Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 872/B/PK/PJK/2012
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa perkara pajak dalam permohonan peninjauan kembali telah
mengambil putusan sebagai berikut dalam perkara :
PT. FGH NUSA TENGGARA,
diwakili oleh MH, selaku
Presiden Direktur, beralamat di Jl. MG Lot 5.1 Menara
Rajawali Lantai 26, Kawasan MG, Jakarta XXXX0, dalam hal ini
memberikana kuasa kepada :
MS, SE., beralamat di Jalan Raya Raya No.17,
RT./RW.003/009, Cengkareng, Jakarta Barat, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor MH.mbp/NNT/0512/2380 tanggal 26 Maret 2012, Pemohon
Peninjauan Kembali, dahulu Pemohon Banding ;
melawan:
GUBERNUR NUSA TENGGARA
BARAT (PEMDA NUSA TENGGARA BARAT), berkedudukan
di Jl. AF No. 17, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Termohon
Peninjauan Kembali, dahulu Terbanding ;
Mahkamah Agung tersebut,
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.35519/PP/M.XII/04/2011 tanggal 12 Desember 2011 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Terbanding dengan posita perkara sebagai berikut
:
Bahwa Pemohon Banding mengajukan permohonan banding atas Surat
Keputusan Terbanding Nomor 973/3284/PJK/2010 tertanggal 11/15/2010
tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan
Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Jenis Alat-Alat Berat
dan Besar yang diterima tanggal 9 Desember 2010 yang menyatakan bahwa
keberatan Pemohon Banding tidak dapat dipertimbangkan, adapun banding
ini disampaikan dengan dasar-dasar alasan sebagai berikut:
Permohonan Keberatan Pemohon Banding :
Bahwa pada tanggal 25 September 2009, Terbanding melalui Dinas
Pendapatan Daerah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD)
dengan Nomor 398/XI/ AB/07-E sebesar Rp.573.000,00 dan diperinci
sebagai berikut :
Jumlah yang harus
Dibayar (Rupiah) |
Pokok |
Sanksi
Adm |
Jumlah |
|
0,00
|
-
|
0,00
|
BBNKB |
573.000,00
|
-
|
573.000,00
|
PKB |
573.000,00 |
-
|
573.000,00 |
Jumlah |
Bahwa lebih lanjut, pada tanggal 16 Desember 2009, Pemohon Banding
telah mengajukan surat keberatan dengan Surat Nomor:
JAO-em/NNT-PKB-BBNKB/XI/09-1198 kepada Terbanding sehubungan dengan
diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah tersebut di atas;
Bahwa menanggapi surat keberatan tersebut, Terbanding telah menerbitkan
Surat Keputusan Nomor: 973/3284/PJK/2010 tertanggal 11/15/2010 yang
menyatakan bahwa permohonan keberatan Pemohon Banding tidak dapat
dipertimbangkan dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Dasar Hukum Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut:
-
|
Pasal
1 angka 9 sebagai berikut:
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah diwajibkan untuk
melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau
pemotong pajak tertentu;
|
-
|
Pasal
2 ayat (1): jenis Pajak Provinsi terdiri dari:
- Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air;
|
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Pasal 1
Ayat (1) dan Ayat (2) sebagai berikut:
(1)
|
Pajak
Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah; |
(2)
|
Kendaraan
Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi
tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar yang bergerak; |
Pasal 2 ayat :
(1)
|
Objek
pajak Kendaraan Bermotor adalah Kepemilikan dan/atau
Penguasa-an Kendaraan Bermotor;Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2:
|
(2)
|
Termasuk
dalam objek pajak kendaraan bermotor yaitu kendaraan
bermotor yang digunakan di semua jenis jalan darat, antara lain: di
kawasan bandara, pelabuhan laut, perkebunan, kehutanan, pertanian,
pertambangan, industri, perdagangan dan sarana olah raga dan rekreasi,
alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak adalah alat-alat yang
dapat bergerak / berpindah tempat dan tidak melekat secara permanen;
|
Bahwa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan
Bermotor Pasal 1 huruf d sebagai berikut:
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua dan atau lebih
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan tehnik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi
tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar yang bergerak;
Bahwa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Perda
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di
Atas Air Pasal 3 Ayat (1) sebagai berikut:
- Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau
penguasaan kendaraan bermotor;
Bahwa dari penjelasan Pasal-pasal a quo, maka jelas bahwa Pemohon
Banding sebagai pemilik dan atau penguasaan atas kendaraan bermotor
jenis alat-alat berat dan besar yang dipergunakan dikawasan
pertambangan serta sebagai badan yang telah menerima penyerahan atas
kendaraan bermotor jenis alat-alat berat dan besar dalam Provinsi Nusa
Tenggara Barat, wajib dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
Bahwa pendapat Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Kontrak Karya
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding bersifat
"lex specialis" artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur
di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan
Undang-undang), dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku
ketentuan Undang-undang Perpajakan yang ada, pendapat Pemohon Banding
tersebut tidak benar karena:
- Ditinjau dari penggolongan hukum, Kontrak Karya
termasuk golongan
hukum Privat yang hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian;
- Bahwa Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf (a) dan huruf (b) Undang-undang
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
adalah tergolong hukum publikc, Adagium hukum menyatakan bahwa apabila
terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang
dimenangkan adalah hukum publik, karena atas dasar memprioritaskan
kepentingan umum yang lebih besar dari kepentingan pribadi;
- Berdasarkan pada uraian poin a dan b tersebut di atas
maka jelaslah
bahwa yang harus diutamakan adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah sebagai hukum publik dari pada Kontrak
Karya yang tergolong hukum privat. Hal tersebut dikuatkan pula oleh
Surat Mahkamah Agung yaitu suatu lembaga yang berwenang memberikan
pendapat hukum yakni melalui surat Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor KMA/270/VII/2005 tanggal 28 Juli 2005;
Bahwa berdasarkan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Pemohon Banding:
-
|
Pasal
3 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Perusahaan adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan
Undang-undang Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta
tunduk kepada Undang-undang dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang
biasanya mempunyai kewenangan hukum atas perusahaan-perusahaan,
perusahaan harus mendirikan satu kantor pusat di Jakarta untuk menerima
setiap pemberitahuan dan komunikasi resmi serta komunikasi hukum
lainnya.";
- Pasal 13 angka (xi) Kontrak Karya Pemerintah
Republik Indonesia
dengan Pemohon Banding antara lain menyebutkan sebagai berikut:
"Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini,
perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban
pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
- Pungutan-pungutan, pajak-pajak,
pembebanan-pembebanan dan bea-bea
yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui
oleh Pemerintah Pusat.";
Bahwa berdasarkan uraian di atas Pemohon Banding wajib tunduk kepada
Undang-undang dan yurisdiksi yang berlaku di Indonesia termasuk di
dalamnya tunduk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun
2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Dasar dan Alasan Permohonan Banding.
Dasar Hukum Permohonan Banding.
Bahwa di dalam salah satu paragraph dari Pasal 13 Kontrak Karya yang
ditanda tangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon
Banding, ditegaskan antara lain bahwa pemenuhan kewajiban pajak dari
perusahaan yang berhubungan dengan kewajiban formal dan material
perpajakan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, berdasarkan Pasal 27 dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tersebut, atas keputusan keberatan, Pemohon Banding dapat mengajukan
banding kepada badan peradilan pajak, sebagaimana juga akan dijelaskan
di bagian lain dari surat banding ini bahwa terkait dengan pajak
daerah, maka peraturan yang berlaku di tahun 1986 (pada saat Kontrak
Karya ini ditanda tangani) adalah Undang-Undang Darurat Nomor 11 tahun
1957, dimana didalam Pasal 28 nya diatur :
(1)
|
Pajak
Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan
langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan Daerah dan pembangunan Daerah; |
(2)
|
Kendaraan
Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi
tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat
berat dan alat-alat besar yang bergerak; |
(3) |
Terhadap
pengiriman Surat permintaan banding kepada Dewan
Pemerintah Daerah setingkat lebih atas berlaku juga ketentuan Pasal 25
ayat (2); |
(4) |
Dewan
Pemerintah Daerah di bawah tingkatan Daerah tingkat ke-1 yang
mengambil keputusan termaksud Pasal 26, berhak dengan perantaraan
seorang yag dikuasakan khusus olehnya untuk memberikan keterangan lisan
kepada Dewan Pemerintah Daerah yang berhak memutuskan permintaan
banding."; |
Bahwa dikaitkan dengan Undang-Undang yang sekarang berlaku, Pasal 15
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000, mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (sekarang Pengadilan
Pajak) terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh
Kepala Daerah, permohonan sebagaimana dimaksud diajukan secara tertulis
dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat
keputusan tersebut, pengajuan permohonan banding tidak menunda
kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;
Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini diinformasikan
bahwa Pemohon Banding telah membayar semua Surat Ketetapan Pajak Daerah
yang diterbitkan oleh Terbanding;
Alasan Permohonan Banding :
Bahwa Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya
yang ditanda tangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon
Banding pada tanggal 2 Desember 1986, Pemohon Banding adalah salah satu
perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of
Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu
Pasal 13 dan lampiran H, disamping itu, pengaturan masalah perpajakan
di dalam Kontrak Karya tersebut bersifat “lex
specialis”, artinya
masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya
berlaku khusus (dipersamakan dengan Undang-Undang), dalam hal tidak
diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan
yang ada;
Bahwa penjelasan Pemohon Banding di atas tentang karakteristik Kontrak
Karya yang 'lex specialis' didukung dengan Surat Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor S-1032/MK.04/1998 tanggal 15 Desember 1988
yang menyatakan bahwa Kontrak Karya Pertambangan diberlakukan dan
dipersamakan dengan Undang-undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan
yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special
treatment / lex specialis);
Bahwa di samping itu, sifat atau karakteristik "lex specialis" juga
didukung dengan:
- |
Pasal
II dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami
perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) yang berbunyi:
"Dengan berlakunya Undang-undang ini:
- Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang
Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi
Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini,
tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut
sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir ";
|
- |
Pasal
33A ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan (Pasal 33A ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami
perubahan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), yang berbunyi:
"(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak
dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak
atau perjanjian kerjasama dimaksud."; |
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai dan Undang-undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa
bagi wajib pajak di bidang pertambangan yang beroperasi berdasarkan
Kontrak Karya, maka perhitungan pajaknya dilakukan berdasarkan Kontrak
Karya tersebut, jadi dapat disimpulkan disini bahwa sifat "Lex
Specialis" dari Kontrak Karya juga diatur dan diakui oleh undang-undang
yaitu Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang Pajak
Penghasilan, oleh karena itu hal yang menyangkut materi
pengenaan/perhitungan pajak bagi perusahaan Kontrak Karya, termasuk
Pemohon Banding, harus berdasarkan Kontrak Karya yang bersangkutan;
Bahwa apabila merujuk kepada proses pembuatan Kontrak Karya maka nampak
jelas bahwa pembuatan Kontrak Karya melibatkan banyak pihak, yang
terdiri dari pejabat-pejabat Eselon 2 dan atau staf ahli dari
Departemen-Departemen dan instansi-instansi terkait seperti BKPM,
Departemen Keuangan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan,
Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal
Pajak, dan lain-lain dan diketuai oleh Dirjen Pertambangan Umum,
kemudian pembuatan Kontrak Karya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan
DPR RI dan BKPM melalui pengajuan naskah Kontrak Karya yang telah
diparaf oleh para pihak, oleh Menteri Pertambangan dan Energi (Menteri
P&E) kepada DPR-RI dan BKPM, adapun pembahasan segala ketentuan
yang tercantum dalam naskah Kontrak Karya, dalam sidang-sidang Komisi
DPR-RI yang bersangkutan bersama Tim Perunding Interdepartemen, terbuka
bagi umum, atas dasar hasil pembahasan tersebut, surat
rekomendasi/persetujuan DPR-RI yang ditanda tangani oleh Ketua DPR-RI,
disampaikan kepada Presiden RI, lengkap dengan catatan-catatannya;
Bahwa selanjutnya Ketua BKPM juga membuat Surat Rekomendasi untuk
disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, berdasarkan Surat
Rekomendasi/persetujuan dari DPR dan BKPM, Presiden Republik Indonesia
akan membuat surat pengesahan Kontrak Karya, setelah surat pengesahan
Kontrak Karya diperbaiki sesuai catatan-catatan dari DPR-RI dan/atau
Ketua BKPM, Presiden Republik Indonesia akan memberikan Surat Perintah
kepada Menteri Pertambangan dan Energi untuk menandatangani Kontrak
Karya atas nama Pemerintah Republik Indonesia;
Bahwa jadi dalam hal ini pemerintah harus juga diartikan mempunyai
fungsi sebagai badan hukum privat yang juga harus tunduk kepada
ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya di dalam Kontrak Karya,
apabila di kemudian hari pemerintah membuat Undang-undang/peraturan
yang bertentangan dengan isi dari Kontrak Karya, maka Kontrak Karya
tersebut tetap harus dihormati (Pacta Sunt Servanda);
Bahwa perlu ditambahkan disini, di dalam Pasal 1 butir 10 dari Kontrak
Karya, definisi "pemerintah" bukan hanya pemerintah pusat tetapi juga
melibatkan pemerintah daerah, jadi, pemerintah daerah juga wajib
hukumnya untuk menghormati ketentuan-ketentuan yang telah disepakati
oleh pemerintah pusat di dalam Kontrak Karya tersebut;
Bahwa perlu Pemohon Banding tambahkan bahwa:
- Selama ini Pemerintah Republik Indonesia sangat
konsekwen dengan
komitmennya terhadap segala ketentuan Kontrak Karya, dan telah secara
konsisten pula menghargai sifat Lex Specialis-nya Kontrak Karya, contoh
yang paling nyata adalah Pasal 169 ayat (a) dari Undang-undang
Pertambangan yang baru, yang dinamakan Undang-undang Minerba
(Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009), yang menetapkan bahwa "Kontrak
Karya dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini,
tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian"
- Berkaitan dengan hal ini, Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang
sekarang berlaku (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) mengatur tarif
maksimum Pajak Penghasilan untuk tahun 2009 sebesar 28% dan untuk tahun
2010 dan seterusnya adalah 25% (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang
berlaku sejak tahun 2001 sampai dengan 2008, mengatur tarif tertinggi
Pajak Penghasilan Badan adalah 30%), sedangkan Kontrak Karya Pemohon
Banding mengatur tarif Pajak Penghasilan sebesar 35%, selama ini
Pemohon Banding membayar Pajak Penghasilan dengan tarif maksimum 35%
(sesuai dengan kontrak karya) dan bukan tarif 30% atau 25% sesuai
dengan Undang-undang Pajak yang berlaku, dengan dasar "Lex Specialis"
dari Kontrak Karya, Pemohon Banding berpendapat bahwa pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor harus
didasarkan pada Kontrak Karya, karena di dalam Kontrak Karya terdapat
Pasal yang mengatur masalah pengenaan pajak daerah;
Bahwa pada paragraf ke satu dan ke dua dari Pasal 13 juga disebutkan
hal-hal sebagai berikut yang pada dasarnya adalah untuk memberikan
kepastian hukum bagi investor di bidang pertambangan umum, dalam hal
ini Pemohon Banding :
"Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini,
Perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban
pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut :
(i) |
Iuran
tetap untuk …… |
(xi) |
Pungutan-pungutan,
pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea
yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui
oleh Pemerintah Pusat ; |
xii |
Pungutan-pungutan
…… |
Perusahaan tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea,
pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan, pembebanan-pembebanan atau
biaya-biaya sekarang maupun di kemudian hari yang dipungut atau
dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan
dalam pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam Persetujuan ini";
Bahwa di lain pihak, Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya berbunyi sebagai
berikut :
"Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang
dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh
Pemerintah Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
yang berlaku dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak
lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada tanggal Persetujuan ini ditanda tangani";
Bahwa sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (11) tersebut di atas nampak
bahwa pengenaan pajak daerah terhadap Pemohon Banding adalah dengan
persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
-
|
Pajak
daerah tersebut telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai
dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku, dan |
-
|
Pajak
daerah tersebut dikenakan dengan tarif dan dihitung sedemikian
rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan
peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini
ditandatangani; |
Bahwa Kontrak Karya Pasal 13 ayat (11) secara tegas mengatur mengenai
kondisi/persyaratan atas penerapan pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor terhadap Pemohon Banding yaitu
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor hanya bisa dilakukan dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa
sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan
yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditanda tangani", di sini
nampak jelas bahwa pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor tidak dapat dilakukan apabila pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berdasarkan
peraturan yang sekarang berlaku menghasilkan beban yang lebih berat
(dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa) dibandingkan dengan
pengenaan pajak yang sama/sejenis berdasarkan undang-undang dan
peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan (Kontrak
Karya) ditanda tangani, yaitu di bulan Desember 1986;
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat 11 Kontrak Karya tersebut di
atas dapat dipahami bahwa Pemohon Banding tidak dapat dikenai
pungutan-pungutan apabila pada saat persetujuan Kontrak Karya tersebut
ditanda tangani ketentuan mengenai pajak-pajak atau pungutan-pungutan
atau retribusi-retribusi tersebut tidak ada, kalaupun quad-non terdapat
pungutan-pungutan atau retribusi-retribusi yang telah ada aturannya
pada saat Kontrak Karya disetujui dan ditanda tangani, maka besarnya
tarif pajak-pajak atau pungutan-pungutan atau retribusi-retribusi
tersebut tidak boleh lebih berat atau lebih besar dari undang-undang
dan peraturan-peraturan tentang retribusi dan pungutan pada saat itu,
khususnya pungutan dan retribusi daerah;
Bahwa adalah fakta bahwa pada saat Kontrak Karya disetujui dan
ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1986 oleh dan antara Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemohon Banding, undang-undang mengenai
retribusi daerah No.34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah belum ada, peraturan yang berlaku dan mengatur pajak atau
retribusi daerah pada saat kontrak karya ditandatangani tahun 1986
adalah Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957, Perpu Nomor 8 Tahun
1959 dan Perpu Nomor 27 Tahun 1959, sehingga, kalaupun terdapat pajak
atau pungutan atau retribusi daerah quad-non, maka besarnya retribusi
atau pajak atau pungutan atau retribusi daerah tersebut harus
berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor11 tahun 1957, Perpu Nomor 8
Tahun 1959 dan Perpu Nomor 27 Tahun 1959 tersebut dan karenanya pula,
secara Lex Specialis, ketentuan Pasal 13 ayat 11 kontrak karya tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000;
Bahwa berkaitan dengan adagium hukum yang menyatakan bahwa apabila
terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang
dimenangkan adalah hukum publik, menurut pendapat Pemohon Banding,
adalah suatu adagium yang bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa kesepakatan
para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata dapat mengenyampingkan
ketentuan hukum public, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
dikutip sebagai berikut:
- Putusan Mahkamah Agung RI No.791 K/Sip/1972
tanggal 26 Februari 1973, menyatakan:
"Pasal 1338 "BW" masih berlaku dalam hukum perjanjian, oleh sebab itu
sesuai dengan pertimbangan PT pihak-pihak harus mentaati apa yang telah
mereka setujui, dan yang telah dikukuhkan dalam akte otentik tersebut.";
- Putusan Mahkamah Agung RI No.225 K/Sip/1976
tanggal 30 September
1983, yang diputus oleh Hakim Agung: IN, S.H.; Ny. MN, S.H.; dan SG,
S.H., menyatakan:
"….walaupun hukum acara perdata adalah merupakan
ketentuan-ketentuan
hukum publik, dalam beberapa segi masih dapat disimpangi berlakunya
oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh kedua belah pihak....";
Bahwa perlu diketahui bahwa Kontrak Karya mengadopsi prinsip "nailed
down", dimana Pemohon Banding hanya berkewajiban membayar pajak-pajak
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah disetujui oleh
Pemerintah Pusat dengan tarif yang dihitung sedemikian rupa sehingga
tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan yang berlaku pada
tanggal Kontrak Karya ditanda tangani;
|
Bahwa prinsip lex specialis dan nailed down dalam Kontrak Karya ini
memang sengaja ditawarkan dan disetujui oleh Pemerintah Republik
Indonesia untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian
kewajiban-kewajiban keuangan bagi investor guna menarik minat mereka
dalam melakukan investasi dan mengembangkan industri pertambangan di
Indonesia yang memerlukan modal yang tidak sedikit dan risiko kegagalan
yang cukup tinggi, hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa dari kurang
lebih 150 perusahaan yang menandatangani Kontrak Karya dengan
Pemerintah Republik Indonesia di tahun 1986 (atau generasi IV Kontrak
Karya bersama-sama dengan Pemohon Banding), hanya kurang dari 10
(sepuluh) perusahaan yang beroperasi dan berproduksi yang memberikan
kontribusi ekonomi yang signifikan kepada pemerintah dan masyarakat
Indonesia, sisanya tidak berhasil, walaupun perusahaan - perusahaan
tersebut telah menghabiskan puluhan atau bahkan ratusan juta dolar
hanya untuk kegiatan eksplorasi;
Bahwa adapun peraturan-peraturan yang berlaku di bulan Desember 1986
terkait dengan pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959
tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Perpu Nomor 27 Tahun 1959)
yang mana Perpu Nomor 27 Tahun 1959 ini kemudian diganti oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000;
Bahwa di dalam Perpu Nomor 27 Tahun 1959, Pasal 3A.b. berbunyi sebagai
berikut:
"Dibebaskan dari pengenaan bea balik nama kendaraan bermotor ialah:
- Penyerahan dalam hak milik dari:
- Sepeda kumbang;
- Semua kendaraan bermotor yang dimasukkan sendiri dari luar
negeri atau dibeli langsung dari importir";
Bahwa berdasarkan Pasal 3.A.b. a quo nampak jelas bahwa kendaraan
bermotor yang dimasukkan sendiri dari luar negeri atau dibeli langsung
dari importir dibebaskan dari pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, adapun kendaraan bermotor jenis alat berat dan besar milik
Pemohon Banding diperoleh dengan cara Pemohon Banding melakukan
pengimporan sendiri dari penjual/supplier di luar negeri, oleh karena
itu atas kendaraan bermotor tersebut di atas tidak terhutang Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor;
Bahwa adapun peraturan-peraturan yang berlaku di bulan Desember 1986
terkait dengan pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 1985
(PD No. 5/1985), salah satu rujukan dari Peraturan Daerah Nomor 5/1985
tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Nomor 8 Tahun 1959, tentang Perubahan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor,
menyatakan bahwa:
" ...Pada waktu ini jumlah pajak sudah tidak seimbang lagi dengan harga
kendaraan bermotor, maka oleh sebab itu dapat dianggap sudah tiba
waktunya untuk mengubah tarif Pajak Kendaraan Bermotor, disamping itu
biaya pemeliharaan jalan-jalan sudah meningkat pula, karena
meningkatnya harga bahan-bahan, sehingga sudah sewajarnya bahwa
kenaikan itu dibebankan kepada pemakai-pemakai jalan-jalan itu,
khususnya pemilik kendaraan bermotor pula dianggap tidak melampaui
batas keadilan jika mobil-mobil penumpang atau barang yang dipergunakan
untuk umum, yang semata-mata dijalankan dengan bahan pembayar bensin,
yang semula tidak kena Pajak Rumah Tangga dikenakan pajak ini, dengan
ketentuan ini maka kendaraan mobil yang dibebaskan dari Pajak Rumah
Tangga dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor jika memenuhi
syarat-syaratnya, dalam hal ini, maka semuanya mobil yang belum
mempunyai nomor polisi yang diperdagangkan, dan dengan demikian tidak
dapat dipakai dijalan umum, dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor....";
Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas jelas telah diatur bahwa
pajak kendaraan bermotor dibebankan kepada para pemakai jalan raya
dimana beban pemeliharaan jalan raya tersebut merupakan tanggung jawab
pemerintah, oleh karena itu Pemohon Banding berpendapat bahwa Peraturan
Daerah Nusa Tenggara Barat Nomor 5/1985 mengatur mengenai pengenaan
Pajak Kendaraan Bermotor bagi kendaraan-kendaraan yang dipergunakan di
jalanan umum, hal ini sangat wajar karena pihak Pemerintah/ Pemerintah
Daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan
umum dan atas pemeliharaannya, dan sudah sewajarnya bagi pihak-pihak
yang mendapatkan manfaat dalam menggunakan jalan umum untuk membayar
Pajak Kendaraan Bermotor;
Bahwa adapun kendaraan berat dan besar milik Pemohon Banding
dioperasikan dijalanan di dalam area pertambangan (bukan jalan umum)
dan pembangunan serta pemeliharaan atas jalan tersebut juga dilakukan
oleh Pemohon Banding sendiri;
Bahwa didalam surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
019/03/M.SJ/1995 tertanggal 3 Januari 1995 ditegaskan antara lain
hal-hal sebagai berikut:
Bahwa Badan Umum Milik Negara dan para kontraktornya serta
perusahaan-perusahaan bidang pertambangan dan energi wajib mematuhi
ketentuan perundangan
yang berlaku dalam membayar Pajak Kendaraan bermnotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, kecuali terhadap:
- Kendaraan bermotor maupun alat-alat berat yang tidak
digunakan di jalan umum.
Kendaraan seperti ini dibebaskan dari Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini
sesuai dengan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Stbl 1934 Nomor 718
sebagaimana telah ditambah dan diubah terakhir dengan Perpu. Nomor 8
tahun 1959;
- Kendaraan bermotor termasuk alat-alat berat yang dimasukkan
sendiri
dari luar negeri atau dibeli langsung dari importir, kendaraan seperti
ini juga dibebaskan dari Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, hal ini
sesuai dengan Perpu Nomor 27 Tahun 1959;
Bahwa kemudian didalam surat yang dikeluarkan oleh Direktur Pembinaan
Pengusahaan Mineral dan Batubara-Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (DESDM) Nomor 1788/84/DPP/2006 tertanggal 18 September 2006,
menyatakan pendapat yang sejalan dengan pengaturan tersebut di atas,
yang petikannya adalah sebagai berikut:
- Ketentuan tentang pajak dan keuangan Pemohon Banding
selaku pemegang
(KK) Kontrak Karya adalah bersifat "Nailed down", dengan demikian
pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor atas Alat Berat dan Besar sebagaimana di atur dalam
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang berlaku umum (hukum publik) dan
disahkan setelah kontrak karya ditanda tangani kurang tepat
diaplikasikan pada Pemohon Banding;
- Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
Pasal 2 ayat (1)
huruf a dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Pasal 1 ayat (2),
antara lain disebutkan bahwa semua kendaraan yang digunakan di semua
jenis jalan darat merupakan objek pajak, namun dalam perundangan
tersebut tidak didefinisikan secara jelas, maka Pemohon Banding
berpendapat bahwa pengertian "jalan darat" sama dengan pengertian kata
"jalan" yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana kata "Jalan berarti jalan yang
diperuntukkan bagi lalu lintas umum", mengingat jalan yang terdapat
pada areal pertambangan tidak dipergunakan untuk kepentingan lalu
lintas umum, maka alat berat dan alat besar yang tidak digunakan di
jalan lalu lintas umum tidak tepat jika merupakan objek pajak;
Bahwa di dalam rangka memberikan kepastian hukum, Kontrak Karya Pasal 1
butir 10 dan 11 mendefinisikan hal-hal sebagai berikut:
"Pemerintah" berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri,
Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah tingkat I
atau tingkat II nya "Menteri" atau "Departemen" kecuali konteksnya
menunjukkan lain berarti pejabat Pemerintah atau badan Pemerintah yang
masing-masing bertugas melaksanakan undang-undang dan
peraturan-peraturan pertambangan Indonesia;
Bahwa sebagaimana diketahui Kontrak Karya merupakan perjanjian antara
Pemerintah Republik Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh
Menteri/Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
(ESDM) dan Pemohon Banding, oleh karena itu Menteri/Departemen ESDM
merupakan lembaga yang berkompetensi didalam masalah-masalah yang
terkait dengan kegiatan pertambangan, termasuk masalah pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ini dan sudah
seharusnya pihak Pemda juga tunduk maupun menghormati
ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya yang merupakan Undang-undang
bagi para pembuatnya;
Bahwa selain daripada alasan-alasan tersebut diatas, perlu dipahami
bahwa dengan sifat investasi dibidang pertambangan yang, antara lain:
-
|
Melibatkan
jangka waktu yang panjang,
|
-
|
Sangat
“capital intensive” (nilai investasi awal atas
pengembangan
fasilitas penambangan milik Pemohon Banding sebesar kurang lebih USD 3
Milyar), - Beresiko tinggi,
|
-
|
Memiliki
jangka waktu operasi yang terbatas (apabila kandungan
mineral telah habis ditambang, maka perusahaan pertambangan akan
tutup), maka diperlukan suatu tingkat kepastian hukum yang sangat
tinggi,
prinsip yang mirip dengan konsep Kontrak Karya dengan sifat
“Lex
Specialis” nya, yaitu dalam rangka memberikan kepastian hukum
atas
investasi di bidang pertambangan umun, juga diterapkan di negara-negara
lain;
|
Bahwa di dalam tahapan studi kelayakan, Pemohon Banding telah membuat
suatu 'business model' dan 'financial model' yang tidak memasukkan
adanya unsur Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor karena berdasarkan Kontrak Karya dan peraturan yang berlaku
pada saat Kontrak Karya ditanda tangani, tidak ada peraturan terkait
yang mengatur mengenai pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor;
Bahwa hal-hal tersebut di atas sangat penting dalam memberikan
kepastian hukum bagi Pemohon Banding dan juga bagi para investor/calon
investor lainnya yang sudah/akan menanamkan modalnya di Indonesia,
khususnya di sektor pengembangan pertambangan mineral yang selama ini
telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pendapatan
negara di luar sektor minyak dan gas bumi;
Bahwa berdasarkan alasan dan penjelasan di atas, pengenaan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor tidak dapat
dikenakan kepada Pemohon Banding;
Perhitungan Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar Menurut Pemohon
Banding :
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka Pemohon Banding berpendapat
bahwa Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
tidak dapat dikenakan kepada Pemohon Banding dan seharusnya Terbanding
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang memuat perincian
sebagai berikut:
Jumlah yang harus
Dibayar (Rupiah) |
Pokok |
Sanksi
Adm |
Jumlah |
|
-
|
-
|
-
|
BBNKB |
-
|
-
|
-
|
PKB |
-
|
-
|
-
|
Jumlah |
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Put.
35519/PP/M.XII/04/2011 tanggal 12 Desember 2011 yang telah berkekuatan
hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut :
Menyatakan menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Terbanding Nomor 973/3284/PJK/2010 tanggal 11/15/2010 mengenai Surat
Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2009 Nomor
398/XI/AB/07-E tanggal 25 September 2009, atas nama PT FGH Nusa
Tenggara, NPWP : 0X.0XX.XXX.0-0XX.000, alamat : Jalan MG LOT
5.1, Menara Rajawali Lantai 26, Jakarta;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap i.c. putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Put.
35519/PP/M.XII/04/2011 tanggal 12 Desember 2011 diberitahukan kepada
Pemohon Banding pada tanggal 06 Januari 2012 kemudian terhadapnya oleh
Pemohon Banding, dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 26 Maret 2012 diajukan permohonan peninjauan kembali
secara tertulis pada tanggal 27 Maret 2012 sebagaimana ternyata dari
Akte Permohonan Peninjauan Kembali No.PKA-389/SP.51/AB/III/2012 yang
dibuat oleh Panitera Pengadilan Pajak permohonan tersebut disertai oleh
memori peninjauan kembali yang memuat alasan-alasan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27 Maret 2012 ;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya ternyata didalam berkas perkara tidak ditemukan adanya
akta pemberitahuan permohonan peninjauan kembali dan penyerahan memori
peninjauan kembali kepada pihak lawan yang seharusnya dilakukan oleh
Pengadilan Pajak, akan tetapi karena permohonan peninjauan kembali dan
penyerahan memori penyerahan kembali, diajukan dalam tenggang waktu dan
dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu
permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI :
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali dalam memori peninjauan kembalinya tersebut pada pokoknya ialah
:
DALAM POKOK SENGKETA
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali sangat keberatan dengan pendapat
Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang di dalam halaman 60 sampai
61 dari Putusan diatas, yang dapat diuraikan lebih rinci sebagai
berikut:
- Berikut adalah Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
dalam memutus perkara ini:
Bahwa Kontrak Karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan
antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta untuk
melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak dan gas bumi;
Bahwa Kontrak Karya merupakan perjanjian yang pengaturannya tidak
diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
namun merujuk pada Pasal 1338 KUHPer, yang dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak, yaitu bahwa perjanjian tersebut menjadi hukum dan
mengikat bagi para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam
perjanjian dan telah menandatanganinya;
Bahwa Pemohon Banding tidak mempersoalkan besarnya pungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, tetapi
keabsahan pemungutan oleh Terbanding, sehingga Majelis tidak memeriksa
besaran pungutan pajak a quo;
Bahwa walaupun demikian; berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1337 KUH
Perdata disyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian adalah tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang;
Bahwa ketetapan Pajak Daerah yang disengketakan Pemohon Banding Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berkenaan
dengan masa berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah;
Bahwa dengan demikian Kontrak Karya berkenaan dengan pungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan a quo adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah;
Bahwa ditinjau dari sudut penggolongan hukum, Kontrak Karya adalah
perjanjian antara Pengusaha dengan Pemerintah bukan antara Pemerintah
dengan Pemerintah, karena itu Kontrak Karya masuk dalam golongan hukum
privat yang hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian;
Bahwa pungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah adalah
tergolong hukum publik, adagium hukum menyatakan apabila terjadi
konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan
adalah hukum publik, karena atas dasar memprioritaskan kepentingan umum
yang lebih besar dari kepentingan pribadi;
Bahwa yang diajukan banding oleh Pemohon Banding adalah mengenai
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, berkaitan dengan konflik pengaturan antara Kontrak Karya yang
merupakan golongan hukum privat dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan
peraturan pelaksanaannya yang termasuk hukum publik, Majelis
berpendapat seharusnya yang lebih diutamakan adalah Undang-Undang Pajak
Daerah sebagai hukum publik daripada Kontrak Karya;
Bahwa oleh karenanya seharusnya pungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dipertahankan, karena pungutan
tersebut telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah juncto
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
Bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa penetapan Terbanding
atas pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor terhadap objek berupa Truck GMC C 7500 BOOM Tahun Perakitan
1998 tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan karenanya
koreksi Terbanding tetap dipertahankan;
- Berikut ini adalah Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak yang keliru beserta Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali:
2.a. |
Pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang Keliru:
-
|
Bahwa
Kontrak Karya merupakan perjanjian yang pengaturannya tidak
diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
namun merujuk pada Pasal 1338 KUHPer, yang dikenal dengan asas
kebebasan berkontrak, yaitu bahwa perjanjian tersebut menjadi hukum dan
mengikat bagi para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam
perjanjian dan telah menanda-tanganinya;
|
-
|
Bahwa
walaupun demikian; berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1337 KUH
Perdata disyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian adalah tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang;
|
-
|
Bahwa
ketetapan Pajak Daerah yang disengketakan Pemohon Banding Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berkenaan
dengan masa berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah;
|
-
|
Bahwa
dengan demikian Kontrak Karya berkenaan dengan pungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan a quo adalah
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah;
|
-
|
Bahwa
ditinjau dari sudut penggolongan hukum, Kontrak Karya adalah
perjanjian antara Pengusaha dengan Pemerintah bukan antara Pemerintah
dengan Pemerintah, karena itu Kontrak Karya masuk dalam golongan hukum
privat yang hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian; |
-
|
Bahwa
pungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah adalah
tergolong hukum publik, adagium hukum menyatakan apabila terjadi
konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan
adalah hukum publik, karena atas dasar memprioritaskan kepentingan umum
yang lebih besar dari kepentingan pribadi; |
-
|
Bahwa
yang diajukan banding oleh Pemohon Banding adalah mengenai
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, berkaitan dengan konflik pengaturan antara Kontrak Karya yang
merupakan golongan hukum privat dengan Undang-Undang Pajak Daerah dan
peraturan pelaksana-annya yang termasuk hukum publik, Majelis
berpendapat seharusnya yang lebih diutamakan adalah Undang-Undang Pajak
Daerah sebagai hukum publik daripada Kontrak Karya; |
-
|
Bahwa
oleh karenanya seharusnya pungutan Pajak Kendaraan Bermotor dan
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dipertahankan, karena pungutan
tersebut telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, yaitu
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah; |
-
|
Bahwa
dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa penetapan
Terbanding atas pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor terhadap objek berupa Truck GMC C 7500 BOOM Tahun
Perakitan 1998 tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
karenanya koreksi Terbanding tetap dipertahankan;
|
Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali:
2.a.1.
|
Adalah
fakta bahwa Pemohon Peninjauan Kembali beroperasi di
Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 2
Desember 1986 (selanjutnya disebut Kontrak Karya) (Bukti PK-6). Majelis
Hakim Pengadilan Pajak telah keliru dalam pertimbangan-pertimbangan
hukumnya yang mengabaikan sifat “Lex Specialis”
dari Kontrak Karya yang
mana di mengatur, antara lain, mengenai Pajak-Pajak dan
Lain-Lain
Kewajiban Keuangan Perusahaan, termasuk masalah pajak daerah
sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 ayat 11 dari Kontrak Karya
tersebut ;
Argumentasi Pemohon Peninjauan Kembali di atas tentang karakteristik
Kontrak Karya yang bersifat ‘Lex Specialis’
didukung dengan fakta-fakta
sebagai berikut:
- Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia
No. S-1032/ MK.04/1988
(Bukti PK-7) tanggal 15 Desember 1988 yang menyatakan bahwa Kontrak
Karya Pertambangan diberlakukan dan dipersamakan dengan Undang-Undang,
oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya
diberlakukan secara khusus (special treatment/lex Specialis) ;
- Pasal II dari Undang-Undang No. 11 Tahun
1994 mengenai Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami
perubahan di dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2000) yang berbunyi:
“Dengan berlakunya Undang-undang ini:
- Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang
Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi
Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini,
tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak
Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut
sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir" ;
- Pasal 33A ayat 4 dari Undang-Undang No.17
Tahun 2000 mengenai Pajak
Penghasilan (Pasal 33A ini tercantum di dalam Undang-Undang No.10 Tahun
1994 mengenai Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami perubahan di
Undang-Undang No.17 Tahun 2000), yang berbunyi:
“(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang
pertambangan minyak
dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam
kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak
atau perjanjian kerjasama dimaksud";
- Bab XXV mengenai Ketentuan Peralihan Pasal
169 huruf (a)
Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
tersebut menyatakan bahwa :
“Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan
batubara
yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/ perjanjian” ;
Dengan demikian sangatlah jelas bahwa Kontrak Karya memiliki sifat
“Lex
Specialis” dimana ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam
Kontrak
Karya wajib untuk dihormati dan dijalani, baik dari Perusahaan
Pertambangan maupun Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, dan semua Aparatur Negara) sebagai pihak yang telah menyetujui
dan menandatangani Kontrak karya tersebut. Sebagaimana diuraikan di
atas, sifat “Lex Specialis” dari Kontrak Karya juga
diatur dan diakui
oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Pertambangan Mineral
dan Batubara. Oleh karena itu hal yang menyangkut materi
pengenaan/perhitungan pajak bagi perusahaan pertambangan yang
beroperasi berdasarkan Kontrak Karya, termasuk Pemohon Peninjau-an
Kembali, harus tunduk terhadap ketentuan-ketentuan terkait yang secara
khusus diatur di dalam Kontrak Karya yang bersangkutan ;
Dengan sifat “lex specialis” tersebut ketentuan
perpajakan yang diatur
di dalam Kontrak Karya akan berlaku meskipun hal yang sama diatur
berbeda di dalam Undang-Undang yang berlaku. Sebagai contoh, UU Pajak
penghasilan yang sekarang berlaku mengatur tarif Pajak Penghasilan
adalah 25%, sedangkan Kontrak Karya PT NNT mengatur tarif Pajak
Penghasilan sebesar 15%, 25% dan 35% (tarif maksimum 35% diterapkan
atas pendapatan di atas Rp. 50 juta). Selama ini PT NNT membayar Pajak
Penghasilan dengan tarif 15%, 25% dan 35% (sesuai dengan kontrak karya)
dan bukan tarif 25% sesuai dengan UU Pajak yang berlaku. Dengan dasar
&Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal. | |