Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.28830/PP/M.II/16/2011

Jenis Pajak : Pajak Pertambahan Nilai

Tahun Pajak : 2007

Pokok Sengketa : bahwa pokok sengketa dalam perkara banding ini adalah koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2007 Rp.12.646.778.652,00,00.




Menurut Terbanding : bahwa Pemohon Banding mencharter kapal atau sewa kepada DEF yang berkedudukan di Singapura untuk melaksanakan pekerjaan yang diperoleh dari BUT ABC Inc. Ltd, jadi jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding dimanfaatkan di dalam daerah pabean dan Jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding tidak termasuk kelompok Jasa yang tidak dikenakan PPN sehingga jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding terutang PPN Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean, bahwa jasa yang diterima oleh Pemohon Banding adalah sewa kapal untuk survei di perairan Natuna yang tidak termasuk dalam kategori jasa kepelabuhan dan Pemohon Banding bukan perusahaan pelayaran niaga sehingga tidak termasuk dalam kategori pengecualian pengenaan PPN seperti yang dimaksud dalam SE-08/PJ.532/1999 dan SE-02/PJ.32/1990


Menurut Pemohon : bahwa bidang usaha Pemohon Banding adalah agen, angkutan, jasa pertambahan dimana salah satu usaha bidang agen dalam melakukan pekerjaan diperlukan pengurusan izin-izin sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan misalnya pengurusan izin-izin berlayar kapal-kapal yang disewa melalui departemen yang terkait bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding mencharter kapal atau sewa kepada DEF atas pekerjaan yang diperoleh dari BUT ABC Inc. Ltd, lokasi kerja adalah Blok North Belut WHP C&D diperairan Natuna Kepulauan Indonesia berada di jalur pelayaran internasional.


Pendapat Majelis : bahwa Terbanding melakukan koreksi atas transaksi sewa kapal untuk keperluan survei di perairan natuna dari DEF (S) PTE Ltd yang berkedudukan di Singapura dengan nilai sebesar Rp.12.646.778.652,00 sebagai obyek yang terutang PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Didalam Daerah Pabean.

bahwa Pemohon Banding mencharter kapal atau sewa kepada DEF yang berkedudukan di Singapura untuk melaksanakan pekerjaan yang diperoleh dari BUT ABC Inc. Ltd, jadi jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding dimanfaatkan di dalam daerah pabean dan Jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding tidak termasuk kelompok Jasa yang tidak dikenakan PPN sehingga jasa yang dilakukan oleh Pemohon Banding terutang PPN Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean.

bahwa bidang usaha Pemohon Banding adalah agen, angkutan, jasa pertambangan dimana salah satu usaha bidang agen dalam melakukan pengurusan izin-izin sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan misalnya pengurusan izin-izin berlayar kapal-kapal yang disewa melalui departemen yang terkait.

bahwa menurut Pemohon Banding, Pemohon Banding mencharter kapal atau menyewa kapal dari DEF untuk melaksanakan pekerjaan yang diperoleh dari BUT ABC Inc. Ltd, lokasi kerja adalah Blok North Belut WHP C&D diperairan Natuna Kepulauan Indonesia berada di jalur pelayaran internasional.

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban kapal Asing dalam melaksanakan lintas damai melalui perairan Indonesia dikemukakan pada bagian kedua alur lain dan skema pemisah Pasal 11 menyebutkan Air Laut dan Skema Pemisah.

bahwa dalam persidangan, Terbanding menyatakan bahwa pengenaan PPN Jasa Luar Negeri yang tidak dikehendaki oleh Pemohon Banding didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-17/PJ.5.1/1990 tanggal 1 September 1990 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan Dalam Jalur Pelayaran Internasional dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.532/1999 tentang PPN atas Jasa Kepelabuhan Untuk Kapal Jalur Pelayaran International.

bahwa menurut Terbanding, di dalam kedua aturan sebagaimana tersebut di atas, memang ada peraturan yang menyatakan bahwa atas jasa kapal untuk perusahaan pelayaran tidak dikenakan PPN, namun Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Banding bukan merupakan perusahaan pelayaran niaga, sehingga dasar hukum SE-17/PJ.5.1/1990 dan SE-08/PJ.532/1999 tidak bisa digunakan.

bahwa terkait dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia, menurut Terbanding dalam Pasal 11 ayat (1) hanya mengatur mengenai jalur pelayaran internasional yang boleh dilewati jika suatu kapal ingin melewati wilayah perairan Indonesia dan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a juga tidak hanya mengatur perairan di Laut Natuna tetapi juga meliputi wilayah perairan Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda.

bahwa jika ada kapal asing yang ingin menuju negara lain dan harus melewati wilayah perairan Indonesia maka kapal asing tersebut akan melalui wilayah perairan Indonesia melewati alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a sampai dengan d.

bahwa walaupun wilayah perairan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a sampai dengan d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia merupakan jalur pelayaran internasional tapi bukan berarti wilayah-wilayah tersebut berada di luar daerah pabean Indonesia karena wilayah-wilayah perairan tersebut termasuk wilayah Laut Natuna masih berada di dalam Daerah Pabean Indonesia.

bahwa menurut Terbanding, wilayah Laut Natuna masih merupakan bagian dari Indonesia yang berada di wilayah Kabupaten Natuna dan masih berada di dalam batas wilayah Pabean Indonesia yang masih berlaku UU Pabean.

bahwa berdasarkan UU Pabean dan UU PPN sendiri mengenai definisi Daerah Pabean adalah sama yaitu: Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang Pabean.

bahwa menurut Terbanding, untuk wilayah Natuna sendiri masih berada di dalam Daerah Pabean Indonesia dan terhadap wilayah Natuna tidak ada keputusan apapun dari Direktorat Jenderal Pajak yang membebaskan pengenaan PPN di dalam wilayah Natuna.

bahwa mengenai dasar hukum yang digunakan oleh Pemohon Banding sebagai dasar ketidaksetujuannya yaitu SE-17/PJ.5.1/1990 tanggal 1 September 1990 dan SE-08/PJ.532/1999, diperuntukkan untuk Perusahaan Pelayaran Niaga, sedangkan bidang usaha Pemohon Banding bukanlah perusahaan pelayaran tetapi perusahaan yang bergerak dibidang jasa kontraktor, dagang, supplier, agen, angkutan jasa percetakan, perkayuan dan industri pertambangan, perdagangan besar berdasarkan balas jasa sehingga Pemohon Banding tidak dapat memakai fasilitas berdasarkan kedua peraturan tersebut.

bahwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.532/1999 tentang PPN Atas Jasa Kepelabuhan Untuk Kapal Jalur Pelayaran International menjelaskan: Berdasarkan Pasal 3 butir 4 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1998 diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu ditanggung Pemerintah, yaitu jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi:

1) Jasa persewaan kapal,
2) ...dst

sehingga menurut Terbanding PPN terutang akan ditanggung Pemerintah jika yang menerima jasa adalah Perusahaan Pelayaran Niaga sedangkan Pemohon Banding bukanlah Perusahaan Pelayaran Niaga.

bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding menyatakan bahwa pada saat proses pemeriksaan, Pemeriksa menyatakan agar Pemohon Banding dapat memberikan pembuktian bahwa wilayah perairan Natuna merupakan wilayah jalur perairan internasional, yang oleh Pemohon Banding kemudian dibuktikan dengan menunjukkan peta wilayah perairan Natuna, namun menurut Pemeriksa bukti peta yang Pemohon Banding tunjukkan belum cukup dan Pemeriksa meminta Pemohon Banding untuk menunjukkan peraturan dari instansi Pemerintah yang menyatakan bahwa wilayah perairan Natuna merupakan wilayah jalur perairan internasional.

bahwa Pemohon Banding kemudian meminta surat pernyataan dari Departemen Perhubungan yang menyatakan bahwa wilayah perairan Natuna merupakan wilayah jalur pelayaran internasional, namun surat pernyataan berupa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tanggal 28 Juni 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia tersebut baru keluar setelah proses pemeriksaan selesai.

bahwa menurut Pemohon Banding, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tanggal 28 Juni 2002 seharusnya sudah cukup bagi Pemohon Banding untuk membuktikan bahwa wilayah perairan Natuna merupakan wilayah jalur perairan internasional.

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia dikemukakan pada Bagian Kedua Alur Lain dan Skema Pemisah dalam Pasal 11 menyebutkan :

Pasal 11
1) Kapal tangker asing, kapal ikan asing, kapal riset kelautan atau kapal survey hidrograf asing dan kapal asing bertenaga nuklir atau bahan lainnya yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dalam melaksanakan Lintas Damai hanya untuk melintas dari satu bagian laut bebas atau zona ekonom eksklusif melalui Perairan Indonesia wajib menggunakan alur laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

2)
  1. Untuk pelayaran dari Laut China Selatan ke Samudra Hindia dan sebaliknya yang dapat digunakan adalah Alur Laut yang lazim digunakan untuk pelayaran internasional yang melalui Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa dan Selat Sunda.

bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan Pasal 11 ayat (2) huruf a di atas, maka dapat dibuktikan bahwa perairan Natuna (Laut Natuna) berada di wilayah jalur perairan internasional.

bahwa pada saat pemeriksaan Pemohon Banding menyatakan sudah memberikan semua penjelasan dan bukti-bukti pendukung yang diperlukan hanya kurang PP No.36 Tahun 2002 tersebut dan pada waktu proses pemeriksaan, tidak pernah dipermasalahan mengenai Natuna termasuk dalam Daerah Pabean atau bukan tetapi yang dipermasalahan apakah Natuna tersebut berada di wilayah perairan internasional atau berada di jalur perairan internasional.

bahwa menurut Pemohon Banding, jika bicara mengenai perairan internasional maka di atas perairan internasional tidak boleh melakukan suatu aktivitas. Aktivitas hanya boleh dilakukan di atas perairan Indonesia yaitu di Natuna, sehingga berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tanggal 28 Juni 2002, Natuna berada di perairan Indonesia tetapi merupakan bagian dari jalur pelayaran internasional dan bukan perairan internasional.

bahwa oleh karena Natuna berada di jalur pelayaran internasional maka menurut Pemohon Banding sudah benar secara prosedur sehingga dari segi PPN tidak terutang PPN karena yang menanggung pajak adalah dari luar Daerah Pabean dan Pemohon Banding hanya melakukan sewa kapal.

bahwa berdasarkan peraturan mengenai sewa kapal, PPN ditanggung oleh pemilik kapal yaitu DEF (Singapura) dan bukan oleh Pemohon Banding selaku penyewa kapal.

bahwa hasil survey melalui persewaan kapal yang Pemohon Banding lakukan akan Pemohon Banding jual kepada ABC.

bahwa berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-08/PJ.532/1999 tentang PPN Atas Jasa Kepelabuhan Untuk Kapal Jalur Pelayaran International menjelaskan: Berdasarkan Pasal 3 butir 4 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1998 diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu ditanggung Pemerintah, yaitu jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga yang meliputi:
  1. Jasa persewaan kapal,
  2. Jasa kepelabuhanan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh,
  3. Jasa perawatan/reparasi (docking) kapal.
bahwa menurut Pemohon Banding, transaksi yang Pemohon Banding lakukan dengan DEF (Singapura) adalah jasa sewa kapal sehingga berdasarkan peraturan tersebut di atas jasa yang Pemohon Banding lakukan tidak terutang PPN.

bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-02/11.32/1990 tanggal 11 Januari 1990 telah diatur tentang daftar negara asing yang tidak mengenakan PPN atas jasa pelayaran asing, antara lain termasuk 5 negara anggota ASEAN yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, dan Philipina.

bahwa oleh karena DEF berasal dari Singapura sehingga berdasarkan SE-02/11.32/1990 tanggal 11 Januari 1990 tidak mengenakan PPN atas jasa pelayaran asing.

bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding menunjukkan bukti pendukung berupa:
  • “Supplytime 89” Uniform Time Charter Party For Offshore Service Vessels,
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2002 tanggal 28 Juni 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
bahwa berdasarkan uraian dan keterangan tersebut diatas, Majelis berkesimpulan terdapat cukup bukti bahwa lokasi kerja Pemohon Banding adalah Blok North Belut WHP C&D diperairan Natuna Kepulauan Indonesia yang berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 merupakan Jalur Pelayaran Internasional, namun sesuai ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 jo. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, wilayah dimaksud adalah merupakan Daerah Pabean Indonesia, dengan demikian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 18 Tahun 2000 maka atas transaksi penyewaan kapal yang dilakukan oleh Pemohon Banding terutang PPN.

bahwa bila ditinjau dari transaksi persewaan kapal yang mendapat fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah sesuai ketentuan yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1998, karena Pemohon Banding bukan merupakan perusahaan pelayaran niaga, maka persewaan kapal yang dilakukannya tidak mendapat fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah.

bahwa oleh karenanya Majelis berpendapat koreksi yang dilakukan oleh Terbanding sudah benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan demikian koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2007 Rp.12.646.778.652,00 tetap dipertahankan.

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak.

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak.

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya.


Memperhatikan :
Surat Banding, Surat Uraian Banding, Surat Bantahan serta hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan serta kesimpulan tersebut di atas.
Mengingat :
  1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,
  2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000,
  3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18Tahun 2000.


Memutuskan : Mengabulkan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-504/WPJ.04/2010 tanggal 19 Januari 2010 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2007 Nomor : 00013/277/07/062/09 tanggal 25 Juni 2009.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA