Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 493/B/PK/PJK/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto,
No. 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
- ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding;
- GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di
Jalan Jenderal Gatot Subroto, No. 40-42, Jakarta berdasarkan Surat
Kuasa Khusus Nomor SKU-145/PJ./2016 tanggal 15 Januari 2016;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat;
melawan:
XXX, beralamat di DD
Tower Lantai YY, Jalan SS Kavling YY, Cilandak Barat,
Jakarta Selatan;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Tergugat, telah mengajukan permohonan
peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-64437/PP/M.XVA/99/2015, tanggal 5 Oktober 2015 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Penggugat, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa Penggugat dalam Surat Gugatannya Nomor : 134/S-008/2014 tanggal
20 Agustus 2014 pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut :
- DASAR HUKUM
Bahwa dasar hukum Permohonan Gugatan ini adalah Undang-Undang No. 16
Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 23
ayat (2) huruf b sebagai berikut:
Pasal 23
(2) Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
Bahwa Surat Keputusan Tergugat Nomor KEP-965/PJ.9/1991 tentang
pelaksanaan teknis tatacara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan
yang menjelaskan bahwa pemindahbukuan dapat dilakukan antar jenis pajak
yang sama atau berlainan, dari masa atau Tahun Pajak yang sama atau
berlainan, untuk wajib pajak yang sama atau berlainan dalam Kantor
Pelayanan Pajak yang sama atau berlainan;
- LATAR BELAKANG
Bahwa Perusahaan Penggugat telah keliru melakukan pembayaran PPh Final
Pasal 4 (2) atas jasa konstruksi Masa Pajak Desember 2011 yang telah
Penggugat setorkan pada tanggal 10 Oktober 2013 melalui Bank YYY
sejumlah Rp5.134.080.331,00 dengan perincian sebagai berikut:
SSP
Atas Nama |
Masa
Pajak |
Jumlah
(Rp) |
Kode Jenis Pajak |
Kode
Jenis Setoran |
Jenis Setoran |
XXX |
Desember
2011 |
5.134.080.331 |
4111128 |
409 |
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi |
Bahwa berdasarkan hasil konseling yang dilakukan antara Penggugat
dengan pihak Tergugat, Penggugat dihimbau untuk melakukan pembayaran
atas kekurangan pemotongan PPh Final 4 (2) yang dilakukan oleh lawan
transaksi Penggugat (dalam hal ini PLN) untuk Tahun Pajak 2011 sebesar
1% atau sebesar Rp. 5.134.080.331,00;
Bahwa atas PPh Final Pasal 4 (2) yang menurut Tergugat kurang dibayar
tersebut, Penggugat selaku wajib pajak dengan itikad baik telah
melunasi kekurangan bayar tersebut dengan menyetorkan
Rp.5.134.080.331,00 ke Kas Negara pada tanggal 10 Oktober 2013 yang
dibayarkan melalui Bank YYY dengan Nomor NTPN 0614110008140205 (asli
SSP terlampir);
Bahwa di lain pihak, PLN selaku lawan transaksi yang berkewajiban untuk
memotong PPh Final Pasal 4 ayat (2) ternyata telah terlebih dahulu
ditetapkan oleh Tergugat atas kekurangan bayar tersebut melalui SKPKB
PPh Pasal 4 (2) Tahun 2011 No.00024/240/11/051/13 tertanggal 26
September 2013 yang merupakan hasil pemeriksaan terhadap Kantor Pusat
PT PLN (Persero) atas kewajiban Pemotongan PPh Final Pasal 4 (2) Tahun
2011, dan hal ini telah dikonfirmasi kepada pihak PLN;
Bahwa atas SKPKB tersebut di atas, PLN telah melakukan pembayaran
melalui SSP yang dibayarkan pada tanggal 22 Oktober 2013 sejumlah
Rp12.159.279.141,00 dan Surat Keputusan Tergugat tentang pengembalian
Kelebihan pembayaran pajak kepada PT PLN (Persero) Kantor Pusat yang
dikompensasikan untuk SKPKB PPh Pasal 4 (2) Tahun 2011 sejumlah
Rp31.897.903.682,00;
Bahwa dengan demikian, telah terjadi dua kali penyetoran atas jenis
pajak yang sama, sehingga seharusnya bukan kewajiban bagi Penggugat
untuk membayarkan kekurangan pemotongan PPh Pasal 4 (2) sebesar
Rp5.134.080.331,00 tersebut karena PT PLN telah melunasinya melalui
pelunasan SKPKB PPh Pasal 4 (2) Tahun 2011 tersebut;
Bahwa Penggugat telah mengajukan Permohonan Pemindahbukuan atas
Pembayaran Pajak PPh Final Pasal 4 (2) atas Jasa Konstruksi Masa Pajak
Desember 2011 ke Pembayaran STP PPh Final Pasal 4 (2) masa Pajak
Desember 2011 nomor 00010/140/11/053/13 tanggal 24 Oktober 2013 yang
telah dibetulkan melalui Keputusan Tergugat Nomor
KEP-00095/WPJ.07/0703/2013 tanggal 31 Oktober 2013 sebagai berikut:
Semula:
Masa
Pajak |
Jenis
Pajak |
Kode
Jenis Pajak/ MAP |
Jumlah (Rp) |
Desember
2011 |
PPh
Final Pasal 4 (2) atas jasa
konstruksi |
411128-409
|
5.134.080.331 |
Menjadi:
Masa
Pajak |
Jenis
Pajak |
Kode
Jenis Pajak/ MAP |
Jumlah (Rp) |
Desember
2011 |
STP
PPhFinal Pasal 4 (2) |
411128-300 |
2.156.313.739 |
Januari
s/d Desember 2009 |
SKPKB
PPhFinal Pasal 4 (2) |
411128-310 |
2.977.766.592 |
- PENGAJUAN GUGATAN
Bahwa atas Permohonan Pemindahbukuan atas Pembayaran Pajak PPh Final
Pasal 4 (2) atas Jasa Konstruksi Masa Pajak Desember 2011 ke Pembayaran
STP PPh Final Pasal 4 (2) masa Pajak Desember 2011 Nomor
00010/140/11/053/13 tanggal 24 Oktober 2013 yang telah dibetulkan
melalui Keputusan Tergugat Nomor KEP-00095/WPJ.07/0703/2013 tanggal 31
Oktober 2013 ditolak oleh KPP Badora melalui S-6772/WPJ.07/KP.07/2014
tanggal 24 Juli 2014;
- KESIMPULAN
Bahwa Penggugat tidak setuju dengan S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24
Juli 2014 tentang Penolakan Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat
Permohonan Pemindahbukuan (PBK) oleh KPP Badora;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-64437/PP/M.XVA/99/2015, tanggal 5 Oktober 2015, yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan seluruhnya gugatan Pengugat terhadap Surat Tergugat Nomor :
S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Penolakan
Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat Permohonan Pemindahbukuan
(Pbk) dan memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan
pemindahbukuan sesuai dengan permohonan Penggugat, atas nama : XXX,
NPWP 02.xxxx, beralamat DD Tower Lantai YY, Jalan SS Kavling YY,
Cilandak Barat, Jakarta Selatan;
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-64437/PP/M.XVA/99/2015,
tanggal 5 Oktober 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali
pada tanggal 2 November 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-145/PJ./2016 tanggal 15 Januari 2016, diajukan
permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak pada tanggal 25 Januari 2016, dengan disertai
alasanalasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut
pada tanggal 25 Januari 2016;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 4 Maret
2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 1 April
2016;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali
ini adalah: Penerbitan Surat Tergugat Nomor: S-6772/WPJ.07/KP.07/2014
tanggal 24 Juli 2014 tentang Penolakan Permohonan dan Pengembalian
Berkas Surat Permohonan Pemindahbukuan (Pbk) yang tidak dipertahankan
oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat) membaca,
memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor :
Put.64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober 2015, maka dengan ini
menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut,
karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta
hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku dalam pemeriksaan sengketa Gugatan di Pengadilan Pajak atau
setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti
maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya,
sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah
digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra
legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku,
dengan penjelasan sebagai berikut:
- Bahwa pendapat dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak
atas
sengketa peninjauan kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan a
quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
Formal (halaman 9-10)
Bahwa Majelis berkesimpulan Surat Nomor: S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24
Juli 2014 adalah surat keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
keputusan atas Surat Nomor: S-7537/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 11
September 2012 dan Nomor S-8292/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 30 Oktober
2012, sehingga Majelis berwenang untuk memeriksa gugatan Penggugat atas
surat Nomor S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24 Juli 2014;
Materi (halaman 23 - 24)
Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap bukti P-6 diketahui PT
PLN telah diterbitkan SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak
Januari-Desember 2011 nomor 00024/240/11/051/13 tanggal 26 September
2013 sebesar Rp.44.057.182.823,00;
Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap bukti P-7 diketahui PT
PLN sebagai pihak lawan transaksi atau penerima jasa Penggugat
berdasarkan hasil pemeriksaan Tergugat kurang memotong PPh Final Pasal
4 ayat (2) untuk Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.312,00;
Bahwa berdasarkan penelitian Majelis atas SKPKB a quo, PT PLN telah
dilakukan pembayaran melalui perhitungan atas pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebesar Rp.31.897.903.682,00 berdasarkan Keputusan
Tergugat Nomor Kep-00059.PPH/WPJ.19/KP.0303/2013 tentang Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak Kepada PT PLN (Persero) Kantor Pusat tanggal
11 Oktober 2013 sesuai bukti P-10 dan melalui SSP tanggal 22 Oktober
2013 sebesar Rp.12.159.279.141,00 sesuai bukti P-4;
Bahwa Majelis berpendapat fakta yang terjadi adalah terhadap selisih
kekurangan Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi, Tergugat melakukan
himbauan kepada Penggugat sebagai penerima penghasilan jasa konstruksi
dan melakukan penagihan kepada PT PLN melalui SKPKB a quo;
Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap bukti P-3 diketahui
Penggugat melakukan pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk Masa
Pajak Desember Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.331,00 dengan SSP
bertanggal 10 Oktober 2013;
Bahwa Majelis berpendapat terdapat pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat
(2) untuk Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.331,00 oleh Penggugat sebagai
penyedia jasa dan sebesar Rp.5.134.080.312,00 oleh PT PLN sebagai
pemotong pajak sehingga terjadi suatu kewajiban perpajakan yang
dipenuhi oleh dua pihak;
Bahwa dalam persidangan, Tergugat menyatakan bahwa untuk menyesuaikan
dengan mekanisme Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi, PT PLN harus
mengajukan ketidaksetujuan terhadap SKPKB a quo;
Bahwa meskipun berdasarkan penelitian Majelis terhadap bukti P-6
diketahui PT PLN menyatakan tidak setuju terhadap jumlah yang harus
dibayar dalam SKPKB a quo, Tergugat tidak menyampaikan Surat Keberatan
PT PLN atas SKPKB a quo sehingga tidak ada bukti yang mendukung
pernyataan Tergugat;
Bahwa dalam persidangan Penggugat menyatakan bahwa PLN telah melakukan
penagihan kepada Penggugat secara lisan terhadap selisih kekurangan
Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi;
Bahwa Majelis berpendapat Tergugat telah menagih selisih kekurangan
Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi dengan cara menerbitkan SKPKB a
quo kepada PT PLN;
Bahwa oleh karena SKPKB a quo telah dibayar oleh PT PLN, Majelis
berpendapat Penggugat berhak meminta pengembalian kelebihan pembayaran
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi Tahun 2011 untuk
dipindahbukukan sesuai permohonan Penggugat sehingga Keputusan Tergugat
dalam Surat Nomor S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 yang
menolak permohonan pemindahbukuan Penggugat tidak memiliki dasar hukum
yang kuat sehingga tidak dapat dipertahankan;
- Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai
dasar pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah sebagai
berikut:
2.
1. |
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan UU KUP):
Pasal 4 ayat (2) huruf d
Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan; |
2.
2. |
Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009, antara lain mengatur:
Pasal 3 ayat (1)
Tarif Pajak Penghasilan untuk usaha Jasa Konstruksi adalah sebagai
berikut:
- 2% (dua persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil;
- 4% (empat persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi
yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha;
- 3% (tiga persen) untuk Pelaksanaan Konstruksi
yang
dilakukan oleh Penyedia Jasa selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b;
- 4% (empat persen) untuk Perencanaan Konstruksi
atau
Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki
kualifikasi usaha; dan
- 6% (enam persen) untuk Perencanaan Konstruksi
atau
Pengawasan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak
memiliki kualifikasi usaha;
Penjelasan Pasal 3 ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Kualifikasi usaha" adalah stratifikasi yang
ditentukan berdasarkan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi; yang dimaksud dengan "Penyedia Jasa
selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b
antara lain Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha menengah atau
kualifikasi usaha besar;
Pasal 5 ayat (1)
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2:
- Dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat
pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau
- Disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal
pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak;
Pasal 6 ayat (1)
Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan
berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan
tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa; |
2.
3. |
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor : 88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang
Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan, antara lain mengatur:
Pasal 3
Pemindahbukuan meliputi:
- Pemindahbukuan karena adanya kelebihan
pembayaran
pajak atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang berdasarkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak atau
surat keputusan lainnya yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran
pajak;
- Pemindahbukuan karena adanya pemberian bunga
kepada
Wajib Pajak akibat kelambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
- Pemindahbukuan karena diperolehnya kejelasan
Surat
Setoran Pajak (SSP) yang semula diadministrasikan dalam Bermacammacam
Penerimaan Pajak (BPP);
- Pemindahbukuan karena salah mengisi Surat
Setoran Pajak (SSP) baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib
Pajak lain;
- Pemindahbukuan karena adanya pemecahan setoran
pajak yang berasal dari Surat Setoran Pajak;
- Pemindahbukuan karena adanya pelimpahan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dalam rangka impor atas dasar inden sebelum
berlakunya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/1990 tentang
Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah untuk kegiatan usaha di bidang impor atas
dasar inden;
|
2.4. |
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, antara lain mengatur:
Pasal 1 angka 7
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku; |
2.5. |
Peraturan
Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan;
Pasal 37
Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang
diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain:
- Surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah
sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
- Surat Keputusan Pembetulan;
- Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya
telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
- Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
- Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
- Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak;
|
2.6. |
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan
Penyelesaian Keberatan
Pasal 4
- Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
2 ayat (1) untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
- Diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia;
- Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau
jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
- 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1
(satu) surat ketetapan pajak,
untuk 1 (satu) pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
- Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih
harus dibayar paling
sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum
Surat Keberatan disampaikan;
- Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal:
1) Surat ketetapan pajak dikirim; atau
2) Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga,
Kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
- Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib
Pajak, dan dalam
hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat
Keberatan tersebut harus dilampiri dengan suratkuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
- Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang KUP;
|
2.7. |
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, antara lain mengatur :
Pasal 69 ayat (1)
Alat bukti dapat berupa:
- Surat atau tulisan;
- Keterangan ahli;
- Keterangan para saksi;
- Pengakuan para pihak; dan/atau
- Pengetahuan Hakim;
Pasal 78
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
Pasal 91 huruf e
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai
berikut:
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;” |
- Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang
berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa gugatan di
Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan
Pengadilan Pajak Nomor: Put.64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober
2015 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon
Peninjauan Kembali (semula Penggugat) dan milik Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Tergugat) serta fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap
pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Tergugat)
menyatakan sangat keberatan dengan pendapat dan putusan Majelis Hakim
Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1. di atas dengan
alasan sebagai berikut:
3.1. |
Formal
- Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali, surat
Pemohon Peninjauan Kembali Nomor: S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24
Juli 2014 bukan merupakan objek gugatan sehingga tidak seharusnya
diperiksa dalam persidangan;
- Bahwa Majelis Hakim dalam amar pertimbangannya,
sebagaimana tercantum dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put.64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober 2015, menyatakan:
Bahwa Majelis berkesimpulan Surat Nomor : S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24
Juli 2014 adalah surat keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
keputusan atas Surat Nomor : S-7537/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 11
September 2012 dan Nomor S-8292/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 30 Oktober
2012, sehingga Majelis berwenang untuk memeriksa gugatan Penggugat atas
surat Nomor S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24 Juli 2014;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
- Bahwa pengaturan mengenai objek yang dapat
diajukan gugatan diatur dalam:
- Pasal 23 ayat (2) UU KUP, mengatur :
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
- Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah
Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
- Keputusan pencegahan dalam rangka
penagihan pajak;
- Keputusan yang berkaitan dengan
pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25
ayat (1) dan Pasal 26; atau
- Penerbitan surat ketetapan pajak atau
Surat
Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan
prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan hanya dapat diajukan kepada badan
peradilan pajak;
- Pasal 1 angka 7 UU Pengadilan Pajak Gugatan
adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap
keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
- Pasal 37 PP Nomor 74 Tahun 2011 Keputusan
yang
berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan
kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf c Undang-Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak selain:
- Surat ketetapan pajak yang penerbitannya
telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
- Surat Keputusan Pembetulan;
- Surat Keputusan Keberatan yang
penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan;
- Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi;
- Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi;
- Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan
Pajak;
- Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan
Pajak; dan;
- Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak;
- Bahwa dalam putusan ini, Majelis Hakim telah
menjelaskan dan menguraikan unsur-unsur keputusan/beschikking yang
diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yakni diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang konkret, individual, dan final;
- Bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa surat
Pemohon
Peninjauan Kembali a quo, telah memenuhi unsur sebagai objek gugatan
sesuai Pasal 23 ayat (2) huruf c UU KUP, yakni keputusan yang berkaitan
dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam
Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali tidak
sependapat
dengan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa surat Pemohon Peninjauan
Kembali memenuhi kualifikasi sebagai objek gugatan dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf c UU KUP, dengan pertimbangan :
- Bahwa sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) huruf
c UU
KUP diatur bahwa keputusan yang dapat diajukan gugatan adalah terhadap
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan,
selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26. Ketentuan
tersebut mensyaratkan bahwa adanya 2 (dua) keputusan berjenjang sebagai
dasar dapat dilakukannya gugatan yaitu:
- 1 (satu) Keputusan Perpajakan;
- 1 (satu) Keputusan Pelaksanaan Keputusan tersebut;
- Bahwa berdasarkan kronologis di atas
Tergugat berpendapat bahwa surat Nomor S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24
Juli 2014
tentang penolakan permohonan dan pengembalian berkas surat permohonan
pemindahbukuan (Pbk) bukan lah merupakan keputusan yang berkaitan
dengan pelaksanaan keputusan perpajakan;
- Bahwa terhadap argumen Penggugat dalam
persidangan yang menyatakan bahwa sudah terdapat 2 (dua) keputusan
berjenjang yaitu satu surat keputusan berupa surat himbauan Nomor
S-7537/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 11 September 2012 dan satu surat
keputusan berupa S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang
penolakan permohonan dan pengembalian berkas surat permohonan
pemindahbukuan (Pbk) sehingga surat penolakan sudah merupakan obyek
gugatan, dapat Tergugat sampaikan tanggapan sebagai berikut:
- Bahwa sesuai dengan Pasal 1 angka 9 UU PTUN
diatur bahwa yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata;
- Bahwa kepada Penggugat, Tergugat
menerbitkan dan
mengirimkan surat himbauan sebanyak 2 (dua) kali untuk melakukan
pembayaran kekurangan pemotongan PPh final Pasal 4 ayat (2) yaitu
S-7537/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 11 September 2012 dan
S-8292/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 30 Oktober 2012;
- Bahwa kedua surat himbauan tersebut
berisikan
himbauan untuk membayar dan juga memberikan kesempatan kepada Penggugat
untuk menghubungi Account Representative pada KPP apabila menemui
kesulitan dan memerlukan bantuan dalam rangka memenuhi kewajiban
perpajakan;
- Bahwa kedua surat Tergugat tersebut
merupakan suatu tindakan
pelayanan kepada Penggugat dan surat tersebut tidak bisa menjadi dasar
untuk melakukan tindakan pemaksaan atau penyitaan asset Penggugat
apabila surat himbuan tersebut tidak dipenuhi. Dengan demikian surat
tersebut belum menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat sehingga surat
tersebut bukan merupakan suatu keputusan sebagaimana dimaksud dalam UU
PTUN;
|
3.2. |
Materi
Kronologis Penerbitan Surat yang Menjadi Pokok Sengketa Bahwa Kronologi
penerbitan Surat Tergugat Nomor: S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24
Juli 2014 tentang Penolakan Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat
Permohonan Pemindahbukuan (Pbk) adalah sebagai berikut:
- 16 Agustus 2012 Penggugat melaporkan SPT
Tahunan PPh Badan Tahun 2011
sesuai dengan Lampiran IV SPT Penggugat melaporkan penghasilan berikut:
Imbalan jasa pelaksanaan konstruksi sebesar Rp981.430.016.616 PPh yang
sudah dipotong (3%) sebesar Rp 29.442.900.498
- 11 September 2012 Berdasarkan penelitian SPT
tersebut Tergugat
melakukan himbuan kepada Penggugat dengan surat himbauan nomor
S-7537/WPJ.07/ KP.07/ 2012 tanggal 11 September 2012 untuk melakukan
pembayaran atas selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang
terutangberdasarkan nilai kontrak jasa konstruksi. Hal ini merujuk pada
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 40 Tahun 2009 yaitu:
Besarnya tarif pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) adalah: 4%, apabila
pihak pelaksana konstruksi tidak memiliki kualifikasi usaha konstruksi.
Dalam hal terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang
berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan
berdasarkan pembayaran yang telah dipotong atau disetor sendiri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), selisih kekurangan
tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa. Bahwa Penggugat tidak
memiliki kualifikasi usaha sehingga tarif PPh yang berlaku seharusnya
adalah 4%.
Sehingga dilakukan himbauan untuk membayar kekurangan pajak yaitu:
Imbalan jasa pelaksanaan konstruksi sebesar Rp981.430.016.616
PPh yang sudah dipotong (3%) sebesar Rp 29.442.900.498
PPh seharusnya (4) sebesar Rp. 39.257.200.665
Selisih kurang bayar (hams disetor) Rp. 9.814.300.166
- 30 Oktober 20l2 Tergugat menerbitkan dan
mengirimkan surat him bauan
kedua atas pembayaran kekurangan pemotongan PPh Final Pasal 4 ayat (2)
karena atas himbauan sebelumnya tidak ditanggapi Penggugat dengan surat
Nomor S-8292/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 30 Oktober 2012;
- Nov 2012 s.d Oktober2013 Penggugat melakukan
konsultasi kepada
Tergugat dan menurut Penggugat jumlah DPP yang belum dipenuhi adalah
sebesar Rp 518.008.033.100, berdasarkan bukti potong dari PLN, sehingga
kekurangan 1% nya adalah sebesar Rp 5.134.080.331,00;
- 10 Oktober 2013 Atas himbauan dan konsultasi
tersebut Penggugat
menyetorkan kekurangan PPh Final Pasal ayat (2) atas Jasa Konstruksi
sebesar Rp5.134.080.331,00;
- 20 Juni 2014 Penggugat mengajukan permohonan
pemindahbukuan atas
penyetoran sebesar Rp 5.134.080.331,00 tersebut dengan alasan keliru
melakukan penyetoran, dari pembayaran Pajak PPh Final Pasal 4 ayat (2)
atas Jasa Konstruksi Masa Pajak Desember 2011 ke pembayaran hutang
pajak yang lain (STP PPh Final Pasal 4 ayat (2) sebesar
Rp2.156.313.739,00 dan ke pembayaran SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2)
sebesar Rp2.977.766.592,00). Menurut Penggugat kekeliruan tersebut
didasari bahwa pihak PLN sebagai pemotong sudah diperiksa dan sudah
ditagih atas kekurangan pajak tersebut sehingga terjadi 2 kali
penyetoran atas jenis pajak yang sama;
- 24 Juli 2014 Atas permohonan tersebut dijawab
Tergugat dengan surat
S-6772/WPJ.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang penolakan permohonan
dan pengembalian berkas surat permohonan pemindahbukuan (Pbk) dengan
alasan pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) Jasa Konstruksi sebesar Rp
5.134.080.331,00 yang didasarkan pada himbauan sesuai dengan surat
S-7537/WPJ.07/KP.07/2012 tanggal 11 September 2012 tidak terjadi
kekeliruan atau kesalahan bayar;
- 20 Agustus 2014 Atas penolakan permohonan dan
pengembalian berkas
surat permohonan pemindahbukuan (Pbk) tersebut Penggugat mengajukan
Surat gugatan ke Pengadilan Pajak denqan surat nomor 134/S-008/2014
tanggal 20 Agustus 2014;
- Bahwa Majelis Hakim Pengadian Pajak dalam amar
pertimbangannya menyatakan sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap
bukti P-6 diketahui PT
PLN telah diterbitkan SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak
Januari-Desember 2011 nomor 00024/240/11/051/13 tanggal 26 September
2013 sebesar Rp.44.057.182.823,00;
- Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap
bukti P-7 diketahui PT
PLN sebagai pihak lawan transaksi atau penerima jasa Penggugat
berdasarkan hasil pemeriksaan Tergugat kurang memotong PPh Final Pasal
4 ayat (2) untuk Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.312,00;
- Bahwa berdasarkan penelitian Majelis atas
SKPKB a quo, PT PLN telah
dilakukan pembayaran melalui perhitungan atas pengembalian kelebihan
pembayaran pajak sebesar Rp.31.897.903.682,00 berdasarkan Keputusan
Tergugat Nomor Kep-00059.PPH/WPJ.19/KP.0303/2013 tentang Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak Kepada PT PLN (Persero) Kantor Pusat tanggal
11 Oktober 2013 sesuai bukti P-10 dan melalui SSP tanggal 22 Oktober
2013 sebesar Rp.12.159.279.141,00 sesuai bukti P-4;
- Bahwa Majelis berpendapat fakta yang terjadi
adalah terhadap selisih
kekurangan Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi, Tergugat melakukan
himbauan kepada Penggugat sebagai penerima penghasilan jasa konstruksi
dan melakukan penagihan kepada PT PLN melalui SKPKB a quo;
- Bahwa berdasarkan penelitian Majelis terhadap
bukti P-3 diketahui
Penggugat melakukan pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk Masa
Pajak Desember Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.331,00 dengan SSP
bertanggal 10 Oktober 2013;
- Bahwa Majelis berpendapat terdapat pembayaran
PPh Final Pasal 4 ayat
(2) untuk Tahun 2011 sebesar Rp.5.134.080.331,00 oleh Penggugat sebagai
penyedia jasa dan sebesar Rp.5.134.080.312,00 oleh PT PLN sebagai
pemotong pajak sehingga terjadi suatu kewajian perpajakan yang dipenuhi
oleh dua pihak;
- Bahwa dalam persidangan, Tergugat menyatakan
bahwa untuk menyesuaikan
dengan mekanisme Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi, PT PLN harus
mengajukan ketidaksetujuan terhadap SKPKB a quo;
- Bahwa meskipun berdasarkan penelitian Majelis
terhadap bukti P-6
diketahui PT PLN menyatakan tidak setuju terhadap jumlah yang harus
dibayar dalam SKPKB a quo, Tergugat tidak menyampaikan Surat Keberatan
PT PLN atas SKPKB a quo sehingga tidak ada bukti yang mendukung
pernyataan Tergugat;
- Bahwa dalam persidangan Penggugat menyatakan
bahwa PLN telah
melakukan penagihan kepada Penggugat secara lisan terhadap selisih
kekurangan Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi;
- Bahwa Majelis berpendapat Tergugat telah
menagih selisih kekurangan
Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi dengan cara menerbitkan SKPKB a
quo kepada PT PLN;
- Bahwa oleh karena SKPKB a quo telah dibayar
oleh PT PLN, Majelis
berpendapat Penggugat berhak meminta pengembalian kelebihan pembayaran
PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi Tahun 2011 untuk
dipindahbukukan sesuai permohonan Penggugat sehingga Keputusan Tergugat
dalam Surat Nomor S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 yang
menolak permohonan pemindahbukuan Penggugat tidak memiliki dasar hukum
yang kuat sehingga tidak dapat dipertahankan;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon
Peninjauan Kembali tidak
sependapat dengan Majelis Hakim Pengadilan Pajak, dengan pertimbangan
sebagai berikut:
- Mekanisme pemotongan dan penyetoran sendiri
- Bahwa sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi berlaku maka
ketentuan yang berlaku untuk Tahun Pajak sebelum 2008 adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 140 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dan Usaha Jasa Konstruksi, dengan tarif yang berlaku untuk
jasa pelaksanaan konstruksi adalah tarif tunggal 2%;
- Bahwa untuk Tahun Pajak 2008 dan seterusnya
berdasarkan Pasal 3 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009 ditetapkan berbagai
tarif PPh Final atas jasa konstruksi sesuai dengan jenis pekerjaan
konstruksi dan kepemilikan kualifikasi usaha. Suatu perusahaan yang
bergerak di bidang jasa pelaksanaan konstruksi bisa dikenakan tarif PPh
nya antara 2% atau 3% atau 4% tergantung dengan kualifikasi usahanya;
- Bahwa mekanisme pembayaran PPh yang
terutang atas usaha jasa konstruksi dilakukan melalui:
- Pemotongan oleh Pengguna Jasa dalam hal
Pengguna Jasa merupakan merupakan pemotong pajak atau;
- Penyetoran sendiri oleh Penyedia Jasa,
dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak;
- Bahwa apabila mekanisme pemotongan maupun
penyetoran sendiri sudah
dilakukan namun pada kenyataannya terdapat selisih kekurangan
pembayaran PPh yang terutang yang disebabkan berbagai hal termasuk
dalam hal ini penerapan tarif yang berbeda-beda atas jasa konstruksi
maka mekanisme yang tersedia menurut Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2008 adalah atas selisih kekurangan pembayaran PPh tersebut
dilakukan dengan mekanisme penyetoran sendiri oleh Penyedia Jasa.
Tujuan dari perlakuan mekanisme penyetoran sendiri atas selisih
kekurangan pemotongan oleh pengguna jasa adalah agar apabila terjadi
selisih kekurangan
pembayaran PPh nya, pengguna jasa sebagai pemotong yang sudah melakukan
pemotongan tidak terbebani dengan sanksi perpajakan yang akan timbul
atas kekurangbayaran PPh tersebut.
Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya selisih kekurangan
pembayaran PPh yang disebabkan oleh tarif antara lain adalah:
- Terjadinya perubahan kualifikasi usaha
Penyedia Jasa seperti
perubahan jasa pelaksanaan dari kualifikasi usaha kecil (2%) menjadi
kualifikasi usaha menengah atau besar (3%) dan hal itu diluar
pengetahuan si Pengguna jasa;
- Terjadinya perbedaan penafsiran
penerapan tarif yang berlaku;
- Bahwa mekanisme pembayaran PPh yang
terutang atas jasa konstruksi
yang menerapkan mekanisme melalui pemotongan maupun mekanisme
pembayaran sendiri atas kekurangan PPh yang terutang sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tersebut merupakan suatu
sistem pemenuhan kewajiban perpajakan dengan metode semi pemotongan.
Bahwa berbeda halnya dengan system pemotongan yang diatur dalam PPh
penghasilan lainnya yang dikenakan PPh final seperti PPh Final atas
Persewaan Tanah/Bangunan dimana mekanisme yang diatur sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 tentang Pembayaran Pajak
penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan
yang mengenakan tarif tunggal 10% adalah mekanisme pelunasan PPh yang
terutang melalui metode pemotongan penuh (full withholding tax system)
yaitu kewajiban pelunasan PPh nya sepenuhnya berada pada penyewa
apabila penyewa merupakan pemotong dan apabila ada selisih kekurangan
pemotongan maka hal itu merupakan tanggung jawab si pemotong;
- Bahwa berdasarkan penelitian SPT Tahunan
PPh Badan Tahun Pajak 2011
pada Lampiran IV SPT Penggugat melaporkan penghasilan final dari usaha
jasa konstruksi dengan tarif pemotongan yang dilakukan pengguna jasa
sebesar 3%;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008
tarif 3% diterapkan apabila jasa Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan
oleh Penyedia Jasa memiliki kualifikasi usaha menengah atau kualifikasi
usaha besar yang dibuktikan dengan sertifikasi yang dikeluarkan oleh
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK);
- Bahwa Penggugat mengadakan kontrak dengan
PT PLN berupa jasa
pelaksanaan konstruksi. Bahwa dalam pelaksanaan pemotongan PPh Final
atas jasa konstruksi yang dilakukan PT PLN, Penggugat dalam
negosiasinya kepada PLN berpendapat bahwa Penggugat memiliki
kualifikasi usaha menengah atau besar sehingga PPh yang terutang adalah
3% sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, meskipun
pada kenyataannya belum ada sertifikat dari LPJK. Argumen yang
dijadikan Penggugat sebagai dasar bahwa Penggugat telah memiliki
kualifikasi usaha adalah bahwa Penggugat adalah Badan Usaha Jasa
Konstruksi Asing (BUJKA) dimana menurut Penggugat Izin Perwakilan BUJKA
dapat diperlakukan sebagai pengganti sertifikat LPJK;
- Bahwa pendirian Penggugat yang tetap
berpendapat bahwa Penggugat
harusnya dikenakan PPh Final 3% meskipun tidak memiliki kualifikasi
usaha adalah terbukti dari surat banding yang diajukan Penggugat atas
koreksi yang dilakukan Tergugat pada sengketa PPh Final Tahun Pajak
2009 yang sampai saat ini masih disidangkan;
- Bahwa oleh karena menurut Tergugat,
Penggugat tidak memiliki
sertifkasi kualifikasi usaha yang diterbitkan oleh LPJK, maka sesuai
dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008, maka atas
usaha pelaksanaan jasa konstruksi Penggugat dikenakan tarif 4%;
- Bahwa oleh karena itu Tergugat menyampaikan
himbauan kepada
Penggugat untuk melakukan pembayaran selisih kekurangan pajak yang
disadarkan pada ketentuan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
51 Tahun 2008.
Bahwa berdasarkan surat himbauan tersebut Penggugat dengan kesadaran
sendiri melakukan pembayaran atas selisih kekurangan pembayaran PPh
Final tersebut;
- Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas
Tergugat berpendapat bahwa
penerapan tarif 4%, surat himbauan Tergugat, pembayaran selisih
kekurangan pembayaran yang dilakukan penggugat sudah sesuai dengan
mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2009;
- Mekanisme Pemindahbukuan (Pbk)
- Bahwa terhadap pembayaran selisih
kekurangan pembayaran yang
dilakukan Penggugat sebagaimana dijelaskan di atas Penggugat mengajukan
Permohonan Pemindahbukuan (Pbk) dengan alasan Penggugat telah keliru
melakukan Pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) dan telah terjadi dua
kali penyetoran atas jenis pajak yang sama karena PLN telah dikenakan
SKPKB atas transaksi tersebut;
- Bahwa sesuai dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor :
88/KMK.04/1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang Tata Cara Pembayaran
Pajak Melalui Pemindahbukuan, diatur bahwa Pemindahbukuan yang dapat
dilakukan adalah atas keadaankeadaan berikut ini:
- Pemindahbukuan karena adanya kelebihan
pembayaran pajak atau telah
dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang berdasarkan
Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak atau surat keputusan lainnya
yang menyebabkan timbulnya kelebihan pembayaran pajak;
- Pemindahbukuan karena adanya pemberian
bunga kepada Wajib Pajak
akibat kelambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
- Pemindahbukuan karena diperolehnya
kejelasan Surat Setoran Pajak
(SSP) yang semula diadministrasikan dalam Bermacam-macam Penerimaan
Pajak (BPP);
- Pemindahbukuan karena salah mengisi Surat
Setoran Pajak (SSP) baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib
Pajak lain;
- Pemindahbukuan karena adanya pemecahan
setoran pajak yang berasal dari Surat Setoran Pajak;
- Pemindahbukuan karena adanya pelimpahan
Pajak Penghasilan Pasal 22
dalam rangka impor atas dasar inden sebelum berlakunya Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 539/KMK04/1990 tentang Pajak Penghasilan Pasal
22, Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
untuk kegiatan usaha di bidang impor atas dasar inden;
- Bahwa dari penjelasan Tergugat mengenai
mekanisme pembayaran selisih
kekurangan tersebut di atas, bahwa pembayaran yang dilakukan Penggugat
sudah benar. Demikian juga dari bukti fisik SSP yang diminta Penggugat
untuk di Pbk tidak ada keadaan yang memenuhi syarat sebagaimana diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor :88/KMK.04/1991 tanggal 24
Januari 1991 termasuk tidak ada kesalahan pengisian SSP, dengan
demikian tidak ada alasan untuk dilakukan Pemindahbukuan (Pbk);
- Bahwa alasan Penggugat yang mendasarkan
pada adanya dua kali
penyetoran atas jenis pajak yang sama karena PLN telah dikenakan SKPKB
atas transaksi tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk dilakukan
Pemindahbukuan (Pbk). Sebagaimana Tergugat jelaskan di atas bahwa
Penggugat sendiri dalam negosiasinya ke PLN berpendapat bahwa Penggugat
seharusnya dikenakan tarif 3% dan PLN melakukan pemotongan sebesar 3%.
Apabila ternyata PLN ditagih juga dengan SKPKB atas kekurangan
pemotongan tersebut dan Penggugat berpendapat terjadi 2 kali pemajakan
maka mekanisme yang tersedia adalah pengajuan permohohan agar SKPKB
ditinjau kembali melalui PLN. Sesuai dengan bukti SKPKB atas nama PLN
yang disampaikan Penggugat dalam persidangan terdapat bukti bahwa PT
PLN tidak setuju dengan Jumlah PPh yang masih harus dibayar dalam SKPKB
tersebut;
- Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di
atas Tergugat berpendapat
bahwa surat Tergugat Nomor S-6772/WPJ.07/KP.03/2014 tanggal 24 Juli
2014 Tentang Penolakan Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat
Permohonan Pemindahbukuan (Pbk) telah benar;
|
- Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Surat
Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-6772/WPJ.07/KP.03/2014 tanggal 24 Juli 2014
Tentang Penolakan Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat Permohonan
Pemindahbukuan (Pbk) telah sesuai dengan peraturan perpajakan yang
berlaku, sehingga terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put-64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober 2015, Tergugat melakukan
upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi)
tersebut
di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan
nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara
a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada
pemeriksaan sengketa gugatan di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah
salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang
perpajakan, sehingga putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi
ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak.
Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put.64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober 2015, terkait sengketa a
quo, harus dibatalkan;
- Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak
Nomor Put.64437/PP/M.XVA/99/2015 tanggal 05 Oktober 2015 yang
menyatakan:
Mengabulkan seluruhnya gugatan Penggugat terhadap Surat Tergugat Nomor
: S-6772/WPJ.07/ KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Penolakan
Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat Permohonan Pemindahbukuan
(Pbk) dan memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan
pemindahbukuan sesuai dengan permohonan Penggugat, atas nama : XXX,
NPWP 02.072.365.6-053.000,
beralamat Alamanda Tower Lt. 26, Jl. TB Simatupang Kav. 23-24, Cilandak
Barat, Jakarta Selatan;
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan
seluruhnya gugatan Penggugat terhadap Surat Tergugat Nomor :
S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014, mengenai Penolakan
Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat Permohonan Pemindahbukuan
(Pbk) dan memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan
pemindahbukuan sesuai dengan permohonan atas nama Penggugat, NPWP :
02.072.365.6-053.000, adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
- Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali
dalam
perkara a quo yaitu Penerbitan Surat Tergugat Nomor :
S-6772/WPJ.07/KP.07/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Penolakan
Permohonan dan Pengembalian Berkas Surat Permohonan Pemindahbukuan
(Pbk) yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak
tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali
dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali
tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang
terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan
Pajak, karena dalam perkara a quo berdasarkan bukti pendukung (P-3 s.d.
P-7 dan P-10) para pihak baik PT PLN maupun Penggugat telah melakukan
kewajiban pembayaran PPh Pasal 4 ayat (2) atas Jasa Konstruksi,
sehingga Penggugat berhak meminta pengembalian kelebihan pembayaran
untuk dipindahbukukan dan olehkarenanya koreksi Tergugat (sekarang
Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat
dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan
Pasal 11 ayat (2) jo Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo Pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Pajak Penghasilan;
- Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan
Pajak
yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan
karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali :
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Rabu, tanggal 5 April 2017, oleh Dr. H. CCC, S.H.,
M.S. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, AAA, S.H., M.H. dan Dr. BBB, S.H.,
CN. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD, S.H., M.H.
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para
pihak;
Anggota
Majelis :
ttd./AAA, S.H., M.H.
ttd./Dr. BBB, S.H.,
CN.
|
|
Ketua
Majelis,
ttd./Dr. H. CCC, S.H.,
M.S. |
|
|
|
Biaya -
biaya :
1. Meterai...................... Rp
6.000,00
2. Redaksi .................... Rp
5.000,00
3. Administrasi ............. Rp
2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp
2.500.000,00 |
|
Panitera
Pengganti,
ttd./DDD, S.H., M.H. |
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.