Persetujuan ini, Perusahaan tunduk kepada Undang-Undang dan peraturan yang dari waktu ke waktu berlaku di Indonesia, mempunyai hak untuk membangun fasilitas-fasilitas yang dianggap perlu dengan ketentuan bahwa dalam hubungan dengan kegiatan-kegiatan Perusahaan, tetapi tunduk kepada ketentuan dalam Pasal 13, Perusahaan harus membayar biaya dan pungutan yang berlaku umum untuk pelayanan yang diberikan, fasilitas yang diminta dan hak-hak khusus yang diberikan oleh Pemerintah; dengan ketentuan bahwa jasa-jasa, fasilitas dan hak-hak tersebut diminta oleh perusahaan”;
bahwa Pemohon Banding meminta fasilitas pemanfaatan sungai Aikwa untuk penyaluran limbah pertambangan (tailing) kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya berdasarkan Surat Nomor 2330/19/1994 perihal Ijin Pemanfaatan Aikwa untuk penyaluran limbah pertambangan (tailing). Selanjutnya berdasarkan Surat Permohonan Ijin Pemohon Banding tersebut, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya menjawab dengan Surat Nomor 540/154/SET tanggal 4 Januari 1995 yang intinya dalam rangka kelancaran tugas kegiatan industri pertambangan di Tembagapura/Timika Kabupaten Fak-Fak, menyetujui permohonan dimaksud. Atas dasar Ijin tersebut, Pemohon Banding dapat memanfaatkan air sungai Aghawagon-Otomona untuk transportasi tailing (jika tidak ijin maka tidak mungkin Pemohon Banding dapat membuang tailing ke dalam sungai);
bahwa dengan adanya permintaan ijin untuk menggunakan fasilitas aliran sungai dan persetujuan dari Gubernur Kepala Daerah maka telah sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) ii Kontrak Karya, sehingga Pemohon Banding harus tunduk kepada undang-undang dan peraturan-peraturan yang dari waktu ke waktu berlaku di Indonesia (prevailing law) dan harus membayar biaya dan pungutan yang berlaku umum untuk fasilitas yang diminta dan hak-hak khusus yang diberikan oleh Pemerintah;
bahwa sedangkan terkait Pasal 18 ayat (2) dan ayat (4) Kontrak Karya yang mengatur tentang pemberian hak untuk dapat mengambil dan memanfaatkan antara lain : air, pasir, batu, dst. Hal itu terkait dengan dan menjadi satu dengan Ijin atau persetujuan untuk daerah Kontrak Karya Blok A yang sudah berproduksi. Hal ini berbeda dengan penggunaan air untuk transportasi tailing pasca periode konstruksi yakni pada periode produksi yang tunduk pada Pasal 18 ayat (1) ii Kontrak Karya yakni pemberian fasilitas oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Terbanding berupa Ijin Penggunaan dan Pemanfaatan Sungai Aghawagon-Otomona sehingga yang berlaku adalah ketentuan dari waktu ke waktu (prevailing law) dan bukan ketentuan Pasal 13 (x) Kontrak Karya. Oleh karenanya adalah tepat dan benar bahwa pemanfaatan air sungai Aghawagon-Otomona (obyek perkara ini) tunduk pada Perda Nomor 4 Tahun 2011;
|
|
|
13. |
bahwa oleh karena permohonan banding yang diajukan oleh Pemohon Banding tidak memenuhi alasan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan khususnya Pajak Daerah. Untuk itu, mohon kepada Majelis Hakim untuk menolak seluruh dalil-dalil Pemohon Banding dan menetapkan denda pajak terhutang sebesar 100% (seratus persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (5) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; |
|
|
14. |
bahwa dalam Undang-Undang perpajakan berlaku asas-asas hukum yang diterapkan dalam hukum acara peradilan pajak, yaitu :
- Asas “praduga rechtmatig” yaitu bahwa setiap perbuatan hukum pejabat pajak (dinas pendapatan daerah) dalam melakukan penagihan pajak selalu dianggap rechtmatig sampai ada putusan pengadilan pajak yang membatalkannya/menyatakan sebaliknya;
- Asas “pencegahan untuk tidak menunda penagihan pajak”, yang bermakna bahwa pengajuan banding atau gugatan pada pengadilan pajak bukan merupakan hambatan untuk melakukan penagihan pajak;
|
|
|
15. |
bahwa Keberatan merupakan upaya hukum biasa diluar peradilan pajak, namun upaya keberatan tidak boleh disalahgunakan oleh Pemohon Dengan demikian penggunaan upaya keberatan terlebih dahulu wajib mentaati persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 103 Ayat (1) Undang- Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menegaskan bahwa Wajib Pajak (dalam sengketa ini Pemohon Banding) dapat menggunakan keberatan. Keberatan tersebut haruslah memenuhi persyaratan, antara lain “wajib pajak telah membayar paling sedikit jumlah yang telah disetujui wajib pajak”. Oleh karena tidak memenuhi persyaratan tersebut, keberatan Pemohon Banding dalam Surat Nomor 427/TAX-PTFI/V/2017 tanggal 19 Mei 2017 tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan/ditolak/ dikesampingkan. Pengajuan surat keberatan tersebut oleh Pemohon Banding bukan merupakan alasan bagi Pemohon Banding untuk menunda kewajiban membayar pajak atau dengan cara melakukan penghindaran pajak yang bersifat negatif. Dengan demikian pajak yang terutang tetap harus dibayar walaupun Pemohon Banding mengajukan surat keberatan kepada Terbanding; |
I. |
Dasar Hukum
bahwa Terbanding terikat secara hukum pada Kontrak Karya
1. |
bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan pertambangan di Indonesia yang beroperasi di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua berdasarkan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 (”Kontrak Karya”);
bahwa dapat Pemohon Banding sampaikan bahwa Kontrak Karya tersebut dibuat berdasarkan dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang- Undang Pokok Pertambangan;
bahwa selanjutnya, terkait dengan Kontrak Karya tersebut, Pasal 1338 KUHPerdata mengatur bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”;
bahwa dengan demikian, Kontrak Karya tersebut mengikat secara hukum kedua belah pihak, yaitu Pemohon Banding dan Pemerintah. Oleh karena itu, dalam menyampaikan permohonan banding ini, Pemohon Banding mendasarkan penjelasan Pemohon Banding dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya yang mengatur secara khusus mengenai hal ini dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila tidak ada pengaturan secara khusus dalam Kontrak Karya;
|
|
|
2. |
bahwa terkait ketentuan-ketentuan khusus yang terdapat dalam Kontrak Karya, Pasal 1 angka 20 Kontrak Karya menegaskan mengenai definisi dari kata "Pemerintah" dimana““Pemerintah” berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Tingkat Wilayah, Daerah Tingkat I atau Tingkat II-nya”. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 Kontrak Karya tersebut, Pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi) Papua yang dikepalai oleh Gubernur Provinsi Papua atau Terbanding termasuk ke dalam cakupan definisi “Pemerintah” dan terikat secara hukum pada Kontrak Karya tersebut serta wajib menerapkan ketentuan dalam Kontrak Karya tersebut;
bahwa hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang mengatur bahwa “Perizinan dan Perjanjian Kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati”, dalam penjelasannya diterangkan bahwa “Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelum Undang- undang ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing- masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud.”;
bahwa Ketentuan tentang Pajak Daerah dalam Kontrak Karya bahwa berikut Pemohon Banding kutipkan ketentuan perpajakan dalam Kontrak Karya yang relevan dengan pengenaan Pajak Air Permukaan yang menjadi sengketa, yaitu Pasal 13 Kontrak Karya;
bahwa Pasal 13 Kontrak Karya mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan Pemohon Banding:
Bahasa Inggris |
Bahasa Indonesia |
“Subject to the terms of this Agreement, the Company shall pay to the Government and fulfill its tax liabilities as hereinafter provided:.. |
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut: ... |
(x) Levies, taxes, charges and duties imposed by Regional Government in Indonesia which have been approved by the Central Government.... |
(x) Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat.... |
The Company shall not be subject to any other taxes, duties, levies, contributio ns, charges or fees now or hereafter levied or imposed or approved by the Government other than those expressly provided for in this Article and elsewhere in this Agreement.” |
Perusahaan tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea, pungutan- pungutan, sumbangan-sumbangan, pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya sekarang maupun di kemudian hari yang dipungut atau dikenakan atau disetujui oleh Pemerintah selain dari yang di tetapkan dalam Pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam Persetujuan ini.” |
bahwa Penjelasan Paragraf 10 Pasal 13 Kontrak Karya sebagai berikut:
Bahasa Inggris |
Bahasa Indonesia |
“Levies, taxes, charges and duties imposed by Regional Governments in Indonesia which have been approved by the Central Government and are at rates no higher than the fees and charges prevailing as at the date of the signing of this Agreement and calculated in a manner no more onerous to the Company than that prevailing as at the date of the signing of this Agreement.” |
“Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea- bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dan adalah dengan tarip-tarip yang tidak lebih tinggi dari pungutan dan pembebanan yang berlaku pada tanggal ditandatangani Persetujuan ini dan dihitung sedemikian sehingga tidak akan lebih berat kepada Perusahaan daripada ketentuan pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini.” |
[catatan: frase “shall not be subject to” pada ketentuan “The Company shall not be subject to any other taxes, duties, levies, contributions, charges or fees now or hereafter levied or imposed or approved by the Government other than those expressly provided for in this Article and elsewhere in this Agreement” diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai tidak wajib membayar. Frase tersebut lebih tepat diterjemahkan sebagai “tidak tunduk pada”].
bahwa Ketentuan tersebut mengatur tentang pengenaan dua jenis pajak daerah, yaitu:
|
|
|
3. |
bahwa Pemohon Banding wajib membayar pungutan-pungutan (levies), pajak-pajak (taxes), pembebanan-pembebanan (charges) dan bea-bea (duties) yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang, pada tanggal 30 Desember 1991, telah disetujui (“have been approved by”) oleh Pemerintah Pusat (atau dengan kata lain “Jenis Pajak yang telah dikenakan Pemerintah Daerah dan disetujui oleh Pemerintah Pusat saat Kontrak Karya ditandatangani”), dan pengenaannya dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
- tarifnya tidak lebih tinggi daripada imbalan dan pembebanan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Kontrak Karya (30 Desember 1991); dan
- dihitung dengan cara yang tidak lebih berat kepada Pemohon Banding daripada yang berlaku pada tanggal 30 Desember 1991;
|
|
|
4. |
bahwa Pemohon Banding tidak tunduk pada (“shall not be subject to”) pajak-pajak, bea-bea, pungutan-pungutan, kontribusi-kontribusi, pembebanan-pembebanan atau imbalan-imbalan (fees) yang baru dikenakan oleh Pemerintah Daerah dan/atau disetujui oleh Pemerintah Pusat pada dan/atau setelah tanggal 30 Desember 1991 (“now or hereafter levied or imposed or approved by the Government”) selain daripada yang secara tertulis diatur dalam Pasal 13 (x) Kontrak Karya dan ketentuan lain dalam Kontrak Karya (“Pajak Daerah yang berlaku setelah Kontrak Karya ditandatangani”); |
|
|
|
II. |
Alasan Pemohon Banding
bahwa sehubungan dengan penjelasan Pemohon Banding mengenai ketentuan tentang Pajak Daerah dalam Kontrak Karya di atas, Pemohon Banding selanjutnya berpandangan bahwa dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan 973/1252 yang ditujukan kepada Pemohon Banding, Terbanding seharusnya mengacu pada ketentuan Kontrak Karya diatas atau Undang-undang terkait yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya;
bahwa dapat Pemohon Banding sampaikan bahwa Pajak Air Permukaan yang ditetapkan oleh Terbanding melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan 973/1252 merupakan Pajak Daerah yang dikenakan berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Pasal 45 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012. Kedua peraturan ini belum berlaku dan/atau belum disetujui oleh Pemerintah Pusat pada saat Kontrak Karya ditandatangani, pada tanggal 30 Desember 1991;
bahwa oleh karena itu, dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 13 (x) Kontrak Karya dan Pasal 13 angka (10) Kontrak Karya, Pemohon Banding tidak diwajibkan untuk membayar Pajak Air Permukaan yang dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan 973/1252 tersebut karena Pajak Air Permukaan yang dimaksud dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah-Pajak Air Permukaan 973/1252 yang diterbitkan berdasarkan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012 tersebut bukan termasuk ke dalam pengertian pajak yang telah dikenakan Pemerintah Daerah dan disetujui oleh Pemerintah Pusat pada saat Kontrak Karya ditandatangani;
|
bahwa menurut Terbanding, Pemohon Banding dalam kegiatan usaha pertambangannya di Kabupaten Mimika telah memanfaatkan air permukaan yang berasal dari sungai Aghawagon- Otomona Kabupaten Mimika Provinsi Papua untuk mendorong dan mengendapkan sisa produksi berupa pasir sisa tambang (Tailing), dimana atas pemanfaatan air permukaan yang berasal dari sungai Aghawagon-Otomona tersebut merupakan Objek Pajak Atas Air Permukaan (PAP);
bahwa menurut Terbanding Perhitungan Pajak yang tercantum dalam SKPD-PAP Masa Pajak Juli 2016 Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 01 Februari 2017 adalah sebagai berikut:
Jenis Pungutan |
Volume/Areal/Daya (m3/Ha/PK) |
Harga Dasar Air (Rp) |
Tarif Pajak (%) |
Pajak Terutang (Rp) |
Pajak Air Permukaan |
308.016.000 |
1.200,00 |
10% |
36.961.920.000,00 |
Bunga Pajak 2% X 0 Tahun |
0,00 |
Jumlah |
36.961.920.000,00 |
bahwa menurut Terbanding rincian atas penghitungan SKPD-PAP untuk Masa Pajak Juli 2016 adalah sebagai berikut:
No. |
Uraian |
SKPD-PAP (Rp) |
1 |
Volume (m3): 115x60x60x24x31
|
308.016.000 |
2 |
Harga Dasar Air (Rp/m3)
|
1.200 |
3 |
Dasar Pengenaan Pajak
( 308.016.000 m3 xRp.1.200 )
|
369.619.200.000 |
4 |
Tarif Pajak
|
10% |
5 |
Pajak Terhutang
|
36.961.920.000 |
6 |
Denda Pajak
(2%/bulan-0 bulan)
|
0 |
7 |
Jumlah Pajak Yang Harus Dibayar
|
36.961.920.000 |
bahwa menurut Terbanding Volume Air yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung Dasar Pengenaan Pajak sebesar 308.016.000 m3 dihitung berdasarkan rata-rata volume penggunaan air perhari dikalikan dengan jumlah hari dalam 1 (satu) bulan dengan rumus 115 m3/detik x 60 detik x 60 menit x 24 jam x 31 hari = 308.016.000 m3/hari.
bahwa menurut Terbanding Dasar Pengenaan Pajak untuk Masa Pajak Juli 2016 sebesar Rp.369.619.200.000 merupakan hasil perhitungan dari perkalian antara volume air (m3) dengan Harga Dasar Air (Rp) dengan rumusan sebagai berikut:
DPP |
= Volume Air (m3) x Harga Dasar Air (Rp) |
|
= 308.016.000 x Rp.1.200/m3 |
|
= Rp.369.619.200.000 |
bahwa menurut Terbanding volume penggunaan air 115 m3/detik diperoleh dari nilai rata-rata yang diambil berdasarkan hasil pengukuran pada 1 (satu) titik yang merupakan zona transfer yaitu Jembatan Otomona MP 40, dimana pengukuran dilakukan setiap hari pada stasiun pengamatan debit air pada mulut ModADA di Jembatan Otomona;
bahwa menurut Terbanding pengukuran debit air pada 1 (satu) titik di MP 40 (Jembatan Otomona) ditinjau dari aspek hukum didasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Pengelolaan Tailing PT FI di Daerah Pengendapan Ajkwa (ModADA) di Kabupaten Mimika Provinsi Papua dan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 540/154/SET Tanggal 4 Januari 1995 perihal Ijin Pemanfaatan Sungai Aikwa untuk penyaluran limbah pertambangan (tailing) jo. Nomor 540/2102/SET tanggal 20 Juni 1996 perihal Ijin Pemanfaatan Sungai Aghwa-Otomona-Ajkwa-Minajerwi untuk penyaluran limbah pertambangan (tailing);
bahwa perhitungan dan penetapan SKPD-PAP tersebut dilakukan Terbanding didasarkan pada:
- Volume air sungai yang dimanfaatkan untuk pengangkutan tailing Pemohon Banding sebesar 115 m3/detik berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Nomor: 094/674 Tahun 2014 Tentang Penetapan Volume Air Permukaan yang dimanfaatkan untuk proses Pengangkutan dan Pengendapan Tailing PT FI, sehingga volume air yang dimanfaatkan untuk pengangkutan tailing selama Masa Pajak Juli 2016 adalah sebesar 115m3/detik x 60 detik x 60 menit x 24 jam x 31 hari;
- Harga Dasar Air berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012 tentang Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan;
- Tarif Pajak ditetapkan berdasarkan Pasal 36 Perdasi Pajak Daerah;
- Denda Pajak berdasarkan Pasal 48 ayat (5) Perdasi Pajak Daerah yang menentukan “jumlah pajak yang terhutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3 dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak”;
bahwa Terbanding tidak dapat menetapkan pajak terutang sebagaimana yang tercantum dalam SKPD-PAP didasarkan pada Pasal 13 butir (X) Kontrak Karya yang dikaitkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah, karena:
- Perda Nomor 5 Tahun 1990 telah diubah dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Wilayah-wilayah Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Paniai;
- Selanjutnya Perda Nomor 17 Tahun 1998 diubah dangan Perda Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Provinsi Papua;
- Kemudian Perda Nomor 11 Tahun 2002 dicabut dengan Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang menjadi dasar Terbanding mengenakan Pajak Air Permukaan kepada Pemohon Banding, dengan demikian jelas bahwa Perdasi Pajak Daerah yang dipergunakan Terbanding bukanlah Perda Pajak Daerah yang berlaku setelah Kontrak Karya ditandatangani;
bahwa menurut Terbanding disamping hal-hal tersebut di atas, alasan Terbanding lainnya adalah karena Kontrak Karya tunduk pada hukum kebebasan berkontrak yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Perdata sedangkan Pembentukan Undang-Undang maupun Perdasi tunduk pada pedoman yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan;
- |
Kontrak Karya merupakan produk hukum perdata sementara Undang-Undang PDRD merupakan produk hukum publik, maka Kontrak Karya hanya mengikat para pihak yang membuatnya sedangkan Undang-Undang maupun Perdasi mengikat semua warga Negara termasuk badan hukum perdata, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kontrak Karya tidak berkedudukan sebagai lex spesialis terhadap Undang-Undang atau Perdasi Pajak Daerah; |
- |
Kontrak Karya masa berlakunya berdasarkan kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya, sedangkan Undang-Undang atau Perdasi berlaku sepanjang belum dicabut oleh Peraturan yang lebih tinggi atau sederajat tingkatannya atau berdasarkan putusan lembaga peradilan; |
- |
Pada saat Kontrak Karya ditandatangani Tahun 1991 yang berlaku adalah Perda Nomor 5 Tahun1990, dimana dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa ”pengambilan dan pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dikenakan biaya atas izin yang dikeluarkan dan retribusi”, hal ini berarti pemanfaatan/pengambilan Air Permukaan pada saat itu termasuk dalam kategori retribusi, baru kemudian setelah Perda Nomor 5 Tahun 1990 diubah dengan Perda Nomor 17 Tahun 1998 dan terakhir dengan Perda Nomor 4 Tahun 2011, pemanfaatan/pengambilan air permukaan masuk dalam katagori pajak Dengan demikian pengenaan retribusi atas izin pemakaian/pemanfaatan sungai Agwa-Otomona-Ajkwa- Minajerwi yang sifatnya administrasi berubah menjadi pajak atas pengambilan/pemanfaatan air permukaan; |
bahwa Terbanding Menyatakan pada saat Kontrak Karya ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 Pemerintah Daerah Provinsi Papua telah mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya Nomor 5 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah yang antara lain mengatur Pungutan Daerah terhadap pengambilan air permukaan sehingga berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 13 butir (X) Kontrak Karya dan penjelasannya Pemohon Banding wajib mentaati Peraturan Daerah tersebut;
bahwa menurut Terbanding ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya harus dipahami dalam konteks kemudahan-kemudahan perpajakan pada awal-awal kegiatan penambangan sementara Pemohon Banding telah beroperasi di bumi Papua lebih dari 35 tahun sehingga penerapan pasal tersebut sudah tidak relevan, disamping itu peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum lahirnya Kontrak Karya itu sendiri yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Pertambangan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;
bahwa menurut Terbanding sebenarnya Pemohon Banding telah mengakui keabsahan Perdasi Pajak Daerah tersebut, hal ini terlihat dalam kesepakatan yang dibuat oleh Pemohon Banding dengan Pemerintah Provinsi Papua pada tanggal 6 Desember 2012 terkait dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaaan, Pajak Kenderaan Bermotor dan Bea Balik Nama Kenderaan Bermotor yang pada angka 1 dari kesepakatan tersebut menyatakan “Pajak Air Permukaan akan dihitung dan dibayar oleh Perusahaan berdasarkan tarif dari Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, khususnya Bab VI tentang Pajak Air Permukaan...”
bahwa mengutip pendapat Prof. DR. PPP M. HHH, S.H. dalam Pendapat Hukum Tata Negara menyangkut ketentuan Pasal 13 butir (X) Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding, kesepakatan mengikat para pihak, dimana pada butir terakhir pertimbangan kesepakatan tersebut menyatakan:
“bahwa...memahami dan mengakui bahwa diantara Kontrak Karya dan Peraturan Perundang- undangan pajak dan retribusi daerah terdapat perbedaan, dan Propinsi Papua dan perusahaan berkeinginan untuk mencari jalan keluar atas perbedaan tersebut ...”;
bahwa berkenaan dengan pertimbangan tersebut, kesepakatan tersebut secara analogi dapat dipandang sebagai lex spesialis, dengan demikian berdasarkan asas preferensi, Pajak Air Permukaan yang diterapkan/diberlakukan adalah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
bahwa Terbanding juga menyatakan Kontrak Karya dan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjut disebut UU PDRD) merupakan dua produk hukum yang berbeda, dimana Kontrak Karya merupakan produk Hukum Perdata sedangkan UU PDRD merupakan produk Hukum Publik, disamping itu Kontrak Karya tidak bisa disamakan dengan UU, karena Kontrak Karya tidak termasuk dalam jenis peraturan dalam hirarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
bahwa menurut Terbanding untuk adanya kepastian dan keserasian hukum dijamin dengan asas “Lex Posterior derogat Legi Priori” yang artinya aturan yang kemudian mengesampingkan aturan terdahulu, disamping itu hal ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan adanya pertentangan internal dan eksternal dalam keberlakuan yuridikal hokum;
bahwa disamping itu alasan Pemohon Banding yang menyatakan Perda Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum berlaku dan/atau belum disetujui oleh Pemerintah Pusat adalah tidak mendasar sama sekali, sebab Perda Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tersebut telah mendapat persetujuan Pemerintah Pusat berdasarkan:
- Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-749 Tahun 2011 tanggal 26 Oktober 2011 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Papua tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
- Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 973-348 Tahun 2012 tanggal 28 Mei 2012 tentang Klarifikasi Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah;
bahwa menurut Terbanding membuat atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak mungkin mengeluarkan peraturan yang bertentangan dengan Undang-Undang;
bahwa menurut Terbanding terkait masalah Pajak Air Permukaan antara Terbanding dan Pemohon telah dilakukan pertemuan/perundingan namun tidak mendapatkan titik temu, hal ini disebabkan:
- Pemohon Banding tetap melakukan pengukuran volume air pada 16 titik dan selanjutnya hasil pengukuran tersebut dirata-ratakan sehingga menghasilkan debit air sebesar 42,68 m3/detik, sedang Pemerintah Provinsi Papua melakukan pengukuran pada satu titik yang merupakan zona transfer (Jembatan Otomana-MP 40) yang menghasilkan debit air 115m3/detik.
- Pemohon Banding tetap berprinsip menggunakan Perda Nomor 5 Tahun1990 sebagai dasar hukum penetapan SKPD-PAP sedangkan Pemerintah Provinsi Papua menggunakan Perda Nomor 4 Tahun
bahwa berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Nomor 094/674 Tahun 2014 tentang Penetapan Volume Air Permukaaan Yang dimanfaatkan untuk proses pengangkutan dan pengendapan Tailing Pemohon Banding adalah sebesar 115m3/detik, hal ini berarti volume air yang dimanfaatkan untuk pengangkutan dan pengendapan Tailing setiap bulan dihitung dengan rumus 115m3/detik x 60detik x 60 menit x 24 jam x jumlah hari dalam bulan;
bahwa untuk Harga Dasar Air ditetapkan berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012 tentang Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan yaitu sebesar Rp.1200,00, karena Pemohon Banding termasuk klasifikasi Perusahaan Pertambangan Besar;
bahwa adapun untuk Tarif Pajak sebesar 10% ditetapkan berdasarkan Pasal 38 Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
bahwa berdasarkan fakta dilapangan dan hasil pengukuran bersama yang dilakukan Terbanding dan Pemohon Banding yang dituangkan dalam Resume Rapat tanggal 1 Oktober 2014, debit air pemanfaatan Sungai Aghawagon-Otomona adalah sebesar 115m3/detik;
bahwa pada saat Kontrak Karya ditandatangani Air Permukaan merupakan objek retribusi daerah dan terkait erat dengan pemberian/keputusan izin, sehingga perhitungannya hanya berkenaan dengan pelayanan administrasi dari Pemerintah Daerah yang berhubungan langsung dengan pungutan retribusi daerah sebagaimana ditetapkan dalam Perda Nomor 5 Tahun 1990 yaitu sebesar Rp.10/m
3, hal ini berbeda dengan penetapan air permukaan sebagai objek pajak daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Perda Nomor 4 Tahun 2011 yang menetapkan besaran pungutan pajak daerah sebesar Rp.1200/m
3, jadi perhitungan retribusi daerah didasarkan atas pelayanan/fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Daerah sedangkan Pajak Daerah bersifat memaksa dan wajib, dimana pajak air permukaan ditetapkan secara jabatan;
bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding adalah perusahaan pertambangan di Indonesia, beroperasi di Kabupaten Mimika Provinsi Papua sesuai dengan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan;
bahwa menurut Pemohon Banding yang dimaksud Pemerintah dalam Kontrak Karya adalah Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga Pemerintah Tingkat Wilayah, Daerah Tingkat I atau Tingkat II nya, oleh karena itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 20 Kontrak Karya, Pemerintah Daerah Tingkat I (Provinsi) Papua yang dikepalai oleh Gubernur Provinsi Papua (Terbanding) termasuk dalam cakupan Pemerintah, sehingga secara hukum terikat dengan Kontrak Karya dan wajib menerapkan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya tersebut. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang mengatur”;
“Perizinan dan Perjanjian Kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati”, yang dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “Untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing-masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud”;
bahwa menurut Pemohon Banding Kontrak Karya tersebut mengikat secara hukum pada kedua belah pihak yaitu Pemohon Banding dan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”, maka oleh karena itu terkait dengan banding ini Pemohon Banding mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya yang mengatur secara khusus dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku apabila tidak ada pengaturan secara khusus dalam Kontrak Karya;
bahwa ketentuan tentang Pajak Daerah yang dapat dikenakan kepada Pemohon Banding sudah diatur secara khusus didalam Pasal 13 (x) Kontrak Karya butir ke-10 dari Pasal 13 yang secara jelas mengatur bahwa Pemohon Banding hanya wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atau pungutan-pungutan Daerah lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang pada saat Kontrak Karya ditandatangani (30 Desember 1991) telah berlaku (telah disetujui oleh Pemerintah Pusat);
bahwa dalam Pasal 13 Kontrak Karya (halaman 43) dinyatakan Pemohon Banding tidak wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atau pungutan-pungutan Daerah lainnya berdasarkan ketentuan yang diberlakukan (disetujui Pemerintah) pada saat setelah Kontrak Karya ditandatangani, dengan perkataan lain Pemohon Banding tidak memiliki kewajiban untuk membayar jenis-jenis pungutan-pungutan baru yang dikenakan Terbanding berdasarkan
Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah yang dijadikan dasar hukum oleh Terbanding untuk mengenakan Pajak kepada Pemohon Banding atas pemanfaatan air permukaan, karena Undang-undang dan Perdasi tersebut merupakan jenis-jenis pembayaran yang baru disahkan setelah Kontrak Karya ditandatangani;
bahwa menurut Pemohon Banding Kontrak Karya merupakan kesepakatan yang sah dan mengikat secara hukum seperti layaknya Undang-Undang bagi para pihak dalam hal ini Pemohon Banding dan Pemerintah Repubilk Indonesia, termasuk Pemerintah Daerah, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya termasuk ketentuan perpajakannya harus dipatuhi dan diterapkan oleh kedua belah pihak dengan itikad baik (Pacta Sunct Servanda);
bahwa menurut Pemohon Banding terkait prinsip Pacta Sunt Servanda berdasarkan ketentuan Pasal 13 Kontrak Karya Pemohon Banding hanya wajib membayar pungutan-pungutan, pajak- pajak, pembebanan-pembebanan, dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang pada saat Kontrak Karya ditandatangani (30 Desember 1991) telah disetujui oleh Pemerintah Pusat. Mengingat pada tanggal 30 Desember 1991 ketentuan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah yang berlaku atas pemanfaatan air permukaan adalah Perda Nomor 5 Tahun 1990, maka Pemohon Banding hanya wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atas pemanfaatan air permukaan berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1990;
bahwa menurut Pemohon Banding terkait dengan sengketa atas pengenaan Pajak Air Permukaan ketentuan perpajakan yang relevan dipakai adalah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 13 Kontrak Karya yaitu mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan Pemohon Banding yaitu sebagai berikut:
- Pemohon Banding wajib membayar pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan- pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang pada tanggal 30 Desember 1991 (saat Kontrak Karya ditandatangani) telah disetujui oleh Pemerintan Pusat dengan ketentuan;
- |
tarif tidak lebih tinggi daripada imbalan dan pembebanan yang berlaku pada tanggal ditandatangani Kontrak Karya; |
- |
dihitung dengan cara yang tidak lebih berat kepada Pemohon Banding daripada yang berlaku pada tanggal 30 Desember 1991; |
- Pemohon Banding tidak tunduk pada pajak-pajak, bea-bea, pungutan-pungutan, kontribusi- kontribusi, pembebanan-pembebanan atau imbalan-imbalan yang baru dikenakan oleh Pemerintahan Daerah dan/atau disetujui oleh Pemerintah Pusat pada dan/atau setelah tanggal 30 Desember 1991, selain daripada yang secara tertulis dalam Pasal 13 (x) Kontrak Karya dan ketentuan lain dalam Kontrak Karya;
bahwa menurut Pemohon Banding ketentuan Pajak Daerah yang dapat dikenakan kepada Pemohon Banding sudah diatur secara khusus dalam Pasal 13 (x) Kontrak Karya Jo. butir ke 10 (sepuluh) dari Pasal 13 Kontrak Karya yang secara jelas mengatur bahwa Pemohon Banding hanya wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atau pungutan-pungutan Daerah lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang pada saat Kontrak Karya ditandatangani (30 Desember 1991) telah berlaku (telah disetujui oleh Pemerintah Pusat);
bahwa menurut Pemohon Banding, Terbanding dalam menerbitkan SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016 untuk Masa Pajak Juli 2016 atas nama Pemohon Banding, seharusnya mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam Kontrak Karya atau Undang-Undang yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat, sementara Terbanding menerbitkan SKPD-PAP tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang PDRD jo. Pasal 45 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012, dimana peraturan-peraturan yang menjadi dasar Terbanding belum berlaku dan/atau belum disetujui oleh Pemerintah Pusat pada waktu Kontrak Karya ditandatangani, sehingga Pemohon Banding tidak berkewajiban untuk membayar PAP sebagaimana tercantum dalam SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016 untuk masa Juli 2016;
bahwa menurut Pemohon Banding sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jo. Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4) Kontrak Karya dalam menetapkan Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atas pemanfaatan air permukaan kepada Pemohon Banding Perda Nomor 5 Tahun 1990 tetap harus diberlakukan dan diterapkan walaupun Perda Nomor 5 Tahun1990 sudah tidak berlaku lagi, yaitu dengan cara Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan DPRD menerbitkan suatu ketentuan yang pada dasarnya mengatur bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Papua tetap dapat menerbitkan ketetapan Retribusi Daerah atas pemanfaatan air permukaan kepada Pemohon Bading berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 1990, sehingga Pemohon Banding dapat membayar Retribusi Daerah atas pemanfaatan air permukaan, karena ketentuan dalam Kontrak Karya termasuk ketentuan yang berkaitan dengan pengenaan Pajak Daerah bersifat Lex Specialis terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku umum;
bahwa menurut Pemohon Banding metode perhitungan volume air yang digunakan Terbanding dengan metode pengukuran di 1 (satu) titik tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 25 Perda Nomor 5 Tahun 1990 karena Retribusi Daerah atas pengambilan/pemanfaatan air permukaan yang dihitung Terbanding tidak sesuai dengan volume air yang sesungguhnya dimanfaatkan oleh Pemohon Banding untuk mengalirkan tailing, sedangkan kedua ketentuan dalam Perda Nomor 5 Tahun1990 tersebut mengatur bahwa Retribusi Daerah atas pengambilan/pemanfaatan air permukaan sesuai dengan volume air yang sesungguhnya dimanfaatkan oleh Pemohon Banding untuk mengalirkan tailing;
bahwa menurut Pemohon Banding pengukuran volume air yang digunakan untuk mengalirkan tailing pada beberapa titik pertemuan anak sungai adalah pengukuran yang lebih tepat daripada pengukuran di 1(satu) titik sebagaimana yang dilakukan Terbanding, hal ini karena pengukuran volume air pada beberapa titik tersebut telah mempertimbangkan:
- |
kondisi geografis (kecuraman/kelandaian) area Kontrak Karya yang dialiri oleh air permukaan; |
- |
pelepasan secara alamiah sedimen-sedimen lain selain tailing; |
- |
lebih dari satu titik pengukuran; dan |
- |
alat ukur dan cara pengukuran yang digunakan; |
bahwa menurut Pemohon Banding berdasarkan pengukuran teknis yang dilakukan oleh Pemohon Banding di beberapa titik pengukuran, debit air rata-rata di sepanjang Sungai Otomona adalah sebesar 42,68 m3/detik dan hal ini sesuai dengan data empiris yang telah dikumpulkan oleh Pemohon Banding selama kurun waktu 5 tahun;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Mejelis terhadap bukti-bukti yang telah disampaikan dan penjelasan para pihak dalam persidangan Majelis berpendapat sebagai berikut:
bahwa menurut Majelis Pemohon Banding adalah Badan Usaha (Perseroan Terbatas) yang didirikan di Indonesia dan bergerak di bidang pertambangan dengan wilayah kerja di Kabupaten Mimika Provinsi Papua sesuai dengan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan;
bahwa menurut Majelis dalam proses bisnisnya tersebut, Pemohon Banding telah memanfaatkan Air Permukaan Sungai Aghawagon-Otomona di Kabupaten Mimika Provinsi Papua untuk mengalirkan/mengendapkan sisa produksinya (tailing), dimana menurut Terbanding pemanfaatan Air Permukaan tersebut merupakan objek pajak atas Pajak Air Permukaan;
bahwa menurut Majelis berkaitan dengan hal tersebut pada tanggal 1 Februari 2017 Terbanding menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan(SKPD-PAP) kepada Pemohon Banding dengan Nomor 973/1252/DISPENDA untuk Masa Pajak Juli 2016 yang menetapkan Pemohon Banding harus membayar Pajak Air Permukaan atas pemanfaatan air permukaan Sungai Aghawagon-Otomona;
bahwa dalam penerbitan SKPD-PAP tersebut Terbanding mendasarkan pada
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012 tentang Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan dan keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Papua Nomor 094/674 Tahun 2014 tentang Penetapan Volume Air Permukaan;
bahwa menurut Pemohon Banding dasar hukum yang seharusnya dipakai adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Pertambangan, Pasal 1320, Pasal 1337, Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Perda Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pengambilan Air Bawah Tanah, Air Permukaan dan Pembuangan Limbah serta Pasal 13, Pasal 18, dan Pasal 32 Kontrak Karya;
bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan sebenarnya tidak keberatan untuk membayar Pajak Air Permukaan, namun keberatan dengan metode penghitungannya sebagaimana tertuang dalam ringkasan yang diberikan Pemohon Banding dalam persidangan tanggal 19 Desember 2017, dimana Pemohon Banding menyatakan tidak setuju terhadap penerbitan SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016 dengan dua alasan utama yaitu sebagai berikut:
- Dasar Hukum yang dipakai dalam penerbitan SKPD-PAP;
- Metode yang dipakai dalam menghitung volume debit air yang Pemohon Banding pergunakan;
bahwa menurut Majelis Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan Pemohon Banding adalah terkait dengan pemenuhan kewajiban atas pungutan-pungutan baik atas pajak maupun bukan pajak yang bersifat nailed down, sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 yang menyatakan: “Perusahaan tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea, pungutan-pungutan, sumbangan- sumbangan, pembebanan-pembenanan atau biaya-biaya sekarang maupun di kemudian hari yang dipungut atau dikenakan atau disetujui oleh Pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam Pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam Persetujuan ini”;
bahwa atas pandangan Pemohon Banding tentang ketentuan Pajak Daerah yang dapat dikenakan Kepada Pemohon Banding sudah diatur secara khusus dalam Pasal 13 (x) jo. butir ke-10 (sepuluh) dari Pasal 13 Kontrak Karya yang menyatakan Pemohon Banding hanya wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atau Pungutan-Pungutan Daerah lainnya berdasar ketentuan yang pada saat Kontrak Karya ditandatangani telah berlaku dan Pemohon Banding tidak wajib membayar Pajak Daerah atau Retribusi Daerah atau Pungutan-Pungutan Derah lainnya berdasarkan ketentuan yang berlaku (disetujui Pemerintah) setelah Kontrak Karya ditandatangani adalah tidak tepat karena frase “shall not be subject to” yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti “tidak wajib membayar” lebih tepat diterjemahkan sebagai “tidak tunduk pada” adalah tidak berdasar karena tidak disertai alasan yang jelas atau metode penafsiran yang digunakan, Majelis berpendapat bahwa dengan mempergunakan metode penafsiran sistematis terjemahan frase “shall not be subject to” yang berarti “tidak wajib membayar” pada ketentuan Kontrak Karya adalah sudah tepat, hal ini disebabkan Pasal 13 Kontrak Karya tersebut memang mengatur mengenai kewajiban perpajakan dan keuangan lainnya dari Pemohon Banding.
bahwa Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”;
bahwa menurut Majelis ketentuan a quo mengatur bahwa semua ketentuan yang tercantum dalam suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya dan apa yang telah disepakati tersebut berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian, sehingga terwujud adanya kepastian hukum bagi para pihak dalam suatu perjanjian;
bahwa menurut Majelis perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya seperti kekuatan mengikat suatu Undang-Undang (Pacta Sunt Servanda);
bahwa Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua diatur “Perizinan dan Perjanjian kerjasama yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi dengan pihak lain tetap berlaku dan dihormati”, dan dalam penjelasannya menyatakan bahwa untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi dunia usaha, maka perizinan dan perjanjian kerja sama yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masing-masing perizinan atau perjanjian kerja sama dimaksud;
bahwa menurut Majelis terkait dengan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, maka Terbanding sebagai salah satu pihak dalam Kontrak Karya wajib mennghormati dan mempergunakan Kontrak Karya sebagai dasar dalam menetapkan Pajak Daerah bagi Pemohon Banding;
bahwa menurut Majelis ketentuan a quo juga menegaskan suatu perjajian sebagai figure hukum harus mengandung kepastian hukum (asas kepastian hukum) ,dimana kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian (asas Kekuatan mengikat) tersebut sebagai Undang- Undang bagi para pihak.
bahwa persengketaan yang terjadi antara Terbanding dan Pemohon Banding terkait penerbitan SKPD-PAP adalah menyangkut perbedaan dasar hukum yang dipakai dan metode yang dipergunakan dalam menghitung volume debit air;
bahwa baik Terbanding maupun Pemohon Banding sama-sama mempunyai keinginan untuk mencari jalan keluar atas perbedaan tersebut, hal ini terbukti dengan adanya beberapa kali pertemuan/rapat antara Terbanding dan Permohon Banding untuk mencari kesepakatan tentang Pajak dan Retribusi Daerah yaitu pada tanggal 6 Desember 2012 dan walaupun atas rapat-rapat tersebut belum tercapai kesepakatan namun secara implisit terlihat Terbanding memahami dan mengakui keberadaan Kontrak Karya Pemohon Banding disamping itu Pemohon Banding juga memahami dan mengakui ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah;
bahwa menurut Majelis walaupun Terbanding terikat dengan Kontrak Karya, namun bukan berarti Terbanding tidak dapat mengenakan Pajak atas Air Permukaan dengan berdasarkan ketentuan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Perda Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan hanya dapat mengenakan Retribusi semata sesuai dengan Perda Nomor 5 Tahun 1990 sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon Banding;
bahwa menurut Majelis dasar hukum yang dipakai oleh Terbanding dalam penerbitan SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016 untuk Masa Pajak Juli 2016 yaitu
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah jo. Perda Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sudah tepat, karena sebagaimana diketahui bahwa walaupun Perda Nomor 4 Tahun 2011 bukan merupakan perubahan dari Perda Nomor 5 Tahun 1990, namun Perda Nomor 4 Tahun 2011 merupakan pengganti dari Perda Nomor 11 tahun 2002 dan Perda Nomor 11 Tahun 2002 merupakan pengganti dari Perda Nomor 17 Tahun 1998, adapun Perda Nomor 17 Tahun 1998 merupakan pengganti dari Perda Nomor 5 Tahun 1990, dan semua ketentuan-ketentuan yang dipakai Terbanding tersebut di atas mengatur hal yang sama yaitu pengenaan pungutan oleh Terbanding atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan, walaupun dasar pembentukan Perda dengan Undang-Undang yang berbeda dan penyebutan/nama pungutan yang berbeda sebagaimana tabel dibawah ini:
No |
Perda |
Nama Pungutan |
Dasar Pembentukan Perda (UU) |
1 |
Perda Nomor 5/1990 |
Retribusi Pengambilan Air Permukaan
|
UU Nomor 12/Drt/1957 |
2 |
Perda Nomor 17/1998 |
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
|
UU Nomor 18/1997 |
3 |
Perda Nomor 11/2002 |
Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
|
UU Nomor 34/2000 |
4 |
Perda Nomor 4/2011 |
Pajak Air Permukaan
|
UU Nomor 28/2009 |
bahwa menurut Majelis walaupun dalam Perda Nomor 5 Tahun 1990 pengenaan pungutan atas air permukaan disebut sebagai Retribusi, namun pada kenyataannya dalam pelaksanaannya adalah bersifat pajak karena dalam pengenaan pungutannya tidak mendapat imbalan/jasa secara langsung dari Terbanding sementara dalam pengenaan pungutan Retribusi pihak yang dipungut bayaran Retribusi mendapatkan imbalan/jasa secara langsung;
bahwa menurut Majelis ada beberapa jenis pungutan daerah yang semula disebut retribusi namun bersifat pajak kemudian ditetapkan sebagai pajak, demikian juga sebaliknya, hal ini dapat dilihat bahwa dalam Undang-undang Nomor 11/Drt/1957 terdapat Pajak atas izin Penjualan Minuman Yang mengandung Alkohol yang kemudian dengan
Undang-Undang Nomor 18/1997 menjadi Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, hal yang sebaliknya dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1957 terdapat Retribusi Pengambilan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang kemudian dengan
Undang-undang Nomor 18/1997 menjadi Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
bahwa diketahui baik
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maupun Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah sama sekali tidak mengatur adanya pengecualian perlakuan terhadap Kontrak Karya khususnya dalam pungutan- pungutan daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Pasal 1 ayat (2) menyatakan:
“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan”;
Pasal 7 menyatakan:
(1) |
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang:
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
|
(2) |
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat(1). |
bahwa dalam memori penjelasan Pasal 7 ayat(1) huruf f menyatakan:
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat;
Pasal 8 menyatakan:
(1) |
“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Periksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota, Bupati/ Walikota,Kepala Desa atau yang setingkat”; |
(2) |
“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”; |
bahwa menurut Majelis ketentuan a quo mengatur mengenai penjenjangan setiap jenis peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi;
bahwa Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah menyatakan:
Pasal 16
“Peraturan Pajak Daerah tidak dapat berlaku sebelum mendapat pengesahan Presiden”
Pasal 157
(1) |
“Rancangan Peraturan Daerah provinsi tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama Gubernur dan DPRD provinsi sebelum ditetapkan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan dimaksud”; |
(3) |
“Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian Rancangan Peraturan Daerah dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi”; |
(9) |
”Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat langsung ditetapkan”; |
bahwa menurut Majelis ketentuan-ketentuan a quo, menegaskan bahwa Pajak Daerah yang merupakan pendelegasian Pemerintah Pusat kepada daerah harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat agar asas legalitas terpenuhi;
bahwa menurut Majelis sesuai ketentuan tersebut di atas maka dalil Pemohon Banding yang menyatakan seharusnya yang menjadi dasar hukum Terbanding dalam menerbitkan SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016 untuk Masa Pajak Juli 2016 adalah Perda Nomor 5 Tahun 1990 sesuai prinsip
Pacta Sunt Servanda dan terkait dengan Pasal 13 Kontrak Karya, bukan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Perda Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah serta Peraturan Gubernur Provinsi Papua Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan, karena Undang- Undang dan Perda tersebut belum berlaku/belum disetujui oleh Pemerintah Pusat pada waktu Kontrak Karya ditandatangani tidak dapat dipertimbangkan, karena Perda Nomor 4 Tahun 2011 telah mendapat persetujuan Pemerintah Pusat yaitu melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 973-348 Tahun 2012 tanggal 28 Mei 2012 Tentang Klarifikasi Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah, dan Perda Nomor 4 Tahun 2011 sendiri merupakan pengganti dari Perda-Perda sebelumnya sebagaimana diuraikan di atas, sehingga asas legalitas atas peraturan perundang-undangan tersebut telah terpenuhi karena telah melalui semua prosedur yang telah ditentukan;
bahwa menurut Majelis walaupun Terbanding mempergunakan dasar hukum
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 jo. Perda Nomor 4 Tahun 2011 untuk menetapkan Pajak Air Permukaan namun tidak dapat mengesampingkan Kontrak Karya yaitu terkait beban Pajak Air Permukaan yang dikenakan kepada Pemohon Banding tidak boleh lebih berat dari pada saat Kontrak Karya ditandatangani (30 Desember 1991), namun tidak lebih ringan dari pada beban yang ditanggung Pemohon Banding pada saat Kontrak Karya ditandatangani.
bahwa Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan:
“Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau Undang-Undang”
bahwa Pasal 28 Kontrak Karya mengatur:
“Masing-masing pihak setuju untuk melaksanakan dan menyediakan segala sesuatu, serta melakukan dan selanjutnya menjalankan semua tindakan dan segala sesuatu yang perlu atau yang patut untuk memenuhi Persetujuan ini”.
bahwa menurut Majelis ketentuan a quo secara implisit menyatakan para pihak dalam suatu perikatan atau kontrak mempunyai kedudukan yang setara dan saling menguntungkan yang bermakna adil dan berimbang serta tidak ada yang dirugikan;
bahwa Pasal 23
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah menyatakan:
(1) |
Dasar Pengenaan Pajak Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air Permukaan; |
(2) |
Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:
- jenis sumber air
- lokasi sumber air
- tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air
- volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan
- kualitas air
- luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air;dan
- tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
bahwa menurut Majelis ketentuan a quo mengatur dalam pengenaan pajak atas Air Permukaan (PAP) tidak semata-mata hanya terkait dengan volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan tetapi terkait juga dangan tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan atas air tersebut dan secara implisit mengandung arti bahwa salah satu tujuan pemungutan Pajak Air Permukaan adalah untuk melestarikan lingkungan bukan semata-mata untuk pemungutan pajak saja;
bahwa menurut Majelis terkait hal metode Terbanding yang melakukan pengukuran debit air pada 1 (satu) titik yaitu di MP 40 (Jembatan Otomona) sudah tepat karena penentuan/penghitungan jumlah penggunaan air sungai untuk mengangkut sisa tambang (tailing) telah mempertimbangkan beberapa faktor termasuk faktor tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari penggunaan air tersebut sebagai alat untuk transportasi tailing yang dilakukan secara otomatis pada 1 (satu) titik yang terletak pada koordinat 04023’02,83” LS dan 136056’04,59” BT, sehingga tidak ada lagi penambahan volume air sungai yang berasal dari sumber lain (anak sungai) dan metode penghitungan volume air sungai yang dilakukan secara otomatis akan memperoleh hasil yang lebih akurat apabila dibandingkan dengan metode pemantauan secara manual;
bahwa menurut Majelis sisa tambang (tailing) didorong dengan memanfaatkan volume air dari hulu sampai dengan zona akhir pembuangan (Jembatan Otomona), maka untuk penghitungan volume air permukaan yang dipergunakan untuk mengangkut sisa tambang (tailing) dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dalam rangka menentukan dasar pengenaan Pajak Air Permukaan cukup dilakukan pada satu titik tertentu yaitu pada bagian akhir dari zona transfer (Jembatan Otomona) sebagaimana yang dilakukan Terbanding;
bahwa menurut Majelis metode pengukuran debit air pada 16 titik tertentu dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan Pemohon Banding hanya mencerminkan laju aliran/volume air sungai dari hulu ke hilir dan tidak mencerminkan tingkat dampak pencemaran lingkungan;
bahwa menurut Majelis untuk mewujudkan adanya keserasian dan kepastian hukum dan sesuai dengan prinsip-prinsip adil dan berimbang serta agar nilai Harga Dasar Air yang tercantum dalam Kontrak Karya tetap sama nilainya dimasa yang akan datang, maka penghitungan nilai Harga Dasar Air (HDA) dapat dilakukan dengan cara dihitung secara proposional dari harga emas atau dari kurs USD pada saat Kontrak Karya ditandatangani;
bahwa menurut Majelis berkenaan dengan hal tersebut dan mempertimbang data yang tersedia Majelis berkesimpulan nilai Harga Dasar Air (HDA) dihitung dengan cara mengalikan secara proposi nilai Harga Dasar Air (HDA) terhadap kurs USD pada saat Kontrak Karya ditandatangani dikalikan dengan nilai kurs USD akhir bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1025/KMK.014/1991 tentang Nilai Kurs sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, PPN Barang dan Jasa, PPnBM, dan PPh untuk bulan Oktober, November dan Desember 1991 ditetapkan bahwa nilai kurs untuk 1 USD adalah Rp.1.871,00;
bahwa menurut Majelis nilai Harga Dasar Air (HDA) pada saat Kontrak Karya ditandatangani adalah Rp.10/m3 dan apabila tarif Retribusi tersebut ditetapkan dengan memakai dasar pembebanan pajak mengacu pada nilai tarif PAP pada saat itu yaitu sebesar 10% maka didapat perhitungan Harga Dasar Air pada saat Kontrak Karya ditandatangani adalah sebesar Rp.100/m3 (Rp.10/m3:10%), sedangkan menurut Perda Nomor 4 Tahun 2011 Harga Dasar Air adalah Rp.1200/m3;
bahwa menurut Majelis agar nilai Harga Dasar Air pada saat Kontrak Karya ditandatangani tetap mempunyai nilai yang sama di masa yang akan datang dapat dilakukan dengan cara perhitungan secara proposional dengan memakai patokan dari harga emas atau kurs USD pada saat Kontrak Karya ditandatangani;
bahwa menurut Majelis berdasarkan ketentuan-ketentuan dan hal-hal tersebut di atas serta ketersediaan data/keterangan yang diberikan dalam persidangan dalam menyelesaikan sengketa terkait, maka penetapan nilai Harga Dasar Air untuk penghitungan SKPD-PAP dilakukan dengan cara mengalikan proporsi nilai Harga Dasar Air (HDA) terhadap kurs USD pada saat Kontrak Karya ditandatangani dikalikan dengan nilai kurs USD akhir bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1025/KMK.014/1991 Tentang Nilai Kurs sebagai dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Pajak Penghasilan untuk bulan Oktober, November dan Desember 1991, ditetapkan bahwa nilai kurs untuk 1 (satu) USD adalah sebesar Rp.1.871,00;
bahwa sebagaimana telah diuraikan Majelis sebelumnya bahwa nilai Harga Dasar Air pada saat Kontrak Karya ditandatangani adalah sebesar Rp.100/m3 dan apabila dibandingkan dengan nilai 1 (satu) USD pada saat Kontrak Karya ditandatangani sebesar Rp.1.871,00 maka diperoleh angka perbandingan (Proposi nilai HDA terhadap USD) sebesar 5,34% (100/1.871 x 100);
bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
31/KM.10/2016 tanggal 25 Juli 2016 Tentang nilai kurs sebagai dasar pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Keluar dan Pajak Penghasilan yang berlaku untuk tanggal 27 Juli 2016 sampai dengan 2 Agustus 2016, nilai kurs 1 (satu) USD pada akhir Masa Pajak Juli 2016 adalah sebesar Rp.13.108,00;
bahwa menurut Majelis berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka perhitungan Pajak Air Permukaan (PAP) Pemohon Banding untuk Masa Pajak Juli 2016 dilakukan dengan rumusan sebagai berikut:
- Tarif PAP adalah 10%
- HDA per m3 ditetapkan 5,34% x 13.108 = Rp.699,97
- Debit air 115 m3/detik
bahwa menurut Majelis perhitungan PAP yang terutang untuk Masa Pajak Juli 2016 yang dikenakan kepada Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
- |
Debit Air Permukaaan |
= 115 m3/detik |
- |
Jumlah hari |
= 31 hari |
- |
Volume Air Permukaan |
=115x60x60x24x31=308.016.000 m3 |
- |
Harga Dasar Air |
= Rp.699,97/m3 |
- |
DPP PAP |
= HAD x Volume (m3) |
|
|
= Rp.699,97 /m3 x 308.016.000 m3 |
|
|
= Rp.215.601.959.520 |
- |
Tarif PAP |
= 10 % |
- |
PAP Terutang |
= DPP PAP x Tarif |
|
|
= Rp.215.601.959.520 x 10% |
|
|
= Rp.21.560.195.952 |
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dan penilaian Majelis atas berkas Banding, bukti-bukti dan keterangan para pihak serta fakta yang terungkap dalam persidangan, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Pajak Air Permukaan Yang Terutang Masa Pajak Juli 2016 sebesar Rp36.961.920.000,00 sebagaimana tertuang dalam SKPD-PAP Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016, tetap dipertahankan sebesar Rp.21.560.195.952,00 sedangkan sisanya sebesar Rp.15.401.724.048,00 ,00 tidak dapat dipertahankan;
“Alat bukti dapat berupa”:
a. |
surat atau tulisan; |
|
... dst |
d. |
pengakuan para pihak; dan/atau |
e.
|
pengetahuan Hakim, yang di dalam Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya; |
Pasal 74:
“Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis dan Hakim Tunggal”;
Pasal 78:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
Memori penjelasan Pasal 78:
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, Majelis menyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Terbanding tidak sepenuhnya benar, oleh karena itu Majelis berkesimpulan Banding Pemohon Banding dikabulkan sebagian;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, rekapitulasi pendapat majelis atas pokok sengketa adalah sebagai berikut:
Uraian Sengketa |
Nilai Sengketa (Rp) |
Dipertahankan Majelis (Rp) |
Tidak Dapat Dipertahankan Majelis (Rp) |
Pajak Air Permukaan Yang Terutang
|
36.961.920.000,00 |
21.560.195.952,00 |
15.401.724.048,00 ,00 |
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding;
Mengabulkan sebagian Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Gubernur Papua Nomor 188.4/444/Tahun 2016 tanggal 28 Desember 2016, tentang penolakan terhadap pengajuan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan Masa Pajak Juli 2016 Nomor 973/1252/DISPENDA tanggal 1 Agustus 2016, atas nama Pemohon Banding, sehingga perhitungan Pajak Air Permukaan yang harus dibayar menjadi sebagai berikut:
Jenis Pungutan |
Volume/Areal/ Daya (m3/Ha/PK) |
Harga Dasar Air (Rp) |
Tarif Pajak (%) |
Pajak Terutang (Rp) |
Pajak Air Permukaan
|
308.016.000 |
699,97 |
10 |
21.560.195.952,00 |
Bunga Pajak 2% X 0 Tahun
|
0,00 |
Jumlah
|
21.560.195.952,00 |
Terbilang: Dua Puluh Satu Milyar Lima Ratus Enam Puluh Juta Seratus Sembilan Puluh Lima Ribu Sembilan Ratus Lima Puluh Dua Rupiah;
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 3 April 2018 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
M.Z. AF, S.H., M.Kn. |
sebagai Hakim Ketua, |
JEW, Ak., M.P.P. |
sebagai Hakim Anggota, |
RM, S.H., M.Kn |
sebagai Hakim Anggota, |
Dengan dibantu oleh AA, S.E., M.M. |
sebagai Panitera Pengganti, |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2018, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri oleh Terbanding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.