Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 448/B/PK/PJK/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot
Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada :
- ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding;
- GHI, Pj. Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan
Jenderal Gatot Subroto No. 40-42 Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor : SKU-2378/PJ./2013 tanggal 22 Oktober 2013;
Pemohon Peninjauan
Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT XXX, Tbk, beralamat di Jalan RRR Km. Y, Jakarta Selatan 12xxx;
Termohon Peninjauan
Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang telah berkekuatan
hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali
dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor: 014-20/011 tanggal 27
Februari 2012, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa bersama ini Pemohon Banding mengajukan Banding atas Keputusan
Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011
Tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008
Nomor: 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010, yang Pemohon
Banding terima suratnya tanggal 19 Desember 2011;
Sengketa
Kredit Pajak PPN Masukan dari hasil jawaban klarifikasi yang oleh KPP
terkait dijawab "Tidak Ada" sebesar Rp.388.728.067,00 dan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar Rp.388.728.067,00 sehingga jumlah
yang masih harus dibayar adalah Rp.777.456.134,00;
Bahwa Pemohon Banding menolak dan menyatakan tidak setuju atas:
- Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai
Barang
dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor : 00555/207/08/051/10 tanggal
08 Desember 2010 yang menetapkan Pajak Pertambahan Nilai yang kurang
dibayar sebesar Rp.777.456.134,00;
- Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/011
tanggal 14
Desember 2011 yang menolak keberatan Pemohon Banding dan mempertahankan
jumlah PPN Kurang Dibayar sebesar Rp.777.456.134,00;
Bahwa dengan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-754/PJ./2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak
Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan yang mengatur antara lain
apabila berdasarkan hasil pengujian arus barang dan arus uang dapat
dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut sah adanya, maka Faktur Pajak
yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat diperhitungkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan. Dalam hal ini Pemohon Banding mempunyai
bukti-bukti berupa arus uang sesuai transaksi yang terjadi. Maka atas
kredit Pajak Masukan sebesar Rp.388.728.067,00 yang dijawab "Tidak Ada"
oleh KPP terkait, seharusnya dapat diperhitungkan sebagai jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan.
Dan terkait dengan Jawaban klarifikasi yang dijawab “Tidak
Ada”, dalam waktu berjalan oleh KPP terkait ada yang sudah
dilakukan ralat jawaban menjadi “Ada”;
Bahwa demikian surat permohonan Banding ini Pemohon Banding sampaikan,
dan Pemohon Banding mohon Pengadilan Pajak dapat mengabulkannya, atau
apabila Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat lain mohon putusan
yang seadil-adilnya;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor :
Put-46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang telah berkekuatan
hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut :
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding
terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal
14 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008
Nomor: 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 sebagaimana telah
dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-00059/WPJ.19/KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas nama: PT
XXX Tbk. NPWP: 01.XXX, beralamat di: Jalan RRR Km. Y, Jakarta Selatan
12xxx, sehingga
perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2008 menjadi
sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak:
Jumlah
Seluruh Penyerahan |
Rp.
670.714.104.187,00 |
Pajak
Keluaran yang dipungut sendiri |
Rp.
43.762.277.048,00 |
Pajak
Masukan |
Rp.
67.977.375.595,00 |
PPN
Yang Kurang/(Lebih) dibayar |
(Rp.
24.215.098.547,00) |
Kelebihan
pajak yang sudah dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya |
Rp.
24.215.098.547,00 |
PPN
Yang Kurang/(Lebih) dibayar |
Rp.
0,00 |
Sanksi
Administrasi |
Rp.
0,00 |
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
Rp.
0,00 |
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-46337/PP/M.III/16/2013
tanggal 18 Juli 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali
pada tanggal 02 Agustus 2013, kemudian terhadapnya oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor : SKU-2378/PJ./2013 tanggal 22 Oktober 2013, diajukan
permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak pada tanggal 30 Oktober 2013, dengan disertai
alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
tersebut pada tanggal 30 Oktober 2013;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 April
2014, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya tidak mengajukan Jawaban
berdasarkan Surat Keterangan Wakil Panitera Pengadilan Pajak Nomor :
TKM-594/PAN.Wk/2016 tanggal 31 Oktober 2016;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut :
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali
ini adalah :
Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp388.728.067,00;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca,
memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013, maka dengan ini
menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut,
karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta-fakta
hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak atau
setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti
maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya,
sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah
digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi dasar
hukum bagi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terkait
koreksi a quo adalah :
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak, mengatur :
Pasal 69 ayat (1) :
Alat bukti dapat berupa:
a. |
surat
atau tulisan; |
b. |
keterangan
ahli; |
c. |
keterangan
para saksi; |
d. |
pengakuan
para pihak; dan/atau |
e. |
pengetahuan
Hakim; |
Penjelasan :
Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim
Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan
sebelum menggunakan alat bukti lain;
Pasal 76 :
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
Penjelasan :
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil,
sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan
sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak
terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang
dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau
tanggapan, belum diungkapkan;
Pemohon Banding atau penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena
itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan terbanding atau tergugat
harus diberitahukan kepada pemohon Banding atau penggugat untuk
diberikan jawaban;
Pasal 78 :
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
Penjelasan :
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), mengatur :
Pasal 1 angka 29:
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara
teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi
harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode
Tahun Pajak tersebut;
Pasal 28 ayat (3):
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan
memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya;
- Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
(Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai), antara lain diatur sebagai
berikut:
Pasal 1 angka 23:
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha
Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan
Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena
Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
Pasal 1 angka 24:
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak
dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar daerah Daerah Pabean dan atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor
Barang Kena Pajak;
Pasal 9 ayat (2) :
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama;
Pasal 9 ayat (8) huruf b :
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur
dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
a. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak; |
b. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha; |
c. |
perolehan
dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station
wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan; |
d. |
pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak; |
e. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa
Faktur Pajak Sederhana; |
f. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5); |
g. |
pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); |
h. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak; |
i. |
perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; |
Pasal 9 ayat (9) :
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan;
Pasal 13 ayat (5) :
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
memuat:
a. |
Nama,
alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak; |
b. |
Nama,
alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima
Jasa Kena Pajak; |
c. |
Jenis
barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga; |
d. |
Pajak
Pertambahan Nilai yang dipungut; |
e. |
Pajak
Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; |
f. |
Kode,
nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan |
g. |
Nama,
jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak; |
- Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ/2010
tentang
Standar Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban
Perpajakan, mengatur :
Pasal 5 huruf e angka 1:
Bukti kompeten adalah bukti yang valid dan relevan;
- Bahwa sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor:
KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan,
antara lain diatur sebagai berikut:
Pasal 1 :
Konfirmasi Faktur Pajak dengan aplikasi Sistem Informasi Perpajakan
adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan
tentang keabsahan Faktur Pajak;
Lampiran 1 :
Bahwa tujuan dilakukan konfirmasi Faktur Pajak adalah untuk mendapatkan
keyakinan bahwa Faktur Pajak tersebut telah dilaporkan Pengusaha Kena
Pajak penerbit sebagai Pajak Keluaran pada Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai;
Pada butir 1.4.1.3.2
"tidak ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut belum
dilaporkan oleh PKP Penjual dan KPP domisili PKP Penjual telah
menerbitkan SKPKB/SKPKBT atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan PKP
Penjual tersebut maka Faktur Pajak tersebut dapat diperhitungkan
sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
Pada butir 1.4.1.3.3
"tidak ada" dengan penjelasan bahwa Faktur Pajak tersebut tidak sah
karena : Pengusaha yang menerbitkan Faktur Pajak tersebut belum
dikukuhkan sebagai PKP; atau PKP Penjual tidak pernah melakukan
penyerahan BKP/JKP kepada PKP pembeli yang bersangkutan; maka Faktur
Pajak tersebut tidak dapat diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan;
Pada butir 1.4.1.3.4
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman
permintaan klarifikasi dikirimkan melalui faksimile jawaban klarifikasi
belum/tidak diterima dan apabila berdasarkan hasil pengujian arus
barang dan atau arus uang dapat dibuktikan bahwa Faktur Pajak tersebut
sah adanya maka Faktur Pajak yang dimintakan klarifikasi tersebut dapat
diperhitungkan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-10/PJ.52/2006 tentang
Perekaman SPT Masa PPN, Konfirmasi Faktur Pajak, Dan Langkahlangkah
Penanganan Restitusi Dalam Rangka Pengamanan Penerimaan Pajak
Pertambahan Nilai, antara lain diatur:
Romawi II Angka 5 menyatakan bahwa pelaksanaan konfirmasi Faktur Pajak
melalui sistim aplikasi PK-PM harus tetap mengacu pada ketentuan
sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-754/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi dengan
Aplikasi Sistim Informasi Perpajakan;
Romawi V menyatakan bahwa Perlu ditegaskan bahwa pelaksanaan
konfirmasi, baik untuk Pajak Masukan, Pajak Keluaran, PIB, maupun PEB
merupakan salah satu prosedur pemeriksaan yang wajib dilakukan, namun
bukan merupakan satu-satunya alat uji yang dipakai untuk meyakini bahwa
transaksi tersebut benar adanya baik secara formal maupun material.
Untuk meyakini kebenaran suatu transaksi agar pemeriksa mengajukan
pengujian lainnya seperti arus uang, arus barang, arus dokumen, serta
meneliti dokumen-dokumen pendukung lainnya yang berkenaan dengan
transaksi tersebut;
Bahwa atas dasar tersebut di atas, bersama ini Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) sampaikan keberatan-keberatan atas
pertimbangan hukum Majelis dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013, sebagai berikut :
Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp
388.728.067,00;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
keberatan
terhadap putusan Majelis Hakim yang tidak mempertahankan koreksi
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan yang
dapat diperhitungkan sebesar Rp388.728.067,00 sebagaimana tertuang
dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim pada halaman 16 alinea ke-1
putusan a quo, sebagai berikut :
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas selanjutnya Majelis
berkesimpulan bahwa Terbanding tidak cukup bukti untuk melakukan
koreksi terhadap Pemohon Banding, sehingga koreksi Terbanding atas
Pajak Masukan sebesar Rp.388.728.067,00 tidak dapat dipertahankan;
- Bahwa terkait adanya koreksi atas Pajak Masukan yang
dapat
diperhitungkan sebesar Rp 388.728.067,00 yang tidak dipertahankan oleh
Majelis Hakim, dapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
sampaikan hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa alasan Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) pada
saat pemeriksaan atas koreksi Pajak Masukan sebesar Rp388.728.067,00
adalah karena adanya jawaban konfirmasi yang dijawab "tidak ada" dan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) belum dapat
membuktikan dengan arus uang dan SPT Lawan Transaksi;
- Bahwa terkait dengan koreksi yang diajukan keberatan
dan
memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-754/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001, dalam proses penelitian
keberatan, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mengirimkan
surat permintaan klarifikasi data pajak keluaran kepada KPP tempat PKP
Penjual terdaftar sehubungan dengan telah diterimanya jawaban
permintaan klarifikasi Faktur Pajak pada saat pemeriksaan yang
menyatakan "Tidak Ada";
- Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disampaikan
sebagai berikut:
1) Bahwa terdapat 32 faktur pajak dengan jawaban klarifikasi yang
menyatakan "ada" atau meralat jawaban klarifikasi sebelumnya;
2) Bahwa atas 4 Faktur Pajak dengan nilai PPN sebesar Rp.13.229.364,00
KPP tempat PKP Penjual terdaftar kembali menjawab klarifikasi dengan
menyatakan "Tidak Ada";
3) Bahwa atas 18 Faktur Pajak dengan nilai PPN sebesar Rp.
142.074.845,00 Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) belum
menerima jawaban dari KPP terkait berupa ralat jawaban terhadap jawaban
klarifikasi yang sebelumnya menyatakan "Tidak Ada" sehingga atas faktur
pajak tersebut masih dinyatakan "Tidak Ada" oleh KPP dimaksud;
- Bahwa berkaitan dengan jawaban klarifikasi yang
menyatakan "Tidak
Ada" atau "Tidak Sesuai" dan tidak ada ralat dari KPP lawan transaksi,
dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1) |
Bahwa
apabila terjadi transaksi penyerahan BKP/JKP yang terutang
PPN, Undang-undang PPN memberi kuasa kepada Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP/JKP untuk memungut dan menyetor PPN yang
terutang, serta melaporkannya dalam SPT Masa PPN-nya; |
2) |
Jawaban
klarifikasi yang menyatakan "Tidak Ada" atau "Tidak Sesuai"
membuktikan bahwa Faktur Pajak masukan yang dikreditkan oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak pernah
diakui/dilaporkan oleh PKP yang menyerahkan BKP/JKP dalam SPT Masa
PPN-nya. Ini berarti bahwa PKP lawan transaksi tidak pernah mengakui
bahwa telah melakukan penyerahan BKP/JKP yang terutang PPN kepada
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding); |
3) |
Karena
tidak ada transaksi yang terutang PPN sebagaimana dimaksud
pada angka 2, tidak ada PPN yang seharusnya dibayar oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding). Karakteristik Pajak
Masukan sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan
Nilai, tidak terpenuhi; |
- Bahwa terhadap 32 faktur pajak yang dijawab "ada dan
sesuai" Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan penelitian formal atas
faktur pajak tersebut apakah sudah memenuhi syarat sebagai Faktur Pajak
Standar sesuai Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai;
- Bahwa selain itu Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding)
telah melakukan uji arus barang dan uji arus uang terhadap koreksi
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) saat pemeriksaan untuk
menguji pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
sebagai berikut:
1) |
Uji
arus barang untuk menguji kebenaran adanya BKP sebagai dasar
transaksi dan untuk menguji pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf
b Undang-Undang PPN; |
|
a) |
Melakukan
penelitian atas kelengkapan data/dokumen sebagai berikut:
- Purchase order;
- Surat jalan;
- SPK;
- Laporan penerimaan barang;
- Invoice;
|
|
b) |
Melakukan
penelitian atas kesesuaian/hubungan langsung BKP tersebut
dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) PT Adhi Karya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 9 ayat
(8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; |
|
c) |
Penelitian
terhadap kelima dokumen di atas, tidak dapat dipenuhi
secara lengkap oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) sehingga Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak
memperoleh keyakinan atas Pajak Masukan tersebut apakah telah sesuai
Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000; |
2) |
Uji
arus uang untuk menguji kebenaran adanya pembayaran PPN dan
menguji pemenuhan ketentuan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 9 ayat (2)
Undang-undang PPN; |
|
a) |
Melakukan
penelitian atas kelengkapan data/dokumen sebagai berikut:
- Bukti pengeluaran uang atas PPN oleh
Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) yang dapat berupa bukti ekstern penarikan uang
(debet) dari rekening koran Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding), atau;
- Bukti ekstern slip transfer bank atas nama
Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) ke rekening koran penerbit Faktur
Pajak atas pembayaran PPN;
- Bukti ekstern penerimaan uang atas PPN dari
penerbit Faktur Pajak, yang dapat berupa sisi kredit rekening
koran/kwitansi;
|
|
b) |
Penelitian
terhadap Uji Arus Uang tidak dapat dipenuhi secara
lengkap terutama slip transfer bank dan atau bukti ekstern penerimaan
uang dari penerbit Faktur Pajak; |
|
c) |
Maka
(koreksi) PPN tersebut belum dapat dibuktikan telah dibayar
sehingga bukan merupakan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1 angka 24 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000; |
- Bahwa terhadap pertimbangan hukum Majelis yang
membatalkan koreksi
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat tidak setuju karena
pertimbangan Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta
pembuktian yang nyata-nyata terungkap di persidangan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, yaitu sebagai
berikut:
- Bahwa sengketa atas koreksi Pajak Masukan sebesar
Rp388.728.067,00
ini merupakan sengketa pembuktian, akan tetapi dalam persidangan untuk
memutus sengketa ini Majelis tidak melakukan uji bukti terhadap
masing-masing Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi;
- Bahwa salah satu legal character yang melekat pada
PPN adalah
“Indirect Tax”, yaitu pemikul beban PPN dengan
penanggung
jawab atas pembayaran pajak (PPN) ke kas negara berada pada pihak yang
berbeda. Di dalam penerapannya, yang menjadi penanggung pajak (PPN)
adalah konsumen selaku pihak yang mengkonsumsi, sedangkan produsen
(Pengusaha Kena Pajak) bertugas memungut PPN tersebut dan
memperhitungkan dengan PPN yang telah dibayar pada saat perolehan
BKP/JKP dalam rangka membuat atau memproduksi BKP/JKP, karena PPN yang
telah dibayarkan oleh produsen tersebut pada akhirnya akan dibebankan
kepada konsumen. Karakter ini terlihat dengan mekanisme penerbitan
Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan;
- Bahwa metode penerapan sistem PPN di Indonesia yakni
metode Indirect
Substraction Method, dimana dalam menentukan nilai PPN yang harus
disetor oleh Pengusaha Kena Pajak, PKP tersebut dapat mengkreditkan
jumlah pajak yang telah dipungut oleh Supplier atau yang disebut Pajak
Masukan dari jumlah pajak yang dipungut dari Konsumen atau yang disebut
Pajak Keluaran;
- Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, kriteria Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan harus memenuhi syarat sebagai berikut :
- syarat formal, yaitu Pajak Masukan tersebut
tercantum dalam Faktur
Pajak yang memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN;
- syarat material, yaitu Pajak Masukan tersebut
dapat dibuktikan kebenaran transaksinya secara materiil;
- Bahwa terkait dengan pernyataan Majelis sebagaimana
telah disebutkan
di atas, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan yaitu:
- |
Dalam
UU KUP pada dasarnya memuat hal-hal sebagai berikut: |
|
1) |
Kewajiban
Wajib Pajak meliputi:
a) |
Mendaftarkan
diri untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus
untuk mendapatkan NPWP sebagai tanda pengenal bagi Wajib Pajak yang
bersangkutan (pasal 2); |
b) |
Menyampaikan
Surat Pemberitahuan (SPT), baik SPTMasa maupun SPT-Tahunan (pasal 3); |
c) |
Pembayaran
pajak, baik berupa pembayaran pajak masa (PPh pasal 21,
22, 23, 25 dan 26) maupun pembayaran pajak tahunan (PPh pasal 29 dan
kekurangan PPh pasal 21); |
d)
|
Menyelenggarakan
pembukuan dan pencatatan (pasal 28). |
e) |
Memberikan
keterangan dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan oleh
aparat perpajakan (pasal 29); |
|
|
2) |
Hak
Wajib Pajak, meliputi:
a) |
Menunda
penyampain SPT (pasal 3); |
b) |
Membetulkan
SPT (pasal 8); |
c) |
Menunda
pembayaran pajak (pasal 10); |
d)
|
Restitusi/kompensasi
kelebihan pembayaran (pasal 11); |
e) |
Mengajukan
keberatan atas surat-surat ketetapan yang dikeluarkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak dan atas pemotongan oleh pihak ketiga
serta mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak (pasal 25); |
|
|
3) |
Wewenang
pemerintah sebagai pemungutan pajak yang dalam hal ini dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak, meliputi:
a) |
Melakukan
penelitian terhadap SPT secara normal; |
b) |
Melakukan
pemeriksaan terhadap usaha Wajib Pajak sesuai dengan data dan informasi
perusahaan; |
c) |
Melakukan
penyidikan terhadap usaha Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan; |
d)
|
Melakukan
penetapan pajak; |
e) |
Melakukan
penagihan pajak dengan surat paksa; |
f) |
Melakukan
pengenaan saksi administrasi dan sanksi pidana; |
|
|
4) |
Kewajiban
pemerintah sebagai pemungut pajak; |
|
5) |
Ketentuan
sanksi administrasi dan sanksi pidana terhadap pelanggaran peraturan
perundang-undangan perpajakan; |
- |
Bahwa
suatu masalah yang sangat penting dalam hukum pembuktian adalah
masalah beban pembuktian. Pembagian beban pembuktian harus dilakukan
dengan adil, tidak berat sebelah, karena suatu pembagian beban
pembuktian yang berat sebelah a priori menjerumuskan pihak yang
menerima beban yang terlampau berat, dalam jurang kekalahan;
Menurut Malikul Adil dalam bukunya: “Pembaharuan Hukum
Perdata
kita” mengatakan bahwa “Hakim yang insaf akan arti
kedudukannya tidak akan lupa bahwa membagi-bagi beban pembuktian, ia
harus bertindak jujur dan sportif, tidak akan membebankan kepada satu
pihak untuk membuktikan hak yang tidak dapat dibuktikan”. Dan
penetapan beban pembuktian itu akhirnya banyak bergantung pada keadaan
in concreta;
Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat membuktikan
kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk membuktikan suatu negatif,
sesuatu hal yang negatif itu pada umumnya tidak mungkin (negative non
sunt probanda);
membuktikan bahwa tidak berhutang, tidak menerima uang, pada pokoknya
membuktikan yang serba tidak itu pada umumnya tidak mungkin atau sukar.
Oleh karena itu maka pembuktian suatu negatie should not be forced on a
person without very strong reasons, kata Paton. Dalam hubungan ini
Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 no. 547
K/Sip/1971 memutuskan, bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak
yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat dari
pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif yang tersebut
terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan;
Dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori tentang pembuktian yang
dapat merupakan pedoman bagi hakim: |
|
1) |
Teori
pembuktian
Menurut teori ini maka siapa yang mengemukakan sesuatu harus
membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar
hukum dari pada teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif
tidak mungkin dibuktikan. Peristiwa negatif tidak dapat menjadi dasar
dari suatu hak, sekalipun pembuktiannya mungkin, hal ini tidaklah
penting dan oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang.
Teori bloot affirmantief ini sekarang telah ditinggalkan; |
|
2) |
Teori
hukum subyektif
Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan
hukum subyektif atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif, dan
siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus
membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus
dibuktikan dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan
peristiwa-peristiwa khusus. Yang terakhir ini dibagi lebih lanjut
menjadi peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak
(rechtserzeugende tatsachen), peristiwa khusus yang bersifat
menghalang-halangi timbulnya hak (rechshindernde tatschen) dan peritiwa
khusus yang bersifat membatalkan hak (rechtsvernichtende tatschen).
Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus
yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan
tidak adanya peristiwa-peristiwa (syarat-syarat) umum dan adanya
peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menghalanghalangi dan yang
bersifat membatalkan. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, bahwa
kalau penggugat mengajukan tuntutan pembayaran harga penjualan, maka
tergugat harus membuktikan adanya persesuaian kehendak, harga serta
penyerahan, sedangkan kalau tergugat menyangkal gugatan penggugat
dengan menyatakan misalnya bahwa terdapat cacat pada persesuaian
kehendak atau bahwa hak menggugat itu batal karena telah dilakukan
pembayaran maka tergugatlah yang harus membuktikannya;
Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat
didasarkan atas hukum subyektif. Ini tidak selalu demikian, misalnya
pada gugat cerai. Keberatan-keberatan lainnya ialah, bahwa teori ini
terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas
persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa yang
bersifat prosesuil;
Di dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini
diatasi dengan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan
pengalihan beban pembuktian; |
|
3) |
Teori
hukum obyektif
Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa
penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan
hukum obyektif terhadap peristiwa yang ketentuan-ketentuan hukum
obyektif terhadap persitiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat
harus membuktikan kebenaran dari pada peristiwa yang diajukannya dan
kemudian mencari hukum obyektifnya untuk diterapkan pada peristiwa
tersebut. siapa yang misalnya harus mengemukakan adanya suatu
persetujuan harus mencari dalam undang-undang (hukum obyektif) apa
syarat-syarat sahnya persetujuan (pasal 1320 BW) dan kemudian memberi
pembuktiannya. Ia tidak perlu misalnya membuktikan adanya cacat dalam
persesuaian kehendak, sebab hal itu tidak disebutkan dalam pasal 1320
BW. Tentang adanya cacat ini harus dibuktikan oleh pihak lawan;
Hakim yang tugasnya menerapkan hukum obyektif pada peristiwa yang
diajukan oleh para pihak hanya dapat mengabulkan gugatan apabila
unsur-unsur yang ditetapkan oleh hukum obyektif ada. Jadi atas dasar
ini hukum obyektif yang diterapkan dapat ditentukan pembagian beban
pembuktian;
Teori ini sudah tentu tidak akan dapat menjawab persoalan-persoalan
yang tidak diatur oleh undang-undang. Selanjutnya teori ini bersifat
formalistis; |
|
4) |
Teori
hukum public
Menurut teori ini maka mencari kebenaran suatu peristiwa didalam
peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus
diberi wewenang yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Disamping itu
para pihak ada kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan
dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai sanksi
pidana; |
|
5)
|
Teori
hukum acara
Azas audi et alteram partem atau juga azas kedudukan prosesuil yang
sama dari pada pihak dimuka hakim merupakan azas pembagian beban
pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian
berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Oleh karena itu hakim harus
membebani pada pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut.
Kalau penggugat menggugat tergugat mengenai perjanjian jual beli, maka
sepatutnyalah kalau penggugat membuktikan tentang adanya jual beli itu
dan bukannya tergugat. Demikian pula siapa yang menguasai barang tidak
perlu membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut.
sebaliknya siapa yang hendak menuntut suatu barang dari orang lain ia
harus membuktikan bahwa ia berhak atas barang tersebut; |
- |
”Membuktikan”
menurut Prof. Dr. SSS, S.H., guru besar FH-UGM mengandung beberapa
pengertian: |
|
1) |
Membuktikan
dalam arti logis atau ilmiah Membuktikan berarti
memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan; |
|
2) |
Membuktikan
dalam arti konvensionil
Membuktikan berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya
yang mempunyai tingkatan-tingkatan:
- kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif
(conviction intime);
- kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction
raisonnee); |
|
3) |
Membuktikan
dalam hukum acara mempunyai arti yuridis Didalam ilmu
hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti
lawan;
Akan tetapi merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus.
Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
beperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian
pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak;
Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau suratsurat itu tidak
benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya
bukti lawan;
Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian
”historis” yang mencoba menetapkan apa yang telah
terjadi
secara konkreto. Baik pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka
membuktikan pada hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis
mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar;
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberikan
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan; |
- Bahwa sesuai dengan pertimbangan di atas menurut
Pasal 28 UU KUP,
Wajib Pajak/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Wajib
menyelenggarakan pembukuan/pencatatan dan menjadi kewenangan Direktorat
Jenderal Pajak/Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sesuai
dengan UU KUP untuk melakukan pemeriksaan dan penetapan pajak yang
dalam hal ini memerlukan klarifikasi berupa dokumen yang dibuat oleh
Wajib Pajak/Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
Dalam perkara pembuktian sesuai dengan pertimbangan di atas
dokumen-dokumen yang ada berada dan dibuat oleh Wajib Pajak/Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang hal ini tidak mungkin
pembuktian dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) karena hal ini merupakan kategori pembuktian suatu yang
negatif. Sesuatu hal yang negatif itu pada umumnya tidak mungkin
(negative non sunt probanda) untuk dibuktikan;
- Bahwa terkait dengan prosedur pengujian arus uang dan
arus barang
yang telah dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) berdasarkan KEP-754/PJ./2001 dan SE-10/PJ.52/2006 untuk
pemenuhan syarat formal dan syarat material faktur pajak masukan yang
dapat dikreditkan, Majelis telah mengabaikan hal ini dan tidak
mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan, padahal hal inilah yang
menjadi titik berat sengketa ini. Menurut Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) berdasarkan fakta kronologis pada saat pengajuan
keberatan dan persidangan dokumen yang telah disampaikan oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) bukan merupakan bukti yang
kompeten yaitu bukti yang valid dan relevan sebagaimana diatur dalam
PER-9/PJ/2010 dan menyalahi ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU KUP;
- Bahwa meskipun Majelis Hakim memiliki kewenangan untuk
menentukan
beban pembuktian dan alat bukti yang digunakan, namun Majelis Hakim
telah bersikap tidak berimbang dalam pembuktian di persidangan, karena
meletakkan beban pembuktian yang sulit untuk dilakukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan mengabaikan dalil-dalil
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka nyata-nyata pertimbangan
Majelis Hakim tersebut tidak sesuai dengan fakta persidangan sehingga
melanggar ketentuan dalam Pasal 76 dan Pasal 78 Undang-Undang
Pengadilan Pajak;.
- Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak
Nomor : Put. 46337/PP/M.III/16/2013 tanggal 18 Juli 2013 yang :
Menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding
terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-1237/WPJ.19/BD.05/2011
tanggal 14 Desember 2011, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak
September 2008 Nomor : 00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010
sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : KEP-00059/WPJ.19/ KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas
nama: PT XXX Tbk. NPWP: 01.001.610.3-051.000,
beralamat di Jalan Raya Pasar Minggu Km. 18, Jakarta Selatan 12510,
sehingga perhitungan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak September 2008
menjadi sebagaimana perhitungan di atas, adalah tidak benar serta
nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat :
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan,
karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya
permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor
: KEP-1237/WPJ.19/ BD.05/2011 tanggal 14 Desember 2011, mengenai
keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2008 Nomor :
00555/207/08/051/10 tanggal 08 Desember 2010 sebagaimana telah
dibetulkan dengan Keputusan Terbanding Nomor :
KEP-00059/WPJ.19/KP.0303/2011 tanggal 07 November 2011, atas nama
Pemohon Banding, NPWP: 01.001.610.3-051.000, sehingga pajak yang masih
harus dibayar menjadi nihil adalah sudah tepat dan benar dengan
pertimbangan :
- Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali
dalam
perkara a quo yaitu Koreksi atas Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan sebesar Rp388.728.067,00; tidak dapat dibenarkan, karena
setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam
Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon
Peninjauan Kembali tidak mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali
tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan
Pajak, karena dalam perkara a quo berupa klarifikasi atas jawaban
konfirmasi dijawab "Tidak Ada” maka apabila mungkin akan
terjadi
kerugian yang akan timbul tidak dapat dilimpahkan kepada Pemohon
Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali), sehingga Faktur Pajak
Masukan tetap dapat dikreditkan dan olehkarenanya koreksi Terbanding
sekarang Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dipertahankan karena
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam
Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal Pasal 1 angka 23 jo Pasal 13 ayat (5)
jo Pasal 16F Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-754/PJ./2001;
- Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan
Pajak yang
nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan
karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali :
DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan da
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.