Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 248/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
PT ABC,
beralamat di Jalan DEF II Nomor XX, Jakarta Pusat, dalam hal ini
diwakili oleh GHI, selaku Komite Manajemen;
Selanjutnya memberi kuasa kepada: JKL, Kuasa Hukum pada Pengadilan
Pajak, beralamat di Jalan MNO II, Nomor X, Gandul–Cinere,
Kota
Depok, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 040/KSOSK/FIN/I/2015,
tanggal 5 Januari 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
melawan:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta,
dalam hal ini memberi kuasa kepada:
- PQR, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- STU, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan Banding;
- VWX, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- YZA, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan
Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-1468/PJ./2015, tanggal 15 April 2015;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai
berikut:
| 1. |
Objek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal
5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah belum terpenuhi;
| a. |
Objek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Pasal
5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah:
Penyerahan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
bahwa unsur objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang belum
terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada 2,
yaitu:
| 1) |
Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; dan |
| 2) |
Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; |
|
| b. |
Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dimaksudkan adalah sebagaimana
yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 39/KMK.03/2003,
tanggal 28 Februari 2002 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 570/KMK.04/2000, yaitu: Apartemen, kondominium,
town house, dan sejenisnya, dengan luas
bangunan 150 m2 atau lebih atau dengan harga jual bangunannya
Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih per m2 tidak termasuk
nilai tanah;
bahwa pada tahun 2007, apartemen dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih
atau dengan harga jual bangunannya Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah)
atau lebih per m2 tidak termasuk nilai tanah sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas eksistensinya belum ada
atau belum jadi seutuhnya, karena apartemen tersebut baru dalam tahapan
mulai atau sedang dibangun sehingga unsur Barang Kena Pajak Yang
Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 huruf a
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah belum terpenuhi. Hal itu berarti pada saat itu belum ada objek
Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
bahwa sebagai ilustrasi, mobil dalam keadaan masih terurai (CKD) dan
dalam bentuk chasis, belum dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Sebaliknya setelah menjadi mobil utuh, maka baru menjadi objek
pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; |
| c. |
Pasal
1 huruf 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah:
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk
atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau
mempunyai daya guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam
termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan
tersebut;
bahwa barang baru sebagai hasil akhir dari proses menghasilkan
sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 huruf 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah pada tahun 2004 belum ada eksistensinya karena apartemen sebagai
barang baru hasil dari proses menghasilkan tersebut belum terwujud
(belum dihasilkan) sehingga unsur Pengusaha yang menghasilkan Barang
Kena Pajak Yang Tergolong Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
1 huruf Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah belum terpenuhi. Hal itu berarti pada saat itu belum ada
objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah; |
|
| 2. |
Saat
terutangnya pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 2
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, hanya berlaku untuk Pajak
Pertambahan Nilai saja dan tidak dapat diterapkan untuk menentukan saat
terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
| a. |
Pasal
11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menyebutkan:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari
Luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran; |
| b. |
Berdasarkan
Pasal 11 ayat 2 tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal
pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak, maka saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran;
bahwa pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud oleh
Pasal 11 ayat 2 tersebut tidak mencakup penyerahan Barang Kena Pajak
Yang Tergolong Mewah yang merupakan objek pengenaan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah menurut Pasal 5 ayat 1, tetapi hanya berlaku atas
penyerahan Barang Kena Pajak sebagai objek pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Hal tersebut
ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pasal 11 ayat 2 sebagai berikut:
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, saat terutangnya pajak
adalah saat pembayaran;
bahwa dalam Penjelasan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Pasal 11 ayat 2 tersebut jelas-jelas
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan terutangnya pajak pada saat
pembayaran adalah untuk pembayaran yang terkait dengan
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
(Objek PPN) dan bukan penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 (objek PPnBM); |
| c. |
Berdasarkan
uraian tersebut di atas Pemohon Banding berpendapat bahwa atas
pembayaran yang diterima sebelum dilakukan penyerahan tidak terutang
Pajak Penjualan atas Barang Mewah tetapi hanyaterutang Pajak
Pertambahan Nilai; |
|
| 3. |
Saat
terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dan bukan pada saat
pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang
dijabarkan lebih lanjut, (terakhir) dengan Peraturan Pemerintah Nomor24
Tahun 2002 Pasal 13 ayat 2;
| a. |
Pasal
5 ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu
kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh
Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor;
bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa saat terutangnya. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah; |
| b. |
Pasal
13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002:
Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada
saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak
tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli;
bahwa oleh karena apartemen adalah barang-berwujud-tidak-bergerak, maka
saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah adalah pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau hak
untuk menguasai barang-berwujud-tidak bergerak.
Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 24 atas Pasal 13 ayat 2
menyebutkan bahwa dalam penentuan atau penyerahan barang tidak
bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan
hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada; |
| c. |
Pada
tahun 2007, apartemen sebagai barang-berwujud-tidak-bergerak secara
fisik belum ada seutuhnya sehingga atas pembayaran yang diterima pada
saat itu tidak terutang Pajak Penjualan atas BarangMewah; |
|
| 4. |
Harga
bangunan dan nilai tanah tidak dihitung secara cermat sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan;
| a. |
Menurut
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 39/KMK.03/2003 tentang Perubahan
Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 570/KMK.04/2000, jenis
barang kena pajak yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
adalah: Apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya, dengan luas
bangunan 150 m2 atau lebih atau dengan harga Jual bangunannya
Rp.4.000.000,00 (empat juta rupiah) atau lebih per m2 tidak
termasuknilai tanah; |
| b. |
Pemohon
Banding menjual apartemen dengan komponen harga jual berupa harga jual
tanah sebesar 30% dan harga jual bangunan sebesar 70%. Komponen harga
jual 30:70 ini merupakan implementasi dari perjanjian kerja sama
operasi antara PT. ABC - ZZZ yang masing-masing memberikan kontribusi
berupatanah dan bangunan dengan rincian:
| 1) |
Kontribusi
PT. ABC berupa tanah dinilai sebesar 30%; |
| 2) |
Kontribusi
PT. ZZZ berupa bangunan dinilai sebesar 70%; |
bahwa komposisi 30:70 ini juga dapat dihitung dari perbandingan antara
luas tanah awal (cfm. HGB) terhadap jumlah luas unit yang akan dijual; |
| c. |
Berdasarkan
pola tersebut rnaka harga jual bangunan seharusnya dapat dihitung untuk
menentukan apakah unit yang terjual telah memenuhi syarat untuk
dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewahatau tidak; |
| d. |
Penetapan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanpa memperhitungkan harga jual
bangunan yang memenuhi syarat untuk dapat dikenakan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah menunjukkan bahwa Terbanding tidak cermat dalam
melakukan perhitungan danpenetapan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; |
|
Kesimpulan
bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka menurut Pemohon
Banding Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah Nihil;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5
Desember 2011, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor:
00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT. ABC-ZZZ
KSO, NPWP: 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, alamat: Jl. DEF II No.XX, Jakarta
Pusat;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56087/PP/M.XA/17/2014,
tanggal 13 Oktober 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan
Kembali pada tanggal 27 Oktober 2014, kemudian terhadapnya oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor 040/KSO-SK/FIN/I/2015, tanggal 5 Januari 2015, diajukan
permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Januari 2015, dengan disertai
alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
tersebut pada tanggal 9 Januari 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 24 Maret
2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 24
April 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
Pernyataan Termohon Peninjauan Kembali Berikut pernyataan-pernyataan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang juga disalin
kembali oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagai berikut (vide hal.
51-52 Putusan Pengadilan Pajak):
| 1. |
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000menyebutkan:
| a. |
Pasal
5 :
| (1) |
Disamping
pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
| a. |
Penyerahan
Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah tersebut di
dalam DaerahPabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya ; |
|
| (2) |
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada wak-tu
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor.
|
|
| b. |
Pasal
11:
| (1) |
Terutangnya
pajak terjadi pada saat :
| a. |
Penyerahan
Barang Kena Pajak ;
Penjelasan Pasal 11 ayat (1)
Pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah menganut
prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan
Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak, meskipun
pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum
sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui
“electronic commerce” tunduk pada ayat ini. |
|
| (2) |
Dalam
hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah
pada saat pembayaran. |
|
|
| 2. |
Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, sebagaimana diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, mengatur antara lain :
Pasal 13 ayat 2
Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang
menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada
saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak
tersebut, baik secara hukum atau secara nyata kepada pihak pembeli. |
Bahwa berdasarkan hal tersebut Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan
Kembali) berpendapat sebagai berikut :
| - |
Bahwa
Pasal 5 UU PPN termasuk dalam BAB III mengatur tentang Objek
Pajak PPN dan PPn BM. Sebagaimana diketahui objek pajak merupakan
segala sesuatu yang menurut Undang-undang dijadikan dasar atau sasaran
pemungutan pajak. Obyek atau sasaran pajak (PPN dan PPn BM) di dalam
penjelasan Pasal 5 ayat 1 sudah ada yaitu yang dimaksud dengan Barang
Kena Pajak Yang Tergolong mewah dalam ayat ini adalah:
| 1. |
bahwa
Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau |
| 2. |
barang
tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau |
| 3. |
pada
umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau |
| 4. |
barang
tersebut dikonsumsi untuk menunjukan status; atau |
| 5. |
apabila
dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
meng-ganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol, bahwa
dengan demikian menurut Terbanding, Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang
jenis barang yang termasuk barang kena pajak yang tergolongmewah bukan
mengenai unsur (proses) jadinya barang mewah. |
|
| - |
Bahwa
UU PPN dan PPn BM telah disusun secara sistematis yang membagi unsur
atau bagian yang sama dalam satu bab dan akan saling berkaitan erat
antar bab-nya. Di dalam Bab III yang terdiri dari Pasal 4, Pasal 4A,
Pasal 5 dan Pasal 5A mengatur tentang Objek PPN dan PPn BM, sedangkan
Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15A dikelompokkan
dalam satu bab yaitu BAB V yang mengatur Saat dan Tempat Terutang dan
Laporan Penghitungan Pajak. Artinya bahwa pengaturan tentang saat
terutang diatur dalam Pasal 11 (BAB V Saat Terutang) bukan dalam Pasal
5 ayat (2) UU PPN dan PPn BM (BAB IIIObjek Pajak) sebagaimana
pernyataan Pemohon Banding. |
| - |
Bahwa
frase “PPnBM dikenakan hanya satu kali” pada Pasal
5 UU PPN
bukan berarti PPnBBM hanya dikenakan pada saat penyerahannya saja
tetapi diartikan bahwa PPnBM tidak dikenakan secara bertingkat seperti
halnya pengenaan PPN, tetapi hanya dikenakan di tingkat pabrikan
atausaat impor. |
| - |
Bahwa
Pemohon Banding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) menyatakan bahwa
PPnBM terutang apabila unit apartemen sudah selesai dibangun dan telah
ada penyerahan hak kepada pembeli, unit-unit apartemen sebagai barang
berwujud tidak sesuai Pasal 13 ayat (2) dan penjelasannya PP Nomor 24
tahun 2002. Menurut Terbanding pernyataan Pemohon Banding menjadi tidak
konsisten dan memaksakan suatu pasal untuk diterjemahkan. Pernyataan
Pemohon Banding sebelumnya bahwa saat terutangnya pajak pada saat
pembayaran sebagaimana pasal 11 ayat 2 UU PPN hanya berlaku untuk PPN
saja, namun apabila memperhatikan gramatikal Pasal 13 ayat (2) PP Nomor
24 Tahun 2002 bahwa “Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang
Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang
tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
mengua-sai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara
nyata kepada pihak pembeli". Pasal 1 angka 2 PP Nomor 24 Tahun 2002
mendefinisikan Pajak adalah Pajak Pertambahan
Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Apabila Pemohon Banding
konsisten dalam pendapatnya maka dalam hal barang tidak bergerak maka
terutangnya PPN terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau
menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara
nyata kepada pihak pembeli bukan pada saat pembayaran. |
| - |
Bahwa
dari uraian di atas Terbanding berpendapat bahwa pasal 13 ayat 1 dan
ayat 2 dan selanjutnya PP Nomor 24 tahun 2002 memperjelas/menerangkan
saat terutang-nya bunyi pasal 11 ayat 1 UU PPN. Namun apabila pasal 11
ayat 1 belum terjadi dan sudah dilakukanpembayaran maka menjadi berlaku
pasal 11 ayat 2 UU PPN. |
Pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali
Dan selanjutnya adalah pernyataan Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) sebagaimana dikutip oleh Majelis Hakim Pengadilan
Pajak sebagai berikut : (vide hal 52-53 Putusan Pengadilan Pajak) Bahwa
Pemohon Banding menyatakan bahwa saat terutangnya PPnBM berbeda dengan
Terbanding yaitu mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sebagai-mana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2000 menyebutkan :
| a. |
Pasal
5 ayat (2) :Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu)
kali pada waktu pe-nyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh
Pengusaha yang meng- hasilkan atau pada waktu impor.
bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan Pasal 5 ayat (2) tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa saat terutangnya PPnBM adalah pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah ; |
| b. |
Pasal
11 ayat (2) :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
Jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah
pada saat pembayaran.
Penjelasan Pasal 11 ayat (2) :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, sebelum penyerahan Jasa
kena Pajak seba-gaimana dimaksud dalam Pasal huruf c, atau sebelum
dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau
sebelumnya dimulainya pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah
Pabean sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 huruf e, saat terutangnya
pajak adalah saat pembayaran.
Bahwa menurut Pemohon Banding, pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) tersebut tidak mencakup
penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, yang merupakan objek
pengenaan PPnBM menurut Pasal 5 ayat (1), tetapi hanya berlaku atas
penyerahan Barang Kena Pajak sebagai objek pengenaan pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan PPnBM;
Bahwa menurut Pemohon Banding, dalam penjelasan Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai dan PPnBM tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan terutangnya pajak pada saat pembayaran adalah untuk
pembayaran terkait dengan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf a (objek PPN) dan bukan penyerahan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) (objek PPnBM); |
| c. |
Pasal
13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 Terutangnya Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau
hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak
untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik
secara hukum atau secara nyata kepada pihak Pembeli;
Penjelasan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002
Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak
Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat
dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu
pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu
dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang
mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh
pihak yang bersangkutan.
Bahwa menurut Pemohon banding, hingga akhir tahun 2007, apartemen
sebagai barang berwujud tidak bergerak secara fisik belum ada seutuhnya
(belum terselesaikan pembangunannya) sehingga atas pembayaran yang
diterima pada saat itu tidak terutang PPnBM; |
Pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
Dan selanjutnya adalah pernyataan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
sebagaimana dikutip sebagai berikut: (vide hal 53-55 Putusan Pengadilan
Pajak)
Bahwa berdasarkan uraian pendapat Para Pihak yang bersengketa Majelis
berpendapat bahwa dasar hukum yang dipakai dalam memeriksa dan
mengadili perkara a quo adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang 18 Tahun
2000 tentang PPN dan PPn BM;
Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa
kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang PPN dan
PPnBM diatur sebagai berikut :
Pasal 4 menyebutkan :
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :
a. dst.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) menyebutkan :
| (1) |
Di
samping pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan
juga Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terhadap :
| a. |
Penyerahan
Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah tersebut di
dalam Daerah Pabean dalam kegiatanusaha atau pekerjaannya; |
| b. |
Impor
Barang Kena Pajak Yang tergolong Mewah. |
|
| (2) |
Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu
penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah oleh Pengusahayang
menghasilkan atau pada waktu impor. |
Bab V Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan Pajak Pasal 11
ayat (1) dan (2) menyebutkan :
| (1) |
Terutangnya
pajak terjadi pada saat :
- Penyerahan Barang Kena Pajak;
- Impor Barang Kena Pajak;
- Penyerahan Jasa Kena Pajak;
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d.
- Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e; atau
- Ekspor Barang Kena Pajak.
|
| (2) |
Dalam
hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak, atau dalam hal pembayaran dilakukan
sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d atau Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufe, saat
terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. |
Penjelasan Pasal 11 ayat (1) menyebutkan:
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah me-nganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada
saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena
Pajak, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau
belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor Barang kena Pajak. Saat
terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan mela-lui
“electronic commerce” tunduk pada ayat ini.
Bahwa pada dasarnya pengenaan PPN dan PPnBM tersebut di atas, dapat
dilihat bahwa PPN dan PPnBM dikenakan pada saat yang sama. Bab V
mengatur tentang Saat dan Tempat Terutang dan Laporan Penghitungan
Pajak, dimana yang dimaksud dengan pajak di sini adalah PPN dan PPn BM
sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan
PPnBM yang mencantumkan kata-kata “Pemungutan PPN dan PPn BM
menganut prinsip akrual..... dan seterusnya..”
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang PPN dan PPn BM mengatur sebagai berikut :
Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pasal 10, menyebutkan :
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat
pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Bab VII Saat dan Tempat Pajak Terhutang
Pasal 13 angka (1) dan (2) menyebutkan:
| (1) |
Terutangnya
Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat
atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena
Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak
ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak
tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasaangkutan; |
| (2) |
Terutangnya
Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat
atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat
penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak
tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihakpembeli; |
Bahwa dalam Pasal 13 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun
2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang PPN dan PPN BM tersebut tidak
hanya digunakan untuk pengenaan PPnBM saja tetapi juga untuk PPN,
karena sesuai dengan pengertian pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka (2), Pajak adalah PPN dan PPn BM;
Bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa saat terutangnya PPN
adalah sama dengan saat terutangnya PPn BM, maka apabila terjadi
pembayaran sebelum penyerahan maka PPN sudah terutang pada saat adanya
pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPn BM;
Bantahan dan Sanggahan Pemohon Peninjauan Kembali Bahwa terkait dengan
hal-hal yang tidak diuraikan dalam Memori Peninjauan Kembali ini namun
sudah disampaikan dalam Surat Banding dan berbagai tanggapan tertulis
lainnya yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding, Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetap berpendapat
sebagaimana yang sudah disampaikan dalam persidangan Banding yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan memori Peninjauan
Kembali ini.
Selanjutnya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
setuju dan membantah pendapat serta kesimpulan dari Termohon Peninjauan
Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan uraian sebagai
berikut:
| 1. |
Bahwa
menurut ketentuan undang-undang, prinsip pengenaan PPN dan PPnBM
ada-lah pada saat penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Penjela-san Pasal 11 ayat (1) UU PPN dan PPnBM sebagai berikut :
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada
saat penyerahan barang kena pajak atau pada saat penyerahan jasa kena
pajak, meskipun pem-bayaran atas penyerahan tersebut belum diterima
atau belum sepenuhnya diterima, atau pada saat impor barang kena pajak.
Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui
“electronic commerce" tunduk pada ayat ini. |
| 2. |
Bahwa
Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM menyebutkan :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak ....
dst ... saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud oleh oleh Pasal 11
ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU
PPN dan PPnBM sebagai berikut :
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a ..... dst .... saat
terutangnya pajak adalah saat pembayaran.
Dengan demikian sudah teramat jelas bahwa penyerahan yang dimaksud oleh
Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM adalah penyerahan Barang Kena Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a UU PPN dan PPnBM yang mana
Pasal 4 huruf a tersebut di dalam sistematika UU PPN dan PPnBM termasuk
dalam BAB III yang mengatur tentang Objek Pajak bersama-sama dengan
Pasal 5.
Bila Pembuat Undang-undang bermaksud mengenakan pajak atas barang mewah
berdasarkan Pasal 11 ayat 2, maka penyerahan BKP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 seharusnya juga turut dicantumkan dalam Penjelasan Pasal
11 ayat 2 tersebut karena Pasal 4 dan Pasal 5 bersamasama merupakan
bagian dari BAB III (Objek Pajak) dalam sistematika UU PPN dan PPnBM. |
| 3. |
Bahwa
Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM beserta Penjelasannya sama sekali
tidak mengatur saat terutangnya pajak untuk penyerahan barang mewah
yang dimaksudkan dalam Pasal 5 bila pembayaran diterima sebelum
penyerahan. Dengan demikian atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
Tergolong Mewah, saat terutangnya tidak tunduk kepada Pasal 11 ayat (2)
namun tetap tunduk pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) yaitu bahwa PPnBM
tetap terutang hanya pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan tidak
dapat dikaitkan dengan pembayaran sebagaimanadimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) UU PPN dan PPnBM. |
| 4. |
Bahwa
Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM sama sekali tidak diuraikan
oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam menyatakan pendapatnya
sebagaimana dimuat dalam halaman 53-55 Putusan Pengadilan Pajak.
Padahal Penjelasan Pasal 11 ayat 2 UU PPN dan PPnBM tersebut sungguh
teramat penting karena merupakan penjelasan pembuat Undang-undang
mengenai maksud dari Pasal 11 ayat 2 tersebut yang merupakan
penyimpangan dari prinsip dasar dari pengenaan pajak, yaitu pada saat
penyerahan barang/jasa kena pajak.Dengan demikian terbukti bahwa
Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat kekeliruan dan khilaf
karena mengabaikan ketentuan dalam perundang-undanganperpajakan yang
berlaku. |
| 5. |
Selanjutnya
Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000 jo. PP Nomor 24 Tahun 2002 me-nyatakan
sebagai berikut :
- Terutangnya
pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat
atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena
Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak
ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat barang kena pajak
tersebut diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha Jasa angkutan.
- Terutangnya
pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat
atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat
penye-rahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak
tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
|
| 6. |
Penjelasan
Pasal 13 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2002 menyatakan bahwa dalam
penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut
pendirian bila penyerahan bila barang tersebut secara fisik telah ada.
Oleh karena itu, pajak baru terutang pada saat penyerahan barang tidak
bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang
mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh
pihak yang bersangkutan.
Pasal 13 dan Penjelasannya tersebut di atas menegaskan kembali bahwa
prinsip dasar saat terutangnya PPN dan PPnBM adalah pada saat
penyerahan barang kena pajak. |
| 7. |
Bahwa
sesungguhnya apa yang disimpulkan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang
berkaitan dengan PPN dan PPn BM adalah hal-hal yang berlaku umum dan
Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak memperhatikan dan tidak
mempertimbangkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM yang
bersifat khusus dalam mana Penjelasan Pasal 11 ayat (2) ini secara
khusus nyata-nyata menyebutkan pembayaran yang mendahului penyerahan
berdasarkan Pasal 4 UU PPN dan PPnBM saja yang dikenakan pajak. Tampak
jelas sekali bahwa di sini Majelis Hakim Pengadilan Pajak memang telah
membuat kekeliruan (khilaf), karena tidak/lupamemperhatikan dan
mempertimbangkan hal-hal yang secara khusus. |
| 8. |
Bahwa
mencermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) berpendapat bahwa atas barang tidak
bergerak baik PPN dan PPnBM-nya terutang pada saat penyerahan. Dalam
hal pembayaran dilakukan sebelum dilakukan penyerahan, maka atas
pembayaran tersebut hanya terutang PPN dan tidak terutang PPnBM
berdasarkan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU PPN dan PPnBM. Dengan
demikian saat terutangnya PPnBM dikembalikan lagi kepada Pasal 11 ayat
(1) UU PPN dan PPnBM jo. Pasal 13 ayat (2) PP No.24 Tahun 2002 jo.
Pasal 13 ayat (2) PP 143 Tahun 2000. |
| 9. |
Bahwa
dengan demikian telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa
pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak
yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put-56087/PP/M.XA/17/2014, tanggal 13 Oktober 2014 tersebut telah
dibuat dengan tidak mendasarkan kepada ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan yang berlaku yang terungkap dalam
pemeriksaan banding, sehingga dengan demikian telah terbukti secara
nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 78 dan Pasal 91 huruf e
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan
Penjelasannya dan oleh karena itu atas Putusan Pengadilan Pajak
tersebut harus dibatalkandemi hukum; |
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor:
Put-56087/PP/M.XA/17/2014, yang diucapkan pada 13 Oktober 2014 yang
menyebutkan:
Menyatakan menolak permohonan banding Pemohon Banding atas Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1500/WPJ.06/2011, tanggal 5 Desember
2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penjualan atas Barang Mewah Masa Pajak Desember 2007 Nomor:
00012/208/07/023/10 tanggal 21 September 2010, atas nama PT
ABC–ZZZ, NPWP : 0X.XXX.XXX.X-0XX.000, beralamat di Jalan DEF
II
No. XX, Jakarta Pusat ;
adalah tidak benar serta telah nyata-nyata bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Menolak
Permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor
KEP-1500/WPJ.06/2011 tanggal 5 Desember 2011 mengenai keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM) Masa Pajak Desember 2007 Nomor: 00012/208/07/023/10
tanggal 21 September 2010 atas nama Pemohon Banding, NPWP:
0X.XXX.XXX.X-0XX.000, adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
| a. |
Bahwa
alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo
yaitu Pengenaan PPnBM berikut sanksinya sebesar
Rp3.194.181.272,-berkaitan dengan koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Masa Desember 2007 sebesar
Rp10.791.152.943,00; yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji
kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh
Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan
Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan mengesampingkan
bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum
Majelis Pengadilan Pajak, karena falsafah yuridis PPN pada dasarnya
merupakan pajak atas konsumsi yang pada hakekatnya yang menjadi
kewajiban adalah pemikul beban pajak (Destinataris), sehingga dalam
perkara a quo maka terhadap penjualan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau
Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan dengan pembayaran uang atas harga
kesatuan merupakan obyek pajak. Sedangkan atas penyerahan Barang Kena
Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) dimaksud terutang PPN (baca
: PPnBM) juga, pada saat penerimaan uang muka pembelian yang
diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 jo. Pasal 11 ayat (1)
dan ayat (2) UU PPN jo. Pasal 13 ayat (2) dan ayat (4) Peraturan
Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 dan oleh karenanya koreksi Terbanding
(sekarang Termohon Peninjauan Kembali) tetap dipertahankan
karena sesuai dengan ketentuan peraturan perUndangUndangan Perpajakan
yang berlaku; |
| b. |
Bahwa
dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang
nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; |
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: PT ABC – ZZZ, tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan
perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
PT ABC – EDEN ZZZ, tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis, tanggal 19 Mei 2016, oleh Dr. H. BCD, S.H., M.Hum., Ketua
Muda Mahkamah Agung R.I Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, EFG,
S.H., M.Hum., dan Dr. H. HIJ, S.H., M.S., Hakim-Hakim Agung sebagai
Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis
tersebut dan dibantu oleh KLM, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh para pihak.
Anggota
Majelis:
ttd/.
EFG, S.H., M.Hum
ttd/.
Dr. H. HIJ, S.H., M.S. |
Ketua
Majelis,
ttd/.
Dr. H. BCD, S.H., M.Hum. |
|
|
Biaya-biaya
1. Meterai
Rp 6.000,-
2. Redaksi
Rp
5.000,-
3. Administrasi Rp 2.489.000,-
Jumlah
Rp2.500.000,- |
Panitera
Pengganti,
ttd/.
KLM, S.H.
|
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara
(H. NOP, S.H.)
NIP. XX0000XXX.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.