IV. |
Tentang Pembahasan Pokok Sengketa
Peninjauan Kembali;
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca,
memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012, maka dengan ini
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat
keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan
hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan
peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan
banding di Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya telah membuat suatu
kekhilafan baik berupa error
facti maupun error juris dalam membuat
pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan
penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta
menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (contra
legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku, yang kami kemukakan dalam dalil-dalil hukum sebagai
berikut:
Koreksi Penghasilan
Netto sebesar Rp 107.564.554,00;
- Bahwa
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi
sebagai berikut:
Halaman
25 alinea ke-3 dan alinea ke-4:
“Bahwa berdasarkan bukti-bukti Pemotongan PPh Pasal 21 yang
diajukan Pemohon Banding, terbukti bahwa Pemohon Banding menerima
penghasilan dari 2 (dua) pemberi kerja yaitu PT. ZZZ Indonesia dan PT.
MMM Indonesia”;
“Bahwa Pemohon Banding menjelaskan bahwa penghasilan suami
Pemohon Banding yang bernama STU berasal dari penghasilan sebagai
karyawan pada PT. FFF”;
“Bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas, penghasilan
Pemohon Banding sebagai seorang wanita kawin memenuhi persyaratan untuk
digabungkan dengan penghasilan suaminya sebagaimana diatur dalam Pasal
8 PPh maupun prinsip “keluarga sebagai satu kesatuan
ekonomis” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 8 UU
PPh”;
“Bahwa dengan demikian koreksi Terbanding tidak dapat
dipertahankan dan permohonan Pemohon Banding dikabulkan
seluruhnya”;
- Bahwa
berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang
tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 tersebut di atas,
maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini
menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa
dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah dan keliru atau
setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam
membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan
fakta hukum dan atau peraturan perpajakan yang berlaku terkait koreksi
Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00 yang tidak dipertahankan
oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, sehingga hal tersebut nyata-nyata
telah melanggar Asas Kepastian Hukum dalam bidang perpajakan di
Indonesia;
- Bahwa
Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak)
menyebutkan sebagai berikut:
Pasal
69 ayat (1):
“Alat bukti dapat berupa:
- Surat atau tulisan;
- Keterangan ahli;
- Keterangan para saksi;
- Pengakuan para pihak; dan/atau
- Pengetahuan Hakim;
|
Kemudian
dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) menyebutkan bahwa
“Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis
atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau
tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain”; |
- Bahwa
Pasal 76 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan
paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1)”;
Kemudian dalam memori penjelasan Pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan
bahwa “Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan
kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang
Perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan
sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak
terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para
pihak”;
- Bahwa
Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
Kemudian dalam Memori Penjelasan Pasal 78 menyebutkan bahwa
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
- Bahwa
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh)
menyebutkan sebagai berikut:
Pasal
8 ayat (1):
Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada
awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitupula
kerugiannya yang berasal dari tahun-tahun sebelumnya yang belum
dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dianggap
sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, kecuali penghasilan
tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari 1 (satu) pemberi
kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21 dan
pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya; Pasal 8 ayat (2) :
Penghasilan suami - isteri dikenakan pajak secara terpisah apabila:
- Suami
- isteri hidup berpisah;
- Dikehendaki
secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan;
|
Pasal
8 ayat (3):
Penghasilan netto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dikenakan pajak berdasarkan penggabungan penghasilan netto
suami-isteri dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing
suami-isteri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan netto
mereka;
Penjelasan
Pasal 8:
“Sistem pengenaan pajak berdasarkan undang-undang ini
menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya
penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan
sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban
pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu
pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah”;
Pasal
14 ayat (2):
Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun
kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh
menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
Pasal
14 ayat (4):
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan; |
- Bahwa
berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 01/PMK.03/2007 tanggal 16 Januari 2007 tentang
Penyesuaian Besarnya Peredaran Bruto Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Yang boleh Menghitung Penghasilan Netto Dengan Menggunakan Norma
Pengitungan Penghasilan Netto, menyatakan:
Pasal
1:
|
(1) |
Besarnya
peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2000, diubah menjadi kurang dari Rp 1.800.000.000,00
(satu miliar delapan ratus juta rupiah); |
|
(2) |
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mulai berlaku sejak Tahun Pajak
2007; |
|
|
Pasal
2:
Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan bermaksud menghitung penghasilan
nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, wajib
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan; |
- Bahwa
berdasarkan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-545/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan
Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-15/PJ/2006 (selanjutnya disebut PER-15/PJ/2006),
menyatakan:
Pasal
8 ayat (1):
Besarnya penghasilan netto pegawai tetap ditentukan berdasar
penghasilan bruto dikurangi dengan:
- Biaya
jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan
sejumlah Rp 1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu
rupiah) setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah)
sebulan;
- Iuran
yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan
penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan
dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
- Bahwa
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan
berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak
sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari 2012 serta berdasarkan
penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang telah dapat diketahui
secara jelas dan nyata-nyata terungkap pada persidangan, yaitu:
- Bahwa
yang menjadi sengketa banding adalah koreksi Penghasilan Netto sebesar
Rp 107.564.554,00; dengan penjelasan koreksi sebagai berikut:
- Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah agen asuransi, yang
memperoleh penghasilan sebesar Rp 179.274.256,00 yang terdiri dari:
- PT ZZZ sebesar Rp 86.734.256,00;
- PT MMM sebesar Rp 92.540.000,00;
- Atas
penghasilan bruto yang diterima Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) sebagaimana tersebut pada butir 1, pada dasarnya tidak
terdapat sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
dan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), yang
sama-sama mengakui adanya Penghasilan Bruto sebesar Rp 179.274.256,00;
- Bahwa
yang menjadi persengketaan adalah perbedaan dalam menghitung besarnya
penghasilan dengan perincian sebagai berikut:
- Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghitung penghasilan
netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebesar
40% (Kode 0000 : kegiatan lain yang tidak jelas batasannya dan kegiatan
lain yang belum terinput pada kelompok komisioner ), dengan perhitungan:
- Penghasilan Bruto Rp 179.274.256,00
- Norma 40 %
- Penghasilan Netto Rp 71.709.702,00
- Pasal
14 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000 menyatakan
“Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran brutonya dalam satu
tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), boleh
menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”;
- Pasal
2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 01/PMK.03/2007
juga mengatur “Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan bermaksud
menghitung penghasilan nettonya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto, wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan”;
- Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak mengakui Norma
Penghitungan Penghasilan Netto yang dipergunakan Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding), karena Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) tidak memberitahuan penggunaan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto dalam jangka waktu yang ditentukan,
yaitu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan, sesuai
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2000
juncto Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
01/PMK.03/2007, sehingga Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan Tahun 2000;
- Karena
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat
menunjukkan pembukuan atas penghasilan yang diterimanya, maka Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat mengetahui
biaya-biaya yang dikeluarkan Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Dan
disimpulkan penghasilan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) sebesar Rp 179.274.256,00 merupakan penghasilan bersih
(penghasilan netto), sehingga koreksi penghasilan netto dihitung
sebagai berikut:
- Penghasilan Netto menurut Pemohon
Banding Rp 71.709.702,00
- Penghasilan Netto menurut
Terbanding Rp179.274.256,00
- Koreksi Rp107.564.554,00
- Bahwa
data dan fakta terkait sengketa banding yang terungkap di persidangan
adalah sebagai berikut:
- Pemohon
Banding terdaftar di KPP Pratama Jakarta Kembangan sejak tanggal 11
September 2007;
- Untuk
Tahun Pajak 2007, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
belum melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Dan baru menyampaikan/
melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2008 pada
tanggal 30 Maret 2009;
- Bersamaan
dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2008,
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melampirkan
pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto untuk
tahun pajak yang sama (Tahun Pajak 2008);
- Bahwa
dalam permohonan bandingnya, Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) menyampaikan argumentasi sebagai berikut:
- Sebagai
agen asuransi, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) sangat awam dan tidak mengerti urusan perpajakan;
- Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak mengetahui bahwa
terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
telah dibuatkan NPWP secara jabatan;
- Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
mengerti/tidak mengetahui jika harus menyampaikan surat pemberitahuan
penggunaan Norma Penghitungan terlebih dahulu sebelum menghitung
penghasilan netto
dengan Norma Penghitungan Penghasilan Netto;
- Bahwa
dalam pertimbangan putusannya, Majelis menyampaikan pendapat sebagai
berikut:
Halaman
23 alinea 6:
- Penggunaan
norma penghitungan penghasilan netto yang dilakukan oleh
Pemohon sesuai dengan ketentuan dasar mengenai kewajiban penggunaan
norma
dimaksud Pemohon tidak dapat dipersalahkan karena terbukti telah
menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan dimaksud pada
saat bersamaan dengan menyampaikan laporan Surat Pemberitahuan Tahunan
PPh Orang
Pribadi Tahun Pajak 2008;
Halaman
24 alinea 1:
- Bahwa
sesuai ketentuan perpajakan Pasal 14 ayat (4) UU PPh hanya
diatur kepada Wajib Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma
dimaksud yang dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan saja, dan
tidak diatur
apabila disampaikan namun terlambat terhadap Wajib Pajak baru. Hal ini
berarti
akibat hukum keterlambatan penyampaian pemberitahuan penggunaan norma
penghitungan bagi Wajib Pajak baru tersebut serta merta dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan karena tidak diatur oleh ketentuan
tersebut
secara khusus mengenai gugurnya hak Wajib Pajak menggunakan norma;
- Sehingga
menurut Majelis, hak Pemohon atas penggunaan Norma
Penghitungan tidak serta merta gugur karena keterlambatan atau lewat
waktu memasukkan pemberitahuan norma penghitungan karena fakta hukum
yang terbukti
sebagai berikut:
|
1) |
Bahwa
NPWP sudah dimiliki atas nama suami, STU terdaftar di KPP Pratama
Jakarta Kembangan dengan Nomor 49.384.971.5-086.000. Pemohon tidak
mengetahui diberikan lagi atas nama istri Nomor Pokok Wajib Pajak oleh
KPP Menteng secara jabatan sehingga tidak diketahui hak dan
kewajibannya sebagai Wajib Pajak menurut NPWP tersebut; |
|
2) |
Bahwa
kartu NPWP tertanggal 11 September 2007 atas nama Pemohon diberikan
pada awal Tahun 2008 dengan status Pusat, sedangkan yang bersangkutan
adalah status istri, Sehingga terjadi NPWP ganda. Kewajiban Pemohon
untuk melaporkan SPT PPh Orang Pribadi atas namanya sendiri atau atas
nama suaminya menjadi tidak jelas (karena NPWP bukan atas nama
Pemohon), hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap hak dan
kewajiban Pemohon sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi sesuai ketentuan
perpajakan yang berlaku, sedangkan kewajiban yang dibebankan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (4) UU PPh
harus menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma penghitungan dalam
jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
yaitu Tahun 2008 atau bulan Maret 2008. Sehingga kewajiban memberitakan
pemberitahuan penggunaan norma sebagaimana dimaksud tidak diketahui
berakhir pada bulan ketiga (Maret) Tahun Pajak 2008; |
|
3) |
Bahwa
sesuai Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP- 422/WPJ.05/2010 tentang
Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor
00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari 2010 yang dipertimbangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak (Terbanding) adalah Surat Keberatan atas nama
YYY Nomor 01/ Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010, hal ini
membuktikan terdapat kesalahan surat keberatan yang menjadi bahan
pertimbangan keputusan sehingga keputusan tersebut menurut Majelis
cacat hukum; |
|
4) |
Bahwa
sesuai dengan riwayat tatacara pemberian NPWP dan dasar Penetapan Pajak
terbukti Terbanding tidak pernah menjelaskan mengenai kedudukan suami
Pemohon yang sudah mempunyai NPWP, sehingga pemberian NPWP dan
penetapannya menurut Majelis tidak sesuai dengan prosedur dan tatacara
pemberian NPWP dan prinsip pemberian NPWP untuk satu keluarga
sebagaimana ketentuan perpajakan yang berlaku;
Oleh karena itu dalil Terbanding tidak benar sehingga penghitungan
Terbanding penghasilan netto Pemohon tidak dapat dipertahankan; |
|
|
Halaman
25 alinea ke-1:
“Bahwa memperhatikan Laporan Penelitian Keberatan tentang
cara perhitungan Penghasilan Netto Tahun Pajak 2008 bagi Pemohon,
adalah tidak tepat karena mengambil angka Penghasilan bruto yang
dilaporkan dalam rincian Penghasilan Bruto dari Pemohon yang
dilampirkan dalam daftar rincian Penghasilan Bruto dalam formulir
Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghasilan Netto, hal ini berarti tidak
memperhitungkan biaya-biaya yang diperkenankan untuk mengurangi
penghasilan sebagaimana ketentuan PPh yang
berlaku”; |
- Bahwa
atas pertimbangan yang disampaikan Majelis sebagaimana tersebut di
atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) memberikan
penjelasan sebagai berikut:
- Dalam
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan, dinyatakan : Wajib Pajak Orang Pribadi
yang
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 600.000.000,00 (enam
ratus
juta rupiah), boleh menghitung penghasilan netto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
Dari ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 Tentang Pajak Penghasilan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
Wajib Pajak Orang Pribadi boleh menghitung penghasilan netto dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dengan syarat:
- Penghasilan bruto dalam satu tahun kurang dari Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah);
- Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan;
|
|
Kedua
syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga harus dipenuhi keduanya; |
- Bahwa
faktanya, dalam Tahun Pajak 2008, Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp
179.274.256,00 sehingga syarat pertama dalam ketentuan Pasal 14 ayat
(2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, terpenuhi
oleh
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
Sedangkan terkait dengan syarat yang kedua dalam ketentuan Pasal 14
ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang
Perubahan Ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, untuk Tahun Pajak 2008,
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya
memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak 2008, yaitu pada
bulan Januari 2008, Februari 2008 ataupun Maret 2008, namun faktanya,
Pemohon Banding memberitahukan penggunaan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto untuk Tahun Pajak 2008 bersamaan dengan penyampaian/
pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2008, yaitu
pada tanggal 30 Maret 2009;
- Bahwa
berdasarkan fakta-fakta di atas, pemberitahuan penggunaan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto untuk Tahun Pajak 2008 yang disampaikan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), tidak sesuai
dengan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983
tentang Pajak Penghasilan;
- Bahwa
dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dinyatakan
: “Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap memilih menyelenggarakan
pembukuan”;
- Bahwa
sehingga sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan, maka
terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan;
- Bahwa
faktanya, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak dapat menunjukkan pembukuan atas penghasilan yang diterimanya,
sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak dapat
mengetahui
biaya-biaya yang dikeluarkan Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) untuk mendapatkan penghasilan tersebut. Dan
disimpulkan penghasilan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp
179.274.256,00 merupakan penghasilan bersih (penghasilan netto);
- Dalam
putusannya, Majelis menyampaikan pendapat bahwa dalam ketentuan
Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan, hanya mengatur bahwa
Wajib
Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma, maka dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan. Dalam ketentuan tersebut, menurut Majelis,
tidak diatur apabila pemberitahuan penggunaan norma disampaikan namun
terlambat. Hal ini berarti akibat hukum keterlambatan penyampaian
pemberitahuan
penggunaan norma penghitungan tidak diatur oleh ketentuan Pasal 14 ayat
(4)
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) tidak setuju
dengan pendapat Majelis, sebagaimana disebutkan pada butir 7, dengan
alasan:
- Majelis salah menafsirkan ketentuan Pasal 14 ayat
(4) Undang-Undang
Pajak Penghasilan karena ditafsirkan secara parsial;
- Dalam
menafsirkan ketentuan pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, Majelis seharusnya menggunakan penafsiran sistematik,
yaitu penafsiran dengan menghubungkan suatu pasal dengan pasal yang
lain dalam satu undang-undang yang sama atau mengaitkan dengan
pasal-pasal
undang-undang yang lain;
- Sangat
jelas bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (4) menyatakan : Wajib
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan netto
dengan meng-gunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, dianggap
memilih menyelenggarakan pembukuan;
- Adanya
kalimat “sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2)” menunjukkan bahwa terdapat hubungan/keterkaitan antara
ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan
ketentuan Pasal 14 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
- Dalam
ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan dinyatakan
: “Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah), boleh menghitung pengha-silan netto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam
jangka waktu 3
(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan”;
- Sehingga,
kalimat “tidak memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak” pada ketentuan Pasal 14 ayat (4)
Undang-Undang
Pajak Penghasilan seharusnya diartikan sebagai “tidak
memberitahukan kepada Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun
pajak yang
bersangkutan”, karena berhubungan/terkait dengan ketentuan
Pasal
14 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang mengatur mengenai syarat
penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, yaitu memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
pertama dari tahun
pajak yang bersangkutan;
- Dari
beberapa uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendapat Majelis yang menyatakan ketentuan Pasal 14 ayat (4) hanya
mengatur Wajib Pajak yang tidak memberitahukan penggunaan norma, dan
tidak mengatur apabila pemberitahuan penggunaan norma disampaikan namun
terlambat, terbukti tidak benar;
- Dalam putusannya, Majelis menyatakan bahwa sesuai
dengan ketentuan
Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan maupun prinsip
“keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis”, maka penghasilan Pemohon
Banding sebagai seorang
wanita kawin memenuhi persyaratan untuk digabungkan dengan penghasilan
suami;
- Bahwa Pemohon Peninajuan Kembali (semula
Terbanding) tidak
sependapat dengan pernyataan Majelis tersebut, dengan penjelasan
sebagai berikut:
- Majelis
telah mengabaikan fakta bahwa suami Pemohon Banding (STU) baru
terdaftar di KPP Pratama Jakarta Kembangan dengan NPWP :
49.xxx.xxx.5-xxx.000 sejak 16 Oktober 2008. Sehingga apabila
dibandingkan dengan NPWP Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding), terlihat bahwa NPWP Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) terdaftar lebih dahulu dibandingkan dengan NPWP suami
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), karena NPWP
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah diterbitkan
KPP
Jakarta Kembangan sejak tanggal 11 September 2007;
- Adanya
fakta tersebut, menunjukkan bahwa penerbitan NPWP yang
dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding terhadap
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah sesuai
dengan
ketentuan perundang-undangan, mengingat pada saat diterbitkan, Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ataupun suami Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum mempunyai NPWP;
- Setelah
diterbitkannya NPWP suami, faktanya Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) tidak pernah mengajukan permohonan
penghapusan NPWP. Hal ini menunjukkan bahwa Pemohon Banding memilih
untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri;
- Sehingga,
dengan demikian pemisahan hak dan kewajiban perpajakan
antara Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan suami
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) telah sesuai
dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan maupun prinsip
“keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis”;
- Bahwa
atas pertimbangan Majelis yang menyatakan Surat Keputusan
Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tentang Keberatan Wajib Pajak atas
SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12 Januari
2010 (yang
diajukan banding) cacat hukum, karena yang dinyatakan dalam
pertimbangan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah
Surat Keberatan atas nama YYY Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9
Februari 2010, dan bukan
surat dari Pemohon Banding, Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) tidak sependapat dengan pernyataan Majelis tersebut, dengan
penjelasan
sebagai berikut:
- Faktanya
Surat Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010 yang
disebutkan dalam Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/WPJ.05/2010
merupakan surat dari Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding), meskipun disebutkan sebagai surat keberatan atas nama YYY;
- Bahwa
hal ini terjadi karena adanya kesalahan tulis dalam Surat
Keputusan Keberatan Nomor KEP-422/ WPJ.05/2010 tentang Keberatan Wajib
Pajak atas SKPKB PPh Orang Pribadi Nomor 00011/205/08/086/10 tanggal 12
Januari 2010”, yang seharusnya tertulis “Surat
Keberatan
atas nama XXX Nomor 01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari
2010”, tetapi
dituliskan sebagai “surat keberatan atas nama YYY Nomor
01/Pjk.OP.2008/II/10 tanggal 9 Februari 2010”. Atas kesalahan
tulis tersebut, faktanya telah
dibetulkan dengan Surat Keputusan Nomor KEP-44/ WPJ.05/2011 tanggal 24
Januari 2011;
- Dalam
putusan Majelis pada halaman 15 alinea ke-7, dinyatakan
“ bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-422/WPJ.05/2010
tanggal 12
Juli 2010 yang telah dibetulkan melalui Surat Keputusan Terbanding
Nomor KEP-44/WPJ.05/2011 tanggal 24 Januari 2011, merupakan keputusan
atau jawaban terhadap Surat Keberatan Pemohon Banding Nomor
01/Pjk.OP.2008/ II/10 tanggal 9 Februari 2010”. Hal ini
menunjukkan bahwa sudah
tidak terjadi sengketa terkait adanya kesalahan tulis dalam Keputusan
Terbanding Nomor KEP-422/WPJ.05/2010 tanggal 12 Juli 2010;
- Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa koreksi
yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah
sesuai
dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan telah sesuai dengan
ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang
Pajak Penghasilan juncto Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 01/PMK.03/ 2007 tanggal 16 Januari 2007;
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi)
tersebut
di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan
nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo
sepanjang mengenai sengketa koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp
107.564.554,00 tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah
salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (contra
legem),
khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu maka Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put.36805/PP/M.XVI/14/2012 tanggal 21 Februari
2012 menyangkut koreksi Penghasilan Netto sebesar Rp 107.564.554,00,
harus dibatalkan;
|