PUTUSAN
Nomor 540/B/PK/PJK/2014

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40 - 42, Jakarta;

Dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. ABC, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. DEF, jabatan Kepala Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. GHI, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. JKL, jabatan Penelaah Keberatan, Sub Direktorat Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40 - 42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-876/PJ./2012 tanggal 14 Juni 2012;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

XXX, tempat tinggal di Jalan Pulau P Blok G Nomor Y RT X RW Z, Jakarta Barat, 11xxx;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-36805/PP/.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
1 Dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-422/WPJ.05/ 2010 disebutkan bahwa Surat Keberatan Wajib Pajak atas nama YYY. Sebenarnya surat keberatan yang Pemohon ajukan atas nama XXX;
2 Dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 disebutkan bahwa tidak terdapat cukup alasan untuk menerima Keberatan Wajib Pajak. Sebenarnya sangat cukup beralasan karena Pemohon adalah seorang agen asuransi, dimana perusahaan asuransi tidak memberikan gaji/upah karena Pemohon bukan karyawan tetap. Perusahaan hanya memberikan imbalan komisi atas penjualan yang dilakukan oleh seorang agen asuransi. Sedangkan untuk memasarkan produk, seorang agen asuransi harus mengeluarkan biaya transportasi, ATK dll, yang sepenuhnya menjadi tanggungan pribadi (sesuai Perjanjian Kerjasama Nomor MLI/00005/JR Epsilon/ITC-149/11/2006 tanggal 29 Maret 2006, Pasal 1 (status) “Pihak I dan Pihak II sepakat bahwa perjanjian ini bukan hubungan antara majikan dengan karyawan, tetapi merupakan hubungan kerjasama kemitraan). Karena statusnya bukan sebagai karyawan/pegawai tetap, maka seorang agen asuransi tidak terikat dengan aturan jam kerja, sehingga bebas menentukan jam kerja karena tidak ada kewajiban untuk melapor kepada atasan. Jika Pemohon tidak ada penjualan, maka Pemohon tidak menerima komisi;
3 Atas dasar point 2 tersebut, Pemohon sebagai agen asuransi dalam melaporkan SPT Tahunan menggunakan Norma Penghitungan;
4 Pemohon sebagai agen asuransi sangat awam dan tidak mengerti urusan perpajakan bahkan tidak mengetahui kalau Pemohon harus mempunyai NPWP bahkan tidak mengetahui juga kalau Pemohon sudah diberikan nomor NPWP oleh kantor (PT. ZZZ Indonesia). Setelah Pemohon telusuri mengenai nomor NPWP, ternyata pihak kantor juga tidak mengetahui karena nomor NPWP langsung dibuatkan oleh KPP Menteng dan dikirim ke kantor ZZZ, jadi Pemohon sama sekali tidak mengetahui kalau Pemohon sudah dibuatkan nomor NPWP, tiba-tiba Pemohon diberitahu kantor ZZZ Nomor NPWP tetapi kartu NPWP tidak diberikan karena kantor ZZZ juga belum menerima kartu NPWP dari KPP Menteng. Jadi dalam rangka Sunset Policy maka semua Agen Asuransi maupun karyawan PT. ZZZ telah dibuatkan NPWP oleh KPP Menteng tanpa sepengetahuan Pemohon dengan kata lain Pemohon telah dibuatkan NPWP secara jabatan bukan secara sukarela atau kesadaran Pemohon. Pemohon sama sekali tidak mengerti dan tidak mengetahui;
Dalam hal ini Pemohon benar-benar merasa aneh. Hal lainnya adalah bahwa Pemohon juga tidak mengetahui cara pembuatan laporan pajak, yang Pemohon tau adalah membuat Laporan SPT dengan menggunakan Norma Penghitungan karena Pemohon seorang agen asuransi, Pemohon tidak pernah mendapat penjelasan dari Kantor Pelayanan Pajak, sekalipun Pemohon sudah datang ke kantor tersebut, hal lain yang Pemohon dapat adalah menurut Petugas Counter (Tempat Pelayanan Terpadu) pada waktu Pemohon bertanya, mereka mengatakan surat pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan dilampirkan saja bersamaan dengan Laporan SPT Tahunan. Berdasarka informasi tersebut, maka Pemohon melampirkan Surat Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan bersama dengan SPT Tahunan;
5 Pemohon telah melakukan keberatan atas SKPKB tersebut ke Kantor Wilayah DJP, hal aneh lagi yang Pemohon terima adalah Pemohon menerima surat undangan untuk membahas masalah Surat Keberatan SKPKB PPh OP tertanggal 22 Juni 2010, isi surat diminta kedatangan kami tanggal 5 Juli 2010, tetapi surat undangan baru Pemohon terima tanggai 7 Juli 2010. Setelah Pemohon terima surat tersebut, maka Pemohon langsung menghubungi Kanwil DJP Jakarta Barat, ternyata Bapak MNO sedang berada di luar kota dan Ibu PQR sedang cuti sehingga Pemohon disuruh menghubungi kembali 1 minggu ke depan. Tanggal 12 Juli 2010 Pemohon kembali menelepon Kanwil DJP Jakarta Barat, ternyata Pemohon mendapat jawaban yang sangat ketus dari Ibu Yulti yang langsung mengatakan sudah tidak bisa karena sudah lewat batas waktu, Pemohon benar-benar merasa aneh !. setelah itu beberapa jam kemudian Pemohon telepon kembali dan Pemohon minta berbicara dengan Bapak MNO. Bapak MNO sangat baik memberikan penjelasan, tetapi Pemohon tetap merasa aneh karena surat yang Pemohon terima telah melampaui batas tanggal yang ditetapkan mereka tetap mengatakan tidak bisa lagi. Dimana keadilan untuk Wajib Pajak? kesalahan bukan terletak pada Pemohon tetapi Pemohon tetap harus menanggung kesalahan tersebut;

Atas hal tersebut di atas, maka Pemohon menyimpulkan bahwa:
1 Pembuatan NPWP Pemohon adalah secara jabatan oleh KPP Menteng tanpa Pemohon mengetahuinya, hal tersebut dikarenakan berhubungan dengan dikeluarkannya Kebijakan Dirjen Pajak mengenai Sunset Policy;
2 Bagian surat di KPP khususnya dibagian TPT terlalu menganggap remeh Wajib Pajak dan selalu tidak pernah memberikan penjelasan secara bertanggung jawab, tetapi secara asai;
3 Periksa Pajak tidak menerima penjelasan Pemohon dan terkesan memang harus tetap dilakukan SKPKB PPh OP, bagaimana mungkin Pemohon lakukan karena Pemohon hanya rakyat kecil yang untuk kehidupan sehari-hari saja sangat sulit;
4 Kronologi penerimaan surat (point 5) tidak diberi kesempatan memberikan penjelasan dikarenakan surat yang Pemohon terima sudah lewat batas waktu;
5 SPT Tahunan yang Pemohon laporkan adalah Lebih Bayar dikarenakan PT. ZZZ sudah kelebihan potong komisi yang Pemohon terima untuk itu Pemohon mengajukan restitusi;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2008 Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 yang telah dibetulkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-44/ WPJ.05/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Pembetulan Secara Jabatan atas Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010, atas nama: XXX, NPWP xx.xxx.xxx.4-xxx.000, beralamat di Jalan Pulau P Blok G Nomor Y RT X RW Z, Jakarta Barat, dengan perhitungan menjadi sebagai berikut:

URAIAN MENURUT
MAJELIS (Rp)
Penghasilan netto dalam negeri:
- Penghasilan dari Jasa/Pekerjaan bebas
- Penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan
Jumlah Penghasilan Netto
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak
PPh Terutang
Kredit Pajak:
- PPh Pasal 21 dipotong pihak lain
Pajak yang tidak/kurang/(lebih) dibayar
Sanksi Administrasi:
- Bunga Pasal 13 (2) KUP
Jumlah PPh yang masih harus/(lebih) dibayar
71.709.702,00
0,00
71.709.702,00
13.200.000,00
58.509.702,00
4.600.970,00

9.325.716,00
(4.724.743,00)

0,00
(4.724.743,00)

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-36805/PP/M.XVI/14/ 2012 tanggal 21 Februari 2012 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 28 Maret 2012, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 14 Juni 2012 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 20 Juni 2012, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 20 Juni 2012;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 Juli 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 5 September 2012;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. Tentang Alasan Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali;
1. Bahwa Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyatakan “Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas Putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung”;
2. Bahwa ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut : “Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”;
3. Bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 yang amarnya menyatakan mengabulkan seluruhnya, Majelis Hakim tidak memperhatikan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut, sehingga Majelis Hakim menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia;
II. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali;
1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak, menyatakan sebagai berikut:
“Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim”;
2. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/ 14/2012, atas nama XXX (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) oleh Pengadilan Pajak melalui Surat Nomor P.303.a/SP.23/2012 tanggal 21 Maret 2012 dengan cara disampaikan secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 30 Maret 2012 sesuai Surat Tanda Terima Dokumen Direktorat Jenderal Pajak Nomor Dokumen : 2012033002490007;
3. Bahwa mengingat pengajuan permohonan Peninjauan Kembali didasari ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, dengan demikian pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 ini, masih dalam tenggang waktu yang diijinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidaktidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnya-lah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
III Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
  • Koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00;
IV. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012, maka dengan ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yang kami kemukakan dalam dalil-dalil hukum sebagai berikut:
Koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00;
  1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
    Halaman 25 alinea ke-3 dan alinea ke-4:
    “Bahwa berdasarkan bukti-bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang diajukan Pemohon Banding, terbukti bahwa Pemohon Banding menerima penghasilan dari 2 (dua) pemberi kerja yaitu PT. ZZZ Indonesia dan PT. MMM Indonesia”;
    “Bahwa Pemohon Banding menjelaskan bahwa penghasilan suami Pemohon Banding yang bernama STU berasal dari penghasilan sebagai karyawan pada PT. FFF”;
    “Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, penghasilan Pemohon Banding sebagai seorang wanita kawin memenuhi persyaratan untuk digabungkan dengan penghasilan suaminya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PPh maupun prinsip “keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 8 UU PPh”;
    “Bahwa dengan demikian koreksi Terbanding tidak dapat dipertahankan dan permohonan Pemohon Banding dikabulkan seluruhnya”;
  2. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah dan keliru atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan atau peraturan perpajakan yang berlaku terkait koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar Asas Kepastian Hukum dalam bidang perpajakan di Indonesia;
  3. Bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak) menyebutkan sebagai berikut:
    Pasal 69 ayat (1):
    “Alat bukti dapat berupa:
    1. Surat atau tulisan;
    2. Keterangan ahli;
    3. Keterangan para saksi;
    4. Pengakuan para pihak; dan/atau
    5. Pengetahuan Hakim;
Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain”;
  1. Bahwa Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”;
    Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan;
    Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak”;
  2. Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
    Kemudian dalam Memori Penjelasan Pasal 78 menyebutkan bahwa “Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
  3. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh) menyebutkan sebagai berikut:
    Pasal 8 ayat (1):
    Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitupula kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya; Pasal 8 ayat (2) : Penghasilan suami - isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila:
    1. Suami - isteri hidup berpisah;
    2. Dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
Pasal 8 ayat (3):
Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan netto suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto mereka;
Penjelasan Pasal 8:
“Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah”;
Pasal 14 ayat (2):
Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
Pasal 14 ayat (4):
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan;
  1. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang Penyesuaian Besarnya Peredaran Bruto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Yang boleh Menghitung Penghasilan Netto Dengan Menggunakan Norma Pengitungan Penghasilan Netto, menyatakan:
    Pasal 1:
(1) Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diubah menjadi kurang dari Rp 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah);
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2007;
Pasal 2:
Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan bermaksud menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
  1. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2006 (selanjutnya disebut PER-15/PJ/2006), menyatakan:
    Pasal 8 ayat (1):
    Besarnya penghasilan netto pegawai tetap ditentukan berdasar penghasilan bruto dikurangi dengan:
    1. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) sebulan;
    2. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
  2. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang telah dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, yaitu:
    1. Bahwa yang menjadi sengketa banding adalah koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00; dengan penjelasan koreksi sebagai berikut:
    1. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah agen asuransi, yang memperoleh penghasilan sebesar Rp 179.274.256,00 yang terdiri dari:
      • PT ZZZ sebesar Rp 86.734.256,00;
      • PT MMM sebesar Rp 92.540.000,00;
    2. Atas penghasilan bruto yang diterima Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana tersebut pada butir 1, pada dasarnya tidak terdapat sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), yang sama-sama mengakui adanya Penghasilan Bruto sebesar Rp 179.274.256,00;
    3. Bahwa yang menjadi persengketaan adalah perbedaan dalam menghitung besarnya penghasilan dengan perincian sebagai berikut:
      1. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebesar 40% (Kode 0000 : kegiatan lain yang tidak jelas batasannya dan kegiatan lain yang belum terinput pada kelompok komisioner ), dengan perhitungan:
        • Penghasilan Bruto Rp 179.274.256,00
        • Norma 40 %
        • Penghasilan Netto Rp 71.709.702,00
      2. Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000 menyatakan “Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”;
      3. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.03/2007 juga mengatur “Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan bermaksud menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”;
      4. Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak mengakui Norma Penghitungan Penghasilan Netto yang dipergunakan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak memberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam jangka waktu yang ditentukan, yaitu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000 juncto Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.03/2007, sehingga Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000;
      5. Karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat menunjukkan pembukuan atas penghasilan yang diterimanya, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Dan disimpulkan penghasilan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp 179.274.256,00 merupakan penghasilan bersih (penghasilan netto), sehingga koreksi penghasilan netto dihitung sebagai berikut:
        • Penghasilan Netto menurut Pemohon Banding Rp 71.709.702,00
        • Penghasilan Netto menurut Terbanding Rp179.274.256,00
        • Koreksi Rp107.564.554,00
    1. Bahwa data dan fakta terkait sengketa banding yang terungkap di persidangan adalah sebagai berikut:
    1. Pemohon Banding terdaftar di KPP Pratama Jakarta Kembangan sejak tanggal 11 September 2007;
    2. Untuk Tahun Pajak 2007, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Dan baru menyampaikan/ melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2008 pada tanggal 30 Maret 2009;
    3. Bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2008, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melampirkan pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk tahun pajak yang sama (Tahun Pajak 2008);
    1. Bahwa dalam permohonan bandingnya, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menyampaikan argumentasi sebagai berikut:
    2. Sebagai agen asuransi, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sangat awam dan tidak mengerti urusan perpajakan;
    3. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak mengetahui bahwa terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah dibuatkan NPWP secara jabatan;
    4. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak mengerti/tidak mengetahui jika harus menyampaikan surat pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan terlebih dahulu sebelum menghitung penghasilan netto dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto;
    1. Bahwa dalam pertimbangan putusannya, Majelis menyampaikan pendapat sebagai berikut:
      Halaman 23 alinea 6:
    1. Penggunaan norma penghitungan penghasilan netto yang dilakukan oleh Pemohon sesuai dengan ketentuan dasar mengenai kewajiban penggunaan norma dimaksud Pemohon tidak dapat dipersalahkan karena terbukti telah menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan dimaksud pada saat bersamaan dengan menyampaikan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2008;
      Halaman 24 alinea 1:
    2. Bahwa sesuai ketentuan perpajakan Pasal 14 ayat (4) UU PPh hanya diatur kepada Wajib Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma dimaksud yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan saja, dan tidak diatur apabila disampaikan namun terlambat terhadap Wajib Pajak baru. Hal ini berarti akibat hukum keterlambatan penyampaian pemberitahuan penggunaan norma penghitungan bagi Wajib Pajak baru tersebut serta merta dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak diatur oleh ketentuan tersebut secara khusus mengenai gugurnya hak Wajib Pajak menggunakan norma;
    3. Sehingga menurut Majelis, hak Pemohon atas penggunaan Norma Penghitungan tidak serta merta gugur karena keterlambatan atau lewat waktu memasukkan pemberitahuan norma penghitungan karena fakta hukum yang terbukti sebagai berikut:
1) Bahwa NPWP sudah dimiliki atas nama suami, STU terdaftar di KPP Pratama Jakarta Kembangan dengan Nomor 49.384.971.5-086.000. Pemohon tidak mengetahui diberikan lagi atas nama istri Nomor Pokok Wajib Pajak oleh KPP Menteng secara jabatan sehingga tidak diketahui hak dan kewajibannya sebagai Wajib Pajak menurut NPWP tersebut;
2) Bahwa kartu NPWP tertanggal 11 September 2007 atas nama Pemohon diberikan pada awal Tahun 2008 dengan status Pusat, sedangkan yang bersangkutan adalah status istri, Sehingga terjadi NPWP ganda. Kewajiban Pemohon untuk melaporkan SPT PPh Orang Pribadi atas namanya sendiri atau atas nama suaminya menjadi tidak jelas (karena NPWP bukan atas nama Pemohon), hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hak dan kewajiban Pemohon sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, sedangkan kewajiban yang dibebankan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (4) UU PPh harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan yaitu Tahun 2008 atau bulan Maret 2008. Sehingga kewajiban memberitakan pemberitahuan penggunaan norma sebagaimana dimaksud tidak diketahui berakhir pada bulan ketiga (Maret) Tahun Pajak 2008;
3) Bahwa sesuai Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP- 422/WPJ.05/2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 yang dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak (Terbanding) adalah Surat Keberatan atas nama YYY Nomor 01/ Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010, hal ini membuktikan terdapat kesalahan surat keberatan yang menjadi bahan pertimbangan keputusan sehingga keputusan tersebut menurut Majelis cacat hukum;
4) Bahwa sesuai dengan riwayat tatacara pemberian NPWP dan dasar Penetapan Pajak terbukti Terbanding tidak pernah menjelaskan mengenai kedudukan suami Pemohon yang sudah mempunyai NPWP, sehingga pemberian NPWP dan penetapannya menurut Majelis tidak sesuai dengan prosedur dan tatacara pemberian NPWP dan prinsip pemberian NPWP untuk satu keluarga sebagaimana ketentuan perpajakan yang berlaku;
Oleh karena itu dalil Terbanding tidak benar sehingga penghitungan Terbanding penghasilan netto Pemohon tidak dapat dipertahankan;
Halaman 25 alinea ke-1:
“Bahwa memperhatikan Laporan Penelitian Keberatan tentang cara perhitungan Penghasilan Netto Tahun Pajak 2008 bagi Pemohon, adalah tidak tepat karena mengambil angka Penghasilan bruto yang dilaporkan dalam rincian Penghasilan Bruto dari Pemohon yang dilampirkan dalam daftar rincian Penghasilan Bruto dalam formulir Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghasilan Netto, hal ini berarti tidak memperhitungkan biaya-biaya yang diperkenankan untuk mengurangi penghasilan sebagaimana ketentuan PPh yang berlaku”;
    1. Bahwa atas pertimbangan yang disampaikan Majelis sebagaimana tersebut di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) memberikan penjelasan sebagai berikut:
    1. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dinyatakan : Wajib Pajak Orang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
      Dari ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat:
      1. Penghasilan bruto dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
      2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga harus dipenuhi keduanya;
    1. Bahwa faktanya, dalam Tahun Pajak 2008, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp 179.274.256,00 sehingga syarat pertama dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terpenuhi oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
      Sedangkan terkait dengan syarat yang kedua dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
      Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, untuk Tahun Pajak 2008, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak 2008, yaitu pada bulan Januari 2008, Februari 2008 ataupun Maret 2008, namun faktanya, Pemohon Banding memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk Tahun Pajak 2008 bersamaan dengan penyampaian/ pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2008, yaitu pada tanggal 30 Maret 2009;
    2. Bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk Tahun Pajak 2008 yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
    3. Bahwa dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dinyatakan : “Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan”;
    4. Bahwa sehingga sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, maka terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan;
    5. Bahwa faktanya, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat menunjukkan pembukuan atas penghasilan yang diterimanya, sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat mengetahui biaya-biaya yang dikeluarkan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Dan disimpulkan penghasilan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp 179.274.256,00 merupakan penghasilan bersih (penghasilan netto);
    6. Dalam putusannya, Majelis menyampaikan pendapat bahwa dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, hanya mengatur bahwa Wajib Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma, maka dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. Dalam ketentuan tersebut, menurut Majelis, tidak diatur apabila pemberitahuan penggunaan norma disampaikan namun terlambat. Hal ini berarti akibat hukum keterlambatan penyampaian pemberitahuan penggunaan norma penghitungan tidak diatur oleh ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
    7. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak setuju dengan pendapat Majelis, sebagaimana disebutkan pada butir 7, dengan alasan:
      1. Majelis salah menafsirkan ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan karena ditafsirkan secara parsial;
      2. Dalam menafsirkan ketentuan pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Majelis seharusnya menggunakan penafsiran sistematik, yaitu penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkan dengan pasal-pasal undang-undang yang lain;
      3. Sangat jelas bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (4) menyatakan : Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan meng-gunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan;
      4. Adanya kalimat “sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)” menunjukkan bahwa terdapat hubungan/keterkaitan antara ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
      5. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dinyatakan : “Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh menghitung pengha-silan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”;
      6. Sehingga, kalimat “tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak” pada ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan seharusnya diartikan sebagai “tidak memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”, karena berhubungan/terkait dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mengatur mengenai syarat penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, yaitu memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
      7. Dari beberapa uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pendapat Majelis yang menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (4) hanya mengatur Wajib Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma, dan tidak mengatur apabila pemberitahuan penggunaan norma disampaikan namun terlambat, terbukti tidak benar;
    8. Dalam putusannya, Majelis menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan maupun prinsip “keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis”, maka penghasilan Pemohon Banding sebagai seorang wanita kawin memenuhi persyaratan untuk digabungkan dengan penghasilan suami;
    9. Bahwa Pemohon Peninajuan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan pernyataan Majelis tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:
      1. Majelis telah mengabaikan fakta bahwa suami Pemohon Banding (STU) baru terdaftar di KPP Pratama Jakarta Kembangan dengan NPWP : 49.xxx.xxx.5-xxx.000 sejak 16 Oktober 2008. Sehingga apabila dibandingkan dengan NPWP Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), terlihat bahwa NPWP Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terdaftar lebih dahulu dibandingkan dengan NPWP suami Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), karena NPWP Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah diterbitkan KPP Jakarta Kembangan sejak tanggal 11 September 2007;
      2. Adanya fakta tersebut, menunjukkan bahwa penerbitan NPWP yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, mengingat pada saat diterbitkan, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ataupun suami Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum mempunyai NPWP;
      3. Setelah diterbitkannya NPWP suami, faktanya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak pernah mengajukan permohonan penghapusan NPWP. Hal ini menunjukkan bahwa Pemohon Banding memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri;
      4. Sehingga, dengan demikian pemisahan hak dan kewajiban perpajakan antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan suami Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan maupun prinsip “keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis”;
    10. Bahwa atas pertimbangan Majelis yang menyatakan Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 (yang diajukan banding) cacat hukum, karena yang dinyatakan dalam pertimbangan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah Surat Keberatan atas nama YYY Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010, dan bukan surat dari Pemohon Banding, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak sependapat dengan pernyataan Majelis tersebut, dengan penjelasan sebagai berikut:
      1. Faktanya Surat Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010 yang disebutkan dalam Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 merupakan surat dari Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), meskipun disebutkan sebagai surat keberatan atas nama YYY;
      2. Bahwa hal ini terjadi karena adanya kesalahan tulis dalam Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/ WPJ.05/2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010”, yang seharusnya tertulis “Surat Keberatan atas nama XXX Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010”, tetapi dituliskan sebagai “surat keberatan atas nama YYY Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010”. Atas kesalahan tulis tersebut, faktanya telah dibetulkan dengan Surat Keputusan Nomor KEP-44/ WPJ.05/2011 tanggal 24 Januari 2011;
      3. Dalam putusan Majelis pada halaman 15 alinea ke-7, dinyatakan “ bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010 yang telah dibetulkan melalui Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-44/WPJ.05/2011 tanggal 24 Januari 2011, merupakan keputusan atau jawaban terhadap Surat Keberatan Pemohon Banding Nomor 01/Pjk.OP.2008/ II/10 tanggal 9 Februari 2010”. Hal ini menunjukkan bahwa sudah tidak terjadi sengketa terkait adanya kesalahan tulis dalam Keputusan Terbanding Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010;
    11. Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan juncto Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.03/ 2007 tanggal 16 Januari 2007;
  1. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo sepanjang mengenai sengketa koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 menyangkut koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00, harus dibatalkan;
V. Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 yang menyatakan:
  • Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2008 Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 yang telah dibetulkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-44/WPJ.05/ 2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Pembetulan Secara Jabatan atas Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010 atas nama XXX, NPWP: 47.xxx.xxx.4-xxx.000, beralamat di Jalan Pulau P Blok G Nomor Y RT X RW Z, Jakarta Barat, sehingga jumlah Pajak Penghasilan yang masih harus/(lebih) dibayar Tahun 2008 menjadi sebagaimana perhitungan di atas;
adalah tidak benar dan telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan karena Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2008 Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 yang telah dibetulkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-44/WPJ.05/2011 tanggal 24 Januari 2011 tentang Pembetulan Secara Jabatan atas Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010, atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali, NPWP 47.984.013.4-086.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih bayar sebesar (Rp 4.724.743,00) adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
  • Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali atas koreksi Penghasilan Netto dalam perkara a quo sebesar Rp 107.564.554,00 tidak dapat dibenarkan, karena dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dan pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) perkara a quo telah melaksanakan kewajibannya perpajakan dengan benar dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak memenuhui ketentuan sebagaimana diatur Pasal 23 ayat (1) huruf a butir 4 UU PPh jo. Pasal 2 Keputusan Terbanding Nomor KEP-395/PJ/2001;
  • Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan, sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Rabu, tanggal 29 Oktober 2014 oleh Dr. H. CCC, S.H., M.H., Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. AAA, S.H., M.S. dan H. BBB, S.H., M.H. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD MS, S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.




Anggota Majelis:

ttd./Dr. H. AAA, S.H., M.S.

ttd./H. BBB, S.H., M.H.

Ketua Majelis,

ttd./Dr. H. CCC, S.H., M.H.







Biaya - biaya :
1. Meterai Rp. 6.000,-
2. Redaksi Rp. 5.000,-
3. Administrasi Rp. 2.489.000,-
Jumlah Rp. 2.500.000,-

Panitera Pengganti :
ttd./DDD MS, S.H., M.H.



Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUSNG RI .
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara



NN, SH.
Nip. XX00XXXX

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA