Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa yang menjadi nilai sengketa dalam sengketa banding ini adalah Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak November 2010 sebesar Rp82.364.266.843,00 yang terdiri dari:
- Koreksi Objek dari Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00;
- Koreksi Objek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00; yang tidak disetujui Pemohon Banding;
bahwa hasil pembahasan Majelis atas sengketa banding a quo adalah sebagai berikut :
1. Koreksi Pajak Objek dari Procurement sebesar 30.142.188.761,00
bahwa Procurement yang dibutuhkan merupakan bagian dari kontrak antara PT PL (Persero) dengan konsorsium DEC dan PT DE;
bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf b UU PPh bahwa yang menjadi Obyek Pajak Bentuk Usaha Tetap adalah penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia dan Procurement merupakan bagian pekerjaan jasa konstruksi yang terintegrasi dan nilai kontrak jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak jasa konstruksi secara keseluruhan;
bahwa sesuai Pasal 6 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 mengatur dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan nilai kontrak jasa konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri maka selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh penyedia jasa;
bahwa berdasarkan Laporan Audit Tahun 2009, Pemohon Banding sudah mengakui Procurement sebagai Penghasilan di Tahun 2009 maka Procurement ini seharusnya juga diakui Pemohon Banding sebagai Penghasilan di Tahun 2010 sehingga Procurement merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2);
bahwa Terbanding berpendapat bahwa Procurement merupakan bagian pekerjaan jasa konstruksi yang terintegrasi dan nilai kontrak jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak secara keseluruhan sehingga Terbanding mengusulkan untuk menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan koreksi Terbanding;
bahwa dalam persidanganTerbanding menyampaikan penjelasan tertulis yang disempurnakan dengan kesimpulan akhir yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi antara lain:
- |
Pasal 1 angka 5 |
- |
Pasal 1 angka 9 |
- |
Pasal 3 ayat (1) |
- |
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a |
- |
Pasal 5 ayat (1) |
- |
Pasal 5 ayat (2) |
- |
Pasal 5 ayat (3) |
- |
Pasal 6 ayat (1) |
Persetujuan Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China mengenai Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak Yang Berkenaan Dengan Pajak Atas Penghasilan (P3B Indonesia — China) antara lain:
- |
Pasal 5 angka 3 huruf a |
- |
Pasal 7 angka 1 |
Definisi Konstruksi, Jasa Konstruksi, Industri/Sektor Konstruksi
bahwa konstruksi secara umum dipahami sebagai segala bentuk pembuatan/pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, bendung, jaringan irigasi, gedung, bandara, pelabuhan, instalasi telekomunikasi, industri proses, dan sebagainya serta pelaksanaan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur (Well, 1986). Namun demikian, konstruksi dapat juga dipahami berdasarkan kerangka perspektif dalam konteks jasa, industri, sektor atau kluster. Menurut Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi, jasa konstruksi adalah jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan suatu pekerjaan konstruksi. Sektor konstruksi dikonsepsikan sebagai salah satu sektor ekonomi yang meliputi unsur perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan, dan operasional berupa transformasi dari berbagai input material menjadi suatu bentuk konstruksi (Moavenzadeh, 1978). Industri konstruksi sangat esensial dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri konstruksi seperti berbagai sarana, dan prasarana merupakan kebutuhan mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod, 1984);
bahwa industri konstruksi secara luas yang terdiri dari pelaksanaan kegiatan di lapangan beserta pihak stakeholder seperti kontraktor, konsultan, material supplier, plant supplier, transport supplier, tenaga kerja, asuransi, dan perbankan dalam suatu transformasi input menjadi suatu produk akhir yang mana dipergunakan untuk mengakomodasi kegiatan sosial maupun bisnis dari society (Bon, 2000);
bahwa sementara, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) definisi sektor konstruksi adalah suatu kegiatan yang hasil akhirnya berupa bangunan/konstruksi yang menyatu dengan lahan tempat kedudukannya, baik digunakan sebagai tempat tinggal atau sarana kegiatan Iainnya. Kegiatan konstruksi meliputi perencanaan, persiapan, pembuatan, pemasangan/instalasi, pembongkaran, dan perbaikan bangunan. Kegiatan konstruksi dilakukan oleh kontraktor umum (perusahaan konstruksi) maupun oleh kontraktor khusus unit usaha atau individu yang melakukan kegiatan konstruksi untuk dipakai sendiri);
bahwa definisi sektor konstruksi oleh US SIC (United State Standard Industry Classification) adalah bahwa the construction sector comprises establishments primarily engaged in the construction of buildings and other structures, heavy construction (except buildings), additions, alterations, reconstruction, installation, and maintenance and repairs. Establishments engaged in demolition or wrecking of buildings and other structures, clearing of building sites, and sale of materials from demolished structures are also included. This sector also includes those establishments engaged in blasting, test drilling, landfill, leveling, earthmoving, excavating, land drainage, and other land preparation;
bahwa sedangkan NAIC (North American Industry Classification) menjelaskan bahwa this sector comprises establishments primarily engaged in constructing, repairing and renovating buildings and engineering works, and in subdividing and developing land. These establishments may operate on their own account or under contract to other establishments. They may produce complete projects or just parts of projects. Establishments often subcontract some or all of the work involved in a project. Establishments may produce new construction, or undertake repairs and renovations to existing structures. A construction establishment may be the only establishment of an enterprise, or one of several establishments of an integrated real estate enterprise engaged in the land assembly, development, financing, building and sale of large projects;
bahwa kerangka teoritis sektor konstruksi menurut Parikesit dan Suraji (2005) terdiri dari industri (usaha) dan perdagangan (pengusahaan) dari suatu produk konstruksi. Modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumber daya manusia, teknologi dan model busines proses serta informasi, akses pasar, sistem transaksi dan penjaminan kualitas. Pengertian konstruksi secara lebih luas juga dapat dijelaskan dengan pendekatan kluster konstruksi (Suparto, 2006). Kluster konstruksi menggambarkan semua elemen baik Iangsung maupun tidak langsung terkait dengan elemen-elemen dalam industri konstruksi. Di Scotlandia (2004), kluster konstruksi dikonsepsikan sebagai representasi dari subyek klien, berbagai tipe pasar konstruksi, institusi yang bertugas meningkatkan kapasitas, layanan pendukung, aktifitas konstruksi, dan rantai suplainya serta para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi. Barret (2005) menggunakan istilah sistem konstruksi untuk menggambarkan berbagai entitas baik subyek maupun obyek berdasarkan kerangka siklus hidup proyek konstruksi. Menurut Barret (2005) dalam sistem konstruksi terdapat 3 (tiga) arena dimana pemangku kepentingan berperan melakukan perubahan. Pada arena pengetahuan dan perilaku, masyarakat dan pendidikan serta penelitian menjadi medium bagi para pemangku kepentingan. Selanjutnya, pada arena kerangka kerja dan penyelenggaraan konstruksi, pihak industri atau klien, pihak yang mengadakan konstruksi, dan pemerintah serta tim proyek konstruksi menjadi pemangku kepentingan. Dalam hal ini, pemerintah, industri atau klien serta pihak yang mengadakan konstruksi adalah pemangku kepentingan utama sebagai pemantik perubahan;
bahwa konstruksi sebagai representasi bisnis dikonsepsikan sebagai aktifitas, cara penyelenggaraan (mode of delivery) dan bentuk suplai. Menurut Europen Union (EU) aktifitas untuk membuat obyek konstruksi tersebut dijelaskan sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang disebut sektor konstruksi yaitu (1) site preparation, (2) building of complete constructions or parts thereof, and civil engineering, (3) building installation, (4) building completion, dan (5) renting of construction or demolition equipment with operator. Cara penyelenggaraan dapat bersifat (1) traditional seperti design only, construct only, dan supervision only; (2) design- build; (3) plant design-build; EPC/ EPCC/EPCF; (4) (EPC)M/PMC/CM; (5) PPP/BOT, BOO, BOOT, BOL; dan (6) aliansi;
bahwa bentuk suplai dari bisnis konstruksi adalah advisory services, studi kelayakan, survey investigation, planning, design (conceptual design, basic design, detail design), checkers, quantity surveyors, procurement, supply (equipment, material, labour, wharehouse, transportation), construction, post construction (operation and maintenance, betterment, rehabilitation, renovation, restoration) dan demolition;
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 Tentang Usaha Dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa lingkup layanan jasa konstruksi meliputi Layanan jasa perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan konstruksi dapat dilakukan secara terintegrasi selain terdiri atas rancang bangun (design and build); perencanaan, pengadaan; pelaksanaan terima jadi (engineering, procurement, and construction); dan penyelenggaraan pekerjaan terima jadi (turn-key project); juga dapat berupa penyelenggaraan pekerjaan berbasis kinerja (performance based). Layanan jasa konstruksi yang dilaksanakan secara terintegrasi tersebut hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbadan hukum;
Data dan Fakta
bahwa konsorsium Pemohon Banding dengan PT DE mendapatkan kontrak Engineering Procurement and Construction (EPC) dari PT PL (Persero) untuk pengadaan/pengerjaan PLTU 3 Banten dan PLTU 1 Jawa Timur dengan kontrak sebagai berikut:
a) |
Kontrak Nomor 207.PJ./121/DIR/2007 tanggal 7 Agustus 2007 untuk Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara dengan kelas daya 300-400 MW, PLTU 3 Banten (3 x 315MW) dengan lokasi Teluk Naga, Banten. Total nilai kontrak untuk proyek ini adalah USD.588,789,989.00 dan Rp 2.079.145.339.700,- (included PPN) dengan rincian sebagai berikut :
No. |
Description |
Foreign Currency(USD) |
Local Currency(USD) |
1 |
Engineering and Procurement |
535,263,626 |
|
2 |
Local Construction |
- |
1.890.132.127.000 |
3 |
Sub Total |
535,263,626 |
1.890.132.127.000 |
4 |
Contract Price |
535,263,626 |
1.890.132.127.000 |
5 |
VAT 10% |
53,526,363 |
189.013.212.700 |
6 |
Total Contract Price (Including VAT) |
588,789,989 |
2.079.145.339.700 |
|
b) |
Kontrak Nomor 206.PJ./121/DIR/2007 tanggal 7 Agustus 2007 untuk Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara dengan kelas daya 300-400 MW, PLTU 1 Jawa Timur (3 x 315MW) dengan lokasi Pacitan, Jawa Total nilai kontrak untuk proyek ini adalah USD379,469,024.00 dan Rp1.353.549.019,000,- (included PPN) dengan rincian sebagai berikut :
No. |
Description |
Foreign Currency(USD} |
Local Currency(USD) |
1 |
Engineering and Procurement |
332,396,152 |
|
2 |
Local Construction |
12,575,840 |
1.230.499.108.000 |
3 |
Sub Total |
344,971,840 |
1.230.499.108.000 |
4 |
Contract Price |
344,971,840 |
1.230.499.108.000 |
5 |
VAT 10% |
34,497.184 |
123.049.911.000 |
6 |
Total Contract Price (Including VAT) |
379,469,024 |
1.353.549.019.000 |
|
bahwa berdasarkan Kontrak EPC PLTU 3 Banten dan Kontrak EPC PLTU Jawa Timur 1, dinyatakan bahwa
This Agrement is made this 7th (seventh) day of August 2007
Between
PT PL (Persero)
A limited liability company under the laws of the Republic of Indonesia...
(hereinafter called the "Owner") of one part
And Consortium of
Dorofang Electric Corporation
A corporation organized and existing under the laws of the People's Republic of China...
PT DE
A corporation organized and existing under the laws of Republic of Indonesia. (hereinafter called the "Contractor") of the other part
"Whereas the Owner desires that the Works known as Coal Fired Steam Power Plant Project 300-400MW class for PLTU 3 Banten (3x315MW) location for Teluk Naga-Lontar should be designed, manufactured, tested, delivered, installed and connstructed, pre-commisioned, commisioned and performance test, taking over and guarantee certain facilities to be executed by the Contractor"
"Whereas the Owner desires that the Works known as Coal Fired Steam Power Plant Project 300-400MW class for PLTU 1 Jawa Timur (2x315MW) location for Pacitan should be designed, manufactured, tested, delivered, installed and connstructed, pre-commisioned, commisioned and performance test, taking over and guarantee certain facilities to be executed by the Contractor"
bahwa berdasarkan Lampiran "Instructions for the Bidder" diketahui hal-hal sebagai berikut :
1.10 Bid Prices
All taxes, fees and customs charge shall be incorporated in the contract price.
Price quoted in Schedule-1 shall be fully inclusive of all charges covering off loading, transportation, insurance and handling of plant, equipment and materials onto the allocated site storage area.
2.1.32 Permanent Works
Permanent works means the Plant and all permanet works (including without limitation, all permanent structures, all work intended to perform a continuing function after completion and any work contractually required to remain at the Site) to be constructed, completed and maintained by the Contractor in accordance with the Contract.
2.1.33 Plant
Plant means and includes all and complete machinery, apparatus equipment, materials, spare parts, articles, and things of all kind to be provided under the Contract which will form part of the Permanent Works.
2.53.1 Delivery
No Plant or Contractors Equipment shall be delivered to the site until an intimation in writing has been applied for and obtained by The Contractor from the Owner that delivery may be made. The contractor shall be responsible for custom clearance, transportation to and reception on the site of all Plant and Contractor's equipment delivered for the purpose of the contract. The owner shall receive and aplication for such and intimation by fax 30 days prior to shipment, the Contractor shall be entitled to proceed with shipment provided the other contractual obligations connected herewith have been fulfilled.
3.4 Liquidation Damages
3.4.1 Delay In Completion of Key Date Activities
Should the Contractor fail to achieve Commercial operation of each unit (which key date is speciefied in Part 5 Schedule 4) the liquidated damages will be assesed against the Contractor by the Owner on the basis of one half percent (0.5%) of the Unit Price as stipulated in Part 5, Schedule 4 for each even (7) seven week, or pro rata for a part of seven (7) day week, by which operation is delayed.
The maximum value of liquidated damages for delay of commercial operation date activities that may be assesed by the Owner under the Contract will be 10% of the Final Contract Price.
3.5 Transportation to The Site
The Contractor shall be responsible for and make good any and all damage or deterioration which occurs to the Plant during transit. All plant shall be shipped below deck unless the Owner's express agreement has been previously obtained.
The Contractor shall transport all Plant from the shop to the Site and shall maintain full responsibility for loading and unloading, handling, transportation, storage and maintenance during storage at Site and the corresponding mandatory insurance. The Contractor shall deliver the Plant to the Site in adequate time for its preparation, erection and commisioning according to the Schedule.
3.52 Shipping Documentation
The Contractor shall forward four (4) copies of each of the following shipping documents on all shipments under this contrac, except for air shipments, so that the documents will arrive at the offices of the Owner at least one week prior to the shipment arriving at Site. Except for certificates of insurance, these document are required fo customs clearance. The Contractor shall forward copy of the insurance certificates separate with the shipping document for payment purpose.
- |
F.O.B Invoice |
- |
Certificate of Insurance |
- |
Bill of Lading (see the following table for the type off Bill of Lading) |
- |
Packing List |
3.10.Customs Clearance
The Contractor shall be responsible for Indonesian customs clearance off all Plant, equipment and materials for the Work and for the performance of erection and commisioning work under the Contract. The Contractor will assist the Contractor by issuing suporting letters necessary for customs clearance. Surat Kuasa for custom clearance shall be issued by the Owner based on one copy of the set shipping documents. Customs clearance will take place at the site, at the port of destination, at the international airports at Jakarta or other appropriate port. All fees or levies shall be to the account of the Contractor.
3.13.Scope Erection, Commissioning and Testing
The Contractor shall be responsible for delivering to and off loading at the Site all his Plant and Construction Equipment/Plant and their handling and transporting on or about the Site to the place of installation or to and from his temporary store or the outdoor storage area allocated for his use;
Pendapat Terbanding
bahwa Kontrak EPC PLTU 3 Banten dan Kontrak EPC PLTU Jawa Timur 1, bahwa ruang lingkup kegiatan proyek tersebut meliputi Engineering, Procurement dan local Construction (EPC);
bahwa berdasarkan Kontrak EPC PLTU 3 Banten dan Kontrak EPC PLTU Jawa Timur 1, bahwa ruang lingkup kegiatan proyek tersebut meliputi Engineering, Procurement dan local Construction (EPC);
bahwa berdasarkan Kontrak EPC PLTU 3 Banten dan Kontrak EPC PLTU Jawa Timur 1, pada Lampiran Schedule 1.1 Summary Price, diketahui bahwa pekerjaan FOB/Procurement telah termasuk dalam nilai kontrak EPC yang diperjanjikan;
bahwa berdasarkan Kontrak EPC PLTU 3 Banten dan Kontrak EPC PLTU Jawa Timur 1, pekerjaan yang harus dilaksanakan DEC (China) adalah dalam rangka menyediakan Power Plant/PLTU secara utuh dan dapat beroperasi dengan baik kepada PT PL (Persero) dimana proyek tersebut merupakan Turnkey Project;
bahwa pekerjaan yang diperjanjian dalam kontrak EPC dimaksud meliputi pekerjaan perancangan, produksi, pengujian, pengiriman, pemasangan/konstruksi, persiapan/uiji coba, penyerahan dan pemberian garansi/jaminan puma jual, sehingga power plant yang diperjanjikan dapat digunakan oleh PT PL;
bahwa komponen/material yang dibutuhkan untuk pembuatan PLTU berupa Electrical (Power Station, Substation, Control and Instrumentation) dan Mechanical (Boiler and Auxiliary Equipment, Steam Turbine and Auqiliary, Condenser and Feed Water Heating Plant, Plant Water System, Drainage and Waste Water Treatment Plant, Fire Protection System, etc), yang diimpor dari DEC (China) keseluruhan nilainya (FOB/Procurement) telah termasuk dalam nilai kontrak EPC yang diperjanjikan;
bahwa sesuai Kontrak EPC, kontraktor bertanggung jawab secara penuh dalam proses pengiriman dari komponen/material termasuk pengurusan dokumen impor dalam rangka customs clearance yang diperiukan, sehingga komponen/material tersebut dapat tersedia dan siap dipasang di lokasi PLTU;
bahwa dalam melaksanakan hal-hal yang diperjanjikan dalam kontrak sampai selesai dan kemudian diserahkan kepada PT PL, DEC selaku induk dari Pemohon Banding melibatkan Pemohon Banding khususnya untuk pekerjaan konstruksi berupa rumah untuk pembangkit listrik;
bahwa kontruksi/pembangunan rumah pembangkit listrik yang dilakukan Pemohon Banding adalah merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan sebagai hal yang telah diperjanjikan dalam kontrak sehingga PLTU dapat diserahkan secara utuh dan siap beroperasi kepada PT PL melalui suatu turnkey project;
bahwa Pemohon Banding juga tidak konsisten dalam pelakukan pencatatan/pengakuan atas FOB/ Procurement, karena berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2008 dan 2009 yang dilampirkan dalam SPT PPh Badan Tahun Pajak 2008 dan 2009, nilai FOB/Procurement merupakan bagian dari pendapatan Pemohon Banding;
bahwa pemohon Banding telah diberi hak untuk meminta penjelasan terkait dasar koreksi pemeriksaan/keberatan sesuai ketentuan Pasal 25 ayat (6) dan Pasal 27 ayat (4a) UU KUP, namun demikian Pemohon Banding memilih untuk tidak mempergunakan haknya tersebut. Disamping itu, selain upaya melalui pengajuan keberatan dan banding, Pemohon Banding juga melakukan upaya Mutual Agreement Prosedure (MAP) kepada Terbanding;
bahwa dalam surat keberatan maupun surat banding dari Pemohon Banding, sama sekali tidak mempermasalahkan terkait penghitungan Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 4 ayat (20 Final yang dilakukan Terbanding;
bahwa sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim Yang Mulia, Pemohon Banding sampaikan Keputusan Banding atas kasus yang serupa yang terjadi di Pengadilan Pajak yaitu:
a) |
Putusan Pengadilan Pajak Nomor 77136/PP/M.VIB/25/2016 yang diucapkan tanggal 15 November 2016; |
b) |
Putusan Pengadilan Pajak Nomor 79454/PP/M.VIB/25/2016 yang diucapkan tanggal 20 Desember 2016; |
bahwa berdasarkan data dan ketentuan tersebut di atas, Terbanding berpendapat FOB/ Procurement merupakan penghasilan dari Pemohon Banding, karena merupakan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan sebagai hal yang telah diperjanjikan dalam kontrak sehingga PLTU dapat diserahkan secara utuh dan slap beroperasi kepada PT PL melalui suatu turnkey project;
bahwa koreksi dilakukan Terbanding pada intinya karena atas objek PPh Pasal 4 (2) sebesar Rp52.222.078.082,00 baru dikenakan PPh Pasal 4 (2) dengan tarif sebesar 3% yang seharusnya dikenakan dengan tarif sebesar 4% sehingga terdapat kekurangan sebesar 1%;
bahwa dalam persidanga Terbanding menyampaikan penjelasan tertulis yang disempurnakan dengan kesimpulan akhir yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi antara lain :
- |
Pasal 1 angka 5 |
- |
Pasal 1 angka 9 |
- |
Pasal 3 ayat (1) |
- |
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a |
- |
Pasal 5 ayat (1) |
- |
Pasal 5 ayat (2) |
- |
Pasal 5 ayat (3) |
- |
Pasal 6 ayat (1) |
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatur antara lain:
- |
Pasal 31 avat (1) |
- |
Pasal 31 ayat (2) |
- |
Pasal 31 ayat (3) |
Data dan Fakta
bahwa Pemohon Banding memiliki Izin Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing No. IK.01.01.06.EC/KTR/070/2007 tanggal 9 Juli 2007;
bahwa alas penghasilan dari jasa konstruksi Pemohon Banding telah melaporkan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 3%;
bahwa Pemohon Banding tidak mempunyai kualifikasi usaha yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK);
Pendapat Terbanding
bahwa sengketa koreksi DPP PPh Final Pasal 4 (2) atas Percentage of Completion (Selisih Tarif) meliputi Masa Pajak Januari s.d Desember 2010;
bahwa Pemohon Banding, mengutip ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 tanggal 28 Maret 2011 sebagai acuan dalam alasan bandingnya, menurut Terbanding ketentuan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 tidak tepat digunakan sebagai acuan untuk penyelesaian sengketa dimaksud;
bahwa kualifikasi usaha Wajib Pajak Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi yang digunakan sebagai dasar penerapan tarif Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi adalah kualifikasi yang dikeluarkan oleh LPJK sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008;
bahwa dalam hal Wajib Pajak Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi tidak mempunyai kualifikasi usaha yang dikeluarkan oleh LPJK maka atas penghasilan dari usaha Pelaksana Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 4% sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008;
bahwa Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (IPBUJKA) yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum, merupakan izin untuk melaksanakan usaha yang diberikan Pemerintah kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) untuk melakukan kegiatan jasa konstruksi di Indonesia, IPBUJKA bukan merupakan sertifikasi yang menunjukkan kualifikasi usaha sebagaimana sertifikasi yang dikeluarkan LPJK, sehingga IPBUJKA tersebut tidak dapat disamakan dengan Sertifikasi dari LPJK;
bahwa dengan demikian karena Pemohon Banding tidak memiliki serifikasi kualifikasi usaha jasa konstruksi dari LPJK yang menjadi syarat pengenaan PPh dengan tarif 3% sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, maka terhadap Pemohon Banding dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 4% sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008;
bahwa pengaturan mengenai tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) terhadap usaha jasa konstruksi berikut persyaratannya telah diatur secara tegas dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008;
bahwa pernyataan Pemohon Banding dalam persidangan yang menyatakan bahwa Pemohon Banding (Badan Usaha Usaha Jasa Konstruksi Asing) tidak mungkin mendapat sertifikasi dari LPJK adalah pernyataan yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta, berikut Pemohon Banding sampaikan contoh serifikasi kualifikasi usaha jasa konstruksi dari LPJK kepada Badan Usaha Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUT);
bahwa disamping itu, Pemohon Banding juga tidak dapat menunjukkan bukti pemotongan/bukti pembayaran atas kekurangan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% oleh PT PL (Persero);
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding terkait koreksi atas objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang berasal dari Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 dengan alasan sebagai berikut:
bahwa koreksi Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) tersebut dikenakan atas Procurement (Pengadaan Barang) yang diserahkan langsung oleh DEC China kepada PT. PL (Persero) tanpa melalui Pemohon Banding di Indonesia;
bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang diubah terakhir
Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 dan tidak berlaku jika perusahaan tersebut membuktikan bahwa aktivitas-aktivitasnya tidak dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap atau tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap tersebut;
bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia, hanya bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap yang dapat dikenakan pajak di Indonesia. Dengan ini Pemohon Banding jelaskan bahwa penyediaan barang kepada PL sebesar Rp30.142.188.761,00 yang dilakukan oleh DEC China tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding sehingga ketentuan dalam pasal ini tetap berlaku dan sudah seharusnya pengenaan pajak atas FOB/Procurement berada di Negara tempat DEC China berkedudukan, yaitu di China;
bahwa Pasal 7 ayat (2) paragraf 10 United Nation Model Double Taxation Convention-Commentary, dimana yang dimaksud dengan “profits attributable to activities carried on the permanent establishment” adalah “profits” yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh BUT saja;
bahwa sehubungan dengan Turnkey kontrak, laba yang dikenakan di suatu negara adalah hanya atas laba yang berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh BUT dinegara tersebut. Dalam hal DEC China menyerahkan Procurement secara langsung kepada PT. PL (Persero) dan tidak dilakukan oleh/melalui Pemohon Banding di Indonesia maka laba atas penyerahan Procurement tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia. Dengan demikian seharusnya atas penyerahan Procurement yang dilakukan oleh DEC China kepada PT. PL (Persero) tidak dijadikan Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Pemohon Banding di Indonesia;
bahwa Pemohon Banding tidak memiliki kapasitas yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan impor barang karena Pemohon Banding tidak dapat memiliki Angka Pengenal Impor (API) dan tidak memiliki API untuk mengimpor barang. Sehubungan dengan yang telah dijelaskan diatas bahwa Laba suatu perusahaan dikenakan di suatu Negara melalui suatu BUT dapat tidak berlaku apabila perusahaan tersebut dapat membuktikan bahwa aktivitas-aktivitasnya tidak dapat dilakukan oleh BUT;
bahwa kapasitas Pemohon Banding yang tidak dapat memiliki API dan tidak memiliki API jelas menunjukan bahwa aktivitas impor yang dilakukan oleh PT. PL (Persero) dari DEC China tidak dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding maka dapat disimpulkan bahwa Pemohon Banding tidak dapat melakukan impor dan juga impor barang adalah bukan merupakan bagian dari lingkup pekerjaan Pemohon Banding, sehingga penghasilan atas Procurement tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya Penyerahan atas Impor (Procurement) kepada PT. PL (Persero) dari DEC China tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia;
bahwa terkait Pasal 5 ayat 1 (a)
Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008, Pemohon Banding tidak menerima pembayaran apapun atas invoice yang ditagihkan oleh DEC China kepada PT PL (Persero);
bahwa berdasarkan PSAK 34, bila hasil kontrak konstruksi tidak dapat diestimasi secara andal maka Pendapatan diakui hanya sebesar biaya yang telah terjadi sepanjang biaya tersebut diperkirakan dapat dipulihkan (recoverable) sedangkan biaya FOB/Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 bukan merupakan biaya yang dibukukan Pemohon Banding;
bahwa pembukuan dan pencatatan Pemohon Banding telah diaudit oleh Akuntan Publik dan mendapatkan opini “Wajar Tanpa Pengecualian”, sehingga dapat disimpulkan bahwa pembukuan dan pencatatan Pemohon Banding yang tercermin dalam Laporan Keuangan telah memadai, taat asas, dan mempunyai dasar yang valid, dimana dalam Laporan Keuangan tersebut penghasilan berupa FOB/Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 bukan merupakan penghasilan atau bagian laba Pemohon Banding;
bahwa biaya FOB/Procurement merupakan pendapatan Dongfang Electric Coporation China di China dan bukan merupakan pendapatan Pemohon Banding sehingga tidak dapat dijadikan obyek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
➢ |
Invoice atas FOB/Procurement ditujukan kepada PT PL (Persero) langsung dari DEC China; |
➢ |
Pemohon Banding di Indonesia tidak menerima pembayaran apapun atas invoice yang ditagih oleh DEC China kepada PT PL (Persero); |
➢ |
Pemohon Banding tidak mengeluarkan biaya apapun untuk pengadaan FOB/Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00. Dengan demikian, tidak ada arus kas keluar untuk pembayaran FOB/Procurement Hal ini dapat dibuktikan melalui rekening Koran atas nama Pemohon Banding;
|
➢ |
Pemohon Banding tidak memiliki hak kepemilikan atas asset/Procurement yang diimpor oleh PT PL (Persero) dari DEC China. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 (a), BUT dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima oleh DEC China tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT; |
➢ |
Kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada PT PL (Persero) tidak sama dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh DEC China kepada PT PL (Persero). Dalam hal ini Pemohon Banding bertindak sebagai pengusaha jasa konstruksi, sementara itu DEC China bertindak sebagai penyedia barang kepada PT PL (Persero). Berdasarkan penjelasan di atas, prinsip “force of attraction” tidak dapat diberlakukan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat 1 (b) UU Dengan demikian, pendapatan yang diterima DEC China tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT; |
➢ |
Penghasilan yang diperoleh oleh DEC China tidak termasuk ke dalam pengertian penghasilan yang menjadi obyek PPh Pasal 26; |
bahwa untuk meningkatkan hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Negara lain, Pemerintah berwenang melakukan perjanjian dengan Pemerintah Negara lain yang mengatur hak-hak pemajakan dari masing-masing Negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan pengenaan pajak berganda serta mencegah pengelakan pajak;
bahwa perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia merupakan perjanjian untuk mengatur hak perpajakan baik di Negara Indonesia maupun China. Berdasarkan “
Vienna Convention on the Law of the Treaties” dan
Undang-Undang No. 24 tahun 2000 mengenai Perjanjian Internasional sebagaimana telah Pemohon Banding kutip diatas, tampak bahwa kesepakatan dari suatu perjanjian internasional tidak dapat dikesampingkan oleh kedua pihak yang telah menyetujuinya. Sehingga dalam hal ini, P3B yang merupakan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia dan China harus mengikat kedua pihak dan harus menjadi pedoman dalam menerapkan perlakuan pengenaan pajak;
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, menurut Pemohon Banding koreksi Terbanding atas Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp30.142.188.761,00 atas penyerahan Procurement yang diserahkan oleh DEC China kepada PT. PL (Persero) tidak dapat dijadikan Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Pemohon Banding di Indonesia sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia Pasal 7 ayat 1 oleh sebab itu koreksi Terbanding beserta sanksi seharusnya dibatalkan;
bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyampaikan penjelasan-penjelasan tertulis yang disempurnakan dengan Kesimpulan Akhir yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Latar Belakang Pendirian BUT DECIP
bahwa Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing, mengatur:
1) |
Perusahaan Jasa Konstruksi Asing yang akan mengadakan kegiatan di Indonesia wajib membuka Perwakilan di Indonesia; |
2) |
Untuk membuka perwakilan di Indonesia, diperlukan izin dari Menteri; |
3) |
Izin Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing hanya dapat diberikan setelah Perusahaan Jasa Konstruksi Asing memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan. |
bahwa Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor: 02 tanggal 29 November 2011 (PERJK-02) :
- |
bahwa Pasal 9 ayat (1) dalam PERJK-02 menyatakan bahwa Gred 5, Gred 6 dan Gred 7 dikategorikan dalam kualifikasi usaha jasa konstruksi yang mempunyai kualifikasi usaha besar. Persyaratan untuk mendapatkan Gred tersebut didasarkan pada tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha; |
- |
bahwa sesuai Pasal 10 ayat (4), Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing harus memenuhi persyaratan kualifikasi Gred 7 yang kriterianya meliputi memiliki Tenaga Ahli yang memiliki pengalaman dan SKA sesuai dengan bidangnya, yang diangkat oleh Badan Usaha sebagai pegawai bekerja penuh waktu untuk bertanggung jawab dalam bidang pekerjaan tertentu; |
- |
bahwa lebih lanjut, dalam Pasal 14 ayat (6) menyatakan bahwa Badan Usaha asing hanya dapat memiliki klasifikasi usaha dengan kualifikasi Gred 7 (gred tertinggi). |
bahwa dapat Pemohon Banding sampaikan bahwa porsi pekerjaan procurement kepada PT PL (Persero) Indonesia dalam proyek PLTU 1 Jawa Timur (2x315 MW) – Pacitan dan proyek PLTU 3 Banten (3x315 MW) – Teluk Naga bukan merupakan objek penghasilan kena pajak dari Pemohon Banding di Indonesia, dengan alasan sebagai berikut:
- |
DEC (China) (“DEC China“) adalah perusahaan yang didirikan di China dan merupakan Wajib Pajak di negara China. DEC China memenangkan Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik bagi Pekerjaan ini dimenangkan DEC China dan ditandatanganilah kontrak Engineering, Procurement, and Construction (EPC) antara DEC China dengan PL dan PT DE pada tanggal 7 Agustus 2007, untuk 2 proyek yaitu PLTU 1 Jawa Timur (2x315 MW) – Pacitan dan proyek PLTU 3 Banten (3x315 MW) – Teluk Naga; |
- |
EPC Contract ini dibagi menjadi 3 bagian pekerjaan, yakni bagian Engineering, bagian Procurement dan bagian Construction, dengan jatah penghasilan masing-masing atau terpisah. Terkait hal tersebut, seluruh bagian pekerjaan Procurement dikerjakan dan diserahkan secara langsung oleh Perusahaan induk yang berada di China dan Pemohon Banding sama sekali tidak terlibat dalam bagian pekerjaan. DEC China merupakan perusahaan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan EPC (Engineering, Procurement, and Construction). Dari proyek EPC ini, Procurement merupakan pengadaan barang/mesin yang dilakukan oleh DEC China dengan cara memproduksi atau merakit barang/mesin selesai di China (di luar wilayah Indonesia) dan setelah barang/mesin dirakit, dikirim ke Indonesia yang langsung diterima/diimpor atas nama PL; |
- |
Sebagaimana disebutkan dalam peraturan di atas dan sesuai dengan pengaturan dalam Tax Treaty Indonesia – China dimana untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi di Indonesia, perusahaan asing harus melaksanakannya melalui Bentuk Usaha Tetap, sehingga Pemohon Banding didirikan untuk memenuhi ketentuan dari Menteri Pekerjaan Umum dan agar bisa melaksanakan pekerjaan konstruksi di Indonesia yang membutuhkan waktu lebih dari 183 hari; |
- |
Pemohon Banding terdaftar sebagai perusahaan konstruksi di Kementrian Pekerjaan Umum dan telah mendapatkan ijin sebagai perusahaan konstruksi kualifikasi besar (Badan Usaha asing hanya dapat memiliki klasifikasi usaha dengan kualifikasi Gred 7 yang dikategorikan dalam kualifikasi usaha jasa konstruksi yang mempunyai kualifikasi usaha besar); |
- |
Sesuai dengan ijinnya, Pemohon Banding hanya diperbolehkan melaksanakan kegiatan tertentu saja yang terkait penyerahaan jasa konstruksi dimana kegiatan impor atau penjualan barang tidaklah termasuk dalam salah satu dari kegiatan usaha yang boleh dilaksanakan oleh Pemohon Dengan demikian, dalam pelaksanaan proyek EPC, Pemohon Banding hanya bertanggung jawab terhadap bagian pelaksanaan pekerjaan konstruksi, sedangkan bagian Procurement dilaksanakan oleh DEC China karena Pemohon Banding tidak mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan memproduksi/merakit barang/mesin; |
- |
Dengan kata lain, dalam pelaksanaan proyek EPC, terdapat 2 (dua) entitas yang bertanggung jawab, yaitu:
- DEC (China), selaku Wajib Pajak negara China yang bertanggung jawab atas seluruh kegiatan Procurement (pengadaan barang/mesin) dalam proyek EPC; dan
- Pemohon Banding, selaku Wajib Pajak Indonesia, bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan konstruksi dan jasa teknik (bertanggung jawab atas bagian Construction and Engineering) dalam proyek EPC;
|
bahwa penyerahan procurement yang dilakukan oleh DEC (China) kepada PT. PL (Persero) tidak seharusnya dijadikan Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Pemohon Banding :
Pasal 7 ayat 1 dalam P3B Indonesia-China:
“The profits of an enterprise of a Contracting State shall be taxable only in that Contracting State unless the enterprise carries on business in the other Contracting State through a permanent establishment situated therein. If the enterprise carries on business as aforesaid, the profits of the enterprise may be taxed in the other Contracting State but only so much of them as is directly or indirectly attributable to that permanent establishment.
The provisions of this paragraph shall, however, not apply if the enterprise proves that the above activities are not undertaken by the permanent establishment or have no relation with the permanent establishment."
Terjemahannya:
“Laba perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usahanya di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka atas laba perusahaan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, ketentuan-ketentuan pada ayat ini tidak berlaku jika perusahaan tersebut membuktikan bahwa aktivitas-aktivitasnya tidak dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap atau tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap tersebut.“
bahwa karena ada perbedaan terjemahan, seharusnya adalah “tidak dilakukan“ bukan “tidak dapat dilakukan“. Oleh sebab itu Pemohon Banding mengambil dasar pengertian dari Tax Treaty bahasa Inggris yang seharusnya diterjemahkan menjadi :
bahwa kalimat kedua dari Pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-China ini memberikan pengecualian dari pengenaan pajak di Indonesia. Pengecualian tersebut berlaku apabila:
(i) |
DEC China di China dapat membuktikan bahwa aktivitas procurement tidak dilakukan oleh BUT- nya di Indonesia. atau; |
(ii) |
DEC China di China dapat membuktikan bahwa aktvitas procurement tidak memiliki hubungan dengan BUT-nya di Indonesia. |
bahwa perlu digarisbawahi bahwa kata sambung yang digunakan dalam kalimat kedua dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-China adalah kata "atau";
bahwa menurut butir 263 dari Lampiran II
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata "
atau" memiliki sifat alternatif. Artinya, jika kata sambung yang digunakan adalah "atau", maka pemenuhan salah satu dari dua pilihan adalah cukup untuk memenuhi suatu persyaratan;
bahwa berdasarkan ketentuan di atas, jika salah satu saja dari dua persyaratan di dalam kalimat kedua ketentuan Pasal 7 ayat (1) P3B Indonesia-China dipenuhi, maka penghasilan dari bagian pekerjaan Procurement terkait EPC Contract bukanlah merupakan penghasilan kena pajak bagi Pemohon Banding. Dengan ini Pemohon Banding jelaskan bahwa penyediaan barang kepada PT PL (Persero) yang dilakukan oleh DEC (China) tidak dapat dilakukan oleh BUT DECIP sehingga ketentuan dalam pasal ini tetap berlaku dan sudah seharusnya pengenaan pajak atas FOB/Procurement berada di Negara tempat DEC China berkedudukan, yaitu di China;
bahwa Pasal 5 ayat 1 huruf b UU Pajak Penghasilan:
”Yang menjadi Objek Pajak bentuk usaha tetap adalah:
b. |
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;” |
Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf b
bahwa asumsi Terbanding yang mengganggap kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon Banding dengan DEC (China) merupakan kegiatan usaha yang sejenis adalah tidak tepat. Perlu ditegaskan, dalam hal ini Pemohon Banding melakukan penyerahan jasa konstruksi, sedangkan DEC (China) bertindak sebagai penyedia barang (secara langsung tanpa melalui perantara) kepada PT PL (Persero). Berdasarkan penjelasan di atas, prinsip “force of attraction” tidak dapat diberlakukan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat 1 huruf (b) UU PPh.
bahwa United Nation Model Double Taxation Convention – Commentary Pasal 7 ayat (2) paragraf 10 disebutkan bahwa:
“The question thus arose how much of the total profits of the turnkey contract is properly attributable to the permanent establishment and taxable in the county in which it is situated. A member from a developed country said that he knew of instances in which countries had sought to attributable the entire profits of the contract to the permanent establishment. It was his view, however, that only the profits attributable to activities carried on by the permanent establishment should be taxed in the country in which the permanent establishment was situated, unless the profits included items of income dealt with separately in other article of the convention and were taxable in that country accordingly.”
bahwa sebagaimana dijelaskan dalam United Nation Model Double Taxation Convention – Commentary Pasal 7 ayat (2) paragraf 10 tersebut diatas, dimana yang dimaksud dengan “profits attributable to activities carried on the permanent establishment” adalah “profits” yang diperoleh dari kegiatan yang dilakukan oleh BUT saja. Sehubungan dengan Turnkey kontrak, laba yang dikenakan di suatu negara adalah hanya atas laba yang berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh BUT di negara tersebut. Dalam hal DEC (China) menyerahkan Procurement secara langsung kepada PT. PL (Persero) dan tidak dilakukan oleh Pemohon Banding di Indonesia maka laba atas penyerahan procurement tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia, namun dikenakan pajak di China;
bahwa apabila atas penyerahan procurement yang dilakukan oleh DEC (China) dikenakan pajak lagi di Indonesia, maka terjadi pengenaan pajak berganda/Double Taxation atas pajak yang tidak seharusnya terutang di Indonesia. Dengan demikian atas penyerahan procurement yang dilakukan oleh DEC (China) kepada PT. PL (Persero) tidak seharusnya dijadikan Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) bagi Pemohon Banding;
bahwa FOB/Procurement yang dilakukan oleh DEC (China) adalah kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding;
bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia nomor 31/M- DAG/PER/7/2007:
Pasal 2
“Impor hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan dagang, perusahaan industry, kontraktor KKS atau perusahaan penanaman modal yang telah memiliki API.”
Pasal 3
(1) |
Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilaksanakan tanpa API untuk:
- Barang pindahan;
- Barang impor sementara;
- Barang promosi
- Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
- Barang kiriman, hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
- Obat-obatan yang menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
- Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pekerjaan dan penggujian;
- barang ekspor yang ditolak oleh pembeli di luar negeri kemudian diimpor kembali dalam kuantitas yang sama dengan kuantitas pada saat diekspor;
- barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
- barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; atau
- barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan
|
(2) |
Impor dapat dilaksanakan tanpa API apabila:
- Impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan
- Barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.”
|
bahwa FOB/Procurement yang dilakukan oleh DEC (China) adalah kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding.Pemohon Banding tidak memiliki kapasitas yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan impor barang karena Pemohon Banding tidak dapat memiliki Angka Pengenal Impor (API) dan tidak memiliki API untuk mengimpor barang. Sehubungan dengan yang telah dijelaskan diatas bahwa Laba suatu perusahaan dikenakan di suatu Negara melalui suatu BUT dapat tidak berlaku apabila perusahaan tersebut dapat membuktikan bahwa aktivitas- aktivitasnya tidak dapat dilakukan oleh BUT;
bahwa kapasitas Pemohon Banding yang tidak memiliki API dan tidak dapat memiliki API jelas menunjukkan bahwa aktivitas impor yang dilakukan oleh PT PL (Persero) dari DEC (China) tidak dilakukan dan tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding. Sesuai dengan izin usaha yang diperoleh BUT Dongfang dari Kementerian Pekerjaan Umum - Badan Pembinaan Konstruksi tertanggal 13 Oktober 2015 , jenis usaha yang diizinkan adalah hanya dalam bidang jasa konstruksi (tidak termasuk perakitan permesinan/peralatan, tidak termasuk izin mengimpor atau jual beli peralatan);
bahwa oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa Pemohon Banding tidak dapat melakukan impor dan juga impor barang adalah bukan merupakan bagian dari lingkup pekerjaan Pemohon Banding, sehingga penghasilan atas procurement tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia. Oleh karena itu, seharusnya Penyerahan atas Impor (Procurement) kepada PT PL (Persero) dari DEC (China) tidak dikenakan pajak di Indonesia;
Pendapatan FOB/Procurement telah diakui dan dibukukan sebagai Pendapatan oleh DEC (China);
bahwa lebih lanjut, berikut adalah rincian penjelasan Pemohon Banding atas pencatatan nilai pendapatan Procurement/Impor DEC (China) yang dikoreksi oleh Terbanding:
No |
Keterangan |
DPP PPh Final 4 (2) |
PPh Final 4 (2) |
1 |
Pendapatan FOB/Procurement telah diakui dan dibukukan sebagai Pendapatan oleh DEC (China) di Tahun 2010 |
|
|
- Proyek Teluk Naga |
1.397.839.738.303 |
139.783.973.830 |
- Proyek Pacitan |
363.743.331.511 |
36.374.333.151 |
2 |
Pendapatan FOB/Procurement Tahun Pajak 2009 yang telah diakui dan dibukukan sebagai pendapatn oleh DEC (China) di Tahun 2009 dan telah dijadikan koreksi FOB/Procurement pada saat pemeriksaan pajak tahun 2009 namun masih dijadikan lagi sebagai koreksi Pendapatan FOB/Procurement di Tahun Pajak 2010, sehingga telah terjadi pengenaan pajak sebanyak 3 (tiga) kali, yaitu dikenakan pajak di negara China, dikenakan pajak di Tahun 2009, dan dikenakan pajak lagi di Tahun 2010 |
533.342.300.139 |
53.334.230.014 |
3 |
Kegiatan FOB/Procurement yang terkait dengan pengertian barang rusak kepada PL Tahun 2010 |
5.224.309.891 |
522.430.989 |
Jumlah |
2.300.149.679.844 |
230.014.967.984 |
bahwa adapun alasan-alasan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
1) |
bahwa Pendapatan FOB/Procurement Tahun Pajak 2010 telah diakui dan dibukukan sebagai pendapatan oleh DEC (China) di Tahun 2010
Pencatatan akuntansi sesuai PSAK 34
bahwa berdasarkan PSAK 34, bila hasil kontrak konstruksi tidak dapat diestimasi secara andal: “Pendapatan diakui hanya sebesar biaya yang telah terjadi sepanjang biaya tersebut diperkirakan dapat dipulihkan (recoverable)”
bahwa seperti yang diuraikan dalam penjelasan diatas, dikarenakan DEC (China) menyerahkan Procurement secara langsung kepada PT. PL (Persero) maka pendapatan FOB/Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 bukan merupakan pendapatan yang dibukukan Pemohon Banding;
bahwa sesuai Pasal 28 UU KUP, pembukuan dan pencatatan kami sudah diselenggarakan dengan memadai, taat asas dan mempunyai dasar yang valid. Dalam penjelasan Pasal 28 ayat (7) UU KUP disebutkan bahwa “… pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undangan perpajakan menentukan lain”.
bahwa pendapatan FOB/Procurement merupakan pendapatan DEC (China) di China dan bukan merupakan pendapatan BUT DECIP sehingga tidak dapat dijadikan obyek PPh Final Pasal 4 ayat (2). Hal ini dapat dibuktikan sebagai berikut:
➢ |
bahwa Invoice atas FOB/Procurement ditujukan kepada PT PL (Persero) langsung dari DEC (China). Hal ini dapat dibuktikan dengan fotokopi contoh Pemberitahuan Import Barang (PIB) nomor pengajuan 070000-000243-20100322-000230 tertanggal 22 Maret 2010 dengan nomor pendaftaran PIB 024652 tertanggal 06 April 2010, SSPCP, Surat Persetujuan Pengeluaran Barang, dimana di dalamnya jelas terlihat bahwa pihak penjual adalah DEC yang berdomisili di Sichuan, China dan PT PL (Persero) sebagai pihak pembeli; |
➢ |
bahwa Pemohon Banding di Indonesia tidak menerima pembayaran apapun atas invoice yang ditagih oleh DEC (China) kepada PT PL (Persero); |
➢ |
bahwa Pemohon Banding tidak mengeluarkan biaya apapun untuk pengadaan FOB/ Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00. Dengan demikian, tidak ada arus kas keluar untuk pembayaran FOB/Procurement Hal ini dapat dibuktikan melalui rekening Koran atas nama Pemohon Banding; |
➢ |
bahwa Pemohon Banding tidak memiliki hak kepemilikan atas asset/procurement yang diimpor oleh PT PL (Persero) dari DEC (China). Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 (a), BUT dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian, pendapatan yang diterima oleh DEC (China) tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT; |
➢ |
bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada PT PL (Persero) tidak sama dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh DEC (China) kepada PT PL (Persero). Dalam hal ini BUT DECIP bertindak sebagai pengusaha jasa konstruksi, sementara itu DEC (China) bertindak sebagai penyedia barang kepada PT PL (Persero). Berdasarkan penjelasan di atas, prinsip “force of attraction” tidak dapat diberlakukan karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat 1 (b) UU PPh. Dengan demikian, pendapatan yang diterima DEC (China) tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT; |
➢ |
bahwa Pemohon Banding hanya menagihkan invoice atas jasa konstruksi yang dilakukan oleh BUT DECIP kepada PT PL (Persero); |
➢ |
bahwa penghasilan yang diperoleh oleh DEC (China) tidak termasuk ke dalam pengertian penghasilan yang menjadi obyek PPh Pasal 26; |
➢ |
bahwa lebih lanjut, bersamaan dengan tambahan penjelasan ini Pemohon Banding juga hendak menyampaikan bukti pendukung berupa pernyataan auditor dari Delian Certified Public Accountant Ltd, Kantor Akuntan Publik di China (terlampir). Dalam surat pernyataan auditor tersebut, disebutkan:
”We have conducted a necessary procedure to verify the authenticity of accounting books and auditor’s report and income tax return of DEC for Finance Year 2010.
We verify that the Company has booked the equipments exported transaction (offshore supplies) related to EPC Contract of Pacitan Project and Teluk Naga Project with amount of USD 39,970,635.44 converted into RMB 271,524,523.61 and USD 152,451,526.90 converted into RMB 1,037,097,247.20 in finance year 2010 respectively.
We further verify that the above exported transactions amount of RMB 1,308,621,770.81 have been recognized as taxable income in finance year 2010 as per the chinese accounting principle and chinese tax regulations
We state that our verification has been followed the Chinese Auditing Principle and Chinese Accounting Principle.”
bahwa berdasarkan surat pernyataan auditor tersebut, dapat disimpulkan bahwa transaksi kegiatan ekspor perlengkapan (ekspor barang oleh DEC China yang merupakan impor barang oleh PL) yang berhubungan dengan kontrak EPC di Pacitan dan Teluk Naga telah diakui sebagai pendapatan FOB/Procurement yang telah dibukukan oleh DEC (China) sebagai pendapatan dalam laporan keuangan DEC (China) dan juga telah diakui sebagai penghasilan kena pajak di tahun 2010 sesuai dengan prinsip akuntansi dan ketentuan perpajakan yang berlaku di China. Dengan demikian, pendapatan FOB/Procurement tersebut murni memang merupakan pendapatan DEC (China) di China;
|
➢ |
bahwa selain itu, di dalam surat pernyataan auditor tersebut juga dilampirkan secara jelas dan rinci Statement of Segment Report for Turnover of Main Business 1 Jan 2010 to 31 Dec 2010 DEC (Parent), yang isinya menjelaskan bahwa nilai pendapatan FOB/Procurement dari DEC Indonesia Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2010 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China, sehingga tidak terdapat campur tangan atau keterlibatan Pemohon Banding sama sekali dalam pelaksanaan bagian pekerjaan Procurement ini; |
➢ |
bahwa lebih lanjut, untuk memperkuat penjelasan kami, Pemohon Banding juga sudah mendapatkan bukti dari kantor pajak China bahwa pendapatan FOB/Procurement dari DEC Indonesia Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2010 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China (sertifikat pembayaran Pajak Penghasilan Badan DEC (China) Tahun Pajak 2010; |
|
2) |
bahwa terdapat Pendapatan FOB/Procurement Tahun Pajak 2009 yang telah diakui dan dibukukan sebagai pendapatan oleh DEC (China) di Tahun 2009 dan telah dijadikan koreksi FOB/Procurement pada saat pemeriksaan pajak tahun 2009 namun masih dijadikan lagi sebagai koreksi Pendapatan FOB/Procurement di Tahun Pajak 2010, sehingga telah terjadi pengenaan pajak sebanyak 3(tiga) kali, yaitu dikenakan pajak di negara China, dikenakan pajak di Tahun 2009 dan dikenakan pajak lagi di Tahun 2010 dengan total Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp533.342.300.139,00;
bahwa lebih lanjut, dapat Pemohon Banding sampaikan bahwa setelah Pemohon Banding teliti lebih lanjut, ternyata terdapat sebagian koreksi Terbanding atas pendapatan FOB/Procurement Tahun Pajak 2010 yang sebenarnya sudah dijadikan koreksi pada saat pemeriksaan pajak Pemohon Banding Tahun 2009. Hal ini terjadi karena dalam proses pemeriksaan Tahun 2010, Terbanding mengacu pada tanggal ketika barang sampai ke Indonesia dari China sebagaimana tertera dalam data Direktorat Jendral Bea dan Cukai;
bahwa pada kenyataannya, barang-barang yang diekspor oleh DEC China tersebut telah diakui sebagai Penghasilan di DEC China atas ekspor barang (ke PL) di Tahun 2009 dan pada saat itu Pemohon Banding juga mengadopsi pencatatan angka yang sama sebagai penghasilan di buku Pemohon Banding sehingga dijadikan basis sebagai pengenaan pajak atas porsi Procurement di Tahun 2009;
bahwa barang/mesin yang diekspor oleh DEC China tersebut baru sampai ke pelabuhan di Indonesia di tahun 2010 (sesuai dengan dokumen impor yang diperoleh Terbanding dari data Dirjen Bea Cukai). Atas data impor PL tersebut dijadikan basis untuk mengenakan pajak terhadap porsi Procurement;
bahwa dengan perkataan lain, Terbanding mengoreksi porsi Procurement menggunakan basis/pendekatan/metode yang berbeda antara tahun 2009 dengan 2010. Pada Tahun 2009, Terbanding mengenakan koreksi atas porsi procurement berdasarkan angka yang dicatat Pemohon Banding sebagai “Penghasilan Procurement” yaitu angka yang diakui DEC China sebagai Penghasilan Procurement Proyek Indonesia dimana angka FOB sebesar Rp533.342.300.139,00 telah dicatat sebagai penghasilan di tahun 2009. Kemudian barang procurement tersebut baru sampai ke pelabuhan di Indonesia pada tahun 2010 sehingga dokumen impor PL dibuat di tahun 2010 dan Terbanding menganggap dokumen impor PL adalah Procurement yang diperoleh Pemohon Banding di Tahun 2010;
bahwa sehingga dengan demikian atas porsi Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 telah terjadi pemajakan 3 (tiga) kali yakni :
- Procurement sebesar Rp553.342.300.139,00 telah diakui sebagai penghasilan di negara China dan dilakukan pembayaran pajak di negara China;
- Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 telah dikenakan pajak kepada Pemohon Banding di tahun 2009 sebagai koreksi atas penghasilan Procurement berdasarkan pencatatan penghasilan Pemohon Banding di tahun 2009;
- Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 tersebut dikenakan pajak lagi oleh Terbanding di tahun 2010 sebagai koreksi atas penghasilan Procurement berdasarkan dokumen impor PL;
bahwa adapun koreksi atas pendapatan FOB/Procurement Tahun Pajak 2009, pada kenyataanya merupakan pendapatan DEC (China) di China dan bukan merupakan pendapatan Pemohon Banding dengan pembuktian yang sama sebagaimana disebutkan di dalam poin-poin di atas.Sebagai tambahan dari pembuktian yang disebutkan dalam poin-poin di atas, Pemohon Banding juga hendak menyampaikan fotokopi pernyataan dari Delian Certified Public Accountant Co. Ltd, Kantor Akuntan Publik di China. Dalam surat pernyataan auditor tersebut disebutkan : ”We have conducted a necessary procedure to verify the authenticity of accounting books and auditor’s report and income tax return of DEC for Finance Year 2009.
We verify that DEC (China) has booked the equipments exported transaction (offshore supplies) related to EPC Contract of Pacitan Project and Teluk Naga Project with amount of USD 175,713,675.95 converted into RMB 1,146,714,346.27 and USD 266,303,947.37 converted into RMB 1,756,361,213.49 in finance year 2009 respectively.
We further verify that the above exported transactions amount of RMB 2,903,075,559.76 have been recognized as taxable income in finance year 2009 as per the Chinese accounting principle and Chinese tax regulations
We state that our verification has been followed the Chinese Auditing Principle and Chinese Accounting Principle.”
bahwa berdasarkan surat pernyataan auditor tersebut, dapat disimpulkan bahwa transaksi kegiatan ekspor perlengkapan (ekspor barang oleh DEC China yang merupakan impor barang oleh PL) yang berhubungan dengan kontrak EPC di Pacitan dan Teluk Naga telah diakui sebagai pendapatan FOB/Procurement yang telah dibukukan oleh DEC (China) sebagai pendapatan dalam laporan keuangan DEC (China) dan juga telah diakui sebagai penghasilan kena pajak di tahun 2009 sesuai dengan prinsip akuntansi dan ketentuan perpajakan yang berlaku di China. Dengan demikian, pendapatan FOB/ Procurement tersebut murni memang merupakan pendapatan DEC (China) di China;
bahwa selain itu, di dalam surat pernyataan auditor tersebut juga dilampirkan secara jelas dan rinci Statement of Segment Report for Turnover of Main Business 1 Jan 2009 to 31 Dec 2009 DEC (Parent), yang isinya menjelaskan bahwa nilai pendapatan FOB/Procurement dari DEC Indonesia Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2009 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China;
bahwa dengan demikian, jelas bahwa seluruh kegiatan ekspor Procurement tidak dilakukan melalui dan/atau tidak melibatkan Pemohon Banding, melainkan langsung dilakukan oleh DEC (China) dan PT PL (Persero).Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan dari Kantor Akuntan Publik di China yang juga telah mengkonfirmasi bahwa seluruh kegiatan transaksi ekspor procurement telah dicatat dan diakui sesuai dengan prinsip akuntansi dan ketentuan perpajakan yang berlaku di China;
bahwa hal ini juga diperkuat dengan bukti yang Pemohon Banding dapatkan dari kantor pajak China bahwa pendapatan FOB/Procurement dari DEC Indonesia Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2009 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China;
bawha oleh karena itu, Pemohon Banding mohon agar Koreksi PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas FOB (Procurement) beserta sanksinya dibatalkan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
|
3) |
bahwa kegiatan FOB/Procurement yang terkait dengan penggantian barang rusak kepada PL Tahun 2010;
bahwa terdapat kegiatan FOB/Procurement yang merupakan penggantian barang rusak kepada PL di Tahun 2010 sebesar Rp 5.224.309.891,00;
|
4) |
bahwa daftar impor barang yang diperoleh Terbanding merupakan data yang tidak akurat;
bahwa menurut Pemohon Banding, adalah tidak tepat apabila terbanding mengambil data mengenai pendapatan Procurement dari daftar impor yang bukan merupakan data primer dan tidak didukung oleh dokumen pendukung berupa PIB, Bill of Lading, dan SSPCP. Dengan demikian, data yang dipakai Terbanding untuk mengoreksi penghasilan procurement terhadap Pemohon Banding adalah tidak sah dan tidak akurat. Data yang dipakai Terbanding tidak dapat dibuktikan keakuratannya yang didukung oleh dokumen-dokumen yang menyertai impor barang yang dilakukan oleh PT PL (Persero) (pelanggan kami) dari DEC China;
bahwa dengan kata lain, Pemohon Banding tidak setuju apabila procurement (barang PT PL (Persero) yang diimpor langsung dari China) dianggap sebagai penghasilan Pemohon Banding sebagaimana diuraikan dalam penjelasan Pemohon Banding di atas, terlebih lagi data yang dipakai Terbanding adalah data yang tidak akurat;
|
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding terkait koreksi atas Obyek PPh Final Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak November 2010 yang berasal dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00 dengan koreksi atas tarif PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp522.220.777,00. Adapun alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
bahwa terkait koreksi Terbanding sebesar Rp52.222.078.082,00, jumlah tersebut merupakan penghasilan Pemohon Banding yang telah dipotong 3% PPh Final Pasal 4 ayat (2) oleh pihak PL sebesar Rp1.566.662.343,00 dan jumlah tersebut telah dihitung oleh Terbanding ke dalam SKPKB sebagai ”Setoran Masa” sebesar Rp3.937.324.115,00;
bahwa menurut Pemohon Banding pengenaan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 3% atas penghasilan dari Percentage of Completion yang Pemohon Banding lakukan adalah sudah benar dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku;
bahwa sampai dengan LPJK dapat menerbitkan sertifikasi BUJKA, penerapan tarif pemotongan PPh kepada BUJKA cukup dengan mempertimbangkan izin perwakilan BUJKA dari Menteri Pekerjaan Umum dan BUJKA tersebut telah tercantum dalam http:/www.jasakonstruksi.net maka dapat dikenakan pemotongan PPh final atas jasa pelaksanaan konstruksi dengan menggunakan tarif 3% sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku;
bahwa Pemohon Banding telah memiliki Izin Perwakilan BUJKA dan telah tercantum dalam website http:/www.jasakonstruksi.net;
bahwa kewajiban memotong pajak adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan untuk memotong sejumlah uang dari nilai transaksi yang telah ditentukan sebelum dibayarkan kepada penyedia jasa;
bahwa ini menunjukkan bahwa penyedia jasa membayar sendiri kekurangan pemotongan PPh final hanya dalam masa transisi peraturan perpajakan dimana sebelumnya suatu penghasilan dikenakan PPh tidak final dengan tarif 2% menjadi dikenakan PPh final sebesar 3% (tarif yang berbeda);
bahwa apabila sampai sekarang pihak KPP memandang bahwa penyedia jasa yang seharusnya membayar kekurangan pemotongan PPh final, hal ini sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang kedudukannya lebih tinggi dimana penyetoran jumlah kekurangan pembayaran pajak (apabila ada) dalam kaitan dengan pemotongan dan pemungutan pajak yang bersifat final, seharusnya dilakukan oleh pihak sebagai pemberi penghasilan;
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon Banding berkeyakinan bahwa pengenaan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 3% terhadap Jasa Konstruksi yang dipotong dari Pemohon Banding telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1)
PP. No. 51 Tahun 2008 yang mengatur tarif PPh jasa konstruksi untuk pelaksana jasa konstruksi untuk penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Menengah atau Kualifikasi Usaha Besar;
bahwa belum dapatnya LPJK dalam menerbitkan Sertifikasi BUJKA seharusnya tidak digunakan sebagai alasan bagi Terbanding untuk membebankan belum siapnya LPJK kepada wajib pajak sehingga menimbulkan diskriminasi pemajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi antara BUJKA (Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing) dengan BUJK (Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional) dimana BUJKA selalu terkena tarif PPh Final yang lebih tinggi. Pemohon Banding sendiri sudah berusaha untuk mengikuti prosedur dan mendaftarkan diri untuk mendapatkan sertifikasi, namun LPJK dalam hal ini yang belum siap. Dengan demikian, sangatlah tidak adil membebankan hal yang di luar kekuasaan Pemohon Banding kepada Pemohon Banding;
bahwa perlu dipertimbangkan pula Pasal 1 Peraturan menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 yang menyatakan bahwa BUJKA yang memiliki kantor perwakilan di Indonesia dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi;
bahwa Pemohon Banding berkeyakinan bahwa pengenaan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 3% terhadap Jasa Konstruksi yang Pemohon Banding lakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1)
PP. No. 51 Tahun 2008 yang mengatur tarif PPh jasa konstruksi untuk pelaksana jasa konstruksi untuk penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Menengah atau Kualifikasi Usaha Besar;
bahwa lebih lanjut, kekurangan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% atas penghasilan dari Construction Services juga telah disetorkan oleh PL selaku lawan transaksi yang berkewajiban untuk memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang ternyata telah terlebih dahulu ditetapkan oleh KPP Wajib Pajak Besar Tiga atas kekurangan bayar tersebut melalui SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) tahun 2010 No. 00018/240/10/051/12 tertanggal 20 Desember 2012 yang merupakan hasil dari pemeriksaan PT PL (Persero) Kantor Pusat atas PPh Final Pasal 4 (2) tahun 2010 dan hal ini telah dikonfirmasi oleh pihak PL. Bersama dengan surat ini, Pemohon Banding lampirkan juga fotokopi SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan data hasil pemeriksaan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas nama PT PL (Persero) Kantor Pusat untuk tahun pajak 2010;
bahwa atas SKPKB tersebut di atas, PL telah melakukan pembayaran melalui SSP yang dibayarkan pada tanggal 28 Desember 2012 sejumlah Rp2.632.942.358,00. Bersama ini juga Pemohon Banding lampirkan Surat Nomor:3221/KEU.00.02.DIV BDH/2015 tentang Kekurangan Pemotongan Tarif 1% dari Invoice, dan Surat Nomor: 1875/547/DIVAKT/2014 tentang Pengembalian Kekurangan Atas Pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) Tahun 2010 dan 2011, yang mana surat tersebut melampirkan bukti penyetoran kekurangan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) oleh PL;
bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyampaikan Kesimpulan Akhir Nomor 057/S- 007/2017 tanggal 14 Juli 2017 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
• |
bahwa Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing memiliki kekuatan hukum sama dengan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional :
Pasal 24 ayat (2) P3B Indonesia-China (Versi Bahasa Inggris)
“(2) The taxation on a permanent establishment which an enterprise of a Contracting State has in the other Contracting State shall not be less favorably levied in that other Contracting State than the taxation levied on enterprise of that other Contracting State carrying on the same activities. The provision of this paragraph shall not be construed as obliging a Contracting State to grant to residents of the other Contracting State any personal allowances, reliefs and reductions for taxation purposes on account of civil status or family responsibilities which it grants to its own residents.”
bahwa terjemahan Bahasa Indonesia dari Pasal 24 ayat (2) P3B Indonesia-China adalah sebagai berikut :
“(2) Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari Negara pada Persetujuan di Negara lainnya, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama di Negara lainnya itu. Ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara pada Persetujuan untuk memberikan kepada penduduk Negara lainnya pada Persetujuan suatu potongan pribadi, keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan untuk kepentingan pengenaan pajak berdasarkan status sipil atau tanggung jawab keluarga seperti yang diberikan kepada penduduknya sendiri.”
bahwa ketentuan di atas ditujukan agar tidak terjadi diskriminasi pengenaan pajak terhadap Wajib Pajak Asing yang ada di Indonesia;
bahwa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 28/PRT/M/2006 tanggal 28 Nopember 2006
- |
Sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 28/PRT/M/2006, Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 28 Nopember 2006; |
- |
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 8, yang dimaksud dengan SERTIFIKAT BADAN USAHA adalah tanda pengakuan badan usaha jasa konstruksi yang dilakukan melalui penilaian kemampuan usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi badan usaha yang berlaku; |
- |
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 9, yang dimaksud dengan IZIN PERWAKILAN BADAN USAHA JASA KONSTRUKSI ASING adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah cq. Menteri kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing untuk melakukan kegiatan di Indonesia; |
- |
Sesuai dengan Pasal 2 ayat 2, dijelaskan bahwa: “Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dapat diterbitkan setelah Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang bersangkutan mendapatkan penyetaraan, kompetensi, klasifikasi, kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari lembaga”. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK); |
- |
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1), dinyatakan bahwa Permohonan Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing dilakukan dengan mengisi formulir yang telah disediakan dalam rangkap 2 (dua) dan disampaikan kepada Menteri cq. Kepala Badan Pembinaan Konstruksi dan Sumber Daya Manusia Departemen Pekerjaan Umum dengan tembusan kepada LPJK Nasional; |
- |
Pasal 7 ayat (2d) menyatakan bahwa Menteri Pekerjaan Umum dapat menyetujui permohonan izin atau memberikan izin sementara atau perpanjangannya dengan mempertimbangkan hasil registrasi dari Lembaga (dalam hal ini LPJK) dan selanjutnya mengeluarkan Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing; |
bahwa Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor: 02 tanggal 29 November 2011 (PERJK-02) :
- |
Pasal 9 ayat 1 dalam PERJK-02 menyatakan bahwa Gred 5, Gred 6 dan Gred 7 dikategorikan dalam kualifikasi usaha jasa konstruksi yang mempunyai kualifikasi usaha Persyaratan untuk mendapatkan Gred tersebut didasarkan pada tingkat/kedalaman kompetensi dan potensi kemampuan usaha; |
- |
Sesuai Pasal 10 ayat 4, Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing harus memenuhi persyaratan kualifikasi Gred 7 yang kriterianya meliputi memiliki Tenaga Ahli yang memiliki pengalaman dan SKA sesuai dengan bidangnya, yang diangkat oleh Badan Usaha sebagai pegawai bekerja penuh waktu untuk bertanggung jawab dalam bidang pekerjaan tertentu; |
- |
Lebih lanjut, dalam Pasal 14 ayat 6 menyatakan bahwa Badan Usaha asing hanya dapat memiliki klasifikasi usaha dengan kualifikasi Gred 7 (gred tertinggi); |
bahwa oleh sebab itu, perusahaan asing yang diberikan izin untuk bisa beroperasi di Indonesia adalah perusahaan yang mempunyai kualifikasi besar yaitu dengan kualifikasi Gred 7 (gred tertinggi) dan mendapat rekomendasi dari LPJK;
bahwa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2011 tanggal 28 Maret 201
- |
Sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2011, Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu tanggal 28 Maret 2011; |
- |
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 menyebutkan bahwa Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang selanjutnya disingkat BUJKA adalah badan usaha yang didirikan menurut hukum dan berdomisili di Negara asing, memiliki kantor perwakilan di Indonesia, dan dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi. |
- |
Selanjutnya, sesuai Pasal 1 ayat 4, Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing, yang selanjutnya disebut Izin Perwakilan adalah izin untuk melakukan usaha yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUJKA untuk melakukan kegiatan jasa konstruksi di |
- |
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 8, yang dimaksud dengan SERTIFIKAT adalah tanda bukti pengakuan penetapan klasifikasi atas kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi baik yang berbentuk orang perseorangan atau badan usaha; atau tanda bukti pengakuan atas kompetensi dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja perseorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan/atau keterampilan tertentu dan/atau kefungsian dan/atau keahlian tertentu. |
- |
Sesuai dengan Pasal 1 ayat 9, yang dimaksud dengan IZIN USAHA JASA KONSTRUKSI yang selanjutnya disingkat IUJK adalah izin untuk melakukan usaha dibidang jasa konstruksi yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. |
- |
Sesuai dengan Pasal 4 ayat 3, dijelaskan bahwa: “Izin Perwakilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dapat diberikan setelah Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing mendapatkan klasifikasi dan kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari Lembaga”. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). |
- |
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 5 ayat (1), dinyatakan bahwa Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang ingin memperoleh izin Perwakilan harus mengajukan permohonan kepada Menteri. |
- |
Pasal 17 menyatakan bahwa dalam hal Lembaga tingkat Nasional belum dapat menerbitkan Sertifikat BUJKA, Menteri dapat menerbitkan Izin Perwakilan. |
bahwa Pasal 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2011 :
bahwa perlu dipertimbangkan bahwa BUJKA yang dimiliki oleh kantor perwakilan di Indonesia dipersamakan dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi;
bahwa Surat Kementerian Pekerjaan Umum – Badan Pembinaan Konstruksi Pusat Pembinaan Usaha dan Kelembagaan No. UM.01.03-KU/32 tertanggal 31 Januari 2012 menyatakan bahwa sampai dengan LPJK dapat menerbitkan sertifikasi BUJKA, penerapan tarif pemotongan PPh kepada BUJKA cukup dengan mempertimbangkan izin perwakilan BUJKA dari Menteri Pekerjaan Umum dan BUJKA tersebut telah tercantum dalam http:/www.jasakonstruksi.net maka dapat dikenakan pemotongan PPh final atas jasa pelaksanaan konstruksi dengan menggunakan tarif 3% sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Pemohon Banding telah memiliki Izin Perwakilan BUJKA dan telah tercantum dalam website http:/www.jasakonstruksi.net;
|
• |
bahwa Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) bagi perusahaan penanaman modal asing yang memiliki BUJKA dipersamakan dengan SIUJK
bahwa kewajiban memotong pajak adalah kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan untuk memotong sejumlah uang dari nilai transaksi yang telah ditentukan sebelum dibayarkan kepada penyedia jasa. Sementara itu berdasarkan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2008 dijelaskan bahwa “ Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri sebagairnana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa”. Sementara Pasal 8 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan No. 187/PMK.03/2008 tentang Tatacara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa dalam hal terdapat kekurangan pembayaran PPh Final atas penghasilan jasa konstruksi, wajib disetor oleh Penyedia Jasa paling lambat tanggal 15 Desember 2008. Ini menunjukkan bahwa penyedia jasa membayar sendiri kekurangan pemotongan PPh final hanya dalam masa transisi peraturan perpajakan dimana sebelumnya suatu penghasilan dikenakan PPh tidak final dengan tarif 2% menjadi dikenakan PPh final sebesar 3% (tarif yang berbeda). Apabila sampai sekarang pihak KPP memandang bahwa penyedia jasa yang seharusnya membayar kekurangan pemotongan PPh final, hal ini sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang kedudukannya lebih tinggi dimana penyetoran jumlah kekurangan pembayaran pajak (apabila ada) dalam kaitan dengan pemotongan dan pemungutan pajak yang bersifat final, seharusnya dilakukan oleh pihak sebagai pemberi penghasilan;
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon Banding berkeyakinan bahwa pengenaan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 3% terhadap Jasa Konstruksi yang dipotong dari Pemohon Banding telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PP. No. 51 Tahun 2008 yang mengatur tarif PPh jasa konstruksi untuk pelaksana jasa konstruksi untuk penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Menengah atau Kualifikasi Usaha Besar;
bahwa belum dapatnya LPJK dalam menerbitkan Sertifikasi BUJKA seharusnya tidak digunakan sebagai alasan bagi Terbanding untuk membebankan belum siapnya LPJK kepada Pemohon Banding sehingga menimbulkan diskriminasi pemajakan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi antara BUJKA (Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing) dengan BUJK (Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional) dimana BUJKA selalu terkena tarif PPh Final yang lebih tinggi. Pemohon Banding sendiri sudah berusaha untuk mengikuti prosedur dan mendaftarkan diri untuk mendapatkan sertifikasi, namun LPJK dalam hal ini yang belum siap. Dengan demikian, sangatlah tidak adil membebankan hal yang di luar kekuasaan Pemohon Banding kepada Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon Banding berkeyakinan bahwa pengenaan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 3% terhadap Jasa Konstruksi yang Pemohon Banding lakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PP. No. 51 Tahun 2008 yang mengatur tarif PPh jasa konstruksi untuk pelaksana jasa konstruksi untuk penyedia jasa yang memiliki Kualifikasi Usaha Menengah atau Kualifikasi Usaha Besar;
|
• |
bahwa Kekurangan pajak yang masih harus dibayar sesungguhnya telah ditagih oleh Direktorat Jendral Pajak dan telah dilunasi oleh pengguna jasa (PT PL Persero)
bahwa lebih lanjut, kekurangan tarif pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% atas penghasilan dari Construction Services juga telah disetorkan oleh PL selaku lawan transaksi yang berkewajiban untuk memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) yang ternyata telah terlebih dahulu ditetapkan oleh KPP Wajib Pajak Besar Tiga atas kekurangan bayar tersebut melalui SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) tahun 2010 No. 00018/240/10/051/12 tertanggal 20 Desember 2012 yang merupakan hasil dari pemeriksaan PT PL (Persero) Kantor Pusat atas PPh Final Pasal 4 (2) tahun 2010 dan hal ini telah dikonfirmasi oleh pihak PL. Atas SKPKB tersebut di atas, PL telah melakukan pembayaran melalui SSP yang dibayarkan pada tanggal 28 Desember 2012 sejumlah Rp 52.790.755.463, dengan kronologis sebagai berikut :
- |
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan PPh Pasal 4(2) Final Tahun Pajak 2010 terhadap PT PL (Persero) Kantor Pusat, pada tanggal 20 Desember 2012 KPP Wajib Pajak Besar Tiga (KPP WP Besar Tiga) menerbitkan SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Tahun Pajak 2010 No. 00018/240/10/051/12 dengan perincian sebagai berikut:
Diskripsi |
Koreksi cfm SKPKB |
Disetujui saat Pembahasan Akhir |
Yang masih disengketakan |
Pokok Pajak |
35.669.429.367 |
547.887.311 |
35.121.542.056 |
Bunga Pasal 13 (2) KUP |
17.121.326.096 |
262.985.909 |
16.858.340.187 |
Jumlah Pajak yang masih harus dibayar |
52.790.755.463 |
810.873.220 |
51.979.882.243 |
|
- |
bahwa berdasarkan SKPKB PPh Final Pasal 4(2) Tahun Pajak 2010 tersebut, PT PL (Persero) Kantor Pusat telah menyetorkan seluruh kekurangan pembayaran berdasarkan koreksi PPh Final Pasal 4(2) Tahun Pajak 2010 sebesar Rp.52.790.755.463 dengan bukti berupa Surat Setoran Pajak yang dibayarkan melalui Bank Bukopin pada tanggal 28 Desember 2012 dengan No. NTPN : 0012010514091009; |
- |
bahwa pada tanggal 25 November 2013, KPP WP Besar Tiga menerbitkan Surat No. S- 17517/WPJ.19/KP.03/2013 yang berisi mengenai Data Hasil Pemeriksaan PPh Final Pasal 4 ayat (2) Tahun 2010 dan Berdasarkan data hasil pemeriksaan tersebut, terdapat perincian mengenai jumlah koreksi PPh terutang dari setiap penerima penghasilan, yang salah satunya adalah Pemohon Banding, dengan rincian sebagai berikut:
Nama Penerima Penghasilan |
DPP |
PPh terutang Cfm, Terbanding |
PPh terutang Cfm. Pemohon Banding |
Koreksi |
BUT DECIP |
912.373.769.785 |
36.494.950.791 |
27.371.213.094 |
9.123.737.697 |
|
- |
bahwa atas kekurangan pembayaran PPh Pasal 4(2) Final Tahun Pajak 2010 ini, PT PL (Pesero) Kantor Pusat telah menerbitkan surat No. 3221/KUU.00.02/DIVBDH/2015 kepada Pemohon Banding yang isinya menyebutkan bahwa PT PL (Persero) Kantor Pusat mengklaim/menagihkan kekurangan pembayaran 1% tersebut kepada Pemohon Banding dengan cara mengurangkan jumlah pembayaran atas invoice yang ditagihkan oleh Pemohon Banding; |
- |
bahwa sehingga dalam hal ini telah terjadi pembayaran 2 kali atas 1% tambahan yang menurut Pemohon Banding merupakan tambahan PPh Pasal 4 (2) yang tidak benar; |
|
bahwa Majelis berpendapat sengketa banding atas Koreksi sebesar Rp30.142.188.761,00 terjadi karena Terbanding berpendapat pekerjaan
Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 merupakan bagian pekerjaan jasa konstruksi yang terintegrasi sehingga merupakan Objek Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sedangkan Pemohon Banding berpendapat pekerjaan
Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 merupakan Penghasilan Kantor Pusat dan sesuai Pasal 7 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia sehingga pengenaan pajaknya di Negara tempat Kantor Pusat berkedudukan (China);
bahwa atas sengketa a quo dalam persidangan Terbanding berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa DEC (China) mendapatkan kontrak pengerjaan PLTU dari PT PL (Persero) di Pacitan dan Teluk Naga yang meliputi pekerjaan Engineering dan procurement, serta Local Contraction; |
- |
bahwa proyek DEC (China) dari PT PL (Persero) tersebut merupakan Turnkey Project dan dalam kesatuan kontrak; |
- |
bahwa komponen material yang dibutuhkan untuk proyek PLTU Electrical (Power Station, Substation, Control and Instrumentation) dan Mechanical (Boiler and Auxiliary Equipment, Steam Turbine and Auqiliary, Condenser and Feed Water Heating Plant, Plant Water System, Drainage and Waste Water Treatment Plant, Fire Protection System, dan lain-lain) yang diimpor dari DEC China, yang keseluruhan nilai (FOB/Procurement) telah termasuk dalam nilai kontrak yang diperjanjikan; |
- |
bahwa sesuai kontrak a quo kontraktor bertanggungjawab secara penuh dalam proses pengiriman dari komponen/material termasuk pengurusan dokumen impor dalam rangka custom clearence yang diperlukan sehingga komponen/material tersebut dapat tersedia dan siap dipasang di lokasi PLTU; |
- |
bahwa dalam melaksanakan hal-hal yang diperjanjikan dalam kontra, sampai dengan selesai dan kemudian diserahkan kepada PT PL (Persero), DEC (China) melibatkan Pemohon Banding khususnya untuk pekerjaan konstruksi berupa rumah untuk pembangkit listrik; |
- |
bahwa kontruksi/pembangunan rumah untuk pembangkit listrik yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan sebagai hal yang telah diperjanjikan dalam kontrak sehingga PLTU yang diserahkan secara utuh dan siap beroperasi kepada PT PL (Persero) melalui suatu Turnkey Project; |
- |
bahwa Pemohon Banding tidak konsisten dalam perlakuan pencatatan/pengakuan atas FOB/procurement karena berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2008 dan 2009 yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008 dan 2009, Nilai FOB/procurement merupakan bagian dari penghasilan Pemohon Banding; |
- |
bahwa Kontrak pembangunan PLTU antara DEC (China) dengan PT PL (Persero) a quo merupakan satu kesatuan kontrak yang dibuktikan dengan :
- dalam penghitungan Laba/Rugi Tahun 2008 dan 2009 unsur biaya procurement dimasukkan dalam unsur Harga Pokok Penjualan oleh Pemohon Banding, selain itu Pemohon Banding juga memasukkan unsur kerugian biaya selisih kurs dalam perhitungan laba/rugi dimana unsur kerugian selisih kurs tersebut berhubungan dengan importasi pembangkit/plant dan peralatan dari DEC (China) sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang timbul atas impor tersebut menjadi biaya yang dikurangkan dalam perhitungan Laba/Rugi Pemohon Banding;
- dalam kontrak a quo diatur bahwa apabila terjadi keterlambatan dalam penyelesaian poyek maka DEC (China) dikenakan sanksi sebesar 10% dari nilai kontrak, hal tersebut membuktikan bahwa kontrak a quo merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan;
- tanpa adanya kegiatan construction dan engineering maka kegiatan procurement tidak akan ada, hal tersebut membuktikan bahwa kegiatan Engineering, Procurement, dan Local Construction merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan;
|
bahwa berdasarkan sengketa a quo Pemohon Banding berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa untuk pekerjaan engineering dan local contraction dilakukan oleh perwakilan DEC di Indonesia (dalam hal ini Pemohon Banding) dan kegiatannya dilakukan di Indonesia yang berlokasi di Pacitan dan Teluk Naga; |
- |
bahwa untuk pekerjaan procurement diimpor langsung dari China dengan pengimpor yang tercantum dalam PIB adalah atas nama PT PL (Persero) dan pihak penjualannya adalah DEC (China); |
- |
bahwa Invoice atas FOB/Procurement ditujukan kepada PT PL (Persero) langsung dari DEC China; |
- |
bahwa Pemohon Banding di Indonesia tidak menerima pembayaran apapun atas invoice yang ditagih oleh DEC China kepada PT PL (Persero); |
- |
bahwa Pemohon Banding tidak mengeluarkan biaya apapun untuk pengadaan FOB/Procurement sebesar Rp76.044.245.280,00; |
- |
bahwa Pemohon Banding tidak memiliki hak kepemilikan atas asset/Procurement yang diimpor oleh PT PL (Persero) dari DEC China; |
- |
bahwa Pemohon Banding sebagai perwakilan DEC (China) di Indonesia tidak memiliki izin untuk melakukan importasi di Indonesia; |
- |
bahwa Pemohon Banding tidak dapat melakukan impor dan juga impor barang adalah bukan merupakan bagian dari lingkup pekerjaan Pemohon Banding, sehingga penghasilan atas Procurement tersebut tidak dapat dikenakan pajak di Indonesia; |
- |
bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada PT PL (Persero) tidak sama dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh DEC China kepada PT PL (Persero); |
- |
bahwa Penghasilan yang diperoleh oleh DEC China tidak termasuk ke dalam pengertian penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 26; |
- |
bahwa Terbanding melakukan 2 (dua) kali koreksi objek PPh Pasal 4 ayat (2) atas transaksi/ kegiatan FOB/Procurement sama sebesar Rp533.342.300.139,00 yakni pada Tahun Pajak 2009 dan juga pada Tahun Pajak 2010; |
bahwa sebelum memeriksa apakah atas kegiatan procurement merupakan objek PPh Final Pasal 4 ayat (2), Majelis terlebih dahulu memeriksa terkait hak pemajakan atas kegiatan Procurement tersebut;
bahwa terkait sengketa hak pemajakan atas kegiatan procurement, Majelis berpendapat sengketa tersebut merupakan sengketa yang bersifat yuridis dan pembuktian;
bahwa Majelis berpendapat dasar hukum yang berkaitan dengan penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang menjadi obyek pajak adalah sebagai berikut :
Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah :
- penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai;
- penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia;
- penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
bahwa Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui bentuk usaha tetap tersebut.
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh bentuk usaha tetap.
Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, misalnya terjadi apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, memberikan pinjaman secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada perusahaan di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia menjual produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan bentuk usaha tetap tersebut secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.
Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap;
bahwa Pasal 7 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia menyatakan sebagai berikut :
“Laba perusahaan dari suatu Negara Pihak pada persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usahanya di Negara Pihak lainnya pada persetujuan melalui suatu bentuk Bentuk Usaha Tetap yang berada disana. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka atas laba perusahaan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung”;
- Penghasilan dari usaha/kegiatan dan dari harta Bentuk Usaha Tetap tersebut;
- Penghasilan kantor pusat dengan syarat bahwa penghasilan tersebut berasal dari usaha/kegiatan di Indonesia dan usaha/kegiatan tersebut sejenis dengan usaha/kegiatan Bandan Usaha Tetap tersebut;
- Penghasilan terkait dengan Pasal 26 Undang-Undang PPh;
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan.
Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau tergugat harus diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk diberikan jawaban.
bahwa dalam persidangan Majelis memerintahkan kepada Pemohon Banding untuk menyampaikan bukti-bukti dan dokumen invoice yang berkaitan dengan pendapatan atas Jasa Konstruksi FOB/Procurement dari DEC China, dan Pemohon Banding tidak menerima pembayaran apapun atas invoice yang ditagihkan DEC China kepada PT PL (Persero), serta Pemohon Banding tidak mengeluarkan biaya apapun untuk mengadaan FOB/procurement bulan November 2010 sebesar Rp30.142.188.761,00, arus kas keluar untuk pembayaran berupa rekening koran atas nama Pemohon Banding, kegiatan usaha yang dilakukan Pemohon Banding dengan PT PL (Persero) tidak sama dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh DEC China kepada PT PL (Persero);
bahwa Majelis melakukan memeriksa atas bukti-bukti dan dokumen yang diserahkan Pemohon Banding dan Terbanding dalam persidangan sebagai berikut :
- |
bahwa Invoice atas FOB/Procurement (bukti P-16) ditujukan kepada PT PL (Persero) langsung dari DEC China, dan sesuai dengan Pemberitahuan Impor Barang (bukti P-36) dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (bukti P-37) dimana pihak penjual adalah DEC China yang berdomisili di Sinchuan-China dan PT PL (Persero) sebagai pihak pembeli; |
- |
bahwa dalam rekening koran Pemohon Banding (bukti P-38) tidak terdapat penerimaan pembayaran atas Invoice yang ditagihkan oleh DEC China kepada PT PL (Persero); |
- |
bahwa dalam rekening koran Pemohon Banding (bukti P-38) tidak terdapat kas keluar untuk pembayaran FOB/Procurement; |
- |
bahwa tidak terdapat bukti yang kompeten bahwa Pemohon Banding memiliki hak kepemilikan atas aset Procurement yang diimpor oleh PT PL (Persero) dari DEC China, sehingga Majelis berpendapat sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang menyatakan BUT dikenakan pajak atas penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai, sehingga penghasilan yang diterima dari harta yang dimiliki oleh memiliki hak kepemilikan atas aset Procurement yang diimpor oleh PT PL (Persero) dari DEC China tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT (Pemohon Banding); |
- |
bahwa berdasarkan Salinan Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing Nomor: IK.01.01.06/EC/KTR/020/2014-E2R1 tanggal 4 Maret 2014 (bukti P-24), Pemohon Banding hanya mendapatkan izin usaha/kegiatan berupa jasa konstruksi dan sesuai fakta hukum dalam persediangan kegiatan usaha yang telah dilakukan Pemohon Banding di Indonesia adalah melakukan kegiatan jasa konstruksi kepada PT PL (Persero) sedangkan DEC China terkait sengketa a quo bertindak sebagai penyedia barang kepada PT PL (Persero), sehingga Majelis berpendapat jenis usaha/kegiatan yang dilakukan Pemohon Banding berbeda dengan usaha/kegiatan yang dilakukan DEC China, oleh karenanya sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, penghasilan yang diterima DEC China tidak dapat dikategorikan sebagai laba BUT (Pemohon Banding); |
- |
bahwa berdasarkan invoice Pemohon Banding kepada PT PL (Persero) (bukti P-39) diketahui Pemohon Banding hanya menagihkan kepada PT PL (Persero) atas jasa konstruksi yang telah dilakukan kepada PT PL (Persero); |
- |
bahwa berdasarkan Surat Pernyataan Auditor dari Delian Certified Public Accountant , Ltd.
(bukti P-39) yang merupakan Kantor Akuntan Publik di China menyatakan sebagai berikut :
We have conducted a necessary procedure to verify the authenticity of accounting books and auditor’s report and income tax return of DEC for Finance Year 2009.
We verify that DEC (China) has booked the equipments exported transaction (offshore supplies) related to EPC Contract of Pacitan Project and Teluk Naga Project with amount of USD 175,713,675.95 converted into RMB 1,146,714,346.27 and USD 266,303,947.37 converted into RMB 1,756,361,213.49 in finance year 2009 respectively.
We further verify that the above exported transactions amount of RMB 2,903,075,559.76 have been recognized as taxable income in finance year 2009 as per the Chinese accounting principle and Chinese tax regulations
We state that our verification has been followed the Chinese Auditing Principle and Chinese Accounting Principle.
bahwa berdasarakan Surat Pernyataan Auditor a quo dapat diketahui bahwa transaksi kegiatan ekspor perlengkapan yang berhubungan dengan kontrak dengan kontrak EPC di Pacitan dan Teluk Naga telah diakui sebagai pendapatan dan dibukukan oleh DEC China dan juga telah diakui sebagai penghasilan kena pajak pada Tahun 2010 sesuai dengan prinsip akuntansi dan ketentuan perpajakan yang berlaku di negara China;
|
- |
bahwa dalam lampiran surat pernyataan auditor a quo (bukti P-40) terdapat Statement of Segment Report for Turnover of Main Business 1 Jan 2010 to 31 Dec 2010 DEC (Parent), diketahui bahwa nilai pendapatan FOB/Procurement dari Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2010 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat keterlibatan Pemohon Banding dalam pelaksanaan pekerjaan Procurement; |
- |
bahwa berdasarkan sertifikat pembayaran Pajak Penghasilan Badan DEC (China) Tahun Pajak 2010 dari instansi perpajakan negara China (bukti P-41) diketahui pendapatan FOB/Procurement dari Proyek Teluk Naga dan Pacitan Tahun 2010 telah diakui sebagai pendapatan oleh DEC (China) di China; |
- |
bahwa berdasarkan pengakuan penghasilan FOB/procurement Tahun 2009 dalam (bukti P-42) diketahui terdapat penghasilan FOB/procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 yang Invoicenya (bukti P-43) diterbitkan pada Tahun 2009 namun importasinya terjadi pada Tahun 2010. Dan berdasarkan PIB (bukti P-44) diketahui memang terdapat importasi Tahun 2010 sebesar Rp.533.342.300.139,00 yang Invoicenya terbit pada Tahun 2009;
bahwa berdasarkan KKP (bukti T-1) diketahui Terbanding untuk Tahun Pajak 2010 melakukan koreksi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas FOB/Procurement berdasarkan dokumen importasi (PIB), namun untuk Tahun Pajak 2009 Terbanding juga melakukan koreksi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas FOB/Procurement berdasarkan pengakuan penghasilan berdasarkan Laporan keuangan DEC, sehingga Majelis berpendapat Terbanding melakukan 2 (dua) kali koreksi objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi yang sama sebesar Rp.533.342.300.139,00 yaitu dikenakan sebagai objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) pada Tahun Pajak 2009 dan juga dikenakan kembali sebagai objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) pada Tahun Pajak 2010; |
- |
bahwa dengan demikian Majelis berpendapat atas transaksi FOB/procurement sebesar Rp.533.342.300.139,00 dikenakan pajak lebih dari satu kali dengan perincian sebagai berikut :
- FOB/Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 telah diakui sebagai penghasilan di negara China dan dikenakan pajak di negara China;
- FOB/Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 ditetapkan Terbanding sebagai koreksi objek PPh Pasal 4 ayat (2) Tahun Pajak 2009;
- FOB/Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 ditetapkan Terbanding sebagai koreksi objek PPh Pasal 4 ayat (2) Tahun Pajak 2010;
|
- |
bahwa Majelis berpendapat terbukti bahwa atas penghasilan FOB/Procurement sebesar Rp533.342.300.139,00 ditetapkan oleh Terbanding sebanyak 2 (dua) kali sebagai objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) yakni pada Tahun Pajak 2009 dan Tahun 2010, sehingga Terbanding melakukan mengenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) melebihi yang ditetapkan dalam peraturan perundangan pajak; |
bahwa berdasarkan fakta hukum dan bukti-bukti serta keterangan yang diperoleh Majelis dalam persidangan diketahui hal-hal sebagai berikut :
bahwa berdasarkan penelitian Majelis, pengadaan
procurement merupakan bagian dari pelaksanaan kontrak antara PT PL dengan konsorsium DEC dan PT DE dengan PT PL (Persero) dengan rincian sebagai berikut:
1. |
Kontrak Nomor 206.PJ./121/DIR/2007 tanggal 07 Agustus 2007 untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan daya 300-400 MW kelas PLTU Jawa Timur (2 x 315 MW) dengan lokasi di Total nilai kontrak untuk proyek ini adalah US$.379,469,024 dari Rp1.353.549.019.000,00 (included PPN) dengan rincian sebagai berikut:
No |
Description |
Foreign Currency (USD) |
Local Currency (IDR) |
1 |
Enginering and Procurment |
332.396.152 |
0 |
2 |
Local Construction |
12.575.688 |
1.230.499.108.000 |
3 |
Sub Total |
344.971.840 |
1.230.499.108.000 |
4 |
Contract Price |
344.971.840 |
1.230.499.108.000 |
5 |
VAT 10% |
34.497.184 |
123.049.911.000 |
6 |
Total Contract Price (Including VAT) |
379.469.024 |
1.353.549.019.000 |
|
2. |
Kontrak Nomor 207.PJ./121/DIR/2007 tanggal 7 Agustus 2007 untuk proyek pembangkit listrik tenaga uap batubara dengan daya 300-400 MW kelas 3 PLTU (3 x 315 MW) dengan lokasi di Teluk Total nilai kontrak untuk proyek ini adalah US$588.789.989 dan Rp2.079.145.339.700,00 (included PPN) dengan Rincian sebagai berikut:
No |
Description |
Foreign Currency (USD) |
Local Currency (IDR) |
1 |
Enginering and Procurment |
535.263.626 |
0 |
2 |
Local Construction |
0 |
1.890.132.127.000 |
3 |
Sub Total |
535.263.626 |
1.890.132.127.000 |
4 |
Contract Price |
535.263.626 |
1.890.132.127.000 |
5 |
VAT 10% |
53.526.363 |
189.013.212.700 |
6 |
Total Contract Price (Including VAT) |
588.789.989 |
2.079.145.339.700 |
|
bahwa berdasarkan perjanjian konsorsium DEC, perusahaan yang didirikan di RRC, dan PT DE, perusahaan yang didirikan di Indonesia, diketahui bahwa bagian partisipasi dari masing-masing pihak adalah sebesar 80% oleh DEC dan 20% oleh PT DE;
bahwa DEC bertindak sebagai pimpinan konsorsium bertanggungjawab atas persiapan dan pelaksanaan kontrak pembangunan pembangkit tenaga listrik di Indonsia;
bahwa Majelis berpendapat dalam pembangunan proyek pembangkit tenaga listrik, DEC yang berkedudukkan di China menyediakan mesin-mesin dan perlengkapannya serta membangun pabrik pembangkit tenaga listrik;
bahwa Pemohon Banding dibentuk oleh DEC China berkaitan dengan kontrak pembangunan proyek pembangkit tenaga listrik di Indonesia;
bahwa sebagai konsekuensi atas kontrak, DEC China harus mengerjakan proyek kontruksi pembangunan pabrik tenaga listrik di Indonesia sehingga sesuai dengan aturan perpajakan, DEC China yaitu BUT DEC Indonesia (Pemohon Banding) mendaftarkan diri sebagai subjek pajak;
bahwa Majelis berpendapat kontrak a quo merupakan satu kesatuan karena merupakan turnkey project, dan Majelis berpendapat hal tersebut merupakan hal yang lazim karena kontrak a quo dilakukan pihak-pihak yang sama untuk mewujudkan suatu proyek;
bahwa walaupun kontrak a quo merupakan satu kesatuan, Majelis berpedapat DEC China tidak melakukan pengalihan/penyerahan/penjualan tanah dan bangunan berupa PLTU kepada PT PL (Persero) karena DEC China hanya sebagai pelaksana kegiatan untuk mewujudkan bangunan PLTU sesuai yang dimaksud kontrak dalam kontrak a quo dan bukan sebagai pemilik awal dari bangunan PLTU tersebut;
bahwa Majelis berpendapat turnkey project merupakan sifat dari tanggung jawab atas kegiatan yang dilakukan harus sudah selesai dan dapat digunakan sesuai dengan kontrak, dan dalam turnkey project tidak harus semua material/bahan berasal atau disediakan oleh pelaksana kegiatan/proyek karena material/bahan berasal atau disediakan pihak yang menerima kegiatan/ proyek;
bahwa Majelis berpendapat PLTU terdiri dari 3 (tiga) bagian utama yaitu :
- |
Tanah tempat PLTU didirikan; |
- |
Bangunan; dan |
- |
Mesin Pembangkit; |
bahwa Majelis berpendapat atas tanah tempat PLTU didirikan bukan berasal atau disediakan oleh DEC China, sehingga Majelis berpendapat hal ini membuktikan bahwa turnkey project hanya merupakan tanggungjawab penyelesaian dari proyek yang harus selesai dan siap digunakan, sedangkan bahan ataupun material dapat disediakan atau berasal dari para pihak dalam kontrak;
bahwa terhadap pengadaan procurement, Majelis berpendapat merupakan pengadaan mesin-mesin untuk proyek pembangkit listrik;
bahwa mesin-mesin pembangkit tersebut diletakan di bangunan dalam lokasi proyek pembangkit listrik tersebut;
bahwa pengadaan procurement berasal dari DEC China (kantor pusat Pemohon Banding) yang diperoleh melalui impor barang dengan pihak importir yang tercantum dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah PT PL (Persero);
bahwa izin usaha yang diberikan kepada Pemohon Banding adalah dalam bidang Konstruksi dan bukan perdagangan serta tidak mempunyai API (Angka Pengenal Impor);
bahwa Pasal 3 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 31/M-DAG/PER/ 7/2007, menyatakan
(1) |
Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilaksanakan tanpa API untuk:
- Barang pindahan;
- Barang impor sementara;
- Barang promosi
- Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
- Barang kiriman, hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
- Obat-obatan yang menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
- Barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pekerjaan dan penggujian;
- barang ekspor yang ditolak oleh pembeli di luar negeri kemudian diimpor kembali dalam kuantitas yang sama dengan kuantitas pada saat diekspor;
- barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
- barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia; atau
- barang contoh yang tidak untuk
|
(2) |
Impor dapat dilaksanakan tanpa API apabila:
- impor tidak dilakukan secara terus menerus dan yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau yang tidak dimaksudkan untuk dipindahtangankan; dan
- barang yang diimpor adalah barang untuk keperluan lainnya yang berupa alat penunjang kelancaran produksi atau alat pembangunan infrastruktur.”
|
bahwa Majelis berpendapat Pemohon Banding tidak memiliki API dan juga tidak memenuhi syarat untuk melakukan impor tanpa API, sehingga Pemohon Banding tidak dapat melakukan kegiatan impor di Indonesia;
bahwa terkait keterlibatan Pemohon Banding dalam pengurusan dokumen impor, Majelis berpendapat bahwa walaupun Pemohon Banding melakukan pengurusan terkait dokumen impor namun tidak menjadikan Pemohon Banding sebagai pihak yang melakukan importasi karena Pemohon Banding tidak memiliki izin untuk melakukan impor sedangkan sesuai dokumen importasi, Majelis berpendapat bahwa yang melakukan kegiatan impor dalam hal ini adalah PT PL (Persero);
bahwa terkait dengan pengakuan penghasilan atas procurement oleh Pemohon Banding dalam laporan keuangan Tahun 2008 dan 2009, Majelis berpendapat pada dasarnya pengakuan penghasilan tersebut telah dikoreksi oleh Pemohon Banding dengan mencantumkan Harga Pokok Penjualannya sebesar nilai penghasilan atas procurement dalam laporan keuangan yang sama dan Pemohon Banding untuk Tahun Pajak 2010 (yang menjadi sengketa banding ini) tidak mencatat pengakuan atas penghasilan procurement tersebut;
bahwa Majelis berpendapat atas kontrak a quo terdapat 3 (tiga) jenis kegiatan yaitu Engineering, Procurement, dan Local Contruction, walaupun diatur dalam satu kontrak;
bahwa Majelis berpendapat untuk kegiatan engineering dan local contruction merupakan kegiatan yang dilakukan di Indonesia sehingga merupakan kegiatan/usaha yang dilakukan oleh Pemohon Banding;
bahwa Majelis berpendapat untuk kegiatan procurement merupakan pengadaan mesin dan alat yang dikirim dari China (DEC China) dengan pihak pengimpor adalah PT PL (Persero) sesuai dokumen resmi yang belaku di Indonesia;
bahwa Majelis berpendapat Pemohon Banding hanya memiliki izin dalam bidang konstruksi dan bukan perdagangan, dan Pemohon Banding tidak terbukti melakukan penjualan mesin maupun peralatan pembangkit listrik dengan pihak lain, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa Pemohon Banding hanya melakukan kegiatan usaha dalam bidang konstruksi;
bahwa Majelis berpendapat DEC China melakukan kegiatan usaha dalam bidang penjualan mesin dan peralatan pembangkit listrik dan juga konstruksi pembangkit listrik;
bahwa berdasarkan fakta-fata hukum dan bukti-bukti dalam persidangan Majelis berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa terbukti atas kontrak a quo terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yaitu engineering, procurement, dan local contruction; |
- |
bahwa atas engineering dan local contruction merupakan kegiatan yang dilakukan di Indonesia sehingga merupakan penghasilan dari Pemohon Banding; |
- |
bahwa atas procurement tidak dapat dilakukan oleh Pemohon Banding karena Pemohon Banding tidak memiliki izin untuk melakukan importasi; |
- |
bahwa terbukti pihak yang melakukan importasi adalah PT PL (Persero); |
- |
bahwa atas procurement yang diimpor langsung dari China merupakan kegiatan yang dilakukan oleh kantor pusat Pemohon Banding; |
- |
bahwa penghasilan kantor pusat Pemohon Banding atas procurement merupakan kegiatan/ usaha yang berbeda (tidak sejenis) dengan yang dilakukan oleh Pemohon Banding walaupun dicantumkan dalam satu kontrak; |
bahwa oleh karena itu Majelis berkesimpulan atas penghasilan kantor pusat Pemohon Banding dari kegiatan procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 tidak termasuk dalam penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, sehingga bukan merupakan penghasilan dari Bentuk Usaha Tetap (Pemohon Banding) dan sesuai Pasal 7 ayat (1) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara China dan Indonesia atas penghasilan tersebut hak pemajakannya berada di negara China;
bahwa berdasarkan pertimbangan hukum a quo dan fakta-fakta hukum dalam persidangan serta keyakinan Hakim, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas objek PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp30.142.188.761,00 tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan;
2. Koreksi Pajak Obyek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00
bahwa berdasarkan penelitian Majelis dan keterangan dalam persidangan, sengketa yang terjadi adalah sengketa terhadap penggunaan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) final yang menurut Terbanding adalah sebesar 4% sedangkan menurut Pemohon Banding adalah sebesar 3% sehingga atas Objek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00 terdapat kekurangan sebesar 1%;
bahwa atas sengketa a quo dalam persidangan Terbanding berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa sengketa koreksi DPP PPh Final Pasal 4 (2) atas Percentage of Completion (Selisih Tarif) meliputi Masa Pajak Januari s.d Desember 2010; |
- |
bahwa apabila Penyedia Jasa Pelaksana Konstruksi tidak mempunyai kualifikasi usaha yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) maka atas penghasilan dari usaha Pelaksana Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 4% sesuai Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008; |
- |
bahwa Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (IPBUJKA) yang dikeluarkan Kementerian Pekerjaan Umum, merupakan izin untuk melaksanakan usaha yang diberikan Pemerintah kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) untuk melakukan kegiatan jasa konstruksi di Indonesia, IPBUJKA bukan merupakan sertifikasi yang menunjukkan kualifikasi usaha sebagaimana sertifikasi yang dikeluarkan LPJK, sehingga IPBUJKA tersebut tidak dapat disamakan dengan Sertifikasi dari LPJK; |
- |
bahwa dengan demikian karena BUT DECIP tidak memiliki serifikasi kualifikasi usaha jasa konstruksi dari LPJK yang menjadi syarat pengenaan PPh dengan tarif 3% sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, maka terhadap Pemohon Banding dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) dengan tarif 4% sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008; |
bahwa berdasarkan sengketa a quo Pemohon Banding berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing memiliki kekuatan hukum sama dengan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi yang diterbitkan oleh Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional; |
- |
bahwa Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) bagi perusahaan penanaman modal asing yang memiliki BUJKA dipersamakan dengan SIUJK; |
- |
bahwa kekurangan pajak yang masih harus dibayar oleh Pemohon Banding sesungguhnya telah ditagih oleh Terbanding dan telah dilunasi oleh pengguna jasa (PT PL Persero); |
bahwa Majelis berpendapat terkait sengketa apakah atas Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (IPBUJKA) dapat dipersamakan dengan Sertifikasi dari LPJK merupakan sengketa yuridis;
bahwa Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi menyatakan :
(1) |
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
- 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
- 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
- 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
- 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
- 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
|
(2) |
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
Yang dimaksud dengan "Kualifikasi usaha" adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
Yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.
bahwa Majelis berpendapat Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 a quo sudah jelas membatasi bahwa PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas pelaksanaan jasa konstruksi dengan tarif sebesar 3% diterapkan apabila memenuhi syarat-syarat akumulatif sebagai berikut :
- |
Penyedia Jasa memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar, dan |
- |
Kualifikasi usaha tersebut berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi; |
bahwa Pasal 8 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyatakan: Perencana konstruksi, pelaksana konstruksi, dan pengawas konstruksi yang berbentuk badan usaha harus :
- memenuhi ketentuan tentang perizinan usaha di bidang jasa konstruksi;
- memiliki sertifikat, klasifikasi, dan kualifikasi perusahaan jasa konstruksi.
bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi menyatakan: Ketentuan mengenai penyelenggaraan perizinan usaha, klasifikasi usaha, kualifikasi usaha, sertifikasi keterampilan, dan sertifikasi keahlian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
bahwa Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) adalah Badan Usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan negara di mana perusahaan tersebut didirikan dan berdomisili di luar Indonesia, yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi meliputi kegiatan usaha jasa konsultansi Perencanaan/Pengawasan (Konsultan) Konstruksi dan/atau Jasa Pelaksana Konstruksi (Kontraktor) Konstruksi;
bahwa Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
Izin Badan Usaha Jasa Konstruksi adalah izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah kepada Badan Usaha Nasional yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
bahwa Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
Sertifikat Badan Usaha adalah tanda pengakuan badan usaha jasa konstruksi yang diiakukan melalui penilaian kemampuan usaha sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi badan usaha yang berlaku.
bahwa Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah cq Menteri kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing untuk melakukan kegiatan di Indonesia;
bahwa Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi disingkat LPJK untuk selanjutnya disebut Lembaga;
bahwa Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
(1) |
Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang akan melaksanakan kegiatan usahanya di wilayah Republik Indonesia wajib mempunyai izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing; |
(2) |
Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan setelah Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang bersangkutan mendapatkan penyetaraan, kompetensi, klasifikasi, kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari Lembaga. |
(3) |
Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedudukannya sama dengan Ijin Usaha untuk Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; |
(4) |
Setelah mendapat izin perwakilan, BUJKA yang beroperasi di Indonesia dapat mencari pekerjaan jasa konstruksi dan membuat kontrak atas pekerjaan yang diperolehnya dimana kontrak tersebut harus ditandatangani oleh kepala perwakilan atas nama badan usaha induknya; |
bahwa Majelis berpendapat sesuai Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 a quo izin yang dikeluarkan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) seharusnya sudah dilengkapi dengan sertifikat dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi;
bahwa namun demikian Majelis berpendapat untuk pengenaan tarif Pajak Penghasilan atas pelaksanaan Jasa Konstruksi sebesar 3% maka penyedia jasa harus memiliki kualifikasi usaha berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi, dan bukan berdasarkan izin yang dikeluarkan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA);
bahwa Majelis dalam persidangan meminta kepada Pemohon Banding untuk menunjukkan kepemilikan atas kualifikasi usaha berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi;
bahwa sampai dengan sidang dinyatakan cukup, Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan bukti/dokumen dimaksud;
bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa atas pengenaan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 4% yang dilakukan Terbanding atas pelaksanaan Jasa Konstruksi yang dilakukan Pemohon Banding sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
bahwa terkait dalil Pemohon Banding yang menyatakan kekurangan pajak yang masih harus dibayar sesungguhnya telah ditagih oleh Terbanding dan telah dilunasi oleh pengguna jasa (PT PL Persero), Majelis berpendapat sebagai berikut :
bahwa berdasarkan bukti-bukti dan keterangan Para Pihak dalam persidangan diketahui hal-hal sebagai berikut :
- |
bahwa Terbanding juga telah menerbitkan SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Nomor 00018/240/16/051/12 tanggal 20 Desember 2012 kepada PT PL (Persero) Kantor Pusat untuk Masa Pajak Januari-Desember 2010; |
- |
bahwa sesuai Surat Terbanding Nomor S-17517/WPJ.19/KP.03/2013 tanggal 25 November 2013 diketahui SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Nomor 00018/240/16/051/12 tanggal 20 Desember 2012 diterbitkan karena PT PL (Persero) Kantor Pusat untuk Masa Pajak Januari-Desember 2010 kurang melakukan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% atas jasa pelaksanaan konstruksi; |
- |
bahwa dalam Lampiran 1 Surat Terbanding Nomor S-17517/WPJ.19/KP.03/2013 tanggal 25 November 2013 diketahui koreksi tersebut termasuk kekurangan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% jasa pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh Pemohon Banding; |
- |
bahwa atas SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Nomor 00018/240/16/051/12 tanggal 20 Desember 2012 telah dilunasi oleh PT PL (Persero) dengan bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pajak tanggal 28 Desember 2012 sebesar 52.790.755.463,00; |
- |
bahwa berdasarkan Surat PT PL (Persero) Nomor 1875/547/DIVAKT/2014 tanggal 25 September 2014 dan Surat PT PL (Persero) Nomor 3221/KEU.00.02/DIVBIH/2015 tanggal 14 Juli 2015, diketahui PT PL (Persero) melakukan penagihan kepada Pemohon Banding terkait dengan penerbitan SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Nomor 00018/240/16/051/12 tanggal 20 Desember 2012; |
bahwa berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta hukum a quo Majelis berpendapat Terbanding telah mengenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi jasa pelaksanaan konstruksi melebihi tarif sebagaimana dimaksud dalam bahwa Pasal 3 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, karena Terbanding melakukan koreksi atas kekurangan PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar 1% atas transaksi jasa pelaksanaan konstruksi Masa Pajak Januari-Desember 2010 yang dilakukan Pemohon Banding dengan menerbitkan SKPKB kepada dua pihak sekaligus yaitu kepada Pemohon Banding (penyedia jasa konstruksi) dan kepada PT PL (Persero) (pengguna jasa konstruksi);
bahwa berdasarkan pertimbangan hukum a quo dan fakta-fakta hukum dalam persidangan, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas Objek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00 tidak dapat dipertahankan;
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinions) :
bahwa terhadap sengketa gugatan ini, Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum memberikan pendapat yang berbeda dengan pendapat sebagai berikut :
1. Koreksi Pajak Objek dari FOB Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00
bahwa yang menjadi sengketa dan diajukan banding oleh Pemohon Banding adalah koreksi Terbanding atas Objek PPh Final Pasal 4 ayat (2) dari Procurement sebesar Rp30.142.188.761,00 yang tidak disetujui Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Surat Banding, Surat Uraian Banding dan Surat Bantahan sebagaimana diuraikan dalam duduk sengketa, permasalahan sengketa a quo pada pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut:
- bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan dasar koreksi Terbanding yang menyatakan bahwa Procurement merupakan bagian pekerjaan jasa konstruksi yang terintegrasi dan nilai kontrak jasa konstruksi adalah nilai yang tercantum dalam satu kontrak secara keseluruhan melalui suatu turnkey project;
- bahwa menurut Pemohon Banding laba yang dikenakan di suatu negara adalah hanya atas laba yang berasal dari aktivitas yang dilakukan oleh BUT di negara tersebut;
bahwa berdasarkan uraian di atas, sengketa a quo merupakan sengketa Yuridis, oleh karena itu Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
bahwa terkait sengketa a quo, Majelis akan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan perpajakan berkaitan dengan penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang menjadi obyek pajak sebagai berikut:
1. |
Penghindaran Pajak Berganda dan Pencegahan Pengelakan Pajak Yang Berkenaan Dengan Pajak Atas Penghasilan (P3B Indonesia - China) antara lain:
Pasal 7 (P3B Indonesia - China)
(1) |
Laba perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut kecuali jika perusahaan tersebut menjalankan usahanya di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagaimana dimaksud di atas, maka atas laba perusahaan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara Pihak lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk usaha tetap tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, ketentuan-ketentuan pada ayat ini tidak berlaku jika perusahaan tersebut membuktikan bahwa aktivitas-aktivitasnya tidak dapat dilakukan oleh badan usaha tetap atau tidak ada hubungannya dengan bentuk usaha tetap tersebut. |
(2) |
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara Pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara Pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap tersebut oleh masing-masing Negara Pihak pada Persetujuan ialah laba yang diperolehnya apabila bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang terpisah dan berdiri sendiri yang melakukan kegiatan- kegiatan yang sama atau serupa dalam keadaan yang sama atau serupa dan mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang memiliki bentuk usaha tetap tersebut. |
(3) |
Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka kegiatan usaha bentuk usaha tetap tersebut termasuk biaya- biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum, baik yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap tersebut berada maupun yang dikeluarkan di tempat lain. |
(4) |
Sepanjang merupakan kelaziman di salah satu Negara Pihak pada Persetujuan untuk menetapkan besarnya laba yang dapat dianggap berasal dari suatu bentuk usaha tetap dengan cara menentukan bagian laba dari total laba perusahaan dengan berbagai komponennya, ketentuan-ketentuan dalam ayat 2 tidak akan menghalangi Negara Pihak pada Persetujuan tersebut untuk menentukan besarnya laba yang akan dikenakan pajak berdasarkan pembagian yang merupakan kelaziman Namun cara pembagian tersebut harus sedemikian rupa sehingga hasilnya akan sesuai dengan prinsip- prinsip yang terkandung di dalam Pasal ini. |
(5) |
Suatu bentuk usaha tetap tidak akan dianggap memperoleh laba hanya karena bentuk usaha tetap tersebut melakukan pembelian barang-barang atau barang dagangan untuk perusahaan induknya. |
(6) |
Untuk kepentingan ayat-ayat 1 sampai 5, besarnya laba bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan metode yang sama dari tahun ke tahun kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan penyimpangan. |
(7) |
Jika dalam jumlah laba tersebut termasuk bagian-bagian penghasilan yang diatur secara tersendiri pada Pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini, maka ketentuan Pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan Pasal ini. |
|
2. |
Pasal 5 ayat (1) huruf c UU PPH
Yang menjadi Obyek Pajak bentuk usaha tetap adalah : penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk usaha tetap tersebut. Misalnya, X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT. Y untuk mempergunakan merk dagang X Inc. Atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima imbalan berupa royalti dari PT. Y. Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT. Y melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam rangka pemasaran produk PT. Y yang mempergunakan merk dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merk dagang oleh PT. Y mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap;
Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPH
Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
Pasal 4 ayat 2 UU PPh
Penghasilan dapat dikenai pajak bersifat final penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan;
|
3. |
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi (PP 51/2008) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, menyatakan:
Pasal 1 ayat (5) PP 51/2008:
Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, Procurement, and construction) serta model penggabungan perencanaan dan pembangunan (design and build);
Pasal 5 ayat (2) dan (3) PP 51/2008
(2) |
Besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
- jumlah pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); atau
- jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai, dikalikan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dalam hal Pajak Penghasilan disetor sendiri oleh Penyedia
|
(3) |
Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. |
Pasal 6 ayat (1) PP 51/2008 menyatakan
Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa;
|
bahwa berdasarkan duduk sengketa dan data serta informasi yang disampaikan oleh Para Pihak di persidangan diperoleh fakta sebagai berikut:
- bahwa DEC (China) terbukti mendapatkan kontrak pengerjaan PLTU dari PT PL (Persero) di Pacitan dan Teluk Naga yang meliputi pekerjaan Engineering dan procurement, serta Local Contraction yang bersifat turnkey project;
- bahwa dalam kontrak, kontraktor bertanggungjawab dalam proses pengiriman dari komponen/ material termasuk pengurusan dokumen impor dalam rangka custom clearence yang diperlukan sehingga komponen/material tersebut dapat tersedia dan siap dipasang di lokasi PLTU;
- bahwa dalam kontrak diatur bahwa apabila terjadi keterlambatan dalam penyelesaian poyek maka DEC (China) dikenakan sanksi sebesar 10% dari nilai kontrak bukan atas pekerjaan FOB/procuremnet saja, sehingga membuktikan bahwa kontrak a quo merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan;
- bahwa proyek DEC (China) dari PT PL (Persero) tersebut merupakan Turnkey Project dan dalam kesatuan kontrak;
- bahwa penghasilan dari FOB/Procurement merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan sebagaimana telah dinyatakan dalam kontrak sehingga PLTU dapat diserahkan secara utuh dan siap beroperasi melalui suatu turnkey project;
- bahwa pemilik sebenarnya dari impor barang adalah Pemohon Banding, karena berkaitan dengan turnkey project, dan PT PL (Persero) tidak menanggung resiko atas impor barang tersebut, serta tanggung jawab PT PL (Persero) hanya sebatas/sebesar tagihan berdasarkan prosentase penyelesaian proyek sehingga tidak dapat dipisahkan antara procurement dan jasa konstruksi;
- bahwa oleh karena pemilik sebenarnya atas impor barang adalah Pemohon Banding maka seharusnya atas transaksi impor barang tersebut dicatat dalam pembukuan Pemohon Banding;
- bahwa berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008 dan 2009, Nilai FOB/procurement merupakan bagian dari penghasilan Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan fakta dan peraturan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berpendapat sebagai berikut:
- bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf c UU PPh dan Pasal 26 ayat (1) huruf d UU PPh, Hakim Anggota TM berpendapat penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusatnya yang memiliki hubungan efektif dengan kegiatan usaha BUT nya di Indonesia terkait denganpemberian jasa, pekerjaan, dan kegiatan, dianggap sebagai penghasilan BUT nya di Indonesia (effectively-connection rule);
- bahwa penerapan Pasal 5 ayat (1) huruf c UU PPh yang mengatur tentang besarnya laba yang dapat dianggap berasal dari suatu bentuk usaha tetap dengan ketentuan adanya hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud adalahi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat 4 (P3B Indonesia - China);
- bahwa kontrak bersifat Turnkey Project dan dalam kesatuan kontrak, maka berdasarkan Pasal 5 ayat (2) dan (3) PP 51/2009, besarnya, Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah sebesar jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran yang merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi;
- bahwa berdasarkan fakta dan peraturan perpajakan sebagaimana diuraikan di atas, FOB/ procurement terbukti mempunyai hubungan efektif dengan kegiatan Pemohon Banding (Jasa Konstruksi), oleh karena itu berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf c UU PPh, penghasilan FOB/Procurement tersebut merupakan Obyek Pajak bentuk usaha tetap (Pemohon Banding);
- bahwa oleh karena terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PP 51/2008, maka selisih kekurangan tersebut harus disetor oleh Pemohon Banding;
- bahwa berdasarkan uraian di atas, FOB/procurement merupakan penghasilan Pemohon Banding, karena mempunyai hubungan efektif dengan kegiatan Pemohon Banding (Jasa Konstruksi) oleh karenanya atas penghasilan FOB/Procurement tersebut merupakan objek dan terutang PPh Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008;
bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas serta keyakinan Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berkesimpulan koreksi Terbanding atas objek PPh final Pasal 4 ayat (2) sebesar Rp30.142.188.761,00 sudah tepat dan tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku;
2. Koreksi Pajak Objek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00 (Kekurangan tarif 1%)
bahwa Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berpendapat dasar hukum yang berkaitan dengan tarif PPh Pasal 4 ayat (2) adalah sebagai berikut :
- penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
- penghasilan berupa hadiah undian;
- penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
- penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
- penghasilan tertentu lainnya,
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
Atas penghasilan dari usaha Jasa Konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;
bahwa Pasal 3
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha jasa Konstruksi menyatakan:
(1) |
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai berikut:
- 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
- 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
- 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
- 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha; dan
- 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi
|
(2) |
Dalam hal Penyedia Jasa adalah bentuk usaha tetap, tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk Pajak Penghasilan atas sisa laba bentuk usaha tetap setelah Pajak Penghasilan yang bersifat final; |
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Kualifikasi usaha" adalah stratifikasi yang ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi usaha besar.
Huruf d
Cukup jelas.
bahwa Pasal 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
- Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA) adalah Badan Usaha yang berbentuk badan hukum yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan negara di mana perusahaan tersebut didirikan dan berdomisili di luar Indonesia, yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi meliputi kegiatan usaha jasa konsultansi Perencanaan/Pengawasan (Konsultan) Konstruksi dan/atau Jasa Pelaksana Konstruksi (Kontraktor) Konstruksi;
- Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah cq Menteri kepada Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing untuk melakukan kegiatan di Indonesia;
- Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi disingkat LPJK untuk selanjutnya disebut Lembaga;
bahwa Pasal 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 28/PRT/M/2006 tentang Perizinan Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing menyatakan:
(1) |
Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang akan melaksanakan kegiatan usahanya di wilayah Republik Indonesia wajib mempunyai izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing; |
(2) |
Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterbitkan setelah Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing yang bersangkutan mendapatkan penyetaraan, kompetensi, klasifikasi, kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari Lembaga. |
(3) |
Izin Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedudukannya sama dengan Ijin Usaha untuk Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; |
(4) |
Setelah mendapat izin perwakilan, BUJKA yang beroperasi di Indonesia dapat mencari pekerjaan jasa konstruksi dan membuat kontrak atas pekerjaan yang diperolehnya dimana kontrak tersebut harus ditandatangani oleh kepala perwakilan atas nama badan usaha induknya; |
berdasarkan fakta-fakta hukum dalam persidangan, Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berpendapat sebagai berikut :
- |
bahwa Pemohon Banding memiliki Izin Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing yang diberikan oleh Menteri Pekerjaan Umum; |
- |
bahwa sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum aquo izin diberikan setelah mendapatkan penyetaraan, kompetensi, klasifikasi, kualifikasi yang dinyatakan dalam bentuk sertifikat dari Lembaga dan kedudukannya sama dengan Ijin Usaha untuk Badan Usaha Jasa Konstruksi Nasional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku; |
- |
bahwa Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berpendapat Izin Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing yang dimiliki Pemohon Banding diberikan setelah melalui proses penyetaraan, kompetensi, klasifikasi, kualifikasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi; |
bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Hakim Anggota Dr. TM, Ak., M.M., M.Hum berkesimpulan bahwa Pemohon Banding memiliki kualifikasi usaha Jasa Konstruksi Besar sehingga berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf c
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, dikenakan tarif sebesar 3%;
bahwa berdasarkan pertimbangan hukum a quo dan fakta-fakta hukum dalam persidangan, keyakinan Hakim, dan demi keadilan, Hakim Anggota Dr. Triyono Martanto, Ak., M.M., M.Hum berkesimpulan koreksi Terbanding atas Objek dari Percentage of Completion sebesar Rp52.222.078.082,00 dibatalkan;
bahwa Pasal 79
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan :
(1) |
Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara |
(2) |
Apabila Majelis di dalam mengambil putusan dengan cara musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara terbanyak, pendapat Hakim Anggota yang tidak sepakat dengan putusan tersebut dinyatakan dalam putusan Pengadilan Pajak. |
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, peraturan yang berlaku dan keyakinan Hakim, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, untuk
mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP- 00581/KEB/WPJ.07/2016 tanggal 22 April 2016 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak November 2010 Nomor 00044/240/10/053/15 tanggal 28 Januari 2015, atas nama :
Pemohon Banding, dan menetapkan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak November 2010 yang terutang menjadi sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak/Dasar Pengenaan Pajak |
Rp. 78.363.041.266,00 |
PPh Pasal 4 (2) Final yang terutang |
Rp. 2.370.661.772,00 |
Kredit Pajak |
Rp. 2.370.661.772,00 |
Pajak yang tidak/kurang dibayar |
Rp. 0,00 |
Demikian diputus di Jakarta, berdasarkan suara terbanyak (ada dissenting opinion) Majelis XVA Pengadilan Pajak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin tanggal 22 Januari 2018, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Drs. DH, Ak. |
sebagai Hakim Ketua, |
Dr. TM, S.E., Ak., M.M., M.Hum. |
sebagai Hakim Anggota, |
RSR, S.E., MAFIS. |
sebagai Hakim Anggota, |
Dra. IFD, M.M. |
sebagai Panitera Pengganti, |
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis XVA, pada hari Senin tanggal 06 Agustus 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Terbanding dan tidak dihadiri oleh Pemohon Banding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.