Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa nilai sengketa dalam sengketa banding ini adalah koreksi positif Penghasilan Neto Tahun Pajak 2008 sebesar USD63,075,295.00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding dengan perincian koreksi sebagai berikut :
1. | Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance | USD54,869,392.00 |
2. | Biaya Police Support | USD 3,636,349.00 |
3. | Biaya Military Support | USD 2,717,364.00 |
4. | Biaya Priv. Co. Compensable Expense | USD 1,852,190.00 |
Jumlah | USD63,075,295.00 |
bahwa hasil pembahasan atas pokok sengketa tersebut di atas adalah sebagai berikut:
1. | Koreksi Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance sebesar USD54,869,392.00 |
bahwa berdasarkan Closing Statement sebagaimana tercantum dalam Surat Terbanding Nomor: S-1659/PJ.07/2015 tanggal 11 Maret 2015, pada pokoknya Terbanding menyatakan hal-hal sebagai berikut:
DASAR HUKUM
bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), menyatakan:
Pasal 1 angka 6
“Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku”
Pasal 31 ayat (2)
“Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 69 ayat (1)
“Alat bukti dapat berupa:
a. | surat atau tulisan; |
b. | keterangan ahli; |
c. | keterangan para saksi; |
d. | pengakuan para pihak; dan/atau |
e. | pengetahuan Hakim" |
Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 6 ayat (1) huruf a
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. | biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunqa, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan” |
Pasal 18 ayat (2)
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 33 A ayat (4)
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak den gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dan PT FI:
Pasal 13
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
(i) | ..... |
(ii) | ..... |
(iii) | Pajak Penghasilan Badan atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan. |
Perusahaan akan membayar pajak penghasilan badan (dihitung sesuai dengan Lampiran "F") atas penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Perusahaan....
….
Untuk menghitung penghasilan kena pajak, berlaku tatacara perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran "F" yang merupakan bagian dari Persetujuan ini dan kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini clan dalam Lampiran "F", ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya, akan berlaku”
Lampiran F Kontrak Karya
Paragraf 3 huruf j
"Biaya Operasi" dalam Tahun manapun berarti jumlah yang dikurangkan dari penerimaan untuk semua jumlah pengeluaran yang diakibatkan oleh Perusahaan dalam Tahun tersebut. Biaya Operasi dapat termasuk, antara lain, jumlah-jumlah sebagai berikut:
(j) jumlah-jumlah untuk bongkar, muat, penyimpanan, pengangkutan dan pengapalan, dan biaya-biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi”
Paragraf 6 huruf f
6. | "Biaya-biaya untuk penjualan, Umum dan Administrasi" dalam suatu Tahun dikurangkan dari penerimaan dan termasuk, tetapi tidak terbatas kepada…. Hal-hal berikut harus dimasukkan dalam biaya-biaya penjualan umum dan administrasi dari Perusahaan:
|
Paragraf 11 huruf a
"Penghasilan Kotor" berarti semua jumlah, selain dari pendapatan yang dikecualikan ditetapkan menurut undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatangani Persetujuan ini, dibayar kepada atau yang diperoleh Perusahaan, termasuk: (a) penghasilan kotor yang diterima atau diperoleh dari penjualan hasil produksi atas dasar F.O.B tempat pengapalan di Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 11 dari Persetujuan ini”
bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), menyatakan:
Pasal 1342
“Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”
Pasal 1348
“Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya”
Koreksi Harga Pokok Penjualan atas Biaya Sea Transportation sebesar USD54,869,392.00
bahwa koreksi positif biaya transportasi terdiri dari:
621 - Sea Transportation | USD 50,197,136.00 |
622 - Despacth | USD (953,906.00) |
623 - Demurage | USD 5,815,222.00 |
851 - Insurance | USD 342,791.00 |
Total Koreksi | USD 55,401,244.00 |
Alokasi koreksi ke RTI | USD 531,851.00 |
Koreksi positif biaya transportasi | USD 54,869,392.00 |
bahwa Langkah-langkah yang digunakan oleh Terbanding pada saat meneliti biaya Sea Transportation :
Meneliti nilai harga jual produk (penghasilan kotor)
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa nilai harga jual produk Pemohon Banding adalah FOB tempat pengapalan di Indonesia sebagaimana diatur di Paragraf 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya;
bahwa harga jual Pemohon Banding kepada konsumen dengan menggunakan harga pasar acuan LME, London am, London pm, dan London Spot merupakan harga FOB;
Meneliti unsur nilai harga jual (penghasilan kotor)
bahwa unsur harga jual konsentrat (produk pemohon banding) adalah London Metal Exchange Price (LME) untuk tembaga dan London Bullion Metal (LBM) untuk emas dan perak dikurangi dengan Treatment Cost / Refeninery Cost (TC/RC) dikurangi dengan Price Participation (PP) dikurangi atau ditambah dengan unsur lainnya;
Harga Jual = LME / LBM Price — TC/RC — PP +1- Unsur Lainnya
Meneliti syarat penyerahan
bahwa oleh karena terdapat biaya sea transportation, maka Terbanding meneliti syarat penyerahan produk;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui penqhasilan kotor sebesar nilai FOB sedangkan syarat penyerahan bukan FOB melainkan CIF (Cost insurance Freight) atau CFR (Cost and Freight) maupun CIFFO;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa nilai yang tercantum di invoice maupun faktur pajak / PEB adalah nilai FOB (harga London Metal Exchange/LME untuk tembaga dan London Bullion Metal/LBM untuk emas dan perak) karena jumlah/nilai yang ditagihkan oleh Pemohon Banding ke customer hanya nilai barang tanpa termasuk ongkos angkut maupun biaya asuransi;
bahwa berdasarkan kontrak penjualan, invoice, nota kredit dan juga PEB yang ada diketahui bahwa syarat penjualan Pemohon Banding adalah sesuai dengan Incoterm 2000 yaitu CFR, GIF maupun CIFFO;
bahwa sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh, Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
bahwa pada Pasal 13 Kontrak Karya diatur bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Lampiran F Kontrak Karya dan untuk hal-hal yang tidak diatur pada Lampiran F Kontrak Karya, Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
bahwa sesuai dengan Paragraf 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya menyatakan bahwa Syarat Penjualan Pemohon Banding secara fiskal adalah FOB tempat pengapalan di Indonesia;
bahwa pada Pasal 1342 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan “jika kata-kata suatu perjanjian jelas tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran";
bahwa pada Pasal 1348 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan "Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya".
bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, Terbanding berpendapat:
bahwa sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh, Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undangundang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
bahwa pada Pasal 13 Kontrak Karya diatur bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Lampiran F Kontrak Karya dan untuk hal-hal yang tidak diatur pada Lampiran F Kontrak Karya, Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
bahwa Pasal 11 (2) Kontrak Karya menyerahkan syarat-syarat penjualan kepada perusahaan sepanjang dapat meninpkatkan secara maksimal perolehan ekonomi perusahaan dan sesuai dengan praktek-praktek bisnis international yang berlaku umum;
bahwa Incoterms 2000 yang digunakan oleh Pemohon Banding, mengatur mengenai syarat penjualan antara lain CIF maupun CFR adalah praktek bisnis internasional yang umum berlaku;
bahwa menurut Terbanding secara komersial tentu Pemerintah (Kontrak Karya) tidak mengatur cara berbisnis Pemohon Banding, oleh karenanya secara komersial Pemohon Banding dapat saja menggunakan syarat penjualan seperti CIF, FOB, CIFFO dan CFR sepanjang dengan tujuan memaksimalkan perolehan ekonomi perusahaan;
bahwa namun demikian secara fiskal telah disepakati oleh kedua belah pihak yaitu Pemerintah dan Pemohon Banding sebagaimana tertuang dalam Kontrak Karya bahwa dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan pada "FOB tempat pengapalan di Indonesia";
bahwa faktanya Pemohon Banding mencatat penjualan pada saat barang dikapalkan di pelabuhan Indonesia sebesar harga FOB, namun membebankan biaya transportasi dan asuransi;
bahwa Pemohon Banding tidak menerapkan ketentuan yang ada di Pasal 11 butir 2 Kontrak Karya (Pemasaran) karena pada saat menetapkan harga tidak berupaya untuk memaksimalkan penerimaan karena Pemohon Banding tidak menghitung biaya transportasi dan asuransi dalam unsur harga jual sehingga penerimaan menjadi lebih kecil;
bahwa pada saat proses pemeriksaan sebagaimana tercantum pada Laporan Hasil Rapat antara Terbanding dan Pemohon Banding, Pemohon Banding telah menyatakan bahwa harga jual produk adalah FOB;
bahwa pada proses pemeriksaan, Terbanding telah melakukan konfirmasi ke LME website untuk memastikan apakah harga jual produk (LME) merupakan nilai FOB atau CIF atau CFR atau CNF0;
bahwa berdasarkan hasil konfirmasi ke LME website diketahui bahwa nilai LME adalah nilai FOB;
bahwa hal ini membuktikan bahwa biaya Sea Transportation tidak memenuhi prinsip 3M sebagaimana diatur pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
bahwa dokumen korespondensi antara Terbanding dengan LME website terlampir — Lampiran frasa "FOB tempat pengapalan di Indonesia" yang terdapat pada Pasal 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya merupakan syarat penjualan/penyerahan produk, bukan hanya merupakan jumlah yang harus dicantumkan oleh Pemohon Banding di Peredaran Usaha;
bahwa berdasarkan Pasal 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya, syarat penjualan yang dilakukan oleh Pemohon Banding dalam rangka penjualan konsentrat kepada pembeli adalah "FOB (Free On Board) Point of Shipment";
bahwa oleh karenanya mengacu pada Pasal 1342 KUHPerdata, jika kata-kata suatu perjanjian jelas tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran, maka kata-kata yang secara jelas tertuang dalam Pasal 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya bahwa syarat penjualan adalah FOB tempat pengapalan Indonesia tidak diperkenankan untuk ditafsirkan lagi;
bahwa dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa pembebanan biaya ini telah sesuai dengan Paragraf 3 (j) Lampiran F KK yang mengatur bahwa biaya "bongkar, muat, penyimpanan, pengangkutan dan pengapalan, dan biaya-biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi)" boleh dikurangkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak (deductible expenses) adalah tidak tepat karena hal ini akan bertentangan dengan Pasal 1348 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang menyatakan: "Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya" dan pada Pasal 1342 KUHPerdata diatur bahwa "Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran";
bahwa Paragraf 3 (j) Lampiran F KK tidak ada kalimat yang menyatakan bahwa biaya yang dimaksud pada pasal ini adalah biaya yang berkaitan dengan Pasal 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya;
bahwa mengacu pada Pasal 1348 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu pasal-pasal dalam suatu perjanjian tidak boleh bertentangan satu dengan lainnya, sebagaimana juga diyakini oleh Majelis Hakim yang mulia bahwa pasal-pasal dalam Kontrak Karya tidak mungkin saling bertentangan, maka dalam memahami Pasal 3 huruf j Lampiran F Kontrak Karya harus pula memperhatikan Pasal 11 huruf a dan Pasal 3 huruf j Lampiran F Kontrak Karya;
bahwa dengan demikian, pada saat konsentrat telah sampai di tempat pengapalan di Indonesia yaitu pelabuhan Amamapare di Timika, maka di pelabuhan tersebut telah terjadi penyerahan konsentrat dari Pemohon Banding kepada customer;
bahwa oleh karena telah terjadi penyerahan konsentrat dari Pemohon Banding kepada customer, maka konsentrat tersebut menjadi milik customer sehingga secara fiskal biaya insurance maupun biaya transportasi yang terkait dengan pengiriman barang dari pelabuhan Amamapare ke pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab pembeli dan bukan tanggang jawab Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Incoterms 2000 (International Commercial Terms) — Peraturan resmi ICC (International Chamber of Commerce) untuk interpretasi syarat-syarat perdagangan —1 Januari 2000, dalam hal syarat penjualan barang adalah "FOB Point of Shipment" maka biaya asuransi maupun biaya transportasi yang terkait dengan pengiriman konsentrat dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab customer;
bahwa berdasarkan uraian di atas, maka tidak seharusnya Pemohon Banding membebankan Biaya Sea Transportation sebesar USD54,869,392.00;
bahwa oleh karena itu, Terbanding berpendapat bahwa biaya pengangkutan dan pengapalan dan biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi) yang dapat dibebankan sebagai biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf j Lampiran F Kontrak Karya adalah biaya yang timbul terkait dengan pengiriman barang sampai dengan pelabuhan Amamapare atau selama konsentrat tersebut belum diserahkan kepada customer;
bahwa dengan demikian, dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa biaya transportasi dan asuransi dalam rangka pengiriman barang telah sesuai dengan Kontrak Karya hanya dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Kontrak Karya secara parsial (khususnya Pasal 3 huruf j Lampiran F Kontrak Karya) adalah pemahaman yang keliru dan menyesatkan;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat telah benar dan tepat sesuai dengan fakta yang ada dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, koreksi yang dilakukan berkaitan dengan Biaya Sea Transportation sebesar USD54,869,392.00;
bahwa oleh karenanya, Terbanding memohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukan Pemohon Banding dan tetap mempertahankan koreksi Terbanding tersebut;
bahwa berdasarkan Closing Statement Terbanding sebagaimana tercantum dalam Surat Terbanding Nomor: S-1659/PJ.07/2015 tanggal 11 Maret 2015, pada pokoknya Terbanding menyatakan hal-hal sebagai berikut:
DASAR HUKUM
bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), menyatakan:
Pasal 1 angka 6
“Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku”
Pasal 31 ayat (2)
“Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 69 ayat (1)
“Alat bukti dapat berupa:
a. | surat atau tulisan; |
b. | keterangan ahli; |
c. | keterangan para saksi; |
d. | pengakuan para pihak; dan/atau |
e. | pengetahuan Hakim” |
Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 6 ayat (1) huruf a
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. | biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunqa, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan” |
Pasal 9 ayat (1) huruf i
”Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan”
Pasal 18 ayat (2)
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 33 A ayat (4)
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak den gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dan PT FI:
Pasal 13
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
(i)….
(ii)…..
(iii) Pajak Penghasilan Badan atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan.
Perusahaan akan membayar pajak penghasilan badan (dihitung sesuai dengan Lampiran "F") atas penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Perusahaan....
….
Untuk menghitung penghasilan kena pajak, berlaku tatacara perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran "F" yang merupakan bagian dari Persetujuan ini dan kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini clan dalam Lampiran "F", ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya, akan berlaku”
bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kepolisian), menyatakan:
Pasal 2
“Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”
Pasal 4
“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”
Pasal 5 ayat (1)
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”
Pasal 13
“Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. | memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; |
b. | menegakkan hukum; dan |
c. | memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat” |
Pasal 14 ayat (1)
“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. | melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; |
b. | menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; |
c. | membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; |
d. | turut serta dalam pembinaan hukum nasional; |
e. | memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; |
f. | melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; |
g. | melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; |
h. | menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan togas kepolisian; |
i. | melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; |
j. | melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; |
k. | memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta |
l. | melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;” |
Pasal 26 ayat (1) dan (2)
(1) | Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak; |
(2) | Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah; |
bahwa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2004 Tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (selanjutnya disebut Keppres 63 Tahun 2004), menyatakan:
Pasal 1 angka 2
“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksudkan dengan Pengelola Obyek Vital Nasional adalah perangkat otoritas dari Obyek Vital Nasional”
Pasal 4 ayat (1) dan (2)
(1) | Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal; |
(2) | Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban mernberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional; |
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 9
“Pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional yang selama ini dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia diserahkan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Keputusan Presiden ini”
Koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00
bahwa pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 jelas diatur bahwa Pemohon banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Kontrak Karya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak dan pada Pasal 13 Kontrak Karya jelas diatur bahwa pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, Terbanding harus menerapkan ketentuan yang ada di UU PPh Tahun 1984 dan bukan mengacu kepada "UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU No.17 Tahun 2000";
bahwa dengan demikian, dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa koreksi Terbanding tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah tidak benar;
bahwa pada saat pemeriksaan dilakukan koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00 dengan penjelasan sebagai berikut: Biaya polisi sebesar USD3,636,349.00 dikoreksi positif karena hingga akhir pemeriksaan, Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan bahwa biaya tersebut bukan merupakan sumbangan;
bahwa sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (i) UU PPh No. 7 Tahun 1983, sumbangan tidak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan;
bahwa Biaya Polisi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding sehubungan dengan pengamanan lokasi usaha Pemohon Banding yang telah ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional (Obvitnas) dengan Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2004;
bahwa berdasarkan Pasal 4 Keppres 63 Tahun 2004 tersebut diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obvitnas;
bahwa Pada Pasal 7 ketentuan yang sama, disebutkan bahwa dalam melaksanakan pengamanan Obvitnas, kepolisian dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia;
bahwa tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pemohon Banding mempunyai kewajiban untuk membiayai/memberi bantuan kepada polisi dan militer, sehingga menurut Terbanding meskipun sebagian biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan sebagaimana diatur di Pasal 6 ayat (1) UU PPh No. 7 Tahun 1983, namun secara substansi keseluruhan biaya ini merupakan sumbangan yang tidak boleh dibiayakan secara fiskal sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
bahwa Terbanding melakukan koreksi positif atas Biaya Police Support (masuk ke pos biaya lain-lain) dalam Harga Pokok Penjualan sebesar USD3,636,349.00 (99,04% dari USD3,671,596.00) yaitu jumlah koreksi tersebut merupakan jumlah biaya neto, setelah dikurangi bagian PT Rio Tinto sebesar 0,96% berdasarkan Joint Venture Sharing Ratio Tahun 2008;
bahwa menurut Pemohon Banding, bantuan terhadap polisi dalam hal ini sangat diperlukan sehingga termasuk dalam kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sesuai dengan Pasal 6 UU PPh sehingga dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung pajak penghasilan badan di dalam SPT PPh Badan;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat sebagai berikut:
bahwa sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh, Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
bahwa Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur:
“Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi: biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan.”
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
“Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan.”
bahwa dengan demikian, secara fiskal Biaya Police Support dan Biaya Military Support tidak dapat diakui pembebanannya sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengeluaran biaya tersebut dapat dikategorikan sebagai sumbangan sehingga tidak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan;
bahwa atas dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilannya dan biaya Police nyata-nyata merupakan suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya, Terbanding tanggapi sebagai berikut:
- | bahwa teori Conditio Sine Qua Non adalah salah satu terori kausalitas yang mengurai hubungan sebab-akibat dari suatu delik. Menurut teori ini, semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat waggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu dan semua sebab tersebut adalah sama dan sederajat; |
- | bahwa bila dikaitkan dengan teori conditio sine qua non maka dapat disimpulkan bahwa Pemohon Banding berpendapat syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat tidak dapat waggedacht (dihilangkan) adalah pengeluaran atas biaya Police dan Military Support, sementara itu "akibatnya" adanya keamanan. Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak tepat menerapkan teori conditio sine qua non pada perkara a quo, yaitu seolah-olah tanpa adanya biaya Police maka tidak akan tercipta keamanan di wilayah kerja Pemohon Banding. Dengan demikian, dalil Pemohon Banding tersebut di atas hanya merupakan asumsi dan sangat tidak berdasar; |
- | bahwa Pasal 2 UU Kepolisian, Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; |
- | bahwa Pasal 5 ayat (1) UU Kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri; |
- | bahwa Pasal 13 UU Kepolisian, Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU TNI, Tugas pokok TN1 adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara; |
- | bahwa oleh karenanya berkaitan dengan Keppres 63 Tahun 2004, dalam rangka memberikan bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional (wilayah tambang Pemohon Banding) yang nyata-nyata berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Polri maupun TNI sesungguhnya adalah dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebaqai alat negara di bidang pertahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 UU Kepolisian dan Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 7 ayat (1) UU TNI; |
- | bahwa Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepolisian dan Pasal 49 UU TNI, baik Kepolisian Republik Indonesia maupun TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara; |
- | bahwa berdasarkan uraian di atas jelas bahwa bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional (wilayah tambang Pemohon Banding) tidak dapat dikategorikan pula sebaqai pemberian jasa yang dikontrakkan atas nama Pengusahaan sebaqaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Lampiran "F" Kontrak Karya; |
- | bahwa pengaturan mengenai sumbangan di dalam UU PPh di tempatkan di beberapa pasal. Pasal pertama yang mengatur adalah Pasal 4 yang mengatur mengenai objek pajak dan yang dikecualikan dari objek pajak. Selanjutnya “sumbangan" juga diatur di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh, serta di dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh; |
- | bahwa dari sisi pihak yang memberikan sumbangan, Pasal 9 Ayat (1) UU PPh mengatur bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf a dan huruf b. Namun Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh memberikan pengecualian yang diatur di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh; |
- | bahwa sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan bukan merupakan sumbangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh. Oleh karena itu sesuai ketentuan Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh, sumbangan tersebut tetap tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto; |
- | bahwa dengan demikian, teori Conditio Sine Qua Non adalah teori yang hanya relevan untuk mengurai sebab-sebab dari suatu akibat yang menjadi delik hukum dan bukan teori yang menjelaskan bahwa perbuatan yang nyata-nyata dilarang oleh Undang-undang menjadi "halal" karena adanya kondisi tertentu. Dengan demikian, adalah tidak tepat menjadikan teori Conditio Sine Qua Non sebagai dalil yang mendasari tidak diberlakukannya ketentuan Undang-undang karena kondisi-kondisi tertentu; |
- | bahwa tujuan dari sistem hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan cara yang ditentukan oleh aturan hukum. Manurut The Pure Theory of Law, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda, dan hukum yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif; |
- | bahwa The Pure Theory of Law sebagai analisis ilmiah tidak menjawab apakah suatu hukum adalah adil atau tidak, melainkan untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan bagaimana hukum dibuat; |
- | bahwa dengan demikian, The Pure Theory of Law bukan menjawab pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana hukum seharusnya dibuat (ought to made); |
- | bahwa dengan demikian, dalam menyikapi sengketa pajak terkait sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan di atas seharusnya didasarkan pada hukum positif yang berlaku, dan bukan didasarkan pada doktrin atau teori tertentu, karena telah ada hukum positif yang mengaturnya; |
- | bahwa The Pure Theory of Law memaknai keadilan sebagai legalitas. Suatu aturan disebut adil jika diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Sebaliknya disebut tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa suatu tindakan adalah adil atau tidak adil berarti Legal atau ilegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid sebagai bagian dari tata hukum positif; |
- | bahwa dengan melakukan koreksi biaya sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan justru akan menciptakan keadilan karena diterapkan untuk semua kasus dan tidak dipilih-pilih. Sebaliknya, dengan mengijinkan biaya-biaya itu sebagai pengurang penghasilan bruto sebagaimana didalilkan Pemohon Banding (padahal bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh), maka justru menimbulkan ketidakadilan karena memberikan keistimewaan kepada Pemohon Banding tanpa didasari hukum positif yang jelas; |
bahwa berikut ini, Terbanding sampaikan bukti-bukti Iainnya bahwa dukungan Pemohon Banding kepada Polisi dan Militer sudah sepatutnya dipandang sebagai sumbangan, mengingat adalah kewajiban Polisi dan Militer untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam perkara a quo adalah memberikan bantuan pengamanan pada objek vital nasional;
bahwa dalam dokumen yang diunduh pada tanggal 9 Mei 2011 jam 12.35 WIB dari http:// kunjungan-kunjungan kerja Komisi I DPR RI ke Provinsi Papua.rtf (Lampiran 2);
bahwa dalam halaman 3 laporan tersebut, dituliskan "Sebagai salah satu industri pertambangan terbesar.... Dalam hubungan ini, Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menugaskan anggota Polri dan TNI dalam rangka pengamanan Pemohon Banding;
bahwa dalam dokumen yang diunduh tanggal 11 Mei 2011 jam 18.45 WIB dari http://news.okezone.com/read/2010/12/24/337/406712/keppres-63-2004-larangpolri-terima-upeti-freeport (Lampiran 3);
bahwa dalam paragraf 4 dan 5 berita tersebut, dituliskan bahwa Bambang Widodo Umar, seorang pengamat kepolisian berpendapat bahwa maksud dari Pasal 4 ayat (1) dan (2) Kepress 63/2004 adalah "Pengelola Objek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan Objek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal. Sementara pada ayat 2, Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Objek Vital Nasional”
bahwa menanggapi adanya Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. SKEP/738/X/2005 (SKEP 738) tahun 2005 yang menyatakan bahwa kebutuhan anggaran dan pengamanan dipenuhi oleh otoritas pengelola objek vital nasional, Terbanding berpendapat bahwa SKEP 738 tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk dapat dibebankannya biaya Police Support sebagai biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak (secara yuridis fiskal);
bahwa berkaitan dengan kewajiban perpajakan Pemohon Banding telah diatur secara jelas besarnya biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran "F" Kontrak Karya, dan dalam Lampiran "F" Kontrak Karya sama sekali tidak mengatur bahwa biaya yang dibayarkan kepada TNI/Polri dalam rangka pengamanan wilayah usaha Pemohon Banding dapat dibebankan sebagai biaya;
bahwa tidak diaturnya hal tersebut dalam Kontrak Karya maupun UU PPh dapat dipahami karena berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepolisian dan Pasal 49 UU TNI, baik Polri maupun TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
bahwa oleh karena itu, pemberian kepada TNI/Polri baik dalam bentuk natura maupun tunai oleh Pemohon Banding (tanpa standar yang jelas) yang menurut Pemohon Banding dalam rangka pengamanan objek vital nasional (lokasi tambang Pemohon Banding) dipandang dari perspektif perpajakan sesuai UU PPh merupakan "sumbangan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf UU PPh;
bahwa Biaya Polisi dan Militer tidak dapat dikategorikan sebagai "other expenses" sebagaimana di atur dalam Paragraf 10 Lampiran F KK karena secara substansi biaya ini merupakan "sumbangan" dan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan jelas diatur bahwa sumbangan tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak;
bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koreksi Terbanding atas Biaya Police Support telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dan Kontrak Karya;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat bahwa koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
bahwa oleh karena itu, Terbanding memohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukan Pemohon Banding dan tetap mempertahankan koreksi Terbanding tersebut;
bahwa berdasarkan Closing Statement Terbanding sebagaimana tercantum dalam Surat Terbanding Nomor: S-1659/PJ.07/2015 tanggal 11 Maret 2015, pada pokoknya Terbanding menyatakan hal-hal sebagai berikut:
DASAR HUKUM
bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), menyatakan:
Pasal 1 angka 6
“Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku”
Pasal 31 ayat (2)
“Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 69 ayat (1)
“Alat bukti dapat berupa:
a. | surat atau tulisan; |
b. | keterangan ahli; |
c. | keterangan para saksi; |
d. | pengakuan para pihak; dan/atau |
e. | pengetahuan Hakim” |
Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 6 ayat (1) huruf a
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. | biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunqa, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan” |
Pasal 9 ayat (1) huruf i
”Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan”
Pasal 18 ayat (2)
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 33 A ayat (4)
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak den gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dan PT FI:
Pasal 13
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
(i)….
(ii)…..
(iii) Pajak Penghasilan Badan atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan.
Perusahaan akan membayar pajak penghasilan badan (dihitung sesuai dengan Lampiran "F") atas penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Perusahaan....
….
Untuk menghitung penghasilan kena pajak, berlaku tatacara perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran "F" yang merupakan bagian dari Persetujuan ini dan kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini clan dalam Lampiran "F", ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya, akan berlaku”
bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disebut UU TNI), menyatakan:
Pasal 5
“TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”
Pasal 6 ayat (1) dan (2)
(1) | TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai:
|
||||||
(2) | Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara; |
Pasal 7 ayat (1) dan (2)
(1) | Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh turnpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
Pasal 49
“Setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara”
bahwa Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2004 Tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (selanjutnya disebut Keppres 63 Tahun 2004), menyatakan:
Pasal 1 angka 2
“Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksudkan dengan Pengelola Obyek Vital Nasional adalah perangkat otoritas dari Obyek Vital Nasional”
Pasal 4 ayat (1) dan (2)
(1) | Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal; |
(2) | Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban mernberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional; |
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 9
“Pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional yang selama ini dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia diserahkan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional yang bersangkutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Keputusan Presiden ini”
Koreksi Biaya Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00
bahwa pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 jelas diatur bahwa Pemohon banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Kontrak Karya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak dan pada Pasal 13 Kontrak Karya jelas diatur bahwa pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak, Terbanding harus menerapkan ketentuan yang ada di UU PPh Tahun 1984 dan bukan mengacu kepada "UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan UU No.17 Tahun 2000";
bahwa dengan demikian, dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa koreksi Terbanding tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah tidak benar;
bahwa pada saat pemeriksaan dilakukan koreksi Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00 dengan penjelasan sebagai berikut: Biaya Militer sebesar USD2,717,364.00 dikoreksi positif karena hingga akhir pemeriksaan, Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan bahwa biaya tersebut bukan merupakan sumbangan;
bahwa sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (i) UU PPh No. 7 Tahun 1983, sumbangan tidak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan;
bahwa Biaya Militer merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding sehubungan dengan pengamanan lokasi usaha Pemohon Banding yang telah ditetapkan sebagai Obyek Vital Nasional (Obvitnas) dengan Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2004;
bahwa berdasarkan Pasal 4 Keppres 63 Tahun 2004 tersebut diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obvitnas;
bahwa Pada Pasal 7 ketentuan yang sama, disebutkan bahwa dalam melaksanakan pengamanan Obvitnas, kepolisian dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia;
bahwa tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pemohon Banding mempunyai kewajiban untuk membiayai/memberi bantuan kepada polisi dan militer, sehingga menurut Terbanding meskipun sebagian biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan sebagaimana diatur di Pasal 6 ayat (1) UU PPh No. 7 Tahun 1983, namun secara substansi keseluruhan biaya ini merupakan sumbangan yang tidak boleh dibiayakan secara fiskal sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
bahwa Terbanding melakukan koreksi positif atas Biaya Military Support (masuk ke pos biaya lain-lain) dalam Harga Pokok Penjualan sebesar USD2,717,364.00 (99,04% dari USD2,743,704.00) yaitu jumlah koreksi tersebut merupakan jumlah biaya neto, setelah dikurangi bagian PT Rio Tinto sebesar 0,96% berdasarkan Joint Venture Sharing Ratio Tahun 2008;
bahwa menurut Pemohon Banding, bantuan terhadap polisi dan militer dalam hal ini sangat diperlukan sehingga termasuk dalam kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sesuai dengan Pasal 6 UU PPh sehingga dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung pajak penghasilan badan di dalam SPT PPh Badan;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat sebagai berikut:
bahwa sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh, Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud;
bahwa Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur:
“Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi: biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu, meliputi biaya pembelian bahan, upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan.”
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa:
“Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan.”
bahwa dengan demikian, secara fiskal Biaya Military Support tidak dapat diakui pembebanannya sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh No. 7 Tahun 1983, pengeluaran biaya tersebut dapat dikategorikan sebagai sumbangan sehingga tidak dapat dikurangkan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan;
bahwa atas dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilannya dan Military Support nyata-nyata merupakan suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya, Terbanding tanggapi sebagai berikut:
- | bahwa teori Conditio Sine Qua Non adalah salah satu terori kausalitas yang mengurai hubungan sebab-akibat dari suatu delik. Menurut teori ini, semua syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat dan yang tidak dapat waggedacht (dihilangkan) dari rangkaian faktor-faktor yang bersangkutan harus dianggap causa (sebab) akibat itu dan semua sebab tersebut adalah sama dan sederajat; | ||||||
- | bahwa bila dikaitkan dengan teori conditio sine qua non maka dapat disimpulkan bahwa Pemohon Banding berpendapat syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat tidak dapat waggedacht (dihilangkan) adalah pengeluaran atas Military Support, sementara itu "akibatnya" adanya keamanan. Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak tepat menerapkan teori conditio sine qua non pada perkara a quo, yaitu seolah-olah tanpa adanya biaya Military Support maka tidak akan tercipta keamanan di wilayah kerja Pemohon Banding. Dengan demikian, dalil Pemohon Banding tersebut di atas hanya merupakan asumsi dan sangat tidak berdasar; | ||||||
- | bahwa Pasal 5 UU TNI, TNI berperan sebagal alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara; | ||||||
- | bahwa Pasal 6 ayat (1) UU TNI, TNI, sebagal alat pertahanan negara, berfungsi sebagai:
|
||||||
- | bahwa Pasal 13 UU Kepolisian, Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU TNI, Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara; | ||||||
- | bahwa oleh karenanya berkaitan dengan Keppres 63 Tahun 2004, dalam rangka memberikan bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional (wilayah tambang Pemohon Banding) yang nyata-nyata berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Polri maupun TNI sesungguhnya adalah dalam rangka melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebaqai alat negara di bidang pertahanan sebaqaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 13 UU Kepolisian dan Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 7 ayat (1) UU TNI; | ||||||
- | bahwa Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepolisian dan Pasal 49 UU TNI, baik Kepolisian Republik Indonesia maupun TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara; | ||||||
- | bahwa berdasarkan uraian di atas jelas bahwa bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional (wilayah tambang Pemohon Banding) tidak dapat dikategorikan pula sebaqai pemberian jasa yang dikontrakkan atas nama Pengusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b Lampiran "F" Kontrak Karya; | ||||||
- | bahwa pengaturan mengenai sumbangan di dalam UU PPh di tempatkan di beberapa pasal. Pasal pertama yang mengatur adalah Pasal 4 yang mengatur mengenai objek pajak dan yang dikecualikan dari objek pajak. Selanjutnya “sumbangan" juga diatur di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh, serta di dalam Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh; | ||||||
- | bahwa dari sisi pihak yang memberikan sumbangan, Pasal 9 Ayat (1) UU PPh mengatur bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf a dan huruf b. Namun Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh memberikan pengecualian yang diatur di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh; | ||||||
- | bahwa sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan bukan merupakan sumbangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf i sampai dengan m UU PPh. Oleh karena itu sesuai ketentuan Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh, sumbangan tersebut tetap tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto; | ||||||
- | bahwa dengan demikian, teori Conditio Sine Qua Non adalah teori yang hanya relevan untuk mengurai sebab-sebab dari suatu akibat yang menjadi delik hukum dan bukan teori yang menjelaskan bahwa perbuatan yang nyata-nyata dilarang oleh Undang-undang menjadi "halal" karena adanya kondisi tertentu. Dengan demikian, adalah tidak tepat menjadikan teori Conditio Sine Qua Non sebagai dalil yang mendasari tidak diberlakukannya ketentuan Undang-undang karena kondisi-kondisi tertentu; | ||||||
- | bahwa tujuan dari sistem hukum adalah mendorong manusia dengan teknik tertentu agar bertindak dengan cara yang ditentukan oleh aturan hukum. Manurut The Pure Theory of Law, hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda, dan hukum yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif; | ||||||
- | bahwa The Pure Theory of Law sebagai analisis ilmiah tidak menjawab apakah suatu hukum adalah adil atau tidak, melainkan untuk menjawab pertanyaan apakah hukum itu dan bagaimana hukum dibuat; | ||||||
- | bahwa dengan demikian, The Pure Theory of Law bukan menjawab pertanyaan apakah hukum yang seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana hukum seharusnya dibuat (ought to made); | ||||||
- | bahwa dengan demikian, dalam menyikapi sengketa pajak terkait sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan di atas seharusnya didasarkan pada hukum positif yang berlaku, dan bukan didasarkan pada doktrin atau teori tertentu, karena telah ada hukum positif yang mengaturnya; | ||||||
- | bahwa The Pure Theory of Law memaknai keadilan sebagai legalitas. Suatu aturan disebut adil jika diterapkan pada semua kasus di mana menurut isinya memang aturan tersebut harus diaplikasikan. Sebaliknya disebut tidak adil jika suatu aturan diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus lain yang sama. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata aturan positif, tetapi dengan pelaksanaannya. Menurut legalitas, pernyataan bahwa suatu tindakan adalah adil atau tidak adil berarti Legal atau ilegal, yaitu tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan norma hukum yang valid sebagai bagian dari tata hukum positif; | ||||||
- | bahwa dengan melakukan koreksi biaya sumbangan yang dibayarkan kepada aparat keamanan justru akan menciptakan keadilan karena diterapkan untuk semua kasus dan tidak dipilih-pilih. Sebaliknya, dengan mengijinkan biaya-biaya itu sebagai pengurang penghasilan bruto sebagaimana didalilkan Pemohon Banding (padahal bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf g UU PPh), maka justru menimbulkan ketidakadilan karena memberikan keistimewaan kepada Pemohon Banding tanpa didasari hukum positif yang jelas; |
bahwa berikut ini, Terbanding sampaikan bukti-bukti Iainnya bahwa dukungan Pemohon Banding kepada Polisi dan Militer sudah sepatutnya dipandang sebagai sumbangan, mengingat adalah kewajiban Polisi dan Militer untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam perkara a quo adalah memberikan bantuan pengamanan pada objek vital nasional;
bahwa dalam dokumen yang diunduh pada tanggal 9 Mei 2011 jam 12.35 WIB dari http:// kunjungan-kunjungan kerja Komisi I DPR RI ke Provinsi Papua.rtf (Lampiran 2);
bahwa dalam halaman 3 laporan tersebut, dituliskan "Sebagai salah satu industri pertambangan terbesar.... Dalam hubungan ini, Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menugaskan anggota Polri dan TNI dalam rangka pengamanan Pemohon Banding;
bahwa dalam dokumen yang diunduh tanggal 11 Mei 2011 jam 18.45 WIB dari http://news.okezone.com/read/2010/12/24/337/406712/keppres-63-2004-larangpolri-terima-upeti-freeport (Lampiran 3);
bahwa dalam paragraf 4 dan 5 berita tersebut, dituliskan bahwa Bambang Widodo Umar, seorang pengamat kepolisian berpendapat bahwa maksud dari Pasal 4 ayat (1) dan (2) Kepress 63/2004 adalah "Pengelola Objek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan Objek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal, sementara pada ayat 2, Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Objek Vital Nasional”;
bahwa menanggapi adanya Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. SKEP/738/X/2005 (SKEP 738) tahun 2005 yang menyatakan bahwa kebutuhan anggaran dan pengamanan dipenuhi oleh otoritas pengelola objek vital nasional, Terbanding berpendapat bahwa SKEP 738 tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk dapat dibebankannya biaya Police Support sebagai biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak (secara yuridis fiskal);
bahwa berkaitan dengan kewajiban perpajakan Pemohon Banding telah diatur secara jelas besarnya biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran "F" Kontrak Karya, dan dalam Lampiran "F" Kontrak Karya sama sekali tidak mengatur bahwa biaya yang dibayarkan kepada TNI/Polri dalam rangka pengamanan wilayah usaha Pemohon Banding dapat dibebankan sebagai biaya;
bahwa tidak diaturnya hal tersebut dalam Kontrak Karya maupun UU PPh dapat dipahami karena berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepolisian dan Pasal 49 UU TNI, baik Polri maupun TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
bahwa oleh karena itu, pemberian kepada TNI/Polri baik dalam bentuk natura maupun tunai oleh Pemohon Banding (tanpa standar yang jelas) yang menurut Pemohon Banding dalam rangka pengamanan objek vital nasional (lokasi tambang Pemohon Banding) dipandang dari perspektif perpajakan sesuai UU PPh merupakan "sumbangan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf UU PPh;
bahwa Biaya Polisi dan Militer tidak dapat dikategorikan sebagai "other expenses" sebagaimana di atur dalam Paragraf 10 Lampiran F KK karena secara substansi biaya ini merupakan "sumbangan" dan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan jelas diatur bahwa sumbangan tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak;
bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koreksi Terbanding atas Biaya Military Support telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dan Kontrak Karya;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat bahwa koreksi Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
bahwa oleh karena itu, Terbanding memohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukan Pemohon Banding dan tetap mempertahankan koreksi Terbanding tersebut;
bahwa berdasarkan Closing Statement Terbanding sebagaimana tercantum dalam Surat Terbanding Nomor: S-1659/PJ.07/2015 tanggal 11 Maret 2015, pada pokoknya Terbanding menyatakan hal-hal sebagai berikut:
DASAR HUKUM
bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak), menyatakan:
Pasal 1 angka 6
“Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku”
Pasal 31 ayat (2)
“Pengadilan Pajak dalam hal Banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 69 ayat (1)
“Alat bukti dapat berupa:
a. | surat atau tulisan; |
b. | keterangan ahli; |
c. | keterangan para saksi; |
d. | pengakuan para pihak; dan/atau |
e. | pengetahuan Hakim” |
Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 6 ayat (1) huruf a
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:
a. | biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan upah, dan gaji karyawan termasuk bonus atau gratifikasi, honorarium, bunqa, sewa, royalti, biaya perjalanan, piutang yang tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak, kecuali pajak penghasilan” |
Pasal 9 ayat (1) huruf i
”Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan”
Pasal 18 ayat (2)
“Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau pengurangan, dan menentukan hutang sebagai modal untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya”
bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, menyatakan:
Pasal 33 A ayat (4)
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak den gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dan PT FI:
Pasal 13
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut:
(i)….
(ii)…..
(iii) Pajak Penghasilan Badan atas penghasilan yang diperoleh Perusahaan.
Perusahaan akan membayar pajak penghasilan badan (dihitung sesuai dengan Lampiran "F") atas penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Perusahaan....
….
Untuk menghitung penghasilan kena pajak, berlaku tatacara perhitungan Pajak Penghasilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran "F" yang merupakan bagian dari Persetujuan ini dan kecuali ditetapkan lain dalam Persetujuan ini clan dalam Lampiran "F", ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaannya, akan berlaku”
Paragraf 6 huruf f
6. | "Biaya-biaya untuk penjualan, Umum dan Administrasi" dalam suatu Tahun dikurangkan dari penerimaan dan termasuk, tetapi tidak terbatas kepada…. Hal-hal berikut harus dimasukkan dalam biaya-biaya penjualan umum dan administrasi dari Perusahaan:
|
Koreks Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00
bahwa Terbanding melakukan koreksi positif atas Biaya Priv. Co. Compensable Expense dalam Harga Pokok Penjualan sebesar USD1,852,190.00 (99,04% dari USD1,870,143.00) yaitu jumlah koreksi tersebut merupakan jumlah biaya neto, setelah dikurangi bagian PT Rio Tinto sebesar 0,96% berdasarkan Joint Venture Sharing Ratio tahun 2008;
bahwa menurut Pemohon Banding, pengeluaran ini dimaksudkan sebagai tambahan penghasilan bagi KWN untuk dapat mempertahankan beroperasinya PT. Kencana Wisata Karya (selanjutnya disebut KWN) dalam rangka mendukung operasi Pemohon Banding melalui penyediaan sarana akomodasi yang sangat dibutuhkan bagi karyawan Pemohon Banding dan kontraktor yang berkantor di luar lokasi proyek dan ditugaskan ke lokasi proyek;
bahwa berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan Tahun 2008, KWN dilaporkan oleh Pemohon Banding sebagai pihak afiliasi;
bahwa hal ini menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan oleh Pemohon Banding bahwa KWN bukanlah pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah tidak benar atau menyesatkan;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Terbanding berpendapat sebagai berikut:
bahwa sesuai Pasal 33A ayat (4) UU PPh, Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimeksud;
bahwa pada Pasal 13 Kontrak Karya diatur bahwa dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Lampiran F Kontrak Karya dan untuk hal-hal yang tidak diatur pada Lampiran F Kontrak Karya, Pemohon Banding harus menerapkan ketentuan yang ada di Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan mengatur bahwa: Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan: sumbangan;
bahwa Master Agreement hanya mengatur hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang bertransaksi sedangkan mengenai boleh tidaknya suatu biaya dibebankan secara fiskal harus memperhatikan ketentuan yang ada di Kontrak Karya dan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan;
bahwa secara substansi, pengeluaran yang diberikan sebagai tambahan penghasilan bagi KWN merupakan pemberian subsidi sehingga dapat dikategorikan sebagai pemberian sumbangan sehingga tidak boleh dibiayakan sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf UU No. 7 Tahun 1983;
bahwa biaya ini tidak dapat dikategorikan sebagai "other expenses" sebagaimana diatur dalam Paragraf 10 Lampiran F KK karena secara substansi biaya ini merupakan "sumbangan" dan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan jelas diatur bahwa sumbangan tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak;
bahwa sebagai informasi kepada Majelis Hakim yang mulia bahwa pada tahun pajak 2007 Terbanding telah melakukan koreksi atas Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD2,297,069.00, namun demikian, Pemohon Banding tidak mengajukan banding atas sengketa tersebut;
bahwa Terbanding berpendapat bahwa koreksi Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 telah sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU No. 7 Tahun 1983;
bahwa oleh karena itu, Terbanding memohon kepada Majelis Hakim yang mulia untuk menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukan Pemohon Banding dan tetap mempertahankan koreksi Terbanding tersebut;
bahwa berdasarkan Pendapat Akhir Pemohon Banding sebagaimana tercantum dalam Surat Pemohon Banding tanpa nomor tanggal 10 Maret 2015, Pemohon Banding pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa Pemohon Banding tidak setuju terhadap kesimpulan Terbanding bahwa Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance dari pelabuhan asal (pelabuhan Pemohon Banding) ke pelabuhan tujuan (pelabuhan buyer) merupakan tanggung jawab buyer dan bukan tanggung jawab Pemohon Banding sehingga biaya Sea Transportation & Insurance tersebut dianggap tidak dapat dibiayakan oleh Pemohon Banding;
bahwa kesimpulan Terbanding ini diambil karena Terbanding salah menafsirkan maksud Paragraf 11 huruf (a) Lampiran "F" KK yang menyatakan penghasilan kotor dihitung atas dasar FOB tempat pengapalan di Indonesia;
bahwa berikut adalah alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas:
bahwa Paragraf 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya adalah ketentuan yang mengatur tentang pengakuan Penghasilan yang merupakan obyek PPh Badan;
bahwa dalam konteks menghitung Penghasilan Kena Pajak ("PKP"), Paragraf 11 (a) Lampiran F KK hanya mengatur tentang definisi "Penghasilan Kotor" dan bukan untuk menentukan biaya-biaya apa saja yang dapat dikurangkan dalam menghitung PKP. Paragraf 11 (a) Lampiran F KK memiliki maksud dan fungsi yang serupa dengan Pasal 4 UU PPh, yaitu mengatur tentang definisi penghasilan;
bahwa ketentuan Paragraf 11 (a) Lampiran F KK bukan merupakan ketentuan yang mengatur tentang apakah biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance dapat dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (status "deductibility");
bahwa penentuan tentang biaya-biaya apa saja yang dapat dikurangkan dalam menghitung PKP (deductible expenses) merupakan ruang lingkup Paragraf 3-10 Lampiran F KK;
bahwa Paragraf 3-10 Lampiran F KK memiliki maksud dan fungsi yang serupa dengan Pasal 6 UU PPh, yaitu mengatur tentang biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung PKP;
bahwa status deductibility dari biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance diatur dalam ketentuan Paragraf 3 (j) Lampiran "F" KK yang secara jelas dan tegas mengatur bahwa biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance sebagai "Biaya yang dapat dikurangkan" dalam menghitung PKP;
bahwa Istilah "FOB tempat pengapalan di Indonesia" yang digunakan dalam definisi "Penghasilan Kotor" sebagaimana dimaksud pada Paragraf 11 (a) Lampiran F KK pada hakikatnya merujuk pada saat berpindahnya kepemilikan atau diakuinya penghasilan;
bahwa berdasarkan ketentuan ini, maka Pemohon Banding harus mengakui penghasilan pada saat barang yang dijual (konsentrat tembaga) telah dimasukkan ke kapal di pelabuhan muat di Indonesia;
bahwa sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim, tanpa mengurangi bobot alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas, berikut ini Pemohon Banding sampaikan beberapa informasi yang mendukung ketidaksetujuan Pemohon Banding atas pandangan Terbanding:
a. | Pendapat Hukum dari firma hukum Mochtar Karuwin Komar tentang interpretasi ketentuan KK sehubungan dengan Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance |
bahwa Pendapat Hukum firma hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan Paragraf 11 huruf (a) Lampiran F KK tidak mempengaruhi (membatasi) berlakunya ketentuan Paragraf 3 huruf (j) Lampiran F KK yang mengatur secara jelas dan tegas bahwa biaya-biaya untuk pengangkutan, pengapalan dan pengiriman lainnya serta asuransi merupakan pengeluaranpengeluaran dan biaya-biaya yang dapat menjadi pengurang Penghasilan Kotor (deductible expense) sesuai dengan Paragraf 13 Lampiran F KK;
b. | Informasi tentang praktik bisnis internasional yang berlaku umum bagi biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance dalam perdagangan konsentrat tembaga |
bahwa berdasarkan beberapa contoh dokumen di bawah ini:
- | Contoh Concentrate Sales Agreement (CSA) Konsentrat Tembaga Pihak Lain; |
- | Contoh Tender Offer Konsentrat Tembaga Pihak Lain; dan |
- | Studi dari Wood Mackenzie dalam "Copper Concentrate Freight Cost — A Report for PT FI". |
dapat diketahui bahwa dalam praktek bisnis internasional yang berlaku umum untuk penjualan konsentrat tembaga ("customary practice"), syarat penyerahan ("Term of Delivery") yang disepakati oleh penjual dan pembeli adalah CIF ("Cost, Insurance and Freight");
bahwa hal ini berarti bahwa seluruh biaya pengiriman (termasuk biaya freight dan insurance) ditanggung oleh penjual;
bahwa sebagaimana disimpulkan dalam studi Mackenzie, biaya freight dan insurance ditanggung oleh penjual dan tidak dibebankan kepada pembeli baik melalui harga barang maupun cara-cara lainnya;
c. | Praktik penjualan konsentrat Pemohon Banding telah sesuai dengan Pasal 11 (2) KK yang mensyaratkan bahwa penjualan dilakukan sesuai dengan praktik bisnis internasional perdagangan konsentrat tembaga |
bahwa Pasal 11 (2) KK mensyaratkan agar Pemohon Banding melakukan penjualan produknya berdasarkan praktik bisnis internasional yang berlaku umum dalam perdagangan konsentrat tembaga;
bahwa hal tersebut telah diterapkan dan tercermin dari informasi tentang Term of Delivery, Transfer of Title dan Penentuan Harga di dalam Consentrate Sales Agreement (CSA) Pemohon Banding, yang secara konsisten diterapkan baik kepada pembeli afiliasi maupun non-afiliasi;
d. | Pencatatan dan pengakuan biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance Pemohon Banding telah sesuai dengan pedoman pembebanan biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) |
bahwa Pemohon Banding berpandangan bahwa pada dasarnya pengakuan biaya Freight & Insurance yang dilakukan oleh Pemohon Banding telah sesuai dengan pedoman pembebanan biaya Freight & Insurance berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:
- | Pengakuan kewajiban, penghasilan, beban Pemohon Banding telah mengikuti pedoman Kerangka Dasar Penyusunan & Penyajian Laporan Keuangan tentang Pengakuan ("Recognition") Kewajiban, Penghasilan dan Beban; |
- | Pemohon Banding telah menerapkan prinsip Matching Costs Against Revenue sebagaimana dijelaskan dalam PSAK 23 tentang Pendapatan; |
- | Pendapat ahli di bidang akuntansi tentang prinsip Pengakuan dan Pencatatan beban Transportasi juga mendukung bahwa transportation cost dapat saja ditanggung oleh penjual maupun pembeli, sesuai kesepakatan dalam sales agreement; |
e. | Penjelasan mengenai perbandingan konstruksi hukum tentang aspek perpajakan dalam KK dan UU PPh |
bahwa perbandingan konstruksi hukum tentang aspek perpajakan dalam KK dan UU PPh dapat dijelaskan dalam tabel berikut:
No. | Menurut UU PPh | Menurut KK |
1 | Penghasilan Kena Pajak Pasal 16 ayat (1) | Penghasilan Kena Pajak Pasal 13(3) KK jo. Paragraf 13 Lampiran F KK |
2 | Objek Pajak Pasal 4 ayat (1) | Penghasilan Kotor Paragraf 11 Lampiran F KK, termasuk Paragraf 11(a) Lampiran F KK |
3 | Biaya yang dapat dikurangkan Pasal 6 ayat (1) | Biaya Operasi Paragraf 3-10 Lampiran F KK |
4 | Biaya yang tidak dapat dikurangkan Pasal 9 ayat (1) | Biaya yang tidak dapat dikurangkan Paragraf 13 Lampiran F KK jo. Pasal 9 ayat (1) UU PPh |
bahwa berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa ketentuan tentang deductible expenses diatur secara terpisah dari ketentuan tentang definisi Objek Pajak (Penghasilan);
bahwa dapat terlihat bahwa Paragraf 11 (a) Lampiran "F" KK adalah ketentuan tentang pengakuan penghasilan yang fungsinya kurang lebih mirip dengan fungsi Pasal 4 ayat (1) UU PPh;
bahwa sementara itu, deductible expenses diatur secara terpisah dalam Paragraf 3-10 Lampiran "F" KK yang fungsinya kurang lebih mirip dengan fungsi Pasal 6 ayat (1) UU PPh;
bahwa dengan demikian, pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance adalah non-deductible expenses berdasarkan Paragraf 11 (a) Lampiran "F" KK adalah anggapan yang tidak memiliki dasar hukum karena Paragraf 11 (a) Lampiran "F" KK bukan merupakan, dan tidak dapat digunakan sebagai, dasar hukum untuk menentukan deductibility biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance;
f. | Informasi mengenai Invoice pembanding dari usaha sejenis |
bahwa Pemohon Banding telah menyampaikan informasi pembanding berupa contoh invoice dari PT NNT dan Anglo American Sur S.A., yang merupakan perusahaan sebanding (comparable companies), untuk dapat dijadikan sebagai data pembanding bahwa nilai Freight dan Insurance (Sea Transportation) memang tidak ditambahkan ke dalam komponen harga jual;
g. | Referensi Putusan Pengadilan Pajak untuk Tahun Pajak 2005 |
bahwa sebagai bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Pengadilan Pajak, Pemohon Banding telah menerima Putusan banding untuk Tahun Pajak 2005 Nomor Put.57756/PP/M.XVB/15/2014 tanggal 26 November 2014, dimana Majelis Hakim telah memutuskan untuk menolak koreksi dari Terbanding atas sengketa yang sama;
bahwa penjelasan lebih lanjut terkait dengan alasan-alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas akan Pemohon Banding uraikan secara lebih mendalam pada Lampiran -1 dari Pendapat Akhir Pemohon Banding;
bahwa sesuai dengan penjelasan di atas, Pemohon Banding berpandangan bahwa biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance seharusnya dapat dikurangkan sebagai deductible expense di dalam perhitungan PPh Badan Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Pendapat Akhir Pemohon Banding sebagaimana tercantum dalam Surat Pemohon Banding tanpa nomor tanggal 10 Maret 2015, Pemohon Banding pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa berdasarkan Pendapat Akhir Pemohon Banding sebagaimana tercantum dalam Surat Pemohon Banding tanpa nomor tanggal 10 Maret 2015, Pemohon Banding pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa Pemohon Banding tidak setuju terhadap kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa Biaya Police adalah sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dari perhitungan PPh Badan Pemohon Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (i) UU PPh 1984;
bahwa berikut adalah alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas:
bahwa dasar hukum yang digunakan Terbanding tidak benar;
bahwa pandangan Terbanding yang mengacu kepada ketentuan UU PPh 1984 adalah tidak benar, karena sesuai dengan ketentuan KK, Terbanding seharusnya mengacu kepada UU PPh 2000;
bahwa Biaya Police dan Military Support bukan merupakan sumbangan;
bahwa pada kenyataannya, biaya Police tersebut merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya;
bahwa hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional (OBVITNAS), sehingga menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. : SKEP/738/X12005, biaya dukungan pengamanan ini memang harus ditanggung oleh Pemohon Banding;
bahwa biaya Police merupakan Deductible Expense;
bahwa Karakteristik dari biaya Police dan Military Support tersebut juga memenuhi biaya "Operating Expense" sebagaimana di atur dalam Paragraf 3 (b) Lampiran "F" KK, yakni sebagai bagian dari "Contracted Service";
bahwa selain itu, biaya tersebut memenuhi karakteristik sebagai biaya biaya yang patut/diperlukan oleh Pemohon Banding ("proper expenses") sehubungan dengan kegiatan usahanya (incurred for the purpose of the Enterprise") sebagaimana dimaksud dalam Paragraf 10 Lampiran "10" KK, yang berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya merupakan biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan sehingga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak ("Deductible Expenses");
bahwa penjelasan lebih lanjut terkait dengan alasan-alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas akan kami uraikan secara lebih mendalam di dalam Lampiran -2 dari Pendapat Akhir Pemohon Banding;
bahwa demikian Pendapat Akhir ini Pemohon Banding sampaikan kepada Majelis Hakim Yang Mulia;
bahwa Pemohon Banding berharap bahwa pernyataan akhir ini dapat diterima dan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membuat putusan yang seadil-adilnya;
POLICE AND MILITARY SUPPORT
bahwa Pemohon Banding tidak setuju terhadap kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa biaya Biaya Police dan Military Support adalah sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dari perhitungan PPh Badan Pemohon Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (i) UU No. 7 Tahun 1983 ("UU PPh 1984");
bahwa berikut adalah alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas;
DASAR HUKUM YANG DIGUNAKAN TERBANDING TIDAK TEPAT
bahwa Pasal 13 (3) Kontrak Karya ("KK") mengatur:
"For the purpose of calculation of taxable income, the rules for computation of corporate income tax as provided for in Annex "F" attached to and made part of this Agreement shall apply and except as otherwise stipulated in this Agreement and the said Annex "F", the rules as provided in Income Tax Law 1984, Law No. 7 of 1983 and the regulations thereunder, shall apply"
bahwa Paragraf 13 Lampiran "F" KK mengatur:
"Taxable Income" in any Year means Gross Income in such Year after deducting therefrom all amounts in respect of expenses, costs, and allowances (including the items defined in paragraphs 3 through 10 of this Annex "F") as permitted by the laws and regulations from time to time in effect and by this Agreement"
bahwa menurut Pasal 28 (7) KK, jika suatu ketentuan merujuk pada suatu undang-undang atau peraturan di Indonesia maka referensi itu dimaksudkan untuk undang-undang yang sewaktuwaktu berlaku se\cara umum (in effect from time to time);
bahwa terkait dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan frasa "Income Tax Law 1984, Law No. 7 of 1983" sebagaimana dimaksud pada butir a) di atas adalah Undang-Undang No.7 Tahun 1983 beserta perubahannya yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing laws);
bahwa oleh karena itu, pandangan Terbanding yang mengacu kepada ketentuan UU PPh 1984 adalah tidak benar, karena sesuai dengan ketentuan KK di atas, Terbanding seharusnya mengacu kepada UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT BUKAN MERUPAKAN SUMBANGAN MELAINKAN CONDITIO SINE QUA NON TERHADAP UPAYA PT FI ("PEMOHON BANDING") MEMPEROLEH PENGHASILAN
bahwa Biaya Police dan Military Support merupakan biaya yang nyata-nyata berhubungan dengan usaha dan operasi Pemohon Banding, sesuai dengan fakta-fakta berikut ini:
a. | Lokasi operasi Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional |
bahwa sesuai dengan Pasal 18 Ayat 8 KK, Perusahaan dan Pemerintah mengakui bahwa operasi perusahaan berlokasi di wilayah terpencil sehingga akan timbul biaya-biaya tambahan yang harus dipikul oleh Perusahaan;
Pasal 18 Ayat 8 KK:
"Perusahaan dan Pemerintah mengakui bahwa operasi yang sekarang dan yang diusulkan nantinya, dilaksanalcan di satu daerah yang sangat terpencil dengan satu lingkungan yang sulit dan, dengan demikian, Perusahaan telah dan akan diminta untuk mengembangkan fasilitas khusus dan melaksanakan tugas-tugas khusus untuk pemenuhan dari Persetujuan ini. Mengakui adanya tambahan beban dan pengeluaran yang akan dipikul oleh Perusahaan dari jasa-jasa tambahan yang akan dilakukan oleh Perusahaan sebagai akibat lokasi kegiatannya berada disatu lingkungan yang sulit, Pemerintah mengakui bahwa pengaturan yang tepat diperlukan untuk mengurangi biaya-biaya ekonomi dan operasional yang merugikan sebagai akibat pelaksanaan undang-undang dan peraturanperaturan yang dari waktu ke waktu berlaku, dan dalam menafsirkan kewajiban-kewajiban Perusahaan untuk memenuhi ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut."
bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 63 Tahun 2004 ("Keppres 63/2004") tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 1), pengelola Obyek Vital Nasional ("OBVITNAS") bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan obvitnas masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal;
bahwa selanjutnya Kepolisian Negara RI berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap OBVITNAS. Keppres 63/2004 juga mengatur bahwa pengelola OBVITNAS dalam penyelenggaraan pengamanan internal hams memenuhi standar kualitas atau kemampuan yang ditetapkan dengan keputusan Kapolri;
bahwa tambang emas dan tembaga Pemohon Banding telah ditetapkan sebagai OBVITNAS dan Pemohon Banding telah ditetapkan pula sebagai pengelola OBVITNAS berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1762K/07/MEM/2007 ("KEP 1762") tentang pengamanan OBVITNAS di sektor energi dan sumber daya mineral (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 2), sehingga harus memenuhi standar pengamanan obyek vital nasional yang ditetapkan oleh Kapolri;
Kewajiban TNI / Polri atas OBVITNAS
bahwa pedoman sistem pengamanan OBVITNAS dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.:SKEP/738/X12005 ("SKEP 738") tahun 2005 (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 3) yang diantaranya mengatur sebagai berikut:
Angka 1 huruf a (2):
"Polri berkewajiban memberikan bantuan pengamanan objek vital nasional dengan mengutamakan kegiatan preemtif dan preventif secara terpadu dan simultan bersama pengelola objek vital nasional."
Kewajiban Pemohon Banding atas OBVITNAS
bahwa selanjutnya Angka 1 huruf f (2) SKEP 738 mengatur:
"Kebutuhan anggaran dan pengamanan di penuhi oleh otoritas pengelola objek vital nasional"
Lampiran SKEP 738 Bab III Angka 14:
"Kebutuhan anggaran dan logistik dalam pelaksanaan sistem pengamanan objek vital nasional ini dipenuhi oleh masing-masing otoritas pengelola objek vital nasional"
bahwa berdasarkan uraian di atas, sebagaimana disebutkan dalam SKEP 738, TNI/Polri memang berkewajiban dalam mengamankan OBVITNAS;
bahwa namun demikian, Pemohon Banding selaku pengelola dari OBVITNAS (Catatan: Bukti bahwa Pemohon Banding merupakan pengelola dari OBVITNAS dapat terlihat pada Lampiran dari KEP 1762) juga memiliki kewajiban untuk memenuhi anggaran dan logistik untuk menjamin pengamanan OBVITNAS tersebut;
bahwa sangat jelas bahwa dukungan logistik dan anggaran yang diberikan oleh Pemohon Banding untuk kelancaran operasi TNI/Polri di wilayah kerja Pemohon Banding merupakan hal yang disyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
b. | Gangguan keamanan terhadap operasi Pemohon Banding |
bahwa Pemohon Banding sangat membutuhkan dukungan TNI/Polri karena Pemohon Banding beroperasi di suatu wilayah yang dari perspektif keamanan memiliki persoalan yang sangat kompleks;
bahwa hal ini tidak lepas dari sejarah masa lalu wilayah tersebut yang memang membutuhkan pengamanan yang ekstra;
bahwa Sejak awal beroperasinya, Pemohon Banding seringkali mengalami gangguan keamanan yang mengakibatkan terganggunya operasi penambangan Pemohon Banding;
bahwa insiden penembakan terjadi beberapa kali dalam 10 tahun terakhir, yang menimbulkan gangguan yang nyata bagi kegiatan operasional Pemohon Banding dan menyebabkan trauma psikis bagi karyawan Pemohon Banding;
bahwa sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim, Pemohon Banding melampirkan beberapa kliping berita mengenai gangguan keamanan yang dialami oleh Pemohon Banding sebagai Bukti Pemohon Banding- 4 s/d 13;
bahwa kliping berita tersebut kami harapkan dapat memberikan gambaran terhadap ancaman nyata yang dihadapi oleh Pemohon Banding di wilayah kerja Pemohon Banding tersebut;
No | Bukti Pemohon Banding | Tanggal | Sumber | Keterangan |
1 | 4 | 3-May- I I | Antara | Many Interest Groups Linked To Freeport Terror |
2 | 5 | 12-Apr-11 | Republika | News Photo- Victim of Shooting in Freeport |
3 | 6 | 2-Apr-10 | DPR RI | Laporan singkat Komisi IX DPR RI (Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, Badan POM, BKKBN, PT Askes (Persero), PT. Jamsostek (Persero) dan DJSN) |
4 | 7 | 25-Jan-10 | Kompas | Shooting in Timica - Six Policemen and Five Civilians Wounded |
5 | 8 | 25-Jan-10 | The Jakarta Post | Police, US employee injured in fresh attack on Freeport |
6 | 9 | 22-Oct-09 | Suara Karya | Security Disturbances - Shooting Offenders in Freeport Continue To be Hunted Down |
7 | 10 | 15-Sep-08 | Tempo interaktif | Instalasi Listrk Freeport Diincar Teror Born |
8 | 11 | 11-Sep-08 | Republik Online | Polisi Temukan Tit& Terang Pelaku Teror Born Timica |
9 | 12 | 13-Mar-06 | Kontan | Not Enough Paying Guards : The problem of safeguarding vital objects by the Indoneisan Police and Militiary |
10 | 13 | 31-Aug-02 | Kedutaan Besar Republik Indonesia | Insiden Penembakan di Papua |
c. | Letak lokasi operasi penambangan Pemohon Banding, tingginya biaya hidup di lokasi penambangan Pemohon Banding dan tunjangan operasional TNI / Polri yang tidak mencukupi |
bahwa kebutuhan atas dukungan Pemohon Banding selaku pengelola OBVITNAS kepada TNI/Polri dalam menjalankan tugas pengamanannya memang sangat dibutuhkan mengingat kondisi alam dari wilayah operasi penambangan Pemohon Banding yang sangat sulit, sebagaimana ditegaskan dalam bagian pengantar Kontrak Karya huruf E:
"Pemerintah dan Perusahaan mengakui bahwa Wilayah Kontrak Karya (sebagaimana ditetapkan di bawah berlokasi di wilayah yang sangat terpencil dengan lingkungan yang sulit, dan bahwa sehubungan dengan itu, Perusahaan sudah dan akan terus diminta untuk membangun fasilitas-fasilitas khusus dan melaksanakan fungsi-fungsi khusus untuk pemenuhan Persetujuan ini"
bahwa berdasarkan ketentuan yang berlaku, tunjangan operasional TNI/Polri dihitung hanya berdasarkan kondisi normal, sementara kondisi nyata di lokasi wilayah pertambangan Pemohon Banding adalah jauh berbeda dari kondisi normal;
bahwa sebagai gambaran, uang lauk pauk yang diberikan pada personil TNI/Polri di tahun 2007 (berlaku sejak 2005) adalah Rp17.500,00 per hari yang dinaikkan menjadi Rp35.000,00/hari sejak tahun 2008, dan saat ini adalah sebesar Rp45.000,00 per hari;
bahwa sementara itu, biaya kebutuhan hidup per hari di kota Timika saja sudah berkisar Rp125.000,00 - Rp150.000 per hari;
bahwa biaya hidup yang lebih besar mungkin diperlukan apabila personil TNI/Polri bertugas di wilayah penambangan Pemohon Banding yang terletak di pegunungan Jayawijaya, yaitu harga satu mangkok mie instant polos (tanpa telur) bisa mencapai Rp20.000.00, itu pun kalau ada orang yang menjualnya;
bahwa dengan tingginya harga dan terbatasnya pasokan barang kebutuhan pokok di wilayah kerja Pemohon Banding, maka sudah merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding untuk menyediakan logistik tambahan bagi para personil Polri yang ditugaskan untuk membantu pengamanan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa selain itu, angkutan melalui udara di Papua juga sangat sulit dan mahal sehingga TNI/Polri di Papua mengalami kesulitan untuk menjalankan tugas-tugas rutin seperti penugasan, rotasi personil serta tugas-tugas komando dan pengawasan;
bahwa mengingat hal tersebut, Pemohon Banding juga harus memberi bantuan melalui penggunaan penerbangan yang disponsori Pemohon Banding, antara lain berupa kendaraan operasional darat seperti All Terain Vehicle (contohnya Land Cruiser) yang secara teknis mampu menjangkau medan-medan sulit;
bahwa sesuai dengan amanat Kontrak Karya agar tujuan Kontrak Karya tersebut dapat dipenuhi, Pemohon Banding berkeinginan untuk mendukung institusi yang berwenang dan sah berdasarkan suatu permohonan untuk mendapatkan dukungan, dan sesuai pula dengan tujuan dan kebijaksanaan operasional Pemohon Banding serta kebutuhan untuk pengamanan, dan peraturan yang berlaku (SKEP 738);
bahwa dari seluruh penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya sehingga memang sewajarnyalah Pemohon Banding mengeluarkan biaya Police dan Military Support untuk dapat memastikan keamanan di lokasi kerja Pemohon Banding;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT BUKAN MERUPAKAN SUMBANGAN YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KEGIATAN USAHA PEMOHON BANDING
bahwa Pemohon Banding sepenuhnya menyadari bahwa dalam bukti-bukti pendukung yang Pemohon Banding sampaikan, terdapat kata-kata seperti "Sumbangan" atau "Sumbangan sukarela", yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi bahwa seakan-akan pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding tersebut adalah suatu pembayaran sukarela yang tidak mempunyai dampak apapun terhadap usaha Pemohon Banding dalam mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan;
bahwa guna menghindari kesalahan persepsi tersebut, perkenankanlah Pemohon Banding secara khusus menjelaskan hal tersebut dibawah ini:
bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa definisi "sumbangan" yang merupakan non-deductible expense dalam konteks ketentuan Pasal 9 ayat (1) (i) jo. Pasal 4 ayat (3) (a) dan (b) UU PPh 1984 dan perubahannya, merupakan pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga:
- | setiap pengeluaran yang tidak memiliki kaitan dengan usaha memperoleh penghasilan atau kegiatan usaha Wajib Pajak (tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan) adalah sumbangan (non-deductible expense); dan |
- | setiap pengeluaran perusahaan yang terkait dengan upaya memperoleh penghasilan atau kegiatan usaha Wajib Pajak (ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan) bukan merupakan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas; |
bahwa pembayaran terkait biaya Police Support dan biaya Military Support bukanlah merupakan suatu sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (i) Undang-undang PPh karena secara nyata Pemohon Banding membutuhkan dukungan pengamanan khusus dari TNI/Polri akibat banyaknya gangguan keamanan yang mengakibatkan terganggunya operasi penambangan Pemohon Banding sebagaimana dapat dilihat dalam artikel Majalah Gatra edisi 23 Maret 1996 yang berjudul "Ketika Amuk di Tambang Emas" (terlampir sebagai Bukti Pemohon — 14);
bahwa mengingat kondisi alam wilayah penambangan Pemohon Banding yang sangat sulit, dalam memberikan dukungan pengamanan khusus kepada Pemohon Banding, Pemohon Banding harus menyediakan logistik tambahan dan peralatan penunjang operasi bagi para personil TNI/Polri yang ditugaskan untuk membantu pengamanan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT MERUPAKAN DEDUCTIBLE EXPENSE
bahwa selain alasan di atas, pengeluaran sehubungan dengan biaya Police Support dan Military Support tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak (deductible expenses) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya;
bahwa hal ini dikarenakan bahwa biaya Police Support dan Military Support tersebut memang merupakan biaya yang terkait langsung dengan kegiatan usaha/operasi perusahaan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa sesuai Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU KUP dan ketentuan perpajakan KK jo UU PPh 1984 dan perubahannya, penentuan deductibility dari suatu biaya harus berdasarkan karakateristik sebenarnya biaya tersebut (sesuai dengan keadaan sebenarnya);
bahwa mengacu kepada fakta yang telah Pemohon Banding uraikan di atas, biaya Police dan Military Support nyata-nyata merupakan suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya;
bahwa lebih lanjut, karakteristik dari biaya Police dan Military Support tersebut di atas juga memenuhi biaya "Operating Expense" sebagaimana di atur dalam Paragraf 3 (b) Lampiran "F" KK, yakni sebagai bagian dari "Contracted Service";
bahwa selain itu, biaya tersebut memenuhi karakteristik sebagai biaya biaya yang patut/diperlukan oleh Pemohon Banding ("proper expenses") sehubungan dengan kegiatan usahanya (incurred for the purpose of the Enterprise") sebagaimana dimaksud dalam Paragraf 10 Lampiran "10" KK, yang berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya merupakan biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan sehingga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak ("Deductible Expenses");
bahwa dengan demikian, sesuai dengan penjelasan di atas, Pemohon Banding berpandangan bahwa biaya Police dan Military Support seharusnya dapat dikurangkan sebagai deductible expense di dalam perhitungan Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Pendapat Akhir Pemohon Banding sebagaimana tercantum dalam Surat Pemohon Banding tanpa nomor tanggal 10 Maret 2015, Pemohon Banding pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa Pemohon Banding tidak setuju terhadap kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa Biaya Police dan Military Support adalah sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dari perhitungan PPh Badan Pemohon Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (i) UU PPh 1984;
bahwa berikut adalah alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas:
bahwa dasar hukum yang digunakan Terbanding tidak benar;
bahwa pandangan Terbanding yang mengacu kepada ketentuan UU PPh 1984 adalah tidak benar, karena sesuai dengan ketentuan KK, Terbanding seharusnya mengacu kepada UU PPh 2000;
bahwa Biaya Police dan Military Support bukan merupakan sumbangan;
bahwa pada kenyataannya, biaya Police dan Military Support tersebut merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak) bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya;
bahwa hal ini juga didukung oleh fakta bahwa Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional (OBVITNAS), sehingga menurut Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol. : SKEP/738/X12005, biaya dukungan pengamanan ini memang harus ditanggung oleh Pemohon Banding;
bahwa biaya Police dan Military Support merupakan Deductible Expense;
bahwa Karakteristik dari biaya Police dan Military Support tersebut juga memenuhi biaya "Operating Expense" sebagaimana di atur dalam Paragraf 3 (b) Lampiran "F" KK, yakni sebagai bagian dari "Contracted Service";
bahwa selain itu, biaya tersebut memenuhi karakteristik sebagai biaya biaya yang patut/diperlukan oleh Pemohon Banding ("proper expenses") sehubungan dengan kegiatan usahanya (incurred for the purpose of the Enterprise") sebagaimana dimaksud dalam Paragraf 10 Lampiran "10" KK, yang berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya merupakan biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan sehingga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak ("Deductible Expenses");
bahwa penjelasan lebih lanjut terkait dengan alasan-alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas akan kami uraikan secara lebih mendalam di dalam Lampiran -2 dari Pendapat Akhir Pemohon Banding;
bahwa demikian Pendapat Akhir ini Pemohon Banding sampaikan kepada Majelis Hakim Yang Mulia;
bahwa Pemohon Banding berharap bahwa pernyataan akhir ini dapat diterima dan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk membuat putusan yang seadil-adilnya;
POLICE AND MILITARY SUPPORT
bahwa Pemohon Banding tidak setuju terhadap kesimpulan Terbanding yang menyatakan bahwa biaya Biaya Police dan Military Support adalah sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dari perhitungan PPh Badan Pemohon Banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) (i) UU No. 7 Tahun 1983 ("UU PPh 1984");
bahwa berikut adalah alasan ketidaksetujuan Pemohon Banding di atas;
DASAR HUKUM YANG DIGUNAKAN TERBANDING TIDAK TEPAT
bahwa Pasal 13 (3) Kontrak Karya ("KK") mengatur:
"For the purpose of calculation of taxable income, the rules for computation of corporate income tax as provided for in Annex "F" attached to and made part of this Agreement shall apply and except as otherwise stipulated in this Agreement and the said Annex "F", the rules as provided in Income Tax Law 1984, Law No. 7 of 1983 and the regulations thereunder, shall apply"
bahwa Paragraf 13 Lampiran "F" KK mengatur:
"Taxable Income" in any Year means Gross Income in such Year after deducting therefrom all amounts in respect of expenses, costs, and allowances (including the items defined in paragraphs 3 through 10 of this Annex "F") as permitted by the laws and regulations from time to time in effect and by this Agreement"
bahwa menurut Pasal 28 (7) KK, jika suatu ketentuan merujuk pada suatu undang-undang atau peraturan di Indonesia maka referensi itu dimaksudkan untuk undang-undang yang sewaktuwaktu berlaku secara umum (in effect from time to time);
bahwa terkait dengan penjelasan di atas, yang dimaksud dengan frasa "Income Tax Law 1984, Law No. 7 of 1983" sebagaimana dimaksud pada butir a) di atas adalah Undang-Undang No.7 Tahun 1983 beserta perubahannya yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing laws);
bahwa oleh karena itu, pandangan Terbanding yang mengacu kepada ketentuan UU PPh 1984 adalah tidak benar, karena sesuai dengan ketentuan KK di atas, Terbanding seharusnya mengacu kepada UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT BUKAN MERUPAKAN SUMBANGAN MELAINKAN CONDITIO SINE QUA NON TERHADAP UPAYA PT FI ("PEMOHON BANDING") MEMPEROLEH PENGHASILAN
bahwa Biaya Police dan Military Support merupakan biaya yang nyata-nyata berhubungan dengan usaha dan operasi Pemohon Banding, sesuai dengan fakta-fakta berikut ini:
a. | Lokasi operasi Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional |
bahwa Sesuai dengan Pasal 18 Ayat 8 KK, Perusahaan dan Pemerintah mengakui bahwa operasi perusahaan berlokasi di wilayah terpencil sehingga akan timbul biaya-biaya tambahan yang harus dipikul oleh Perusahaan;
Pasal 18 Ayat 8 KK:
"Perusahaan dan Pemerintah mengakui bahwa operasi yang sekarang dan yang diusulkan nantinya, dilaksanalcan di satu daerah yang sangat terpencil dengan satu lingkungan yang sulit dan, dengan demikian, Perusahaan telah dan akan diminta untuk mengembangkan fasilitas khusus dan melaksanakan tugas-tugas khusus untuk pemenuhan dari Persetujuan ini. Mengakui adanya tambahan beban dan pengeluaran yang akan dipikul oleh Perusahaan dari jasa-jasa tambahan yang akan dilakukan oleh Perusahaan sebagai akibat lokasi kegiatannya berada disatu lingkungan yang sulit, Pemerintah mengakui bahwa pengaturan yang tepat diperlukan untuk mengurangi biaya-biaya ekonomi dan operasional yang merugikan sebagai akibat pelaksanaan undang-undang dan peraturanperaturan yang dari waktu ke waktu berlaku, dan dalam menafsirkan kewajiban-kewajiban Perusahaan untuk memenuhi ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut."
bahwa berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 63 Tahun 2004 ("Keppres 63/2004") tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 1), pengelola Obyek Vital Nasional ("OBVITNAS") bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan obvitnas masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal;
bahwa selanjutnya Kepolisian Negara RI berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap OBVITNAS. Keppres 63/2004 juga mengatur bahwa pengelola OBVITNAS dalam penyelenggaraan pengamanan internal hams memenuhi standar kualitas atau kemampuan yang ditetapkan dengan keputusan Kapolri;
bahwa Tambang emas dan tembaga Pemohon Banding telah ditetapkan sebagai OBVITNAS dan Pemohon Banding telah ditetapkan pula sebagai pengelola OBVITNAS berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1762K/07/MEM/2007 ("KEP 1762") tentang pengamanan OBVITNAS di sektor energi dan sumber daya mineral (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 2), sehingga harus memenuhi standar pengamanan obyek vital nasional yang ditetapkan oleh Kapolri;
Kewajiban TNI / Polri atas OBVITNAS
bahwa pedoman sistem pengamanan OBVITNAS dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.:SKEP/738/X12005 ("SKEP 738") tahun 2005 (terlampir sebagai Bukti Pemohon - 3) yang diantaranya mengatur sebagai berikut:
Angka 1 huruf a (2):
"Polri berkewajiban memberikan bantuan pengamanan objek vital nasional dengan mengutamakan kegiatan preemtif dan preventif secara terpadu dan simultan bersama pengelola objek vital nasional."
Kewajiban Pemohon Banding atas OBVITNAS
bahwa selanjutnya Angka 1 huruf f (2) SKEP 738 mengatur:
"Kebutuhan anggaran dan pengamanan di penuhi oleh otoritas pengelola objek vital nasional"
Lampiran SKEP 738 Bab III Angka 14:
"Kebutuhan anggaran dan logistik dalam pelaksanaan sistem pengamanan objek vital nasional ini dipenuhi oleh masing-masing otoritas pengelola objek vital nasional"
bahwa berdasarkan uraian di atas, sebagaimana disebutkan dalam SKEP 738, TNI/Polri memang berkewajiban dalam mengamankan OBVITNAS;
bahwa namun demikian, Pemohon Banding selaku pengelola dari OBVITNAS (Catatan: Bukti bahwa Pemohon Banding merupakan pengelola dari OBVITNAS dapat terlihat pada Lampiran dari KEP 1762) juga memiliki kewajiban untuk memenuhi anggaran dan logistik untuk menjamin pengamanan OBVITNAS tersebut;
bahwa sangat jelas bahwa dukungan logistik dan anggaran yang diberikan oleh Pemohon Banding untuk kelancaran operasi TNI/Polri di wilayah kerja Pemohon Banding merupakan hal yang disyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
b. | Gangguan keamanan terhadap operasi Pemohon Banding |
bahwa Pemohon Banding sangat membutuhkan dukungan TNI/Polri karena Pemohon Banding beroperasi di suatu wilayah yang dari perspektif keamanan memiliki persoalan yang sangat kompleks;
bahwa hal ini tidak lepas dari sejarah masa lalu wilayah tersebut yang memang membutuhkan pengamanan yang ekstra;
bahwa Sejak awal beroperasinya, Pemohon Banding seringkali mengalami gangguan keamanan yang mengakibatkan terganggunya operasi penambangan Pemohon Banding;
bahwa insiden penembakan terjadi beberapa kali dalam 10 tahun terakhir, yang menimbulkan gangguan yang nyata bagi kegiatan operasional Pemohon Banding dan menyebabkan trauma psikis bagi karyawan Pemohon Banding;
bahwa sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim, Pemohon Banding melampirkan beberapa kliping berita mengenai gangguan keamanan yang dialami oleh Pemohon Banding sebagai Bukti Pemohon Banding- 4 s/d 13;
bahwa kliping berita tersebut kami harapkan dapat memberikan gambaran terhadap ancaman nyata yang dihadapi oleh Pemohon Banding di wilayah kerja Pemohon Banding tersebut;
No | Bukti Pemohon Banding | Tanggal | Sumber | Keterangan |
1 | 4 | 3-May- I I | Antara | Many Interest Groups Linked To Freeport Terror |
2 | 5 | 12-Apr-11 | Republika | News Photo- Victim of Shooting in Freeport |
3 | 6 | 2-Apr-10 | DPR RI | Laporan singkat Komisi IX DPR RI (Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, Badan POM, BKKBN, PT Askes (Persero), PT. Jamsostek (Persero) dan DJSN) |
4 | 7 | 25-Jan-10 | Kompas | Shooting in Timica - Six Policemen and Five Civilians Wounded |
5 | 8 | 25-Jan-10 | The Jakarta Post | Police, US employee injured in fresh attack on Freeport |
6 | 9 | 22-Oct-09 | Suara Karya | Security Disturbances - Shooting Offenders in Freeport Continue To be Hunted Down |
7 | 10 | 15-Sep-08 | Tempo interaktif | Instalasi Listrk Freeport Diincar Teror Born |
8 | 11 | 11-Sep-08 | Republik Online | Polisi Temukan Tit& Terang Pelaku Teror Born Timica |
9 | 12 | 13-Mar-06 | Kontan | Not Enough Paying Guards : The problem of safeguarding vital objects by the Indoneisan Police and Militiary |
10 | 13 | 31-Aug-02 | Kedutaan Besar Republik Indonesia | Insiden Penembakan di Papua |
c. | Letak lokasi operasi penambangan Pemohon Banding, tingginya biaya hidup di lokasi penambangan Pemohon Banding dan tunjangan operasional TNI / Polri yang tidak mencukupi |
bahwa kebutuhan atas dukungan Pemohon Banding selaku pengelola OBVITNAS kepada TNI/Polri dalam menjalankan tugas pengamanannya memang sangat dibutuhkan mengingat kondisi alam dari wilayah operasi penambangan Pemohon Banding yang sangat sulit, sebagaimana ditegaskan dalam bagian pengantar Kontrak Karya huruf E:
"Pemerintah dan Perusahaan mengakui bahwa Wilayah Kontrak Karya (sebagaimana ditetapkan di bawah berlokasi di wilayah yang sangat terpencil dengan lingkungan yang sulit, dan bahwa sehubungan dengan itu, Perusahaan sudah dan akan terus diminta untuk membangun fasilitas-fasilitas khusus dan melaksanakan fungsi-fungsi khusus untuk pemenuhan Persetujuan ini"
bahwa berdasarkan ketentuan yang berlaku, tunjangan operasional TNI/Polri dihitung hanya berdasarkan kondisi normal, sementara kondisi nyata di lokasi wilayah pertambangan Pemohon Banding adalah jauh berbeda dari kondisi normal;
bahwa sebagai gambaran, uang lauk pauk yang diberikan pada personil TNI/Polri di tahun 2007 (berlaku sejak 2005) adalah Rp17.500,00 per hari yang dinaikkan menjadi Rp35.000,00/hari sejak tahun 2008, dan saat ini adalah sebesar Rp45.000,00 per hari;
bahwa sementara itu, biaya kebutuhan hidup per hari di kota Timika saja sudah berkisar Rp125.000,00 - Rp150.000 per hari;
bahwa biaya hidup yang lebih besar mungkin diperlukan apabila personil TNI/Polri bertugas di wilayah penambangan Pemohon Banding yang terletak di pegunungan Jayawijaya, yaitu harga satu mangkok mie instant polos (tanpa telur) bisa mencapai Rp20.000.00, itu pun kalau ada orang yang menjualnya;
bahwa dengan tingginya harga dan terbatasnya pasokan barang kebutuhan pokok di wilayah kerja Pemohon Banding, maka sudah merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding untuk menyediakan logistik tambahan bagi para personil Polri yang ditugaskan untuk membantu pengamanan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa selain itu, angkutan melalui udara di Papua juga sangat sulit dan mahal sehingga TNI/Polri di Papua mengalami kesulitan untuk menjalankan tugas-tugas rutin seperti penugasan, rotasi personil serta tugas-tugas komando dan pengawasan;
bahwa mengingat hal tersebut, Pemohon Banding juga harus memberi bantuan melalui penggunaan penerbangan yang disponsori Pemohon Banding, antara lain berupa kendaraan operasional darat seperti All Terain Vehicle (contohnya Land Cruiser) yang secara teknis mampu menjangkau medan-medan sulit;
bahwa sesuai dengan amanat Kontrak Karya agar tujuan Kontrak Karya tersebut dapat dipenuhi, Pemohon Banding berkeinginan untuk mendukung institusi yang berwenang dan sah berdasarkan suatu permohonan untuk mendapatkan dukungan, dan sesuai pula dengan tujuan dan kebijaksanaan operasional Pemohon Banding serta kebutuhan untuk pengamanan, dan peraturan yang berlaku (SKEP 738);
bahwa dari seluruh penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya sehingga memang sewajarnya lah Pemohon Banding mengeluarkan biaya Police dan Military Support untuk dapat memastikan keamanan di lokasi kerja Pemohon Banding;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT BUKAN MERUPAKAN SUMBANGAN YANG TIDAK BERHUBUNGAN DENGAN KEGIATAN USAHA PEMOHON BANDING
bahwa Pemohon Banding sepenuhnya menyadari bahwa dalam bukti-bukti pendukung yang Pemohon Banding sampaikan, terdapat kata-kata seperti "Sumbangan" atau "Sumbangan sukarela", yang dapat menimbulkan kesalahan persepsi bahwa seakan-akan pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding tersebut adalah suatu pembayaran sukarela yang tidak mempunyai dampak apapun terhadap usaha Pemohon Banding dalam mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan;
bahwa guna menghindari kesalahan persepsi tersebut, perkenankanlah Pemohon Banding secara khusus menjelaskan hal tersebut dibawah ini:
bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa definisi "sumbangan" yang merupakan non-deductible expense dalam konteks ketentuan Pasal 9 ayat (1) (i) jo. Pasal 4 ayat (3) (a) dan (b) UU PPh 1984 dan perubahannya, merupakan pengeluaran yang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga:
- | setiap pengeluaran yang tidak memiliki kaitan dengan usaha memperoleh penghasilan atau kegiatan usaha Wajib Pajak (tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan) adalah sumbangan (non-deductible expense); dan |
- | setiap pengeluaran perusahaan yang terkait dengan upaya memperoleh penghasilan atau kegiatan usaha Wajib Pajak (ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan) bukan merupakan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas; |
bahwa pembayaran terkait biaya Police Support dan biaya Military Support bukanlah merupakan suatu sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (i) Undang-undang PPh karena secara nyata Pemohon Banding membutuhkan dukungan pengamanan khusus dari TNI/Polri akibat banyaknya gangguan keamanan yang mengakibatkan terganggunya operasi penambangan Pemohon Banding sebagaimana dapat dilihat dalam artikel Majalah Gatra edisi 23 Maret 1996 yang berjudul "Ketika Amuk di Tambang Emas" (terlampir sebagai Bukti Pemohon — 14);
bahwa mengingat kondisi alam wilayah penambangan Pemohon Banding yang sangat sulit, dalam memberikan dukungan pengamanan khusus kepada Pemohon Banding, Pemohon Banding harus menyediakan logistik tambahan dan peralatan penunjang operasi bagi para personil TNI/Polri yang ditugaskan untuk membantu pengamanan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa keamanan adalah conditio sine qua non yakni suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilannya;
BIAYA POLICE DAN MILITARY SUPPORT MERUPAKAN DEDUCTIBLE EXPENSE
bahwa selain alasan di atas, pengeluaran sehubungan dengan biaya Police Support dan Military Support tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan Penghasilan Kena Pajak (deductible expenses) sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya;
bahwa hal ini dikarenakan bahwa biaya Police Support dan Military Support tersebut memang merupakan biaya yang terkait langsung dengan kegiatan usaha/operasi perusahaan di wilayah kerja Pemohon Banding;
bahwa sesuai Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU KUP dan ketentuan perpajakan KK jo UU PPh 1984 dan perubahannya, penentuan deductibility dari suatu biaya harus berdasarkan karakateristik sebenarnya biaya tersebut (sesuai dengan keadaan sebenarnya);
bahwa mengacu kepada fakta yang telah Pemohon Banding uraikan di atas, biaya Police dan Military Support nyata-nyata merupakan suatu syarat mutlak bagi Pemohon Banding untuk dapat melaksanakan kegiatan operasinya;
bahwa lebih lanjut, karakteristik dari biaya Police dan Military Support tersebut di atas juga memenuhi biaya "Operating Expense" sebagaimana di atur dalam Paragraf 3 (b) Lampiran "F" KK, yakni sebagai bagian dari "Contracted Service";
bahwa selain itu, biaya tersebut memenuhi karakteristik sebagai biaya biaya yang patut/diperlukan oleh Pemohon Banding ("proper expenses") sehubungan dengan kegiatan usahanya (incurred for the purpose of the Enterprise") sebagaimana dimaksud dalam Paragraf 10 Lampiran "10" KK, yang berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya merupakan biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan sehingga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak ("Deductible Expenses");
bahwa dengan demikian, sesuai dengan penjelasan di atas, Pemohon Banding berpandangan bahwa biaya Police dan Military Support seharusnya dapat dikurangkan sebagai deductible expense di dalam perhitungan Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Pendapat Akhir Pemohon Banding sebagaimana tercantum dalam Surat Pemohon Banding tanpa nomor tanggal 10 Maret 2015, Pemohon Banding pada pokoknya menyatakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi fiskal (positif) atas biaya Priv. Co. Compensable Expense karena biaya Priv. Co. Compensable Expense tersebut di atas memenuhi karakteristik biaya "Other Expenses" sebagaimana diatur dalam Paragraf 10 Lampiran F KK, yakni sebagai biaya-biaya yang patut/perlu dikeluarkan ("proper expenses") untuk memperoleh atau menghasilkan pendapatan atau untuk tujuan kegiatan usaha Pemohon Banding sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh 1984 dan perubahannya (biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan);
bahwa berikut adalah pertimbangan ketidaksetujuan Pemohon Banding tersebut:
bahwa biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 merupakan pembayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada PT KWN ("KWN");
bahwa KWN (d/h AFHC) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan;
bahwa dalam hal ini, KWN memiliki sebuah hotel di Timika Papua yang dikelola oleh Sheraton International;
bahwa hotel tersebut terbuka untuk umum dan menerima penghasilan dari kegiatan usaha perhotelan berupa penerimaan tarif kamar hotel dan fasilitas hotel lainnya;
bahwa pada saat Master Service Agreement ditandatangani, tidak ada penanam modal (investor) yang berminat untuk menjalankan bisnis akomodasi di lokasi tersebut;
bahwa hal ini karena tidak terdapat kebutuhan akomodasi bisnis dan wisata di lokasi tersebut selain kegiatan akomodasi untuk menunjang kegiatan operasional Pemohon Banding;
bahwa Hotel yang dimiliki oleh KWN merupakan satu-satunya hotel yang layak dan memenuhi standar SHE (Safety, Health and Environment);
bahwa oleh karena itu, guna menunjang kegiatan operasional Pemohon Banding, Pemohon Banding membutuhkan fasilitas akomodasi yang hanya dapat diperoleh dengan adanya hotel yang dikelola oleh KWN tersebut atau dengan kata lain, keberadaan hotel tersebut merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi (conditio sine qua non) bagi kegiatan operasional Pemohon Banding;
bahwa karena adanya kebutuhan akomodasi tersebut, Pemohon Banding berkomitmen untuk membayar biaya Priv. Co. Compensable Expense agar KWN dapat beroperasi secara layak dan berkelanjutan;
bahwa sesuai Pasal 12 ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU KUP dan ketentuan perpajakan dalam KK jo UU PPh 1984 dan perubahannya, status deductibility dari suatu biaya harus berdasarkan karakteristik sebenamya biaya tersebut (sesuai dengan keadaan sebenarnya);
bahwa dengan demikian, karakteristik dari biaya Priv. Co. Compensable Expense tersebut adalah biaya yang patut/diperlukan oleh Pemohon Banding ("proper expenses") sehubungan dengan kegiatan usahanya (incurred for the purpose of the Enterprise) sebagaimana dimaksud dalam Paragraf 10 Lampiran "F" KK, yang berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU PPh 1984 dan perubahannya merupakan biaya untuk memperoleh, menagih dan memelihara penghasilan sehingga merupakan biaya yang boleh dikurangkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak ("Deductible Expenses");
bahwa berdasarkan penjelasan di atas, pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa biaya Priv. Co. Compensable Expense merupakan sumbangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf i UU PPh 1984 adalah tidak benar;
bahwa Terbanding menetapkan koreksi positif Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance sebesar USD54,869,392.00 karena sesuai dengan Kontrak Karya, syarat penjualan Pemohon Banding secara fiskal adalah FOB, sehingga Pemohon Banding seharusnya tidak memperhitungkan ongkos angkut dan asuransi pada saat melaporkan nilai penjualan, dengan demikian ongkos angkut dan biaya asuransi juga tidak boleh dibebankan secara fiskal;
bahwa menurut Terbanding, hal ini sesuai dengan Paragraf 11 (a) Lampiran F Kontrak Karya, Pasal 11(2) Kontrak Karya, Pasal 13 Paragraf (3) Kontrak Karya dan Paragraf 3 Lampiran F Kontrak Karya;
bahwa perincian koreksi Terbanding adalah sebagai berikut:
Koreksi positif biaya transportasi terdiri dari : | USD |
621 - Sea Transportation | 50,191,136.00 |
622 - Despatch | (953,906.00) |
623 - Demurrage | 5,815,222.00 |
851 - Insurance | 342,791.00 |
Jumlah | 55,401,244.00 |
Alokasi koreksi ke PT Rio Tinto | 531,851.00 |
Total koreksi biaya transportasi | 54,869,392.00 |
bahwa menurut pendapat Majelis, ketentuan peralihan dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan:
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa berdasarkan Pasal 33A ayat (4) a quo, kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh Pemohon Banding harus mengacu kepada Kontrak Karya antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 (P.15);
bahwa Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
11. | “Penghasilan Kotor” berarti semua jumlah, selain dari pendapatan yang dikecualikan ditetapkan menurut undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatangani persetujuan ini, dibayar kepada atau yang diperoleh perusahaan, termasuk:
|
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “penghasilan kotor” berdasarkan Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut :
“Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun......”
bahwa menurut pendapat Majelis, Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya mengatur tentang pengertian Penghasilan Kotor yang meliputi saat pengakuan penghasilan dan nilai yang harus dilaporkan dalam Penghasilan Kotor;
bahwa Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya bukan merupakan ketentuan yang mengatur syarat penjualan;
bahwa berdasarkan ketentuan Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya tersebut, Pemohon Banding harus melaporkan Penghasilan Kotor dengan jumlah berdasarkan FOB tempat pengapalan di Indonesia;
bahwa menurut pendapat Majelis, dengan adanya frasa “berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 11 dari Persetujuan ini”, ketentuan Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya tidak mengatur aspek komersial dari transaksi penjualan karena hal tersebut telah diatur tersendiri dalam Pasal 11 Kontrak Karya;
bahwa Pasal 11 ayat 2 Kontrak Karya tentang Pemasaran menyebutkan sebagai berikut:
“Perusahaan harus menjual hasil produksinya sesuai dengan praktek-praktek bisnis internasional yang umum berlaku dan berusaha sekeras-kerasnya untuk melaksanakan dengan harga-harga dan syarat-syarat penjualan yang akan meningkatkan secara maksimal perolehan ekonomi dari operasi-operasi tersebut, memberikan pengaruh kepada kondisi-kondisi pasar dunia dan keadaan lainnya yang berlaku pada saat penjualan atau kontrak dibuat; dengan ketentuan bahwa Pemerintah mempunyai hak atas dasar yang berlaku umum dan tidak mendiskriminasi terhadap perusahaan, untuk melarang penjualan atau ekspor tersebut akan bertentangan dengan kewajiban-kewajiban internasional dari Pemerintah atau menurut pertimbangan politik luar negeri akan mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia. Dalam hal ada larangan tersebut (selain pembatasan kuota yang diberlakukan menurut Perjanjian Pemasaran Komoditi International), jika Perusahaan tidak dapat menemukan pasar lain dengan persyaratan-persyaratan dan kondisi-kondisi yang sama, perusahaan akan diberikan bantuan dan kerjasama oleh Pemerintah untuk mengatasi akibat-akibat yang mungkin timbul dari larangan tersebut;
bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat 2 Kontrak Karya tentang Pemasaran, Pemohon Banding harus menjual hasil produksinya sesuai dengan praktek-praktek bisnis internasional yang lazim dan berlaku secara umum;
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan dokumen yang menjadi acuan Pemohon Banding dalam melakukan perdagangan internasional yaitu Incoterms 2000 (International Commercial Terms) – Peraturan resmi ICC untuk interpelasi tentang syarat-syarat perdagangan (P.28) terdapat fakta bahwa:
- | Incoterms merupakan peraturan resmi ICC untuk interpretasi tentang syarat perdagangan dan menfasilitasi pelaksanaan perdagangan internasional; |
- | Penjualan dengan syarat pengiriman barang C.I.F. (Cost, Insurance and Freight) dan CFR (Cost and Freight) diperbolehkan oleh Incoterms karena merupakan syarat perdagangan yang umum dan lazim dalam perdagangan internasional; |
bahwa Pemohon Banding telah meminta kepada pihak Wood Mackenzie Metals Consulting untuk mengemukakan prinsip-prinsip yang diterima secara internasional di dalam penjualan dan pembelian konsentrat tembaga khususnya pada biaya pengangkutan yang dilakukan oleh Pemohon Banding;
bahwa executive summary audit dari Wood Mackenzie Metals Consulting tentang Biaya Pengangkutan Konsentrat Tembaga - Laporan untuk PT FI - Desember 2012 (P.27), adalah sebagai berikut:
“Sudah menjadi kebiasaan di pasar-pasar tertentu, seperti untuk bauksit, alumina, bijih besi, biji nikel, dll dimana ongkos angkut ditanggung oleh pembeli. Tetapi pasar konsentrat tembaga berbeda, karena sebagian terbesar nilai tambah tembaga tetap berada pada pihak penambang dan sangat sedikit nilai tambah tembaga yang tersedia bagi pihak pelebur sehingga dengan keuntungan yang sangat rendah bagi pabrik peleburan, standar industri yang berlaku untuk konsentrat tembaga adalah bahwa seluruh biaya pengiriman hingga ke tempat tujuan yang telah disepakati (biasanya pelabuhan penerima si pembeli) akan ditanggung oleh penjual atas dasar CIF (Cost Insurance and Freight). Dengan cara ini sebagian besar kontrak konsentrat tembaga dinegosiasikan atas dasar CIF dengan harga-harga dan TC/RC yang ditawarkan atas dasar pengantaran sampai ke tempat, dan penjual bertanggung jawab atas semua biaya pengiriman dan asuransi sampai ke pelabuhan penerima yang ditetapkan oleh pembeli.”
“Seperti halnya setiap transaksi komersial internasional, penjualan dan pembelian konsentrat tembaga ditentukan oleh seperangkat aturan yang diterima secara universal oleh pemerintah, otoritas hukum, dan para pelaku perdagangan di dunia. Aturan-aturan ini adalah serangkaian persyaratan perdagangan yang telah ditetapkan sebelumnya yang diterbitkan oleh International Chamber of Commerce (ICC) dan dikenal sebagai “incoterms” yang ditujukan terutama agar dapat secara jelas mengkomunikasikan setiap tugas, biaya dan resiko yang berhubungan dengan pengangkutan dan pengiriman barang”
bahwa berdasarkan executive summary dari pihak Wood Mackenzie Metals Consulting tersebut, syarat penjualan yang lazim dalam perdagangan konsentrat tembaga adalah CIF (Cost, Insurance and Freight);
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan dokumen kontrak penjualan konsentrat Pemohon Banding (P.50 sampai dengan P.64) dapat diketahui bahwa Pemohon Banding melakukan kontrak penjualan dengan syarat penjualan CIF (Cost, Insurance and Freight) dengan pembeli sebagai berikut:
- | Atlantic Copper, S.A., |
- | PT. St, |
- | Sterlite Industries (India) Ltd., |
- | Lucky Metals Corporation, |
- | Indo Gulf Corporation Limited, |
- | Philippine Associated St and Refining Corporation, |
- | Sempra Metals & Concentrates Co., |
- | Kangqi Nonferrous Metals Ltd.; |
dan Pemohon Banding melakukan kontrak penjualan dengan syarat penjualan CFR (Cost and Freight) dengan pembeli sebagai berikut:
- | Furukawa Co. Ltd., |
- | Dowa Mining Co. Ltd., |
- | Nippon Mining Co. Ltd., |
- | Mitsui Mining & St Co. Ltd., |
- | Mitsubishi Materials Corporation, |
- | Nittetsu Mining Co. Ltd., |
- | Sumitomo Metals Mining Co. Ltd; |
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan dokumen Pembuktian Term of Delivery (P.38), Rincian cara penyerahan barang ekspor sesuai dengan dokumen PEB (P.39), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) Tahun 2008 (P.40) dan Provisional Invoice (P.65), terdapat fakta bahwa cara penyerahan barang yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada pembeli konsentrat tembaga adalah CIF (Cost, Insurance and Freight) dan CFR (Cost and Freight);
bahwa berdasarkan fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa syarat penjualan yang lazim dilakukan dalam perdagangan konsentrat tembaga adalah CIF (Cost, Insurance and Freight) dan syarat penjualan yang dilakukan oleh Pemohon Banding dalam menjual konsentrat adalah CIF dan CFR, bukan FOB (Free on Board) sebagaimana yang didalilkan oleh Terbanding;
bahwa berdasarkan dokumen General Ledger – Detail Transaction of Insurance (Elemen 851) (P.41) dan Certificate of Insurance – American Home Assurance Company – AIG Blobal Marine (P.42), diketahui bahwa pembebanan biaya Insurance yang dilakukan oleh Pemohon Banding hanya sebatas penjualan kepada pihak pembeli dengan syarat CIF saja, sementara biaya Insurance atas penjualan kepada pihak Pembeli yang berdomisili di negara Jepang dengan syarat penjualan CFR, biaya Insurance nya tidak dibebankan oleh Pemohon Banding karena sudah ditanggung oleh pihak Pembeli;
bahwa dengan demikian, penjual (Pemohon Banding) menanggung semua biaya pabean ekspor, pengangkutan ke pelabuhan ekspor, bongkar muat di pelabuhan ekspor, pengangkutan ke palabuhan penerima dan asuransi muatan (cargo), namun Pemohon Banding tidak menanggung biaya asuransi muatan (cargo) atas penjualan kepada pihak pembeli yang memberlakukan syarat penjualan CFR;
bahwa berdasarkan hal tersebut, Biaya Sea Transportation (Freight) dan Biaya Insurance atas penjualan konsentrat kepada pihak Pembeli dengan syarat penjualan CIF, maka Biaya Sea Transportation (Freight) dan Biaya Insurance tersebut ditanggung oleh Penjual (Pemohon Banding), sementara atas penjualan konsentrat dengan syarat penjualan CFR, Penjual (Pemohon Banding) hanya menanggung biaya Sea Transportation (Freight) dan tidak menanggung biaya Insurance;
bahwa Ayat 3 huruf (j) Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
3. | “Biaya Operasi” dalam Tahun manapun berarti jumlah yang dikurangkan dari penerimaan untuk semua jumlah pengeluaran yang diakibatkan oleh pengusahaan dalam Tahun tersebut. Biaya Operasi dapat termasuk, antara lain, jumlah-jumlah sebagai berikut :
|
bahwa Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
“Penghasilan Kena Pajak” dalam suatu Tahun berarti pendapatan kotor di dalam Tahun itu sesudah dikurangi dengan jumlah-jumlah yang berhubungan dengan pengeluaran-pengeluaran, biaya-biaya dan kemudahan-kemudahan (termasuk/jenis-jenis yang disebut dalam ayat 3 sampai dengan 10 dari Lampiran “F” ini) yang diizinkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dan sesuai dengan persetujuan ini.”
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “Penghasilan Kena Pajak” berdasarkan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut :
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi ......”
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan Ayat 3 huruf (j) Lampiran “F” dan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya, biaya bongkar muat, penyimpanan, pengangkutan dan pengapalan, dan biaya-biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi) merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa dengan demikian, Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance yang dikeluarkan Terbanding sebesar USD54,869,392.00 dalam rangka penjualan konsentrat tembaga dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa berdasarkan dokumen dan bukti-bukti dalam persidangan, serta berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD54,869,392.00 tidak dapat dipertahankan;
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
bahwa terhadap sengketa koreksi Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance sebesar USD54,869,392.00, Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. memberikan pendapat berbeda sebagai berikut :
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., Pasal 3 angka (iii) Kontrak Karya (P.15) tentang Pajak-Pajak dan Lain-Lain Kewajiban Keuangan Perusahaan menyebutkan sebagai berikut :
“Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan harus membayar kepada Pemerintah dan harus memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya seperti ditetapkan sebagai berikut :
(iii) Pajak Penghasilan Badan atas Penghasilan yang diperoleh Perusahaan”
bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak berlaku tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Badan yang diatur dalam Lampiran F Kontrak Karya;
bahwa Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yaitu dalam rangka menentukan Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penghitungan Pajak Penghasilan;
bahwa Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
11. | “Penghasilan Kotor” berarti semua jumlah, selain dari pendapatan yang dikecualikan ditetapkan menurut undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal ditandatangani persetujuan ini, dibayar kepada atau yang diperoleh perusahaan, termasuk:
|
bahwa Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan :
“Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”
bahwa dalam Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya telah jelas tertulis “F.O.B. tempat pengapalan di Indonesia” dan tidak dapat ditafsirkan lain sehingga menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., frasa “F.O.B. tempat pengapalan di Indonesia” menjelaskan perihal syarat penjualan/penyerahan produk, bukan hanya merupakan jumlah yang harus dicantumkan oleh Pemohon Banding dalam peredaran usahanya;
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., berdasarkan ketentuan Ayat 11 huruf (a) Lampiran “F” Kontrak Karya dan Pasal 1342 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, syarat penjualan yang dilakukan oleh Pemohon Banding dalam rangka penjualan konsentrat kepada pembeli adalah “FOB (Free On Board) Point of Shipment”;
bahwa dengan demikian, pada saat konsentrat telah sampai di tempat pengapalan di Indonesia yaitu pelabuhan Amamapare di Timika, maka di pelabuhan tersebut telah terjadi penyerahan konsentrat dari Pemohon Banding kepada pembeli;
bahwa oleh karena telah terjadi penyerahan konsentrat dari Pemohon Banding kepada pembeli, maka konsentrat tersebut menjadi milik pembeli sehingga biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance dari pelabuhan Amamapare ke pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab pembeli dan bukan tanggung jawab Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan Incoterms 2000 (International Commercial Terms) - Peraturan resmi ICC (International Chamber of Commerce) untuk interpelasi syarat-syarat perdagangan - 1 Januari 2000 (P.28), dalam hal syarat penjualan barang adalah “FOB Point of Shipment”, maka biaya angkut (freight) dan Insurance dari pelabuhan asal ke pelabuhan tujuan menjadi tanggung jawab pembeli;
bahwa Ayat 3 huruf (j) Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
3. | “Biaya Operasi” dalam Tahun manapun berarti jumlah yang dikurangkan dari penerimaan untuk semua jumlah pengeluaran yang diakibatkan oleh pengusahaan dalam Tahun tersebut. Biaya Operasi dapat termasuk, antara lain, jumlah-jumlah sebagai berikut :
|
bahwa Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
“Penghasilan Kena Pajak” dalam suatu Tahun berarti pendapatan kotor di dalam Tahun itu sesudah dikurangi dengan jumlah-jumlah yang berhubungan dengan pengeluaran - pengeluaran, biaya-biaya dan kemudahan-kemudahan (termasuk/jenis-jenis yang disebut dalam ayat 3 sampai dengan 10 dari Lampiran “F” ini) yang diizinkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dan sesuai dengan persetujuan ini.”
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., biaya yang dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagaimana diatur Ayat 3 huruf (j) dan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dalam rangka bongkar, muat, penyimpanan, pengangkutan dan pengapalan, dan biaya-biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi) yang terkait dengan pengiriman barang sampai dengan pelabuhan Amamapare atau selama konsentrat tersebut belum diserahkan kepada pihak Pembeli;
bahwa berdasarkan syarat penjualan “FOB Point of Shipment”, pada saat konsentrat dikirim ke pelabuhan tujuan dari pelabuhan Amamapare, biaya bongkar, muat, penyimpanan, pengangkutan dan pengapalan, dan biaya-biaya pengiriman lainnya (termasuk asuransi) tidak ditanggung oleh Pemohon Banding melainkan menjadi beban pembeli konsentrat;
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., Pasal 11 Kontrak Karya bukan merupakan aturan tentang perhitungan Pajak Penghasilan, sehingga aturan mengenai syarat-syarat penjualan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Kontrak Karya hanya menyangkut tata cara penjualan dalam rangka menghitung laba secara komersial;
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding sebesar USD54,869,392.00 dalam rangka penjualan konsentrat tembaga secara fiskal tidak dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa berdasarkan dokumen dan bukti-bukti dalam persidangan, serta berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. sebagaimana tersebut di atas, Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. berkesimpulan bahwa koreksi Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD54,869,392.00 sudah tepat sehingga harus tetap dipertahankan;
2. | Koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00 |
bahwa menurut pendapat Majelis, Terbanding melakukan koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00 karena tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pemohon Banding mempunyai kewajiban untuk membiayai/memberi bantuan kepada polisi, sehingga menurut Terbanding meskipun sebagian biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983, tetapi tidak dapat dibiayakan secara fiskal karena merupakan sumbangan sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang a quo;
bahwa sebagian lagi dikoreksi positif oleh Terbanding karena merupakan biaya sumbangan kepada polisi, misalnya dana untuk mendukung kegiatan perayaan tertentu di lingkungan kepolisian;
bahwa menurut pendapat Majelis, ketentuan peralihan dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan:
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa berdasarkan Pasal 33A ayat (4) a quo, kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh Pemohon Banding harus mengacu kepada Kontrak Karya antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 (P.15);
bahwa Huruf E halaman 2 Kontrak Karya menyebutkan:
“Pemerintah dan Perusahaan mengakui bahwa wilayah Kontrak Karya (sebagaimana ditetapkan dibawah ini) berlokasi di wilayah yang sangat terpencil dengan lingkungan yang sulit, dan bahwa, sehubungan dengan itu, perusahaan sudah dan akan terus diminta untuk membangun fasilitas-fasilitas khusus dan melaksanakan fungsi-fungsi khusus untuk pemenuhan persetujuan ini”
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan Huruf E halaman 2 Kontrak Karya lokasi usaha pertambangan Pemohon Banding merupakan wilayah yang sangat terpencil dan memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi, sehingga Pemerintah mengamanatkan kepada Pemohon Banding untuk menanggung seluruh biaya keamanan termasuk membangun fasilitas-fasilitas khusus yang terkait dengan keamanan pertambangan;
bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (P.83) menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”
Pasal 4 ayat (1)
“Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal”
Pasal 4 ayat (2)
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional”
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
bahwa Diktum Kesatu dan Diktum Kedua Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007 (P.82) menyebutkan sebagai berikut:
Diktum Kesatu
“Obyek Vital Nasional Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Obyek Vital Nasional sektor ESDM adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini”
Diktum Kedua
“Pengelola Obyek Vital Nasional Sektor ESDM sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan internal Obyek Vital masing-masing”
bahwa dalam Lampiran Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, Tambang Emas dan Tembaga FI di Papua yang dikelola oleh Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral;
bahwa berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, pengamanan lokasi pertambangan dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia dengan biaya yang ditanggung oleh Pemohon Banding selaku pengelola Obyek Vital Nasional;
bahwa berdasarkan dokumen P.78 dan P.79, Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman dan panduan teknis pengamanan Obyek Vital Nasional, kemudian Polda Papua dan Pemohon Banding melakukan kerjasama dengan Polda Papua yang dituangkan dalam Pedoman Pemberian Dukungan 2004 – Polda Papua dan PTFI (P.80);
bahwa berdasarkan bukti-bukti P.84 sampai dengan P.94 mengenai cuplikan berita tentang kejadian penembakan dan gangguan keamanan di wilayah pertambangan Pemohon Banding, Laporan Singkat Komisi IX DPR RI tentang keamanan di pertambangan Pemohon Banding dan himbauan KBRI di Australia perihal insiden penembakan di Papua, Majelis berpendapat bahwa merupakan keharusan bagi Pemohon Banding untuk melakukan kesepakatan dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk mengamankan wilayah pertambangan Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian menurut pendapat Majelis, biaya Police Support merupakan biaya yang wajib dikeluarkan oleh Pemohon Banding sebagaimana diamanatkan oleh Huruf E halaman 2 Kontrak Karya, Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007;
bahwa menurut pendapat Majelis, terdapat kepentingan yang sangat besar dari Pemohon Banding untuk mengeluarkan biaya tersebut dalam rangka mengamankan seluruh aktivitas perusahaan dari gangguan keamanan di sekitar wilayah pertambangan mengingat pertambangan Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional yang merupakan sumber pendapatan negara yang bersifat strategis;
bahwa gangguan keamanan, penembakan, penghadangan, pemblokiran dapat menghambat aktivitas usaha dan proses produksi yang dilakukan Pemohon Banding sehingga kerjasama keamanan dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia mutlak diperlukan;
bahwa menurut pendapat Majelis, biaya Police Support merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan;
bahwa Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
““Biaya-biaya lain” dalam suatu Tahun berarti jumlah-jumlah yang dikurangi dari pendapatan berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran yang wajar dalam Tahun itu untuk mendapatkan atau menghasilkan pendapatan atau diadakan untuk maksud Pengusahaan dalam Tahun tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 tahun 1983.”
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “Biaya-biaya lain” berdasarkan Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut :
1. | “Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi:
|
bahwa Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
“Penghasilan Kena Pajak” dalam suatu Tahun berarti pendapatan kotor di dalam Tahun itu sesudah dikurangi dengan jumlah-jumlah yang berhubungan dengan pengeluaran-pengeluaran, biaya-biaya dan kemudahan-kemudahan (termasuk/jenis-jenis yang disebut dalam ayat 3 sampai dengan 10 dari Lampiran “F” ini) yang diizinkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dan sesuai dengan persetujuan ini.”
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “Penghasilan Kena Pajak” berdasarkan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut:
“Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:......”
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan Ayat 10 Lampiran “F” dan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya, biaya Police Support merupakan biaya yang dkeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa Majelis berkesimpulan koreksi Biaya Police Support yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD3,636,349.00 tidak dapat dipertahankan;
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
bahwa terhadap sengketa koreksi Biaya Police Support sebesar USD3,636,349.00, Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. memberikan pendapat berbeda sebagai berikut :
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 2
Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 5 ayat (1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, den pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Pasal 13
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. | memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; |
b. | menegakkan hukum; dan |
c. | memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat; |
Pasal 14 ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. | melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; |
b. | menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; |
c. | membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; |
d. | turut serta dalam pembinaan hukum nasional; |
e. | memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; |
f. | melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; |
g. | melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; |
h. | menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; |
i. | melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; |
j. | melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; |
k. | memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam Iingkup tugas kepolisian; serta |
l. | melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; |
bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (P.83) menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”
Pasal 4 ayat (1)
“Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal”
Pasal 4 ayat (2)
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional”
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
bahwa Diktum Kesatu dan Diktum Kedua Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007 (P.82) menyebutkan sebagai berikut:
Diktum Kesatu
“Obyek Vital Nasional Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Obyek Vital Nasional sektor ESDM adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini”
Diktum Kedua
“Pengelola Obyek Vital Nasional Sektor ESDM sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan internal Obyek Vital masing-masing”
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., berkaitan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 jo. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, dalam rangka memberikan bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional dalam hal ini wilayah tambang Pemohon Banding yang nyata-nyata berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, POLRI melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat negara di bidang pertahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
bahwa Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 26 ayat (1)
“Setiap anggota Kepolisian Negara RI memperoleh gaji dan hak-hak lainnya yang adil dan layak”
Pasal 26 ayat (2)
“Ketentuan mengenai gaji dan hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”
bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, POLRI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
bahwa Pemohon Banding diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada POLRI sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (1) Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, sehingga secara komersial biaya tersebut dapat dibebankan oleh Pemohon Banding, namun secara fiskal bantuan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya karena semua biaya untuk kegiatan operasional POLRI seharusnya dibebankan oleh APBN;
bahwa dengan demikian, dukungan Pemohon Banding kepada POLRI merupakan sumbangan, mengingat bahwa kewajiban POLRI adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini adalah memberikan bantuan pengamanan pada objek vital nasional;
bahwa di dalam Kontrak Karya, secara tegas tidak mengatur bahwa biaya yang dibayarkan kepada anggota POLRI dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa dengan tidak diaturnya biaya yang dikeluarkan untuk anggota POLRI dalam Kontrak Karya tersebut, maka POLRI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran kepolisian yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan sebagai berikut:
(1) | Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
|
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., biaya dan fasilitas yang diberikan kepada anggota POLRI dalam rangka pengamanan tempat usaha pertambangan Pemohon Banding merupakan sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dalam rangka menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991;
bahwa Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. berkesimpulan bahwa koreksi Biaya Police Support yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD3,636,349.00, tetap dipertahankan;
3. | Koreksi Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00 |
bahwa menurut pendapat Majelis, Terbanding melakukan koreksi Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00 karena tidak terdapat ketentuan yang mengatur bahwa Pemohon Banding mempunyai kewajiban untuk membiayai/memberi bantuan kepada militer, sehingga menurut Terbanding meskipun sebagian biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang PPh Nomor 7 Tahun 1983, tetapi tidak dapat dibiayakan secara fiskal karena merupakan sumbangan sesuai dengan Pasal 9 ayat (1) huruf (i) Undang-Undang a quo;
bahwa sebagian lagi dikoreksi positif oleh Terbanding karena merupakan biaya sumbangan kepada militer, misalnya dana untuk mendukung kegiatan perayaan tertentu di lingkungan militer;
bahwa menurut pendapat Majelis, ketentuan peralihan dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan:
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa berdasarkan Pasal 33A ayat (4) a quo, kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh Pemohon Banding harus mengacu kepada Kontrak Karya antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 (P.15);
bahwa Huruf E halaman 2 Kontrak Karya menyebutkan:
“Pemerintah dan Perusahaan mengakui bahwa wilayah Kontrak Karya (sebagaimana ditetapkan dibawah ini) berlokasi di wilayah yang sangat terpencil dengan lingkungan yang sulit, dan bahwa, sehubungan dengan itu, perusahaan sudah dan akan terus diminta untuk membangun fasilitas-fasilitas khusus dan melaksanakan fungsi-fungsi khusus untuk pemenuhan persetujuan ini”
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan Huruf E halaman 2 Kontrak Karya lokasi usaha pertambangan Pemohon Banding merupakan wilayah yang sangat terpencil dan memiliki tingkat kerawanan yang sangat tinggi, sehingga Pemerintah mengamanatkan kepada Pemohon Banding untuk menanggung seluruh biaya keamanan termasuk membangun fasilitas-fasilitas khusus yang terkait dengan keamanan pertambangan;
bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (P.83) menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”
Pasal 4 ayat (1)
“Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal”
Pasal 4 ayat (2)
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional”
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
bahwa Diktum Kesatu dan Diktum Kedua Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007 (P.82) menyebutkan sebagai berikut:
Diktum Kesatu
“Obyek Vital Nasional Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Obyek Vital Nasional sektor ESDM adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini”
Diktum Kedua
“Pengelola Obyek Vital Nasional Sektor ESDM sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan internal Obyek Vital masing-masing”
bahwa dalam Lampiran Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, Tambang Emas dan Tembaga FI di Papua yang dikelola oleh Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral;
bahwa berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, pengamanan lokasi pertambangan dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia dibantu oleh Tentara Nasional Indonesia dengan biaya yang ditanggung oleh Pemohon Banding selaku pengelola Obyek Vital Nasional;
bahwa berdasarkan dokumen P.78 dan P.79, Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman dan panduan teknis pengamanan Obyek Vital Nasional, kemudian Polda Papua dan Pemohon Banding melakukan kerjasama dengan Kodam XVII/Trikora yang dituangkan dalam Pedoman Pemberian Dukungan 2004 – Kodam XVII/Trikora dan PTFI (P.81);
bahwa berdasarkan bukti-bukti P.84 sampai dengan P.94 mengenai cuplikan berita tentang kejadian penembakan dan gangguan keamanan di wilayah pertambangan Pemohon Banding, Laporan Singkat Komisi IX DPR RI tentang keamanan di pertambangan Pemohon Banding dan himbauan KBRI di Australia perihal insiden penembakan di Papua, Majelis berpendapat bahwa merupakan keharusan bagi Pemohon Banding untuk melakukan kesepakatan dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk mengamankan wilayah pertambangan Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian menurut pendapat Majelis, biaya Military Support merupakan biaya yang wajib dikeluarkan oleh Pemohon Banding sebagaimana diamanatkan oleh Huruf E halaman 2 Kontrak Karya, Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007;
bahwa menurut pendapat Majelis, terdapat kepentingan yang sangat besar dari Pemohon Banding untuk mengeluarkan biaya tersebut dalam rangka mengamankan seluruh aktivitas perusahaan dari gangguan keamanan di sekitar wilayah pertambangan mengingat pertambangan Pemohon Banding merupakan Obyek Vital Nasional yang merupakan sumber pendapatan negara yang bersifat strategis;
bahwa gangguan keamanan, penembakan, penghadangan, pemblokiran dapat menghambat aktivitas usaha dan proses produksi yang dilakukan Pemohon Banding sehingga kerjasama keamanan dengan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia mutlak diperlukan;
bahwa menurut pendapat Majelis, biaya Military Support merupakan biaya yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan;
bahwa Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
““Biaya-biaya lain” dalam suatu Tahun berarti jumlah-jumlah yang dikurangi dari pendapatan berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran yang wajar dalam Tahun itu untuk mendapatkan atau menghasilkan pendapatan atau diadakan untuk maksud Pengusahaan dalam Tahun tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 tahun 1983.”
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “Biaya-biaya lain” berdasarkan Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut :
1. | “Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi:
|
bahwa Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
“Penghasilan Kena Pajak” dalam suatu Tahun berarti pendapatan kotor di dalam Tahun itu sesudah dikurangi dengan jumlah-jumlah yang berhubungan dengan pengeluaran-pengeluaran, biaya-biaya dan kemudahan-kemudahan (termasuk/jenis-jenis yang disebut dalam ayat 3 sampai dengan 10 dari Lampiran “F” ini) yang diizinkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dan sesuai dengan persetujuan ini.”
bahwa menurut pendapat Majelis, definisi “Penghasilan Kena Pajak” berdasarkan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya merupakan penjabaran Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut :
“Besarnya penghasilan kena pajak, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi:......”
bahwa menurut pendapat Majelis, berdasarkan Ayat 10 Lampiran “F” dan Ayat 13 Lampiran “F” Kontrak Karya, biaya Military Support merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa Majelis berkesimpulan koreksi Biaya Military Support yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD2,717,364.00 tidak dapat dipertahankan;
Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion)
bahwa terhadap sengketa koreksi Biaya Military Support sebesar USD2,717,364.00, Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. memberikan pendapat berbeda sebagai berikut :
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 5
TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Pasal 6 ayat (1) dan (2)
(1) | TNI, sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai:
|
||||||
(2) | Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), TNI merupakan komponen utama sistem pertahanan negara. |
Pasal 7 ayat (1) dan (2)
(1) | Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
bahwa Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional (P.83) menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1
“Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis”
Pasal 4 ayat (1)
“Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal”
Pasal 4 ayat (2)
“Kepolisian Negara Republik Indonesia berkewajiban memberi bantuan pengamanan terhadap Obyek Vital Nasional”
Pasal 7
“Dalam melaksanakan pengamanan Obyek Vital Nasional, Kepolisian Negara Indonesia dapat meminta bantuan kekuatan Tentara Nasional Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
bahwa Diktum Kesatu dan Diktum Kedua Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007 (P.82) menyebutkan sebagai berikut:
Diktum Kesatu
“Obyek Vital Nasional Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral yang selanjutnya disebut Obyek Vital Nasional sektor ESDM adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini”
Diktum Kedua
“Pengelola Obyek Vital Nasional Sektor ESDM sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu bertanggung jawab atas penyelenggaraan pengamanan internal Obyek Vital masing-masing”
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., berkaitan dengan Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 jo. Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 1762 K/07/MEM/2007 tanggal 9 Mei 2007, dalam rangka memberikan bantuan pengamanan kepada Pengelola Obyek Vital Nasional dalam hal ini wilayah tambang Pemohon Banding yang nyata-nyata berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai alat negara di bidang pertahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia;
bahwa Pasal 49 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 49
Setiap prajurit TNI berhak memperoleh penghasilan yang layak dan dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara
bahwa berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional, TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran pertahanan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
bahwa Pemohon Banding diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada TNI sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (1) Keputusan Presiden RI Nomor 63 Tahun 2004 tanggal 05 Agustus 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional, sehingga secara komersial biaya tersebut dapat dibebankan oleh Pemohon Banding, namun secara fiskal bantuan tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya karena semua biaya untuk kegiatan operasional TNI seharusnya dibebankan oleh APBN;
bahwa dengan demikian, dukungan Pemohon Banding kepada TNI merupakan sumbangan, mengingat bahwa kewajiban TNI adalah memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam hal ini adalah memberikan bantuan pengamanan pada objek vital nasional;
bahwa di dalam Kontrak Karya, secara tegas tidak mengatur bahwa biaya yang dibayarkan kepada anggota TNI dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak;
bahwa dengan tidak diaturnya biaya yang dikeluarkan untuk anggota TNI dalam Kontrak Karya tersebut, maka TNI dalam rangka melaksanakan tugas pokoknya dibiayai seluruhnya dari anggaran kepolisian yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan sebagai berikut:
(1) | Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak tidak diperbolehkan dikurangkan :
|
bahwa menurut pendapat Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak., biaya dan fasilitas yang diberikan kepada anggota TNI dalam rangka pengamanan tempat usaha pertambangan Pemohon Banding merupakan sumbangan yang tidak dapat dikurangkan dalam rangka menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1991;
bahwa Hakim Anggota Drs. Didi Hardiman, Ak. berkesimpulan bahwa koreksi Biaya Military Support yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD2,717,364.00, tetap dipertahankan;
4. | Koreksi Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 |
bahwa Terbanding menetapkan koreksi positif Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 karena biaya tersebut merupakan subsidi terhadap operasional PT. KWN (Hotel Rimba Papua) yang merupakan biaya sumbangan atau biaya yang tidak boleh dibebankan secara fiskla sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991;
bahwa Pemohon Banding mengeluarkan biaya Priv. Co. Compensable Expense sebagai tambahan penghasilan bagi PT. KWN, agar perusahaan tersebut dapat mempertahankan operasinya di bidang jasa perhotelan dalam rangka mendukung mendukung operasi Pemohon Banding melalui penyediaan sarana akomodasi yang sangat dibutuhkan bagi karyawan Pemohon Banding dan kontraktor yang berkantor di luar lokasi proyek dan ditugaskan ke lokasi proyek;
bahwa menurut Pemohon Banding, subsidi kepada PT. KWN juga ditujukan agar pemegang saham PT. KWN mendapatkan pengembalian investasi yang wajar dan sesuai dengan tingkat resiko investasi;
bahwa menurut pendapat Majelis, ketentuan peralihan dalam Pasal 33A ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 menyebutkan:
“Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud."
bahwa berdasarkan Pasal 33A ayat (4) a quo, kewajiban perpajakan yang dilaksanakan oleh Pemohon Banding harus mengacu kepada Kontrak Karya antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 (P.15);
bahwa Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya tentang Aturan Menghitung Pajak Penghasilan menyebutkan sebagai berikut :
“Biaya-biaya lain” dalam suatu Tahun berarti jumlah-jumlah yang dikurangi dari pendapatan berkenaan dengan pengeluaran-pengeluaran yang wajar dalam Tahun itu untuk mendapatkan atau menghasilkan pendapatan atau diadakan untuk maksud Penguasaan dalam Tahun tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, Undang-Undang No. 7 tahun 1983
bahwa dengan demikian menurut pendapat Majelis, berdasarkan Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya, biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak Pemohon Banding adalah berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) | Besarnya Penghasilan Kena Pajak, ditentukan oleh penghasilan bruto dikurangi:
|
bahwa menurut pendapat Majelis, alasan Pemohon Banding dalam memberikan subsidi sebagaimana dinyatakan dalam Surat Banding bahwa agar pemegang saham PT. KWN mendapatkan pengembalian investasi yang wajar dan sesuai dengan tingkat resiko investasi;
bahwa berdasarkan Lampiran VI SPT Tahunan PPh Badan Tahun Pajak 2008, diketahui bahwa Pemohon Banding memiliki penyertaan modal sebanyak 99,99% dengan nilai sebesar USD16,666,666.00 atas PT KWN, sehingga dapat dikatakan Pemohon Banding merupakan pemegang saham mayoritas dan memiliki hubungan istimewa dengan PT KWN;
bahwa menurut pendapat Majelis, subsidi yang dilakukan Pemohon Banding adalah pengeluaran yang tidak wajar karena Pemohon Banding telah mensubsidi Pemohon Banding sendiri selaku pemegang saham mayoritas (99,99%) pada PT KWN;
bahwa oleh karena transaksi berupa subsidi ini merupakan pengeluaran Pemohon Banding yang tidak wajar, maka Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 tidak sesuai dengan Ayat 10 Lampiran “F” Kontrak Karya yang menyatakan bahwa pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Pemohon Banding harus merupakan pengeluaran yang wajar;
bahwa dengan demikian, Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 tidak termasuk dalam katagori biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang a quo;
bahwa menurut pendapat Majelis, lokasi Rimba Papua Hotel, yang dikelola oleh PT KWN terletak di dekat bandara Kota Timika, Papua dan bukan berada di lokasi pertambangan Pemohon Banding, sehingga siapapun dapat menginap dan memanfaatkan fasilitas di hotel tersebut selain karyawan dan tamu Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan hal tersebut, selain mensubsidi karyawan dan tamu Pemohon Banding yang menginap dan menggunakan fasilitas hotel, Pemohon Banding juga mensubsidi tamu hotel lainnya yang merupakan masyarakat umum dan tidak ada hubungannya dengan Pemohon Banding;
bahwa karena Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 tidak memenuhi kriteria pengeluaran sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang a quo, maka Majelis berpendapat bahwa pemberian subsidi kepada PT KWN dapat dikatagorikan sebagai sumbangan;
bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 yang menyatakan sebagai berikut:
(1) | Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak tidak boleh dikurangkan:
|
bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang a quo, sumbangan tidak dapat dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak;
bahwa berdasarkan dokumen dan bukti-bukti dalam persidangan, serta berdasarkan pertimbangan-pertimbangan Majelis, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Terbanding atas Biaya Priv. Co. Compensable Expense sebesar USD1,852,190.00 tetap dipertahankan;
bahwa hasil pemeriksaan Majelis dalam persidangan terhadap sengketa Penghasilan Neto PPh Badan Tahun Pajak 2008 sebesar USD63,075,295.00 sebagaimana diuraikan di atas, adalah sebagai berikut :
Sengketa Penghasilan Neto Tahun Pajak 2008 | Koreksi Terbanding yang menjadi sengketa (USD) | Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Majelis (USD) | Koreksi yang dipertahankan Majelis (USD) |
Biaya Sea Transportation (Freight) dan Insurance Biaya Police Support Biaya Military Support Biaya Priv. Co. Compensable Expenses |
54,869,392.00 3,636,349.00 2,717,364.00 1,852,190.00 |
54,869,392.00 3,636,349.00 2,717,364.00 0.00 |
0.00 0.00 0.00 1,852,190.00 |
Jumlah | 63,075,295.00 | 61,223,105.00 | 1,852,190.00 |
bahwa Majelis berkesimpulan koreksi Penghasilan Neto PPh Badan Tahun Pajak 2008 yang dilakukan oleh Terbanding sebesar USD63,075,295.00, tetap dipertahankan sebesar USD1,852,190.00 dan tidak dapat dipertahankan sebesar USD61,223,105.00;
bahwa dalam sengketa banding ini terdapat sengketa mengenai Kompensasi Kerugian;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, serta berdasarkan suara terbanyak, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding, sehingga Penghasilan Neto PPh Badan Tahun Pajak 2008 dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto menurut Terbanding | USD1,114,290,167,00 |
Koreksi yang tidak dapat dipertahankan | USD 61,223,105.00 |
Penghasilan Neto menurut Majelis | USD1,053,067,062.00 |
penjelasan dan fakta persidangan serta bukti-bukti yang disampaikan dalam persidangan;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 entang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan sengketa ini;
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-845/WPJ.19/2014 tanggal 6 Mei 2014 tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2008 Nomor: 00004/206/08/091/13 tanggal 04 Maret 2013, atas nama: Pemohon Banding, sehingga Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak 2008 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :
Penghasilan Neto | USD1,053,067,062.00 |
Kompensasi Kerugian | USD 0.00 |
Penghasilan Kena Pajak | USD1,053,067,062.00 |
PPh Badan yang terutang | USD 368,572,930.00 |
Kredit Pajak | USD 348,220,790.00 |
PPh Badan Kurang Bayar | USD 20,352,140.00 |
Sanksi Administrasi Kenaikan Pasal 17C ayat (5) UU KUP | USD 20,352,140.00 |
Jumlah PPh Badan yang masih harus dibayar | USD 40,704,280.00 |
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan suara terbanyak setelah pemeriksaan Majelis dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Rabu tanggal 11 Maret 2015, oleh Hakim Majelis XVB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :
Drs. TA, Ak., M.Sc. | sebagai Hakim Ketua, |
Drs. DH, Ak. | sebagai Hakim Anggota, |
DS, S.H., L.L.M. | sebagai Hakim Anggota, |
AAPN | sebagai Panitera Pengganti. |
Putusan Nomor : PUT-081427.15/2008/PP/M.XVB Tahun 2019 diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Rabu tanggal 13 Februari 2019 yang ditunjuk dengan Keputusan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: KEP-002/PP/2019 tanggal 30 Januari 2019 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
Dr. TM, S.E., Ak., M.M., M.Hum. | sebagai Hakim Ketua, |
MA, S.E., Ak. | sebagai Hakim Anggota, |
RSR, S.E., MAFIS | sebagai Hakim Anggota, |
AAPN | sebagai Panitera Pengganti. |
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota dan Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Terbanding dan dihadiri oleh Pemohon Banding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.