Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-004844.99
Pokok Sengketa:

bahwa yang menjadi sengketa dalam Gugatan ini adalah penerbitan Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak Masa Pajak Agustus 2014 Nomor: 00005/104/14/725/17 tanggal 12 September 2017 yang tidak disetujui oleh Penggugat;

Menurut Tergugat:

bahwa Tergugat dalam persidangan menyampaikan dalil sebagaimana Surat Tanggapan a quo;

bahwa Tergugat dalam persidangan menyampaikan Kesimpulan Akhir melalui Surat Nomor: S-7860/PJ.07/2018 tanggal 26 Oktober 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

A. Terkait Sengketa

Pokok Gugatan

bahwa Penggugat mengajukan Gugatan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak;

bahwa atas hasil penelitian Tergugat terhadap SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Agustus 2014, diketahui bahwa pemotongan PPh Pasal 26 yang dilakukan oleh Penggugat tidak melampirkan fotokopi dokumen DGT-2 sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26 sehingga tidak sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010;

Pendapat Penggugat

bahwa dari kutipan Surat Gugatan Nomor: 191/PJK-IPS/VI/2018 tanggal 20 Juni 2018, Penjelasan Tertulis Penggugat dan pembahasan selama proses persidangan, Penggugat menyampaikan pendapat sebagai berikut:

a. Penggugat menerima pinjaman dari Oversea-Chinese Banking Corporation Limited (OCBC) yang berkududukan di Singapura.
b. Bahwa OCBC adalah Wajib Pajak Singapura sebagaimana dinyatakan dalam Form-DGT2 tanggal 3 Agustus 2014;
c. Bahwa sesuai dengan Pasal 11 P3B antara Indonesia-Singapura, pembayaran bunga tersebut boleh dikenakan pajak di Indonesia, tetapi tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen) dari bunga bruto;
d. Bahwa Penggugat telah melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai tarif P3B dan melampirkan Fom DGT 2 dalam SPT Masa PPh Pasal 23/26;
e. Bahwa Tergugat menerbitkan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif 20% (dua puluh persen) bertentangan dengan Pasal 11 P3B Indonesia-Singapura.


Tanggapan Tergugat

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009

Pasal 14

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
  1. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
(3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008

Pasal 26

(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
  1. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

Pasal 2
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal:

b. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut.


Pasal 3

(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b antara lain dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B.

Pasal 5

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dan pajak yang dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang dipotong atau dipungut tersebut.
(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.


Pasal 6

(1) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5), dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan, dalam hal:
  1. pihak yang dipotong atau dipungut merupakan WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 8

(5) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan.


Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010

Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan:

4. Surat Keterangan Domisili yang selanjutnya disebut SKD adalah formulir yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang telah diisi dengan lengkap dan telah ditandatangani oleh WPLN, serta telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara mitra P3B.


Pasal 2
Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Pasal 3

(1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
  1. penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
  2. persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.


Pasal 4

(1) Dokumen SKD yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] atau Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Dokumen SKD yang ditetapkan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini digunakan dalam hal:
  1. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selalin bunga dan dividen;
  2. WPLN bank; atau
  3. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di negara mitra P3B Indonesia dan merupakan subjek pajak di negara mitra P3B Indonesia.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak:
  1. menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;
  2. telah diisi oleh WPLN dengan lengkap;
  3. telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B;
  4. telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan
  5. disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak.
(4) Dalam hal WPLN tidak dapat memenuhi ketentuan pada ayat (3) butir d, WPLN dianggap memenuhi persyaratan administratif apabila ketentuan-ketentuan pada ayat (3) butir a, b, c, dan e dipenuhi, dan WPLN melampirkan surat keterangan domisili yang lazim disahkan atau diterbitkan oleh negara mitra P3B yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. menggunakan bahasa Inggris;
  2. diterbitkan pada atau setelah tanggal 1 Januari 2010;
  3. berupa dokumen asli atau dokumen fotokopi yang telah dilegalisasi oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat salah satu Pemotang/Pemungut Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  4. sekurang-kurangnya mencantumkan informasi mengenai nama WPLN; dan
  5. mencantumkan tanda tangan pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B atau tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B dan nama pejabat dimaksud.
(5) Persyaratan tidak terjadi penyalahgunaan P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dianggap terpenuhi apabila dalam lembar kedua Lampiran II [Form-DGT 1]:
a. dalam hal WPLN adalah orang pribadi, WPLN tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee; atau
b. dalam hal WPLN adalah badan, WPLN merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal dan diperdagangkan secara teratur; atau
c. dalam hal WPLN adalah badan:
1) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab bahwa pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; atau
2) bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan beneficial owner, WPLN menjawab:
a) pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan
b) kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan
c) perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan
d) mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan
e) penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan
f) tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.


Pasal 5

(1) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form DGT 1] yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B.
(2) SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II [Form-DGT 1] lembar pertama dan dalam Lampiran III [Form-DGT 2] yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) mempunyai masa berlaku sebagai dasar penerapan P3B sampai dengan 12 (dua belas) bulan sejak bulan SKD disahkan atau setelah bulan surat keterangan domisili yang lazim diterbitkan oleh negara mitra P3B diterbitkan atau disahkan.


Pasal 6
WPLN dapat menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal manfaat P3B tidak diberikan akibat persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b tidak terpenuhi, tetapi WPLN menganggap pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B.

Pasal 9

(1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterirna dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa.
(2) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus melakukan penelitian kebenaran pelaporan atas jumlah pajak yang dipotong dan melakukan perekaman SKD dan bukti pemotongan/pemungutan yang dilaporkan oleh Pemotong/ Pemungut Pajak.


B. Data dan Fakta

bahwa berdasarkan dokumen, data dan keterangan yang disampaikan Penggugat dalam Surat Gugatan Nomor: 191/PJK-IPS/VI/2018 tanggal 20 Juni 2018, Penjelasan Tertulis Penggugat dan pembahasan selama proses persidangan, diketahui hal-hal sebagai berikut:

bahwa berdasarkan penelitian SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Agustus 2014 yang disampaikan Penggugat tanggal 17 September 2014, diketahui bahwa Penggugat tidak melampirkan salinan form-DGT-2 sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26;

bahwa Tergugat mengirimkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) Nomor: S-0217/WPJ.14/KP.05/2017 tanggal 11 Januari 2017;

bahwa atas surat Tergugat tersebut, Penggugat melakukan Pembetulan SPT Masa PPh 23/26 Masa Agustus 2014 pada tanggal 17 Maret 2017 dan melampirkan Form-DGT-2 sebagai lampiran SPT Masa PPh 23/26;

bahwa Penggugat menjawab SP2DK tersebut dengan Surat Nomor: 107/PJK-IPS/III/2017 tanggal 29 Maret 2017 dengan penjelasan bahwa saat pelaporan Penggugat telah melampirkan fotokopi form DGT-2 sesuai dengan ketentuan;

bahwa Tergugat menerbitkan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Nomor: 00005/ 104/14/17 tanggal 12 September 2017 sebesar Rp126.448.629,00 yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp85.438.263,00 dan saksi administrasi bunga Pasal 14 ayat (3) UU KUP sebesar Rp41.010.366,00;

bahwa dalam proses sidang Gugatan, Penggugat memberikan data antara lain:

a. SPT Masa PPh Pasal 23/26 Normal yang dalam bagian C lampiran diketahui bahwa Penggugat tidak mencontreng lampiran legalisasi fotokopi SKD yang masih berlaku serta tidak melampirkan fotokopi SKD;
b. SPT Masa PPh 23/26 Pembetulan yang dalam bagian C lampiran diketahui bahwa Penggugat telah mencontreng lampiran legalisasi fotokopi SKD yang masih berlaku serta telah melampirkan fotokopi SKD;
c. Fotokopi SKD yang telah ditandatangani oleh otoritas perpajakan Singapura (Inland Revenue Authority of Singapore) tanggal 3 April 2014.


C. Penjelasan Tergugat

bahwa ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010, antara lain adalah sebagai berikut:

bahwa Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010);

bahwa Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan dalam P3B, dalam hal 3 (tiga) persyaratan terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 yaitu sebagai berikut:

a. Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia,
b. Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
c. Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B.


bahwa persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak:

a. WPLN menggunakan formulir yang tepat (Form-DGT 1 atau Form-DGT 2), dan
b. WPLN mengisi formulir tersebut dengan lengkap dan menandatanganinya, dan;
c. Formulir telah disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang di negara tempat WPLN terdaftar sebagi subjek pajak dalam negeri, dan
d. disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa terutangnya pajak.


bahwa dalam hal 3 (tiga) persyaratan dalam Pasal 3 tersebut tidak dipenuhi, maka Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010, SKD yang yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B;

bahwa Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa sesuai Pasal 9 ayat (1);

bahwa dalam faktanya Penggugat tidak menyampaikan SKD sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk Masa Pajak terutangnya pajak dan Penggugat tidak melampirkan fotokopi SKD yang masih berlaku dalam lampiran SPT Masa PPh 23/26;

bahwa berdasarkan data dan fakta di atas dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 sebagaimana diuraikan di atas, dapat disampaikan bahwa persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B tidak dipenuhi sehingga Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

bahwa apabila persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 tidak terpenuhi, tetapi pemotongan atau pemungutan pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, WPLN dapat menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pajak yang tidak seharusnya terutang;

bahwa apabila pihak yang dipotong atau dipungut merupakan WPLN yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, permohonan pengembalian kelebihan pajak yang seharusnya tidak terutang dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan ke KPP tempat Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar;

bahwa manfaat P3B dapat diperoleh melalui 2 (dua) mekanisme yaitu melalui mekanisme relief at source atau mekanisme refund;

bahwa dalam hal persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 terpenuhi, maka manfaat P3B dapat langsung diberikan melalui Pemotong Pajak dengan menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dimaksud (relief at source);

bahwa dalam hal persyaratan formal/administratif belum atau tidak dapat dipenuhi pada saat transaksi, maka atas transaksi tersebut dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan domestik Indonesia;

bahwa berdasarkan penjelasan diatas, Tergugat berpendapat bahwa persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B tidak dipenuhi sehingga Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yaitu dengan tarif pajak sebesar 20% (dua puluh persen);

D. KESIMPULAN DAN USUL

Kesimpulan

bahwa dalam faktanya Penggugat tidak menyampaikan SKD sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak dan Pengguat tidak melampirkan fotokopi dalam lampiran SPT Masa PPh 23/26;

bahwa berdasarkan data dan fakta di atas dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 sebagaimana diuraikan di atas, dapat disampaikan bahwa persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B tidak dipenuhi sehingga Pemotong/pemungut Pajak wajib memotong Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;

bahwa manfaat P3B dapat diperoleh melalui dua mekanisme yaitu melalui mekanisme relief at source atau mekanisme refund;

bahwa dalam hal persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010 terpenuhi, maka manfaat P3B dapat langsung diberikan melalui Pemotong Pajak dengan menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B dimaksud (relief at source);

bahwa dalam hal persyaratan formal/administratif belum atau tidak dapat dipenuhi pada saat transaksi, maka atas transaksi tersebut dilakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan domestik Indonesia;

Usul

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Tergugat berpendapat bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga Tergugat mengusulkan agar Majelis Hakim yang mulia menolak permohonan Penggugat;

Menurut Penggugat:

bahwa Penggugat dalam persidangan menyampaikan dalil sebagaimana Surat Gugatan dan Surat Bantahan a quo;

bahwa Penggugat dalam persidangan menyampaikan Kesimpulan Akhir tanpa nomor tanggal 30 Oktober 2018 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan

bahwa Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berbunyi:

Pasal 7

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 8

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.


bahwa asas hukum lex superior derogat legi inferior mengatakan bahwa hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan keberlakuannya daripada hukum yang lebih rendah;

bahwa asas hukum lex specialis derogat legi generali mengandung makna bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis);

bahwa dalam penerapan asas hukum lex specialis derogat legi generali, Perjanjian penghindaran Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dengan Singapura (Lex Specialis) mengesampingkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (lex generalis);

bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2010, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan di atasnya, khususnya atas Perjanjian penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Singapura;

bahwa OCBC adalah Wajib Pajak Singapura (a resident of Singapore), sebagaimana dinyatakan dalam Form-DGT 2 tanggal 3 April 2014;

bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dan Singapura, OCBC sebagai Wajib Pajak Singapura dapat memanfaat ketentuan dalam P3B tersebut:

This Agreement shall apply to persons who are resident of one or both of the Contracting States.

bahwa sesuai dengan Pasal 11 P3B antara Indonesia dan Singapura, pembayaran bunga tersebut boleh dikenai pajak di Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan Indonesia, tetapi tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen) dari bunga bruto:

1. Interest arising in a Contracting State and paid to a resident of the other Contracting State may be taxed in that other State.
2. However, such interest may also be taxed in the Contracting State in which it arises, and according to the laws of that State, but if the recipient is the beneficial owner of the interest, the tax so charged shall not exceed 10 per cent of the gross amount.


bahwa Penggugat melakukan pembayaran Bunga kepada OCBC sebesar Rp854.382.625,00;

bahwa PPh Pasal 26 yang terutang adalah sebesar Rp85.438.263,00 yaitu sama dengan 10% X Rp854.382.625,00 sesuai dengan Pasal 11 P3B antara Indonesia dan Singapura;

bahwa Penggugat telah melakukan pemotongan dan pembayaran PPh Pasal 26 sebesar Rp85.438.263,00 tersebut sesuai dengan Masa Pembayaran Bunga dan telah melaporkannya dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau 26;

bahwa Penggugat telah melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Agustus 2014 Normal pada tanggal 17 September 2014, lengkap dengan lampiran, tetapi lupa menyilang Lampiran Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Domisili yang masih berlaku dalam hal PPh Pasal 26 dihitung berdasarkan tarif P3B;

bahwa sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan;

bahwa Penggugat telah melakukan Pembetulan ke-1 SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Agustus 2014 pada tanggal 17 Maret 2017, dengan tambahan menyilang Lampiran Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Domisili yang masih berlaku dalam hal PPh Pasal 26 dihitung berdasarkan tarif P3B;

bahwa Tergugat yang menerbitkan Surat Tagihan Pajak dengan menggunakan tarif 20% (dua puluh persen) PPh Pasal 26, adalah bertentangan dengan Pasal 11 P3B antara Indonesia dan Singapura;

bahwa selanjutnya, Penggugat mengusulkan kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang terhormat agar:

1. Menyatakan bahwa Gugatan yang diajukan Penggugat dapat diterima karena telah memenuhi seluruh ketentuan formal;
2. Mengabulkan Gugatan Penggugat dengan membatalkan dan/atau mengurangkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00584/ NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak, atas Surat Tagihan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00005/104/14/725/17 tanggal 12 September 2017 untuk Masa Pajak Agustus 2014 sebesar Rp126.448.629,00 menjadi 0 (Nihil);
3. Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono);

Menurut Majelis:

bahwa yang menjadi obyek sengketa adalah Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak Masa Pajak Agustus 2014 Nomor: 00005/104/14/ 725/17 tanggal 12 September 2017;

bahwa menurut Tergugat, diterbitkannya Surat Tagihan Pajak Pasal 26 Masa Pajak Agustus 2014 adalah sebagai berikut:

bahwa Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Penghasilan Nomor: 00005/104/14/ 725/17 tanggal 12 September 2017 Masa Pajak Agustus 2014 diterbitkan karena Penggugat sebagai Pemotong Pajak kurang memotong PPh Pasal 26 atas bunga pinjaman terhadap OCBC Bank yang berdomisili di Singapura;

bahwa berdasarkan penelitian SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Juni 2014 yang dilaporkan Penggugat pada tanggal 16 Juli 2014, diketahui bahwa Penggugat diketahui bahwa Penggugat tidak melampirkan salinan Form-DGT 2 sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26;

bahwa berdasarkan penelitian SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Agustus 2014 yang dilaporkan Penggugat pada tanggal 17 September 2014, diketahui bahwa Penggugat tidak melampirkan salinan Form-DGT 2 sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26;

bahwa Penggugat membetulkan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Agustus 2014 pada tanggal 17 Maret 2017 dan melampirkan Form-DGT 2 sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 23/26;

bahwa menurut Penggugat, Tergugat telah mengirimkan Surat Nomor: S-0217/ WPJ.14/KP.05/2017 tanggal 11 Januari 2017 kepada Penggugat dengan hal Permintaan penjelasan/klarifikasi atas Pemotongan PPh Pasal 26 Tahun 2014;

bahwa Penggugat telah memberikan klarifikasi dengan Surat Nomor: 107/PJK-IPS/III/2017 tanggal 29 Maret 2017 dengan hal Penjelasan atas Pemotongan PPh Pasal 26 Tahun 2014, yang pada intinya menyampaikan bahwa Penggugat telah melaporkan SPT PPh Pasal 26 yang dimaksud lengkap dengan lampiran dokumen DGT-nya;

bahwa dalam persidangan, Penggugat menyatakan bahwa karena permintaan klarifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat Nomor: S-0217/ WPJ.14/KP.05/ 2017 tanggal 11 Januari 2017, Penggugat telah melakukan pembetulan ke-1 SPT masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Agustus 2014 pada tanggal 17 Maret 2017 dengan melampirkan Surat Keterangan Domisili (form DGT-2) tanggal 3 April 2014;

bahwa menurut Majelis, dengan telah dipenuhinya persyaratan untuk menerapkan ketentuan P3B Indonesia-Singapura pada tanggal 17 Maret 2017, tidak seharusnya Tergugat menerbitkan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Agustus 2014 tanggal 12 September 2017;

bahwa menurut Majelis, dengan menunjukkan adanya Surat Keterangan Domisili (form DGT-2) dari Singapura, maka Penggugat berhak untuk menerapkan P3B Indonesia-Singapura, sehingga Penggugat telah melaksanakan kewajiban memotong PPh Pasal 26 berdasarkan ketentuan P3B RI-Singapura dengan benar, dan penerbitan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Agustus 2014 atas nama Penggugat tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

Memperhatikan:

penjelasan dan fakta persidangan serta bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan;

Menimbang:

bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan seluruhnya permohonan Gugatan Penggugat dan membatalkan Keputusan Tergugat Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak;

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:

Mengabulkan seluruhnya Gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00584/NKEB/WPJ.14/2018 tanggal 24 Mei 2018 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak Masa Pajak Agustus 2014 Nomor: 00005/104/14/725/17 tanggal 12 September 2017 atas nama Penggugat.

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan terakhir pada hari Selasa tanggal 30 Oktober 2018 oleh Hakim Majelis IVA Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis sebagai berikut:

I S.H., M.Sc sebagai Hakim Ketua,
N, S.E., M.Si. sebagai Hakim Anggota,
A R. H, S.IP., M.M sebagai Hakim Anggota,
dengan dibantu oleh
M. AA, S.E., M.M

sebagai Panitera Pengganti.


Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 5 Maret 2019 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Penggugat dan tidak dihadiri oleh Tergugat.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA