PUTUSAN
Nomor 1182/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
  1. ABC, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. DEF, jabatan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. GHI, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. JKL, jabatan Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3017/PJ./2014, tanggal 11 November 2014;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT. XXX, beralamat di Gedung B Tower Lantai YY, Jalan PP Nomor Y, Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20xxx;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-54349/PP/M.IVB/16/2014, tanggal 14 Agustus 2014, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Menimbang, bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 013/MLN-ACCT/III/2013 tanggal 1 Maret 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa, dan dipertahankan oleh Peneliti Keberatan berupa koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan atas pembelian pupuk dan pembelian lainnya sejumlah Rp41.335.405,00. Dasar dilakukan koreksi adalah Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pasal 2 huruf c PP Nomor 31 Tahun 2007 dan SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 serta Surat Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Besar Nomor S-2362/WPJ.19/2011 tanggal 30 November 2011;

Bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, tidak seharusnya Pemeriksa melakukan koreksi atas Pajak Masukan pembelian pupuk dan pembelian lainnya, dan tetap dipertahankan oleh Peneliti Keberatan, dengan dasar argumentasi/alasan sebagai berikut:
a) Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN), menyatakan:
Angka 2
“Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”;
Angka 3
“Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”;
Angka 4
“Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.”
b) Pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam UU PPN, tepatnya pada Pasal 1A ayat (1), dengan jelas menyatakan:
“yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
  5. persediaan Barang Kena Pajak dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan;
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
  7. penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi”;
bahwa sementara itu, Memori Penjelasan Pasal 1A ayat (1) huruf d dari UU PPN, menjelaskan bahwa:
“Pemakaian sendiri diartikan pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, antara lain pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli”;
c) TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding, pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis berupa TBS;
bahwa karena TBS ini:
  1. dipergunakan/dipakai dalam satu entitas Perusahaan (Badan Usaha) yang sama (bernama: Pemohon Banding); dan
  2. dipergunakan/dipakai untuk tujuan produktif dalam rangka menghasilkan barang jadi berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) di Pemohon Banding;
bahwa sesuai dengan Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut:
“Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahaan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah”;
Sementara itu, pengertian dari ‘tujuan produktif’ secara jelas tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha pengusaha yang bersangkutan”;
bahwa dengan demikian, merupakan hal yang tidak tepat apabila Terbanding menganggap bahwa telah terjadi penyerahan TBS dari Unit Perkebunan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding kepada Unit Pengolahan (Kelapa Sawit) Pemohon Banding, dan atas penyerahan ini dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
d) Pasal 9 Ayat (5) dari UU PPN, secara lengkap menyatakan:
“Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”;
bahwa cuplikan Memori Penjelasan Pasal 9 ayat (5) dari UU PPN,
menyatakan:
"Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan penyerahan yang terutang pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang sesuai dengan ketentuan undang-undang ini, dikenakan Pajak Pertambahan Nilai”;
"Yang dimaksud dengan penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B”;
e) Pada Masa Pajak Desember 2010 tersebut, seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan Material) dan Jasa Kena Pajak (berupa: Ongkos Angkut dan Kompensasi atas Pemakaian Fasilitas Bersama) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni terutang PPN dengan tarif 10 % (berupa penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri, dan penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut sesuai dengan SK Menkeu Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997);
bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, telah diterapkan oleh Pemohon Banding sesuai dengan pengaturan yang sebenarnya;
bahwa Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas (berupa: Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm, Material, Ongkos Angkut dan Kompensasi atas Pemakaian Fasilitas Bersama) yang dikoreksi oleh Terbanding dan menjadi sengketa pajak ini, dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon Banding mohon agar banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012 tanggal 12 Desember 2012 tersebut di atas;
bahwa demikianlah permohonan banding ini Pemohon Banding sampaikan.
Atas perhatian dan kerjasamanya yang baik, Pemohon Banding ucapkan terima kasih;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-54349/PP/M.IVB/16/2014, tanggal 14 Agustus 2014, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

MENGADILI

Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012 tanggal 12 Desember 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2010 Nomor 00154/207/10/092/12 tanggal 18 April 2012, atas nama PT. XXX, NPWP: 01.xxxx beralamat di Gedung B Tower Lantai YY, Jalan PP Nomor Y, Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20xxx, sehingga Pajak dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak
Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN
- Ekspor Rp 17.493.969.959,00
- Penyerahan yang PPN harus dipungut sendiri Rp 11.692.142.380,00
- Penyerahan yang PPN-nya dipungut pemungut PPN Rp 0,00
- Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut Rp 57.776.029.209,00
- Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN Rp 0,00
Jumlah Rp 86.962.141.548,00
Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN Rp 0,00
Jumlah seluruh penyerahan Rp 86.962.141.548,00
Penghitungan PPN kurang/lebih bayar
Pajak Keluaran yang harus dipungut sendiri Rp 1.169.214.223,00
Dikurangi:
- PPN yang disetor dimuka dalam masa pajak yang sama Rp 0,00
- Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan Rp 1.160.162.673,00
- Dibayar dengan NPWP sendiri Rp 9.051.550,00
- Lain-lain Rp 0,00
Jumlah Rp 1.169.214.223,00
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan Rp 1.169.214.223,00
Jumlah perhitungan PPN kurang/(lebih) bayar Rp 0,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-54349/PP/M.IVB/16/2014, tanggal 14 Agustus 2014 diberitahukan kepada Terbanding pada tanggal 04 September 2014, kemudian terhadapnya oleh Terbanding dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-3017/PJ./2014, tanggal 11 November 2014, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 28 November 2014, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 28 November 2014;

Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 21 Januari 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 26 Februari 2015;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
    Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah:
    Tidak dipertahankannya Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp41.335.405,00 oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011;
  2. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
    Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena pertimbangan hukum yang keliru dan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Gugatan di Pengadilan Pajak atau setidaktidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyatanyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
    1. Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak pada halaman 29 atas sengketa peninjauan kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo, antara lain berbunyi sebagai berikut:
      bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan dalam persidangan dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis berkesimpulan bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN, pajak masukan tidak dapat dikreditkan apabila terjadi penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, karena Pemohon Banding terbukti tidak menyerahkan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN, maka pajak masukannya dapat dikreditkan, sehingga koreksi Terbanding atas pajak masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp41.335.405,00 tidak dapat dipertahankan;
    2. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar pengajuan Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah sebagai berikut:
      • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000;
        Pasal 1 angka 2
        “Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud”.
        Pasal 1 angka 3
        “Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2 yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini”.
        Pasal 1 angka 4
        “Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam angka 3.”
        Pasal 4A angka 2
        “Penetapan jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:
        1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
        2. barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
        3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya;
        4. uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.”
        Pasal 16B ayat (1) dan (3)
        “(1) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
        1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
        2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
        3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
        4. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
        pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
        Penjelasan:
        “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam undangundang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut”;
        Pasal 16 B ayat (3):
        “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan”;
        Penjelasan
        Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
        Contoh:
        Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain;
        Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
        Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
      • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        Pasal 1:
        “Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
        1. Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah
          1. barang hasil pertanian;
        1. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
          1. pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini”;
        Jenis barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS;
        Pasal 2 ayat (2) huruf c
        “Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
        Pasal 3
        "Pajak Masukan atas perolehan barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan".
      • Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 31/PMK.03/2008 tanggal 19 Februari 2008 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 155/KMK.03/2001 Tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis;
        Pasal 4 ayat (1)
        “Atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf a, b, c, dan d dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
      • Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak Dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak;
        Pasal 2
        Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
        1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
        2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
        3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
        4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
        5. maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
        1. nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
        2. digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
        3. nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan;
    3. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana diuraikan pada Butir V.1. di atas dengan penjelasan sebagai berikut:
      3.1. Bahwa sengketa atas Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp41.335.405,00 ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan Tandan Buah Segar, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dikreditkan atau tidak;
      3.2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mempertahankan Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp41.335.405,00 karena merupakan Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
      Bahwa sedangkan menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), TBS yang dihasilkan dari kebun sendiri tidak dijual melainkan diolah lebih lanjut menjadi CPO dan PK;
      Bahwa karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak melakukan penyerahan/penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan penyerahan penjualan BKP berupa CPO dan PK yang mana atas seluruh penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% maka seluruh pajak masukan yang dikreditkan Wajib Pajak berkaitan dengan kegiatan usaha penyerahan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% dapat dikreditkan;
      3.3. Bahwa dengan demikian dalam sengketa a quo terdapat perbedaan pendapat/penafsiran ketentuan perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP (seperti pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk UNIT yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (Tandan Buah Segar), yaitu apakah atas Pajak Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya yang terjadi dalam satu entitas perusahaan yang sama (integrated);
      3.4. Dalam putusannya Majelis menyatakan untuk tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan pertimbangan sebagai berikut:
      • bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagai perusahaan yang integrated, Majelis berpendapat perkebunan kelapa sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit merupakan satu entitas sehingga baik perkebunan maupun pabrik pengolahan bukan termasuk pengertian “Pengusaha Kena Pajak” sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
      • bahwa beralihnya Tandan Buah Segar Kelapa Sawit dari unit perkebunan ke pabrik pengolahan kelapa sawit dalam rangka proses produksi yang dilakukan di dalam satu entitas, Majelis berpendapat hal tersebut bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN sebagaimana dimaksud dengan pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak pada Pasal 1A ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
      • bahwa berdasarkan data dalam berkas banding, hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis setelah bermusyawarah berkesimpulan untuk mengabulkan seluruh permohonan Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas kredit pajak Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) berupa Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp41.335.405,00;
      3.5. Setelah mempelajari Putusan Banding, ketentuan perundangundangan perpajakan yang berlaku serta data dan fakta selama pemeriksaan, keberatan, dan banding maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut:
      1. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memiliki 2 (dua) unit kegiatan usaha, yaitu unit perkebunan dan unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Unit perkebunan kelapa sawit menghasilan TBS, untuk selanjutnya TBS tersebut diserahkan kepada pihak internal yaitu unit PKS.
      2. Kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) termasuk dalam kriteria Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000.
      3. Atas penyerahan TBS oleh unit perkebunan (kelapa sawit) menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dibebaskan dari pengenaan PPN. Sedangkan untuk unit pengolahan selanjutnya memproduksi dan menyerahkan CPO, PK, dan jasa olah yang alas penyerahannya oleh unit pengolahan dikenakan PPN.
      4. Salah satu Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah Tandan Buah Segar (TBS) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007. Dengan demikian menurut pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk semua perusahaan yang melakukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, dalam hal ini termasuk perkebunan kelapa sawit baik yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) ataupun yang tidak terpadu (non integrated).
      5. Dalam hal suatu barang ditetapkan sebagai bukan Barang Kena Pajak (Non BKP) atau mendapat fasilitas dibebaskan maka tidak ada PPN yang dipungut pada saat menyerahkan barang tersebut, sehingga Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tidak dapat dikreditkan. Dengan demikian Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka menghasilkan TBS (misal, Pajak Masukan atas pupuk untuk TBS) yang dihasilkan dari unit perkebunan (kelapa sawit), tidak dapat dikreditkan. Hal tersebut di atas sudah sesuai dengan Pasal 16B ayat (3) UndangUndang PPN yang mengatur bahwa: "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dari/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
      6. Ketentuan mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) maupun bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated). Hal ini sudah sesuai dengan prinsip/filosofi/jiwa perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN yang berbunyi: "Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya same dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
      7. Terkait perbedaan pendapat mengenai pajak masukan atas perolehan BKP yang digunakan untuk unit yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), berikut akan dijelaskan lebih lanjut:
        • Bahwa landasan filosofis Pasal 16 B UU PPN adalah sebagai berikut:
          Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam undang-undang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundangundangan yang berlaku.
        • Bahwa Pasal 16 B ayat (3) UU PPN menyatakan bahwa "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan".
          Penjelasan Pasal 16 B ayat (3) menyatakan “Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
          Contoh:
          Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
          Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
          Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
          Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
        • Kedudukan Pasal 16 B di dalam UU PPN yaitu dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus. Di dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus yaitu Pasal 16 A, Pasal 16 B, Pasal 16 C, Pasal 16 D, Pasal 16E , dan Pasal 16F. Bahwa keberadaan norma khusus akan mengesampingkan norma umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya.
        • Secara garis besar ketentuan umum bahwa PPN dikenakan atas penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4). Di dalam penjelasannya bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP yaitu:
          - Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
          - Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
          - Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
          PPN yang dipungut oleh PKP merupakan pajak keluaran baginya. Selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, apabila pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan sebaliknya apabila pajak masukan yang lebih besar daripada pajak keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dmintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)).
        • Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus akan menyimpang dari ketentuan umumnya. Berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya:
          • Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN.
          • Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan.
          • Pasal 16 D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat pajak masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D.
          • Pasal 16 E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN yang telah dibayar.
        • Secara umum bahwa pajak masukan tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur adanya larangan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada aturan khusus mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan.
        • Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan dalam perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Apabila dalam batang tubuh belum dalam penjelasan pasal tersebut. Dengan demikian untuk memahami Pasal 16 B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16 B ayat (1) dan penjelasannya.
        • Pasal 16 B ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
          a. ...;
          b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
          c. ...;
          d. ...; dan
          e. ...;
          diatur dengan Peraturan Pemerintah.
          Penjelasan Pasal 16 B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam undang-undang perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
          Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
        • Dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16 B ayat (1) menganut prinsip equal treatment. Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax). Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis:
          a) Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah;
          b) Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar;
          c) Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara;
          d) Pajak yang baik seharusnya adil;
          Selanjutnya Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach, dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, Mc Graw- Hill/Irwin, halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
          a) Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut.
          b) Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama
          c) Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak.
          d) Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yakni asas persamaan perlakuan.
        • Sesuai dengan prinsip Pasal 16 B menekankan kepada aspek keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak. Berdasarkan Pasal 16 B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16 B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)). Pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16 B.
        • Menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16 B ayat (3), apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP. Apabila dalam pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
          Penjelasan Pasal 16 B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
          Bahwa frase kalimat, “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan. Dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS.
          Kekhususan Pasal 16 B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai penyerahan. Dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan pajak masukan terkait pemakaian TBS.
        • Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada undang-undang”.
        • Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah mengeluarkan SE-90/PJ/2011 untuk mengatur pengkreditan pajak masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit. Nyatanyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa “Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
        • Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi) bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum.
          Ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
        • Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas:
          meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
        • Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
          a. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
          - Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS
          - PM kebun tidak dapat dikreditkan;
          - PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO
          b. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
          - Atas penyerahan CPO terutang PPN
          - Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
          - PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unrus HPP bagi CPO;
          c. Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
          - Tidak ada PPN atas TBS;
          - PPN hanya atas CPO;
          - PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
          bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
          • Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan integrated yang mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
          • Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah.
          • Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk).
        • Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16 B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
          ilustrasi:
          Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp100,00
          Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp400,00
          Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp900,00
          bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan DPP TBS
          oleh PT X (perkebunan kelapa sawit) dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian PT X Perkebunan Kelapa Sawit PT Y Pengolahan Kelapa Sawit Beban Pajak
          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100 Tidak Dapat
          Dikreditkan
          Tidak Dapat
          Dikreditkan
          TBS 400 Dibebaskan 400 Tidak Dapat
          Dikreditkan
          CPO 900 90 90
          Neto 90 90
          bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian PT X Perkebunan Kelapa Sawit PT Y Pengolahan Kelapa Sawit Beban Pajak
          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100 (10) (10)
          TBS 400 Dibebaskan 400 Tidak Dapat
          Dikreditkan
          CPO 900 90 90
          Neto 90 90
          Pemohon Banding Unit Perkebunan Unit Pengolahan Beban Pajak Membandingkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada
          Tabel 1) dan Tabel 2) di atas, maka: Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan ketidakadilan bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
          Uraian PT X Perkebunan Kelapa Sawit PT Y Pengolahan Kelapa Sawit Beban Pajak
          DPP PM DPP PK PPN DPP PM DPP PK PPN
          Pupuk 100 Tidak Dapat
          Dikreditkan
          Tidak Dapat
          Dikreditkan
          TBS 400 Dibebaskan 400 Tidak Dapat
          Dikreditkan
          CPO 900 90 90
          Neto 90 90
          Pemohon Banding Unit Perkebunan Unit Pengolahan Uraian Membandingkan perlakuan PPN pada Tabel 1) dan Tabel 3) di atas, maka terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
          bahwa mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Memori Penjelasan Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama,
        • Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit, ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
          a. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
          b. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
          c. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya. bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyatanyata digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS), yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
        • Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak dalam pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN, yang didalamnya juga mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B UU PPN. Bahwa KMK-575/KMK.04/2000 tidak pernah diuji Mahkamah Agung, namun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 sebagai pengganti Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 yang muatannya sama dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 secara kaidah dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding), dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari penganaan PPN;
        • Bahwa berdasarkan uraian di atas, baik TBS yang diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
    4. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar putusan Majelis yang tidak mempertahankan Koreksi Positif Pajak Masukan sebesar Rp41.335.405,00 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa faktanya Majelis Hakim membuat penafsiran sendiri atas ketentuan pengkreditan pajak masukan pada perusahaan integrated ini;
    5. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan amar putusan Majelis yang mengabulkan seluruhnya banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap koreksi Pajak Masukan atas pembelian bahan baku pupuk dan barang modal lainnya yang dipergunakan di usaha perkebunan sebesar Rp41.335.405,00 yang digunakan untuk menghasilkan TBS Kelapa Sawit di unit perkebunan bertentangan dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000, serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011.
    6. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
    7. Dengan demikian putusan Majelis untuk membatalkan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tidak tepat karena tidak didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga atas sengketa koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp41.335.405,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
      Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan, sehingga putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014 harus dibatalkan;
  3. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.54349/PP/M.IVB/16/2014 tanggal 14 Agustus 2014 yang menyatakan: Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1586/WPJ.19/BD.05/2012 tanggal 12 Desember 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2010 Nomor 00154/207/10/092/12 tanggal 18 April 2012, atas nama: PT XXX, NPWP: 01.128.141.7-091.000, beralamat di B & G Tower Lantai 9, Jalan Putri Hijau Nomor 10, Medan Kesawan, Medan Barat, Medan 20111, sehingga pajaknya dihitung kembali menjadi sebagaimana tersebut di atas; adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP-1586/WPJ.19/2012, tanggal 12 Desember 2012, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Masa Pajak Desember 2010, Nomor: 00154/207/10/092/12, tanggal 18 April 2012, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.128.141.7-092.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi nihil, adalah sudah tepat dan benar, dengan pertimbangan:
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan peninjauan kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp41.335.405,00; yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pajak Masukan yang penyerahan atas BKP dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan, bahwa melakukan pengolahan terpadu dari Kebun Sawit menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang pada dasarnya merupakan Barang Kena Pajak (BKP) Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN, kemudian dari pada itu, Tandan Buah Segar (TBS) dimaksud diolah menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel yang merupakan Barang Kena Pajak. Lagi pula, Pemohon Banding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) hanya menyerahkan Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel dan menyertakan fakta-fakta dan bukti-bukti yang dapat menggugurkan dalil-dalil Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali), dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 1A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai juncto Pasal 2 ayat (1) huruf a angka (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000;
  2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin, tanggal 05 Desember 2016, oleh H. CCC, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. AAA, S.H., M.S., dan Dr. BBB, S.H., C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh DDD, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.


Anggota Majelis :

ttd./Dr. H. AAA, S.H., M.S.

ttd./Dr. BBB, S.H., C.N.

Ketua Majelis,

ttd./H. CCC, S.H., M.H.


Biaya - biaya :
1. Meterai...................... Rp 6.000,00
2. Redaksi .................... Rp 5.000,00
3. Administrasi ............. Rp 2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp 2.500.000,00
Panitera Pengganti,

ttd./DDD, S.H., M.H.


Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA