Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1182/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot
Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberikan kuasa
kepada:
- ABC, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat
Jenderal Pajak;
- DEF, jabatan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi,
Direktorat Keberatan dan Banding;
- GHI, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit
Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- JKL, jabatan Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali
dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3017/PJ./2014, tanggal 11
November 2014;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT. XXX, beralamat di Gedung B Tower Lantai YY, Jalan PP Nomor
Y, Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20xxx;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-54349/PP/M.IVB/16/2014, tanggal 14 Agustus 2014, yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai
berikut:
Menimbang, bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor
013/MLN-ACCT/III/2013 tanggal 1 Maret 2013, pada pokoknya mengemukakan
hal-hal sebagai berikut:
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa, dan dipertahankan oleh
Peneliti Keberatan berupa koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
atas pembelian pupuk dan pembelian lainnya sejumlah Rp41.335.405,00.
Dasar dilakukan koreksi adalah Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pasal 2 huruf
c PP Nomor 31 Tahun 2007 dan SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011
serta Surat Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Besar Nomor
S-2362/WPJ.19/2011 tanggal 30 November 2011;
Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, tidak seharusnya Pemeriksa
melakukan koreksi atas Pajak Masukan pembelian pupuk dan pembelian
lainnya, dan tetap dipertahankan oleh Peneliti Keberatan, dengan dasar
argumentasi/alasan sebagai berikut:
a) |
Pasal
1 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN),
menyatakan:
Angka 2
“Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud”;
Angka 3
“Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam
angka
2 yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”;
Angka 4
“Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.” |
b) |
Pengertian
Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam UU
PPN, tepatnya pada Pasal 1A ayat (1), dengan jelas menyatakan:
“yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah:
- penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian;
- pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu
perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
- penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang;
- pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas
Barang Kena Pajak;
- persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut
tujuan semula
tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva
tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
- penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang
atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
- penyerahan Barang Kena Pajak secara
konsinyasi”;
bahwa sementara itu, Memori Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d dari
UU PPN, menjelaskan bahwa:
“Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan
pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi
sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma
diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang
produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian
contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli”; |
c) |
TBS
yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang
selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan
Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP
tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;
bahwa karena TBS ini:
- dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan
(Badan Usaha) yang sama (bernama: Pemohon Banding); dan
- dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam
rangka
menghasilkan barang jadi berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel
(PK) di Pemohon Banding;
bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian
Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut:
“Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak
untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”;
Sementara itu, pengertian dari ‘tujuan produktif’
secara
jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga,
yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan
Jasa
Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak
dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai
hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang
bersangkutan”;
bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila
Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit
Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan
(Kelapa Sawit) Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari
pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007; |
d) |
Pasal
9 Ayat (5) dari UU PPN, secara lengkap menyatakan:
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain
melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang
tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak
dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan
dengan penyerahan yang terutang pajak”;
bahwa cuplikan Memori Penjelasan Pasal 9 ayat (5) dari UU PPN,
menyatakan:
"Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak
adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai”;
"Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa
yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sebagaimana dimaksud Pasal 16B”; |
e) |
Pada
Masa Pajak Desember 2010 tersebut, seluruh penyerahan Barang
Kena Pajak (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan
Material) dan Jasa Kena Pajak (berupa: Ongkos Angkut dan Kompensasi
atas Pemakaian Fasilitas Bersama) yang Pemohon Banding lakukan adalah
dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni terutang PPN dengan
tarif 10 % (berupa penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri, dan
penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut sesuai dengan SK Menkeu Nomor
291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997);
bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN
dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang
dilakukan oleh Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan
Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang
Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, telah
diterapkan oleh Pemohon Banding sesuai dengan pengaturan yang
sebenarnya;
bahwa Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas
(berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm, Material, Ongkos
Angkut dan Kompensasi atas Pemakaian Fasilitas Bersama) yang dikoreksi
oleh Terbanding dan menjadi sengketa pajak ini, dapat dikreditkan oleh
Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon Banding mohon agar banding
Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau
ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012 tanggal 12
Desember 2012 tersebut di atas;
bahwa demikianlah permohonan banding ini Pemohon Banding sampaikan.
Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, Pemohon Banding ucapkan
terima kasih; |
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put-54349/PP/M.IVB/16/2014, tanggal 14 Agustus 2014, yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
MENGADILI
Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012 tanggal 12
Desember 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2010
Nomor 00154/207/10/092/12 tanggal 18 April 2012, atas nama PT. XXX,
NPWP: 01.xxxx beralamat di Gedung B Tower Lantai YY, Jalan PP Nomor Y,
Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20xxx, sehingga Pajak dihitung
kembali menjadi
sebagai berikut:
Dasar
Pengenaan Pajak |
|
Atas
Penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN |
|
-
Ekspor |
Rp
17.493.969.959,00 |
-
Penyerahan yang PPN harus dipungut sendiri |
Rp
11.692.142.380,00 |
-
Penyerahan yang PPN-nya dipungut pemungut PPN |
Rp
0,00 |
-
Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut |
Rp
57.776.029.209,00 |
-
Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN |
Rp
0,00 |
Jumlah |
Rp
86.962.141.548,00 |
Penyerahan
Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN |
Rp
0,00 |
Jumlah
seluruh penyerahan |
Rp
86.962.141.548,00 |
Penghitungan
PPN kurang/lebih bayar |
|
Pajak
Keluaran yang harus dipungut sendiri |
Rp
1.169.214.223,00 |
Dikurangi: |
|
-
PPN yang disetor dimuka dalam masa pajak yang sama |
Rp
0,00 |
-
Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan |
Rp
1.160.162.673,00 |
-
Dibayar dengan NPWP sendiri |
Rp
9.051.550,00 |
-
Lain-lain |
Rp
0,00 |
Jumlah |
Rp
1.169.214.223,00 |
Jumlah
Pajak yang dapat diperhitungkan |
Rp
1.169.214.223,00 |
Jumlah
perhitungan PPN kurang/(lebih) bayar |
Rp
0,00 |
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-54349/PP/M.IVB/16/2014,
tanggal 14 Agustus 2014 diberitahukan kepada Terbanding pada tanggal 04
September 2014, kemudian terhadapnya oleh Terbanding dengan perantaraan
kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3017/PJ./2014,
tanggal 11 November 2014, diajukan permohonan peninjauan kembali secara
tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 28 November
2014, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 28 November 2014;
Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 21 Januari
2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 26
Februari 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan
alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali
ini adalah:
Tidak dipertahankannya Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp41.335.405,00 oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak sesuai dan
bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
dan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-90/PJ/2011;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca,
memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014, maka dengan ini
menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut,
karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta
hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku dalam pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak atau
setidaktidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti
maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya,
sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah
digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang
nyatanyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra
legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
- Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada
halaman 29 atas
sengketa peninjauan kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan a
quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan dalam persidangan dan
ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis berkesimpulan
bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN, pajak masukan
tidak dapat dikreditkan apabila terjadi penyerahan barang yang
dibebaskan dari pengenaan PPN, karena Pemohon Banding terbukti tidak
menyerahkan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, maka pajak
masukannya dapat dikreditkan, sehingga koreksi Terbanding atas pajak
masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp41.335.405,00 tidak dapat
dipertahankan;
- Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai
dasar
pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah sebagai berikut:
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000;
Pasal 1 angka 2
“Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau
hukumnya
dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang
tidak berwujud”.
Pasal 1 angka 3
“Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam
angka
2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini”.
Pasal 1 angka 4
“Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan
penyerahan
Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.”
Pasal 4A angka 2
“Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak
Pertambahan
Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas
kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
- barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya;
- barang-barang kebutuhan pokok yang sangat
dibutuhkan oleh rakyat banyak;
- makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
- uang, emas batangan, dan surat-surat
berharga.”
Pasal 16B ayat (1) dan (3)
“(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara
waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
- kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu
di dalam Daerah Pabean;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau
penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- impor Barang Kena Pajak tertentu;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean;
Penjelasan:
“Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam
undangundang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan
yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan
dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada
kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan
tersebut”;
Pasal 16 B ayat (3):
“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan
atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan”;
Penjelasan
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B"
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain;
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
"B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak
Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut
menjadi tidak dapat dikreditkan;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2007 Tentang
Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Pasal 1:
“Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
adalah
- barang hasil pertanian;
- Barang hasil pertanian adalah barang yang
dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
- pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik
langsung, diambil
langsung, atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses
awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah
proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan
Pemerintah ini”;
Jenis barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang perkebunan
kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS;
Pasal 2 ayat (2) huruf c
“Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai”
Pasal 3
"Pajak Masukan atas perolehan barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan".
- Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
31/PMK.03/2008
tanggal 19 Februari 2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 Tentang Pelaksanaan Pajak
Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis;
Pasal 4 ayat (1)
“Atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a,
b, c, dan d dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
- Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
575/KMK.04/2000
tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan
Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang
Terutang Pajak Dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak;
Pasal 2
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
- Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang
terdiri dari unit
atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya
terdapat penyerahan
yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan menghasilkan atau
memperdagangkan barang dan
usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya
sebagian terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai;
- maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
- nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang
atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
- digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas
penyerahan hasil
dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk
unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan
tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding
dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap
peredaran seluruhnya;
- nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas
penyerahan hasil
dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai,
dapat dikreditkan;
- Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang
berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di
Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus
2014 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang
nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis
Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1. di atas
dengan penjelasan sebagai berikut:
3.1. |
Bahwa
sengketa atas Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar
Rp41.335.405,00 ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan Tandan Buah
Segar, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat
dikreditkan atau tidak; |
3.2. |
Bahwa
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
mempertahankan Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp41.335.405,00
karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang
nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan Barang
Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar) yang
atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan;
Bahwa sedangkan menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding), TBS yang dihasilkan dari kebun sendiri tidak dijual melainkan
diolah lebih lanjut menjadi CPO dan PK;
Bahwa karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan
tetapi hanya melakukan penyerahan penjualan BKP berupa CPO dan PK yang
mana atas seluruh penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10%
maka seluruh pajak masukan yang dikreditkan Wajib Pajak berkaitan
dengan kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak yang atas
penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% dapat dikreditkan; |
3.3. |
Bahwa
dengan demikian dalam sengketa a quo terdapat perbedaan
pendapat/penafsiran ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai
Pajak Masukan atas perolehan BKP (seperti pembelian pupuk dan yang
lainnya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan Barang Kena Pajak
tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar), yaitu apakah atas
Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi
bahwa TBS yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya
yang terjadi dalam satu entitas perusahaan yang sama (integrated); |
3.4. |
Dalam
putusannya Majelis menyatakan untuk tidak mempertahankan
koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan
pertimbangan sebagai berikut:
- bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) sebagai
perusahaan yang integrated, Majelis berpendapat perkebunan kelapa sawit
dan pabrik pengolahan kelapa sawit merupakan satu entitas sehingga baik
perkebunan maupun pabrik pengolahan bukan termasuk pengertian
“Pengusaha Kena Pajak” sebagaimana dimaksud Pasal 1
angka
15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
- bahwa beralihnya Tandan Buah Segar Kelapa Sawit
dari unit perkebunan
ke pabrik pengolahan kelapa sawit dalam rangka proses produksi yang
dilakukan di dalam satu entitas, Majelis berpendapat hal tersebut bukan
merupakan penyerahan yang terutang PPN sebagaimana dimaksud dengan
pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak pada Pasal 1A ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
- bahwa berdasarkan data dalam berkas banding,
hasil pemeriksaan dalam
persidangan, Majelis setelah bermusyawarah berkesimpulan untuk
mengabulkan seluruh permohonan Banding Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) dan membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) atas kredit pajak Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) berupa Pajak Masukan Pajak Pertambahan
Nilai sebesar Rp41.335.405,00;
|
3.5. |
Setelah
mempelajari Putusan Banding, ketentuan perundangundangan
perpajakan yang berlaku serta data dan fakta selama pemeriksaan,
keberatan, dan banding maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) berpendapat sebagai berikut:
- Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) memiliki 2
(dua) unit kegiatan usaha, yaitu unit perkebunan dan unit Pabrik Kelapa
Sawit (PKS). Unit perkebunan kelapa sawit menghasilan TBS, untuk
selanjutnya TBS tersebut diserahkan kepada pihak internal yaitu unit
PKS.
- Kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding)
termasuk dalam kriteria Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan
usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit
atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang
PPN sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000.
- Atas penyerahan TBS oleh unit perkebunan
(kelapa sawit) menurut
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dibebaskan dari pengenaan PPN.
Sedangkan untuk unit pengolahan selanjutnya memproduksi dan menyerahkan
CPO, PK, dan jasa olah yang alas penyerahannya oleh unit pengolahan
dikenakan PPN.
- Salah satu Barang Kena Pajak yang dibebaskan
dari pengenaan PPN
adalah Tandan Buah Segar (TBS) sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Dengan demikian menurut
pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Peraturan
Pemerintah ini berlaku untuk semua perusahaan yang melakukan penyerahan
BKP tertentu yang bersifat strategis, dalam hal ini termasuk perkebunan
kelapa sawit baik yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated)
ataupun yang tidak terpadu (non integrated).
- Dalam hal suatu barang ditetapkan sebagai bukan
Barang Kena Pajak
(Non BKP) atau mendapat fasilitas dibebaskan maka tidak ada PPN yang
dipungut pada saat menyerahkan barang tersebut, sehingga Pajak Masukan
yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan
untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN
atau dibebaskan dari pengenaan PPN berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka
menghasilkan TBS (misal, Pajak Masukan atas pupuk untuk TBS) yang
dihasilkan dari unit perkebunan (kelapa sawit), tidak dapat
dikreditkan. Hal tersebut di atas sudah sesuai dengan Pasal 16B ayat
(3) UndangUndang PPN yang mengatur bahwa: "Pajak Masukan yang dibayar
untuk perolehan Barang Kena Pajak dari/atau perolehan Jasa Kena Pajak
yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai tidak dapat dikreditkan.
- Ketentuan mengenai Pajak Masukan yang tidak
dapat dikreditkan dalam
rangka menghasilkan Tandan Buah Segar yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak,
baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) maupun bagi
perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Hal ini
sudah sesuai dengan prinsip/filosofi/jiwa perlakuan yang sama (equal
treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1)
Undang-Undang PPN yang berbunyi: "Salah satu prinsip yang harus
dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan
dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya same
dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan. Oleh
karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di
dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut.
- Terkait perbedaan pendapat mengenai pajak
masukan atas perolehan BKP
yang digunakan untuk unit yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu
yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada
perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), berikut
akan dijelaskan lebih lanjut:
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16 B UU PPN
adalah sebagai berikut:
Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak,
menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor,
menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian
lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan
perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut
harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam undang-undang
perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundangundangan yang berlaku.
- Bahwa Pasal 16 B ayat (3) UU PPN menyatakan
bahwa "Pajak Masukan yang
dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan".
Penjelasan Pasal 16 B ayat (3) menyatakan “Berbeda dengan
ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak
Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan
tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
- Kedudukan Pasal 16 B di dalam UU PPN yaitu
dalam Bab VA mengenai
Ketentuan Khusus. Di dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus yaitu Pasal
16 A, Pasal 16 B, Pasal 16 C, Pasal 16 D, Pasal 16E , dan Pasal 16F.
Bahwa keberadaan norma khusus akan mengesampingkan norma umumnya,
artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya.
- Secara garis besar ketentuan umum bahwa PPN
dikenakan atas
penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4). Di dalam penjelasannya
bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP yaitu:
- Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
- Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
- Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
PPN yang dipungut oleh PKP merupakan pajak keluaran baginya.
Selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, apabila pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan
maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan
sebaliknya apabila pajak masukan yang lebih besar daripada pajak
keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dmintakan
kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)).
- Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan
khusus
akan menyimpang dari ketentuan umumnya. Berikut ini dapat dijabarkan
penjelasan penyimpangannya:
- Pasal 16A mengatur penyerahan kepada
Pemungut
PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus
ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah
Pemungut PPN.
- Pasal 16C mengenakan atas kegiatan
membangun
sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan
BKP/JKP namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS
dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan.
- Pasal 16 D mengatur penyerahan aktiva
yang
tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat pajak
masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat
dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak
masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam
Pasal 16D.
- Pasal 16 E mengenai PPN yang sudah
dibayar
dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4)
yang dilakukan oleh PKP namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun
dapat minta kembali PPN yang telah dibayar.
- Secara umum bahwa pajak masukan tidak dapat
dikreditkan
diatur dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur
adanya larangan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada
aturan khusus mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan
dalam
perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Apabila dalam
batang tubuh belum dalam penjelasan pasal tersebut. Dengan demikian
untuk memahami Pasal 16 B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16 B
ayat (1) dan penjelasannya.
- Pasal 16 B ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa
Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
a. ...;
b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena
Pajak tertentu;
c. ...;
d. ...; dan
e. ...;
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 16 B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip
yang harus dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
- Dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16
B ayat
(1) menganut prinsip equal treatment. Bahwa prinsip perlakuan yang sama
atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus
dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax).
Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach dalam bukunya Principles
of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw
Hill/Irwin halaman 22 menulis:
a) Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
b) Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah
maupun bagi rakyat untuk membayar;
c) Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara;
d) Pajak yang baik seharusnya adil;
Selanjutnya Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach, dalam bukunya
Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010
Edition, Mc Graw- Hill/Irwin, halaman 32-37 menyebutkan beberapa
kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
a) Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya
mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib
Pajak tersebut.
b) Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama
seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama
c) Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak
memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka
setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya
tetap lebih baik daripada Wajib Pajak.
d) Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi
kesejahteraan di dalam suatu masyarakat dengan menerapkan equal
treatment ini DJP telah melaksanakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik yakni asas persamaan perlakuan.
- Sesuai dengan prinsip Pasal 16 B menekankan
kepada
aspek keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam
pungutan pajak. Berdasarkan Pasal 16 B ayat (1) bahwa penyerahan TBS
dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16 B ayat (3) bahwa Pajak
Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Ketika Wajib
Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak
Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO
dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat
dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding)). Pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang
dianut dalam Pasal 16 B.
- Menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16 B ayat
(3),
apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP. Apabila dalam pasal
belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
Penjelasan Pasal 16 B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B
memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Bahwa frase kalimat, “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan
menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP
yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan. Dalam sengketa
ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan
TBS.
Kekhususan Pasal 16 B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai
penyerahan. Dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan pajak masukan
terkait pemakaian TBS.
- Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada
undang-undang”.
- Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah
mengeluarkan
SE-90/PJ/2011 untuk mengatur pengkreditan pajak masukan pada perusahaan
terpadu kelapa sawit. Nyatanyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa
“Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena
Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang
hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN
(TBS), tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007
merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi)
bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan
yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah
dapat dijadikan dasar hukum.
Ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang
harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari
maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
- Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang
dilakukan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas:
meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan
demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak
mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu
(non integrated);
- Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan
yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS
- PM kebun tidak dapat dikreditkan;
- PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP)
bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO
b. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
- Atas penyerahan CPO terutang PPN
- Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
- PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi
unrus HPP bagi CPO;
c. Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan
pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang
berbeda pada:
- Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan
Sawit saja yang
mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan integrated yang
mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk
harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan
tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas
CPO, yang berpotensi
memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi
perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan
kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan
integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga
cenderung lebih rendah.
- Oleh karena itu, demi terciptanya
persaingan bisnis yang sehat dan
menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan
harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif,
produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM
yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun
ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk).
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena
Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pasal 16 B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar
untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
ilustrasi:
Dasar
Pengenaan Pajak Pupuk |
Rp100,00 |
Dasar
Pengenaan Pajak TBS |
Rp400,00 |
Dasar
Pengenaan Pajak CPO |
Rp900,00 |
bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri
dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan
mengingat penyerahan DPP TBS
oleh PT X (perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN
adalah sebagai berikut:
Uraian |
PT X
Perkebunan Kelapa Sawit |
PT Y
Pengolahan Kelapa Sawit |
Beban Pajak |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
Pupuk |
100 |
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
|
|
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
TBS |
|
400 |
Dibebaskan |
400 |
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
|
CPO |
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto |
|
|
|
|
|
90 |
90 |
bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan
dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan
untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka penghitungan
PPN adalah sebagai berikut:
Uraian |
PT X
Perkebunan Kelapa Sawit |
PT Y
Pengolahan Kelapa Sawit |
Beban Pajak |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
Pupuk |
100 |
|
(10) |
|
|
|
(10) |
TBS |
|
400 |
Dibebaskan |
400 |
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
|
CPO |
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto |
|
|
|
|
|
90 |
90 |
Pemohon Banding Unit Perkebunan Unit Pengolahan Beban Pajak
Membandingkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada
Tabel 1) dan Tabel 2) di atas, maka: Pengkreditan Pajak Masukan pupuk
atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan
ketidakadilan bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit
pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang
digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana
pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka
penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian |
PT X
Perkebunan Kelapa Sawit |
PT Y
Pengolahan Kelapa Sawit |
Beban Pajak |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
DPP PM |
DPP PK |
PPN |
Pupuk |
100 |
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
|
|
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
TBS |
|
400 |
Dibebaskan |
400 |
|
Tidak
Dapat
Dikreditkan |
|
CPO |
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto |
|
|
|
|
|
90 |
90 |
Pemohon Banding Unit Perkebunan Unit Pengolahan Uraian Membandingkan
perlakuan PPN pada Tabel 1) dan Tabel 3) di atas, maka terdapat
kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok
pikiran dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Memori
Penjelasan Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menghendaki
keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan
yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama,
- Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-90/PJ/2011
tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan pada
Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit, ditegaskan kembali bahwa
untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri
dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai, maka:
a. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
(CPO/PKO), dapat dikreditkan;
b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil
pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS),
tidak dapat dikreditkan;
c. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyatanyata digunakan
untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS), yang merupakan Barang Kena
Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur
Jenderal Pajak dalam pengenaan
PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU
PPN, yang didalamnya juga mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat
(5) dan Pasal 16B UU PPN. Bahwa KMK-575/KMK.04/2000 tidak pernah diuji
Mahkamah Agung, namun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010
sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 yang
muatannya sama dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
secara kaidah dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung
dan dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding), dengan demikian secara yuridis
kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap
bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain
berupa pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS
yang merupakan BKP yang dibebaskan dari penganaan PPN;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, baik TBS
yang diserahkan kepada
pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO
atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
|
- Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa
amar pertimbangan dan amar putusan Majelis yang tidak mempertahankan
Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp41.335.405,00 tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa faktanya Majelis Hakim membuat
penafsiran sendiri atas ketentuan pengkreditan pajak masukan pada
perusahaan integrated ini;
- Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amar
pertimbangan
dan amar putusan Majelis yang mengabulkan seluruhnya banding Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap koreksi Pajak
Masukan atas pembelian bahan baku pupuk dan barang modal lainnya yang
dipergunakan di usaha perkebunan sebesar Rp41.335.405,00 yang digunakan
untuk menghasilkan TBS Kelapa Sawit di unit perkebunan bertentangan
dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Pasal 2
ayat (1) huruf a angka (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-90/PJ/2011.
- Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14
tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa "Putusan Pengadilan
Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta
berdasarkan keyakinan Hakim”;
- Dengan demikian putusan Majelis untuk membatalkan koreksi
Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak tepat karena tidak
didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku sehingga atas sengketa koreksi Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan sebesar Rp41.335.405,00 diajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan
sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru
serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan, sehingga
putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 78
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena
itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014
tanggal 14 Agustus 2014 harus dibatalkan;
- Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak
Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014 yang
menyatakan: Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding
terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-1586/WPJ.19/BD.05/2012 tanggal 12 Desember 2012, tentang keberatan
atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa Masa Pajak Desember 2010 Nomor 00154/207/10/092/12 tanggal 18
April 2012, atas nama: PT XXX, NPWP:
01.128.141.7-091.000, beralamat di B & G Tower Lantai 9, Jalan
Putri Hijau Nomor 10, Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20111, sehingga
pajaknya dihitung kembali menjadi sebagaimana tersebut di atas; adalah
tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan
seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Terbanding Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012, tanggal 12 Desember 2012,
mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Desember 2010,
Nomor: 00154/207/10/092/12, tanggal 18 April 2012, atas nama Pemohon
Banding, NPWP: 01.128.141.7-092.000, sehingga pajak yang masih harus
dibayar menjadi nihil, adalah sudah tepat dan benar, dengan
pertimbangan:
- Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dalam
perkara a
quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp41.335.405,00; yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji
kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh
Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan
Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti
yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis
Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pajak Masukan yang
penyerahan atas BKP dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat
dikreditkan, bahwa melakukan pengolahan terpadu dari Kebun Sawit
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang pada dasarnya merupakan
Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan dari pengenaan PPN, kemudian dari pada itu, Tandan Buah
Segar (TBS) dimaksud diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm
Kernel yang merupakan Barang Kena Pajak. Lagi pula, Pemohon Banding
(sekarang Termohon Peninjauan Kembali) hanya menyerahkan Crude Palm Oil
(CPO) dan Palm Kernel dan menyertakan fakta-fakta dan bukti-bukti yang
dapat menggugurkan dalil-dalil Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan
Kembali), dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon
Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan
karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1A Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000;
- Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan
Pajak
yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan
karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Senin, tanggal 05 Desember 2016, oleh H. CCC, S.H., M.H., Hakim
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis,
Dr. H. AAA, S.H., M.S., dan Dr. BBB, S.H.,
C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD, S.H., M.H.,
Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh para pihak.
Anggota
Majelis :
ttd./Dr. H. AAA, S.H., M.S.
ttd./Dr. BBB, S.H.,
C.N.
|
|
Ketua
Majelis,
ttd./H. CCC, S.H., M.H. |
|
|
|
Biaya -
biaya :
1. Meterai...................... Rp
6.000,00
2. Redaksi .................... Rp
5.000,00
3. Administrasi ............. Rp
2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp
2.500.000,00 |
|
Panitera
Pengganti,
ttd./DDD, S.H., M.H. |
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.