PUTUSAN
Nomor 81/B/PK/PJK/2013

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
PT. DFG, tempat kedudukan di Jalan MK LOT 5.1, Menara RJ Lantai 26, Jakarta, dalam hal ini diwakili oleh MH, berkantor di PT. DFG Jalan MK LOT 5.1, Menara RJ Lantai 26, Jakarta, pekerjaan Presiden Direktur PT. DFG, selanjutnya memberi kuasa kepada: MS, tempat tinggal di Jalan Jaya Raya, Nomor 17, RT/RW. 003/009, Jakarta, pekerjaan Karyawan PT. DFG, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor MH:mbp/NNT/0412/2281, tanggal 8 Maret 2012;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

melawan:

GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, tempat kedudukan di Jalan DF, Nomor 12, Mataram, dalam hal ini diwakili oleh M. AP, S.H., M.H., Jabatan Plt. Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NTB, berkantor di Jalan DF, Nomor 12, Mataram, selanjutnya memberikan kuasa kepada: RH, S.E., selaku Kuasa Hukum, berkantor di CI, Blok M-11/15, RT.05/08, Kelurahan Sukamaju, Jonggol, Bogor, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 180.1/735/KUM, tanggal 30 April 2012;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding mengajukan permohonan banding atas Surat Keputusan Terbanding Nomor 973/3292/PJK/2010 tertanggal 15 November 2010 tentang Keberatan atas SKPD PKB dan BBNKB Jenis Alat-Alat Besar dan Besar yang diterima tanggal 9 Desember 2010 yang menyatakan bahwa Keberatan Pemohon Banding tidak dapat dipertimbangkan, adapun banding ini disampaikan dengan dasar-dasar alasan sebagai berikut:
  1. Permohonan Keberatan Pemohon Banding:
    Bahwa pada tanggal 25 September 2009, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Dinas Pendapatan Daerah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dengan Nomor Kohir 406/XI/AB/07-E sebesar Rp. 633.000,00 dan diperinci sebagai berikut:
    Jumlah yang harus Dibayar (Rupiah)
    Pokok Sanksi Adm Jumlah
    0,00 -
    0,00 BBNKB
    633.000 0
    633.000 PKB
    633.000 0
    633.000 Jumlah
Bahwa lebih lanjut, pada tanggal 16 Desember 2009, Pemohon Banding telah mengajukan surat keberatan dengan Surat Nomor JAO-em/NNT-PKBBBNKB/XI/09-1206 kepada Terbanding sehubungan dengan diterbitkannya SKPD tersebut di atas;
Bahwa menanggapi surat keberatan tersebut, Terbanding telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 973/3292/PJK/2010 tertanggal 15 November 2010 yang menyatakan bahwa permohonan keberatan Pemohon Banding tidak dapat dipertimbangkan dengan alasan dan pertimbangan sebagai berikut:
  1. Bahwa Dasar Hukum Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai berikut:
    -
    Pasal 1 angka 9 sebagai berikut:
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu;
    -
    Pasal 2 ayat (1):
    Jenis Pajak Provinsi terdiri dari:
    1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air;
    2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air;
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) sebagai berikut:
    (1)
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah;
    (2)
    Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak;
Pasal 2 ayat:
(1)
Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan/atau Penguasaaan Kendaraan Bermotor;
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 2:
1)
Termasuk dalam objek pajak kendaraan bermotor yaitu kendaraan bermotor yang digunakan di semua jenis jalan darat, antara lain: di kawasan bandara, pelabuhan laut, perkebunan, kehutanan, pertanian, pertambangan, industri, perdagangan dan sarana olah raga dan rekreasi;
Alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak adalah alat-alat yang dapat bergerak/berpindah tempat dan tidak melekat secara permanen;
  1. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor Pasal 1 huruf d sebagai berikut:
    Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua dan atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan tehnik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak;
  2. Bahwa Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Perda Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Di Atas Air Pasal 3 ayat (1) sebagai berikut:
    1)
    Objek Pajak Kendaraan Bermotor adalah kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor;
    Bahwa dari penjelasan pasal-pasal di atas, maka jelas bahwa Pemohon Banding sebagai pemilik dan atau penguasaan atas kendaraan bermotor jenis alat-alat berat dan besar yang dipergunakan di kawasan pertambangan serta sebagai badan yang telah menerima penyerahan atas kendaraan bermotor jenis alat-alat berat dan besar dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat, wajib dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  1. Bahwa pendapat Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding bersifat "lex specialis" artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan undang-undang), dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada, pendapat Pemohon Banding tersebut tidak benar karena:
    1. Bahwa ditinjau dari penggolongan hukum, Kontrak Karya termasuk golongan hukum Privat yang hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian;
    2. Bahwa Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf (a) dan huruf (b) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah tergolong hukum publik, Adagium hukum menyatakan bahwa apabila terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan adalah hukum publik, karena atas dasar memprioritaskan kepentingan umum yang lebih besar dari kepentingan pribadi;
    3. Berdasarkan pada uraian poin a dan b tersebut di atas maka jelaslah bahwa yang harus diutamakan adalah Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai hukum publik dari pada Kontrak Karya yang tergolong hukum privat. Hal tersebut dikuatkan pula oleh Surat Mahkamah Agung yaitu suatu lembaga yang berwenang memberikan pendapat hukum yakni melalui surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/270/VII/2005 tanggal 28 Juli 2005;
  2. Bahwa berdasarkan Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding:
    • Pasal 3 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
      -
      "Perusahaan adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta tunduk kepada undang-undang dan yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang biasanya mempunyai kewenangan hukum atas perusahaan-perusahaan, perusahaan harus mendirikan satu kantor pusat di Jakarta untuk menerima setiap pemberitahuan dan komunikasi resmi serta komunikasi hukum lainnya";
      -
      Pasal 13 angka (xi) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding antara lain menyebutkan sebagai berikut:
      "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
      1. Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat";
        Bahwa berdasarkan uraian di atas Pemohon Banding wajib tunduk kepada undang-undang dan yurisdiksi yang berlaku di Indonesia termasuk di dalamnya tunduk kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  1. Dasar dan Alasan Permohonan Banding:
    1. Dasar Hukum Permohonan Banding:
      Bahwa di dalam salah satu paragraf dari Pasal 13 Kontrak Karya yang ditanda- tangani antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding, ditegaskan antara lain bahwa pemenuhan kewajiban pajak dari perusahaan yang berhubungan dengan kewajiban formal dan material perpajakan tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berdasarkan Pasal 27 dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tersebut, atas keputusan keberatan, Pemohon Banding dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak;
      Bahwa sebagaimana juga akan dijelaskan di bagian lain dari surat banding ini bahwa terkait dengan pajak daerah, maka peraturan yang berlaku di tahun 1986 (pada saat Kontrak Karya ini ditandatangani) adalah Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957, dimana di dalam Pasal 28 nya diatur:
      "(1)
      Terhadap keputusan Dewan Pemerintah Daerah dari Daerah Tingkat ke-1 dimaksud Pasal 26, dapat diajukan surat permintaan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak di Jakarta menurut cara yang berlaku; terhadap keputusan Dewan Pemerintah Daerah bawahan dapat diajukan surat permintaan banding kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas;
      (2)
      Surat permintaan banding dimaksud ayat (1) diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan Dewan Pemerintah Daerah termaksud Pasal 26 dikirim kepada yang bersangkutan;
      (3)
      Terhadap pengiriman surat permintaan banding kepada Dewan Pemerintah Daerah setingkat lebih atas berlaku juga ketentuan Pasal 25 ayat (2);
      (4)
      Dewan Pemerintah Daerah di bawah tingkatan Daerah Tingkat ke-1 yang mengambil keputusan termaksud Pasal 26, berhak dengan perantaraan seorang yag dikuasakan khusus olehnya untuk memberikan keterangan lisan kepada Dewan Pemerintah Daerah yang berhak memutuskan permintaan banding";
Bahwa dikaitkan dengan undang-undang yang sekarang berlaku, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, mengatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (sekarang Pengadilan Pajak) terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah, permohonan sebagaimana dimaksud diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut, pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak;

Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dengan ini diinformasikan bahwa Pemohon Banding telah membayar semua SKPD yang diterbitkan oleh Terbanding;
    1. Alasan Permohonan Banding:
      2.1.
      Bahwa Pemohon Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986, Pemohon Banding adalah salah satu perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu Pasal 13 dan lampiran H, di samping itu, pengaturan masalah perpajakan di dalam Kontrak Karya tersebut bersifat “lex specialis”, artinya masalah perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku khusus (dipersamakan dengan undang-undang), dalam hal tidak diatur secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada;
      Bahwa penjelasan Pemohon Banding di atas tentang karakteristik Kontrak Karya yang 'lex specialis' didukung dengan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-1032/MK.04/1998 tanggal 15 Desember 1988 yang menyatakan bahwa Kontrak Karya Pertambangan diberlakukan dan dipersamakan dengan undang-undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis);
      Bahwa di samping itu, sifat atau karakteristik "lex specialis" juga didukung dengan:
      • Bahwa Pasal II dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 mengenai Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami perubahan di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) yang berbunyi:
        "Dengan berlakunya undang-undang ini:
      1. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir”;
        -
        Pasal 33A ayat (4) dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (Pasal 33A ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami perubahan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), yang berbunyi:
        "(4) Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan ketentuan dalam kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud";
      Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, nampak bahwa Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa bagi Wajib Pajak di bidang pertambangan yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya, maka perhitungan pajaknya dilakukan berdasarkan Kontrak Karya tersebut, jadi dapat disimpulkan disini bahwa sifat "Lex Specialis" dari Kontrak Karya juga diatur dan diakui oleh undang-undang yaitu Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu hal yang menyangkut materi pengenaan/perhitungan pajak bagi perusahaan Kontrak Karya, termasuk Pemohon Banding, harus berdasarkan Kontrak Karya yang bersangkutan;
      Bahwa apabila merujuk kepada proses pembuatan Kontrak Karya maka nampak jelas bahwa pembuatan Kontrak Karya melibatkan banyak pihak, yang terdiri dari pejabat-pejabat Eselon 2 dan atau staf ahli dari Departemen-Departemen dan instansi-instansi terkait seperti BKPM, Departemen Keuangan, Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pajak, dan lain-lain dan diketuai oleh Dirjen Pertambangan Umum, kemudian pembuatan Kontrak Karya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR RI dan BKPM melalui pengajuan naskah Kontrak Karya yang telah diparaf oleh para pihak, oleh Menteri Pertambangan dan Energi (Menteri P&E) kepada DPR RI dan BKPM. Adapun pembahasan segala ketentuan yang tercantum dalam naskah Kontrak Karya, dalam sidang-sidang Komisi DPR RI yang bersangkutan bersama Tim Perunding Interdepartemen, terbuka bagi umum, atas dasar hasil pembahasan tersebut, surat rekomendasi/persetujuan DPR-RI yang ditanda tangani oleh Ketua DPR RI, disampaikan kepada Presiden RI, lengkap dengan catatan-catatannya;
      Bahwa selanjutnya Ketua BKPM juga membuat Surat Rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, berdasarkan Surat Rekomendasi/persetujuan dari DPR dan BKPM, Presiden Republik Indonesia akan membuat surat pengesahan Kontrak Karya, setelah surat pengesahan Kontrak Karya diperbaiki sesuai catatan-catatan dari DPR-RI dan/atau Ketua BKPM, Presiden Republik Indonesia akan memberikan Surat Perintah kepada Menteri Pertambangan dan Energi untuk menandatangani Kontrak Karya atas nama Pemerintah Republik Indonesia;
      Bahwa jadi dalam hal ini pemerintah harus juga diartikan mempunyai fungsi sebagai badan hukum privat yang juga harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya di dalam Kontrak Karya. Apabila di kemudian hari pemerintah membuat undang-undang/peraturan yang bertentangan dengan isi dari Kontrak Karya, maka Kontrak Karya tersebut tetap harus dihormati (Pacta Sunt Servanda);
      Bahwa perlu ditambahkan di sini, di dalam Pasal 1 butir 10 dari Kontrak Karya, definisi "Pemerintah" bukan hanya Pemerintah Pusat tetapi juga melibatkan Pemerintah Daerah. Jadi Pemerintah Daerah juga wajib hukumnya untuk menghormati ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh Pemerintah Pusat di dalam Kontrak Karya tersebut;
      Bahwa perlu Pemohon Banding tambahkan bahwa:
      • Bahwa selama ini Pemerintah Republik Indonesia sangat konsekwen dengan komitmennya terhadap segala ketentuan Kontrak Karya, dan telah secara konsisten pula menghargai sifat Lex Specialis-nya Kontrak Karya, contoh yang paling nyata adalah Pasal 169 ayat (a) dari Undang-Undang Pertambangan yang baru, yang dinamakan Undang-Undang Minerba (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009), yang menetapkan bahwa "Kontrak Karya dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini, tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian";
      • Berkaitan dengan hal ini, Undang-Undang Pajak Penghasilan yang sekarang berlaku (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) mengatur tarif maksimum Pajak Penghasilan untuk tahun 2009 sebesar 28% dan untuk tahun 2010 dan seterusnya adalah 25% (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 yang berlaku sejak tahun 2001 sampai dengan 2008, mengatur tarif tertinggi Pajak Penghasilan Badan adalah 30%), sedangkan Kontrak Karya Pemohon Banding mengatur tarif Pajak Penghasilan sebesar 35%. Selama ini Pemohon Banding membayar Pajak Penghasilan dengan tarif maksimum 35% (sesuai dengan kontrak karya) dan bukan tarif 30% atau 25% sesuai dengan Undang-Undang Pajak yang berlaku. Dengan dasar "Lex Specialis" dari Kontrak Karya, Pemohon Banding berpendapat bahwa pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor harus didasarkan pada Kontrak Karya, karena di dalam Kontrak Karya terdapat Pasal yang mengatur masalah pengenaan Pajak Daerah;
        2.2.a.
        Bahwa pada paragraf ke satu dan ke dua dari Pasal 13 juga disebutkan hal-hal sebagai berikut yang pada dasarnya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi investor di bidang pertambangan umum, dalam hal ini Pemohon Banding:
        "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini, Perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
        1. Iuran tetap untuk ………
        1. (xi) Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat;
        2. (xii) Pungutan-pungutan…..
        Perusahaan tidak wajib membayar lain-lain pajak, bea-bea, pungutan-pungutan, sumbangan-sumbangan, pembebanan-pembebanan atau biaya-biaya sekarang maupun di kemudian hari yang dipungut atau dikenakan atau disetujui oleh pemerintah selain dari yang ditetapkan dalam pasal ini dan dalam ketentuan manapun dalam Persetujuan ini";
      Bahwa di lain pihak, Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya berbunyi sebagai berikut:
      "Pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani";
      Bahwa sesuai dengan bunyi Pasal 13 ayat (11) tersebut tersebut di atas nampak bahwa pengenaan Pajak Daerah terhadap Pemohon Banding adalah dengan persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
      • Pajak Daerah tersebut telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku, dan
      • Pajak Daerah tersebut dikenakan dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani;
      Bahwa Kontrak Karya Pasal 13 ayat (11) secara tegas mengatur mengenai kondisi/persyaratan atas penerapan pemungutan PKB dan BBNKB terhadap Pemohon Banding yaitu pengenaan PKB dan BBNKB hanya bisa dilakukan dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini ditandatangani". Disini nampak jelas bahwa pengenaan PKB dan BBNKB tidak dapat dilakukan apabila pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor berdasarkan peraturan yang sekarang berlaku menghasilkan beban yang lebih berat (dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa) dibandingkan dengan pengenaan pajak yang sama/sejenis berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan (Kontrak Karya) ditandatangani, yaitu di bulan Desember 1986;
    1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya tersebut di atas dapat dipahami bahwa Pemohon Banding tidak dapat dikenai pungutan-pungutan apabila pada saat persetujuan Kontrak Karya tersebut ditanda- tangani ketentuan mengenai pajak-pajak atau pungutan-pungutan atau retribusi-retribusi tersebut tidak ada, kalaupun quad-non terdapat pungutan-pungutan atau retribusi-retribusi yang telah ada aturannya pada saat Kontrak Karya disetujui dan ditandatangani, maka besarnya tarif pajak-pajak atau pungutan-pungutan atau retribusi-retribusi tersebut tidak boleh lebih berat atau lebih besar dari undang-undang dan peraturan-peraturan tentang retribusi dan pungutan pada saat itu, khususnya pungutan dan retribusi daerah;
      Bahwa adalah fakta bahwa pada saat Kontrak Karya disetujui dan ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1986 oleh dan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding, undang-undang mengenai retribusi daerah Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah belum ada, peraturan yang berlaku dan mengatur pajak atau retribusi daerah pada saat kontrak karya ditandatangani tahun 1986 adalah Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957, Perpu Nomor 8 Tahun 1959 dan Perpu Nomor 27 Tahun 1959, sehingga, kalaupun terdapat pajak atau pungutan atau retribusi daerah quad-non, maka besarnya retribusi atau pajak atau pungutan atau retribusi daerah tersebut harus berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957, Perpu Nomor 8 Tahun 1959 dan Perpu Nomor 27 Tahun 1959 tersebut dan karenanya pula, secara Lex Specialis, ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
    2. Bahwa berkaitan dengan adagium hukum yang menyatakan bahwa apabila terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan adalah hukum publik, menurut pendapat Pemohon Banding, adalah suatu adagium yang bertentangan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada intinya menyatakan bahwa kesepakatan para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata dapat mengenyampingkan ketentuan hukum publik, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia dikutip sebagai berikut:
      1. Bahwa Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 791 K/Sip/1972 tanggal 26 Februari 1973, menyatakan:
        "Pasal 1338 "BW" masih berlaku dalam hukum perjanjian, oleh sebab itu sesuai dengan pertimbangan PT pihak-pihak harus mentaati apa yang telah mereka setujui, dan yang telah dikukuhkan dalam akta autentik tersebut";
      2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983, yang diputus oleh Hakim Agung:
      IN, S.H., Ny. MNo, S.H. dan SG S.H., menyatakan:
      "Walaupun hukum acara perdata adalah merupakan ketentuan-ketentuan hukum publik, dalam beberapa segi masih dapat disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh kedua belah pihak....";
    1. Bahwa perlu diketahui bahwa Kontrak Karya mengadopsi prinsip "nailed down", dimana Pemohon Banding hanya berkewajiban membayar pajak-pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan tarif yang dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang dan peraturan yang berlaku pada tanggal Kontrak Karya ditandatangani;
      Bahwa prinsip lex specialis dan nailed down dalam Kontrak Karya ini memang sengaja ditawarkan dan disetujui oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian kewajiban-kewajiban keuangan bagi investor guna menarik minat mereka dalam melakukan investasi dan mengembangkan industri pertambangan di Indonesia yang memerlukan modal yang tidak sedikit dan risiko kegagalan yang cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan fakta bahwa dari kurang lebih 150 perusahaan yang menandatangani Kontrak Karya dengan Pemerintah Republik Indonesia di tahun 1986 (atau generasi IV Kontrak Karya bersama-sama dengan Pemohon Banding), hanya kurang dari 10 (sepuluh) perusahaan yang beroperasi dan berproduksi yang memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia, sisanya tidak berhasil, walaupun perusahaan-perusahaan tersebut telah menghabiskan puluhan atau bahkan ratusan juta dolar hanya untuk kegiatan eksplorasi;
    2. Bahwa adapun peraturan-peraturan yang berlaku di bulan Desember 1986 terkait dengan pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Perpu Nomor 27 Tahun 1959) yang mana Perpu Nomor 27 Tahun 1959 ini kemudian diganti oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
      Bahwa di dalam Perpu Nomor 27 Tahun 1959, Pasal 3A.b. berbunyi sebagai berikut:
      "Dibebaskan dari pengenaan bea balik nama kendaraan bermotor ialah:
      1. Penyerahan dalam hak milik dari:
      1. Sepeda kumbang;
      2. Semua kendaraan bermotor yang dimasukkan sendiri dari luar negeri atau dibeli langsung dari importir";
      Bahwa berdasarkan Pasal 3.A.b. a quo nampak jelas bahwa kendaraan bermotor yang dimasukkan sendiri dari luar negeri atau dibeli langsung dari importir dibebaskan dari pengenaan BBNKB.
      Adapun kendaraan bermotor jenis alat berat dan besar milik Pemohon Banding diperoleh dengan cara Pemohon Banding melakukan pengimporan sendiri dari penjual/supplier di luar negeri, oleh karena itu atas kendaraan bermotor tersebut di atas tidak terutang BBNKB;
    3. Bahwa adapun peraturan-peraturan yang berlaku di bulan Desember 1986 terkait dengan pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 1985 (PD No. 5/1985), salah satu rujukan dari Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1985 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 8 Tahun 1959, tentang Perubahan Tarif Pajak Kendaraan Bermotor, menyatakan bahwa:
      " ...Pada waktu ini jumlah pajak sudah tidak seimbang lagi dengan harga kendaraan bermotor, maka oleh sebab itu dapat dianggap sudah tiba waktunya untuk mengubah tarif Pajak Kendaraan Bermotor. Di samping itu biaya pemeliharaan jalan-jalan sudah meningkat pula, karena meningkatnya harga bahan-bahan, sehingga sudah sewajarnya bahwa kenaikan itu dibebankan kepada pemakai-pemakai jalan-jalan itu, khususnya pemilik kendaraan bermotor pula dianggap tidak melampaui batas keadilan jika mobil-mobil penumpang atau barang yang dipergunakan untuk umum, yang semata-mata dijalankan dengan bahan pembayar bensin, yang semula tidak kena Pajak Rumah Tangga dikenakan pajak ini, dengan ketentuan ini maka kendaraan mobil yang dibebaskan dari Pajak Rumah Tangga dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor jika memenuhi syarat-syaratnya, dalam hal ini, maka semuanya mobil yang belum mempunyai nomor polisi yang diperdagangkan, dan dengan demikian tidak dapat dipakai dijalan umum, dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor....";
      Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas jelas telah diatur bahwa pajak kendaraan bermotor dibebankan kepada para pemakai jalan raya dimana beban pemeliharaan jalan raya tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu Pemohon Banding berpendapat bahwa Peraturan Daerah Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 1985 mengatur mengenai pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor bagi kendaraan-kendaraan yang dipergunakan di jalanan umum, hal ini sangat wajar karena pihak Pemerintah/Pemerintah Daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan umum dan atas pemeliharaannya, dan sudah sewajarnya bagi pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dalam menggunakan jalan
      umum untuk membayar Pajak Kendaraan Bermotor;
      Bahwa adapun kendaraan berat dan besar milik Pemohon Banding dioperasikan di jalanan di dalam area pertambangan (bukan jalan umum) dan pembangunan serta pemeliharaan atas jalan tersebut juga dilakukan oleh Pemohon Banding sendiri;
      Bahwa di dalam surat Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 019/03/M.SJ/1995 tertanggal 3 Januari 1995 ditegaskan antara lain hal-hal sebagai berikut:
      “BUMN dan para kontraktornya serta perusahaan-perusahaan bidang pertambangan dan energi wajib mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku dalam membayar PKB dan BBNKB, kecuali terhadap:
      1. Kendaraan bermotor maupun alat-alat berat yang tidak digunakan di jalan umum. Kendaraan seperti ini dibebaskan dari PKB. Hal ini sesuai dengan Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor Stbl 1934 Nomor 718 sebagaimana telah ditambah dan diubah terakhir dengan Perpu. Nomor 8 Tahun 1959;
      2. Kendaraan bermotor termasuk alat-alat berat yang dimasukkan sendiri dari luar negeri atau dibeli langsung dari importer. Kendaraan seperti ini juga dibebaskan dari BBNKB, hal ini sesuai dengan Perpu Nomor 27 Tahun 1959;
      Bahwa kemudian di dalam surat yang dikeluarkan oleh Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara-Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Nomor 1788/84/DPP/2006 tertanggal 18 September 2006 (fotokopi terlampir), menyatakan pendapat yang sejalan dengan pengaturan tersebut di atas, yang petikannya adalah sebagai berikut:
      1. Bahwa ketentuan tentang pajak dan keuangan Pemohon Banding selaku pemegang (KK) Kontrak Karya adalah bersifat "Nailed down", dengan demikian pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor atas Alat Berat dan Besar sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang berlaku umum (hukum publik) dan disahkan setelah Kontrak Karya ditandatangani kurang tepat diaplikasikan pada Pemohon Banding;
      2. Bahwa dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (1) huruf a dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Pasal 1 ayat (2), antara lain disebutkan bahwa semua kendaraan yang digunakan di semua jenis jalan darat merupakan objek pajak, namun dalam perundangan tersebut tidak didefinisikan secara jelas, maka Pemohon Banding berpendapat bahwa pengertian "jalan darat" sama dengan pengertian kata "jalan" yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana kata "Jalan berarti jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum". Mengingat jalan yang terdapat pada areal pertambangan tidak dipergunakan untuk kepentingan lalu lintas umum, maka alat berat dan alat besar yang tidak digunakan di jalan lalu lintas umum tidak tepat jika merupakan objek pajak;
  1. Bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum, Kontrak Karya Pasal 1 butir 10 dan 11 mendefinisikan hal-hal sebagai berikut:
  1. "Pemerintah" berarti Pemerintah Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atau Tingkat II nya;
  2. "Menteri" atau "Departemen" kecuali konteksnya menunjukkan lain berarti pejabat Pemerintah atau badan Pemerintah yang masing-masing bertugas melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan pertambangan Indonesia;
Bahwa sebagaimana diketahui Kontrak Karya merupakan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri/Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) dan Pemohon Banding, oleh karena itu Menteri/Departemen ESDM merupakan lembaga yang berkompetensi di dalam masalah-masalah yang terkait dengan kegiatan pertambangan, termasuk masalah pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ini dan sudah seharusnya pihak Pemda juga tunduk maupun menghormati ketentuan-ketentuan dalam Kontrak Karya yang merupakan undang-undang bagi para pembuatnya;
  1. Bahwa selain daripada alasan-alasan tersebut di atas, perlu dipahami bahwa dengan sifat investasi di bidang pertambangan yang, antara lain:
    -
    Melibatkan jangka waktu yang panjang;
    -
    Sangat “capital intensive” (nilai investasi awal atas pengembangan fasilitas penambangan milik Pemohon Banding sebesar kurang lebih USD 3 Milyar);
    -
    Beresiko tinggi;
    -
    Memiliki jangka waktu operasi yang terbatas (apabila kandungan mineral telah habis ditambang, maka perusahaan pertambangan akan tutup), maka diperlukan suatu tingkat kepastian hukum yang sangat tinggi, prinsip yang mirip dengan konsep Kontrak Karya dengan sifat “Lex Specialis” nya, yaitu dalam rangka memberikan kepastian hukum atas investasi di bidang pertambangan umum, juga diterapkan di negara-negara lain;
Bahwa di dalam tahapan studi kelayakan, Pemohon Banding telah membuat suatu 'business model' dan 'financial model' yang tidak memasukkan adanya unsur PKB dan BBNKB karena berdasarkan Kontrak Karya dan peraturan yang berlaku pada saat Kontrak Karya ditandatangani, tidak ada peraturan terkait yang mengatur mengenai pengenaan PKB dan BBNKB;
Bahwa hal-hal tersebut di atas sangat penting dalam memberikan kepastian hukum bagi Pemohon Banding dan juga bagi para investor/calon investor lainnya yang sudah/akan menanamkan modalnya di Indonesia, khususnya di sektor pengembangan pertambangan mineral yang selama ini telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan bagi pendapatan negara di luar sektor minyak dan gas bumi;
Bahwa berdasarkan alasan dan penjelasan di atas, pengenaan PKB dan BBNKB tidak dapat dikenakan kepada Pemohon Banding;
  1. Perhitungan Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar Menurut Pemohon Banding:
    Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka Pemohon Banding berpendapat bahwa PKB dan BBNKB tidak dapat dikenakan kepada Pemohon Banding dan seharusnya Terbanding menerbitkan SKPD Nihil yang memuat perincian sebagai berikut:
    Jumlah yang harus Dibayar (Rupiah)
    Pokok Sanksi Adm Jumlah
    -
    -
    -
    BBNKB
    -
    -
    -
    PKB
    -
    -
    -
    Jumlah
    Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
    • Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 973/3292/PJK/2010 tanggal 15 November 2010 mengenai Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2009 Nomor 406/XI/AB/07-E tanggal 25 September 2009, atas nama PT.DFG, NPWP: 0X.0XX.XXX.0-0XX.000, alamat: Jalan MK LOT 5.1, Menara RJ Lantai 26, Jakarta;
    Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011 diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 19 Desember 2011, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor MH:mbp/NNT/0412/2281 tanggal 8 Maret 2012, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Maret 2012 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-239/SP.51/AB/III/2012 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Pajak, dengan disertai oleh alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
    Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 30 Maret 2012, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 4 Mei 2012;
    Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa pada tanggal 30 November 2011, Pengadilan Pajak telah mengucapkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 yang amarnya berbunyi sebagai berikut:
MENGADILI

Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 973/3292/PJK/2010 tanggal 15 November 2010 mengenai Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2009 Nomor 406/XI/AB/07-E tanggal 25 September 2009, atas nama PT. DFG, NPWP: 0X.0XX.XXX.0-0XX.000, alamat: Jalan MK LOT 5.1, MR Lantai 26, Jakarta;
  1. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Undang-Undang Pengadilan Pajak) Pasal 77 ayat (3) menyatakan pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung;
  2. Bahwa Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan permohonan peninjauan kembali dapat diajukan antara lain berdasarkan alasan sebagai berikut:
    “Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
  3. Bahwa Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
    “Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim”;
    Bahwa putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011 dikirim oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali, semula Pemohon Banding, pada tanggal 12 Desember 2011. Dengan demikian pengajuan permohonan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 ini dilakukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh Pasal 92 ayat (3) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya permohonan peninjauan kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
  4. Bahwa dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011, telah terdapat kekhilafan Majelis Hakim dan suatu kekeliruan hukum yang nyata-nyata karena dalam putusan tersebut pertimbangan Majelis Hakim telah nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan;
  5. Bahwa kekhilafan dan kekeliruan hukum Majelis Hakim yang nyata-nyata tersebut terdapat dalam pertimbangan hukum yang tidak sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil.
    RINGKASAN LATAR BELAKANG SENGKETA PAJAK;
  6. Sebelum Pemohon Peninjauan Kembali mengajukan uraian atas alasan-alasan untuk permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan Pajak tersebut di atas mengenai sengketa Pengenaan PKB dan BBNKB atas Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar yang ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Dinas Pendapatan Daerah dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah dengan Nomor Kohir 406/XI/AB/07-E tanggal 25 September 2009, untuk memudahkan Mahkamah Agung Republik Indonesia khususnya Majelis Hakim Agung yang memeriksa perkara ini, Pemohon Peninjauan Kembali terlebih dahulu akan menguraikan ringkasan latar belakang sengketa pajak sebagai berikut:
    1. Pada tanggal 25 September 2009 Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat melalui Dinas Pendapatan Daerah telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah dengan Nomor Kohir 406/XI/AB/07-E;
      Lebih lanjut, pada tanggal 17 November 2009, Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan surat keberatan dengan surat Nomor JAOem/NNT-PKB-BBNKB/XI/09-1206 (terlampir adalah fotokopi tanda terima surat keberatan dan fotokopi surat keberatan yang dimaksud (Bukti PK-5)), kepada Termohon Peninjauan Kembali sehubungan dengan pemungutan PKB dan BBNKB atas pembelian dan kepemilikan Alat Besar dan Berat;
      Berikut adalah informasi terkait dengan Surat Keberatan beserta jumlah dari PKB dan BBNKB yang diajukan keberatannya:
      Jumlah yang harus Dibayar (Rupiah)
      Pokok Sanksi Adm Jumlah
      -
      0
      -

      633.000 0
      633.000 Pajak Kendaraan Bermotor
      633.000 0
      633.000 Jumlah
      Bahwa atas surat keberatan dari Pemohon Peninjauan Kembali, Pihak Termohon Peninjauan Kembali telah mengeluarkan surat keputusan keberatan yaitu dengan surat Nomor 973/3292/PJK/2010 tertanggal 15 November 2010 yang isinya menyatakan bahwa permohonan keberatan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertimbangkan;
    2. Atas Surat Keputusan Keberatan Nomor 973/3292/PJK/2010 tertanggal 15 November 2010 tersebut di atas, Pemohon Peninjauan Kembali, dahulu Pemohon Banding, telah mengajukan Banding kepada Pengadilan Pajak dengan surat Nomor MH:Saw/NNT/0211/0423 tanggal 10 Februari 2011 yang mana kemudian Pengadilan Pajak telah mengeluarkan Putusan Nomor Put. 35260/PP/M.XIV/04/2011 tanggal 30 November 2011;
      DALAM POKOK SENGKETA;
  1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang di dalam halaman 39 sampai 40 dari putusan di atas, yang dapat diuraikan lebih rinci sebagai berikut:
    8.1.
    Berikut adalah Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus perkara ini:
    ”Bahwa Kontrak Karya adalah suatu perjanjian pengusahaan pertambangan antara pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan swasta untuk melaksanakan usaha pertambangan di luar minyak dan gas bumi;
    Bahwa Kontrak Karya merupakan perjanjian yang pengaturannya tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), namun merujuk pada Pasal 1338 KUH Perdata, yang dikenal dengan Asas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa perjanjian tersebut menjadi hukum dan mengikat bagi para pihak yang sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian dan telah menandatanganinya;
    Bahwa Pemohon Banding tidak mempersoalkan besarnya pungutan Pajak Kendaraan Bermotor, tetapi mempersoalkan keabsahan pemungutan oleh Terbanding, sehingga Majelis tidak memeriksa besaran pungutan pajak dalam Surat Ketatapan tersebut;
    Bahwa walaupun demikian, berdasarkan Pasal 1320 juncto Pasal 1337 KUH Perdata disyaratkan untuk sahnya suatu perjanjian adalah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang;
    Bahwa ketetapan Pajak Daerah yang disengketakan Pemohon Banding adalah Pajak Kendaraan Bermotor yang dikenakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah;
    Bahwa ditinjau dari sudut penggolongan hukum, Kontrak Karya adalah perjanjian antara Pengusaha dengan Pemerintah bukan antara Pemerintah dengan Pemerintah, karena itu Kontrak Karya masuk dalam penggolongan hukum privat yang hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian;
    Bahwa pungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah adalah tergolong hukum publik, adagium hukum menyatakan apabila terjadi konflik antara hukum privat dengan hukum publik maka yang dimenangkan adalah hukum publik, karena kepentingan umum lebih besar dari kepentingan pribadi;
    Bahwa yang diajukan banding oleh Pemohon Banding adalah mengenai pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor, menurut Pemohon Banding seharusnya didasarkan atas Kontrak Karya bukan didasarkan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dan peraturan pelaksanaannya;
    Bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan Pajak Kendaraan Bermotor baru dikenakan pada tahun 2006, menurut Pemohon Banding hal tersebut bertentangan dengan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya, yang ditandatangani tahun 1986;
    Bahwa sesuai dengan Pasal 13 ayat (11), Pemohon Banding menyatakan seharusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut dikenakan pajak berdasarkan Kontrak Karya, tarif pajak yang diterapkan tidak boleh lebih besar daripada tarif saat Kontrak Karya tersebut ditandatangani, akan tetapi tidak ada yang bisa dijadikan pembanding karena pada saat Kontrak Karya tersebut ditandatangani, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat belum mengenakan Pajak Kendaraan Bermotor;
    Bahwa atas tarif alat berat tersebut belum dicantumkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000, akan tetapi undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk melakukan pemungutan Pajak Daerah, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
    Bahwa dalam Pasal 13 ayat (xi) Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT. DFG, disebutkan sebagai berikut:
    Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
    1. .............,
    2. .............,
    3. .............,
    4. .............,
    5. .............,
    6. .............,
    7. .............,
    8. .............,
    9. .............,
    10. .............,
    11. Pungutan-pugutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat;
    12. .............,
    13. .............,
    Bahwa dalam Pasal 13 ayat (xi) sebagaimana tersebut di atas, mengatur bahwa perusahaan mempunyai kewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap pungutan-pungutan, pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat;
    Bahwa dengan demikian penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nomor 406/XI/AB/07-E tanggal 25 September 2009, yang didasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tidak bertentangan dengan Kontrak Karya Pasal 13 ayat (xi) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. DFG sehingga Pajak Kendaraan Bermotor yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan karenanya koreksi Terbanding tetap dipertahankan”;

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA