Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put.70111/PP/M.VIIIA/16/2016

Jenis Pajak : PPN
Tahun Pajak : 2011
Pokok Sengketa : Koreksi jumlah pajak yang dapat diperhitungkan yang berasal dari PPN yang disetor di muka dalam Masa Pajak yang sama sebesar Rp3.500.640.000,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding : bahwa Pemohon Banding seharusnya mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Menurut Pemohon : bahwa atas PPN yang dipungut oleh Pemungut sebesar Rp3.500.640.000,00 telah terjadi kesalahan pemungutan PPN, dapat diminta kembali oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut, dengan mengajukan permohonan;
Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding diketahui bahwa Terbanding melakukan koreksi atas jumlah pajak yang dapat diperhitungkan sebesar Rp3.500.640.000,00 karena pengkreditan PPN tersebut sebagai “PPN disetor dimuka dalam masa pajak yang sama" tidak ada dasar hukumnya;

bahwa berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 04/SPB/CXI/2011 tanggal 25 November 2011 perihal Penunjukkan Penyediaan Barang untuk Pelaksanaan Paket Pekerjaan diketahui bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Islam telah menyetujui penawaran harga yang disampaikan oleh Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding berupa Surat Perjanjian untuk melaksanakan Pekerjaaan Pengadaan Barang dan Sarana Buku Perpustakaan MTs Nomor DJ.I/Set.I/KS/01.7/2200/2011 tanggal 29 November 2011 antara Pejabat pembuat Komitmen dan Bendahara Pengeluaran Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (PPK) dengan Pemohon Banding diketahui hal-hal sebegai berikut:
  1. PPK meminta kepada Pemohon Banding untuk menyediakan Barang sebagaimana diterangkan dalam Syarat Umum Kontrak yang terlampir dalam kontrak;
  2. Total Harga Kontrak atau Nilai Kontrak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diperoleh berdasarkan kuantitas dan harga satuan pekerjaan sebagaimana tercantum dalam Daftar Kuantitas dan Harga adalah sebesar Rp38.507.040.000,00 (tiga puluh delapan milyar lima ratus tujuh juta empat puluh ribu rupiah) dikecualikan untuk buku-buku pendidikan/buku pelajaran tidak dikenakan PPN sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan;
bahwa berdasarkan lampiran Surat Perjanjian untuk melaksanakan Pekerjaaan Pengadaan Barang dan Sarana Buku Perpustakaan MTs Nomor DJ.I/Set.I/KS/01.7/2200/2011 tanggal 29 Nopember 2011 berupa rekapitulasi pengadaan sarana dan buku Perpustakaan MTs diketahui bahwa rincian nilai pengadaan sarana dan buku perpustakaan MTs sebesar Rp38.507.040.000,00 adalah sebagai berikut:
1. Pengadaan Buku 520 Paket x Rp60.843.030,05 = Rp 31.638.375.626,00 (dibebaskan dari PPN)
2. Pengadaan Sarana 520 Paket x Rp13.209.066,00= Rp 6.868.714.320,00 (Inc. PPN)
Jumlah Rp 38.507.089.916,00

bahwa berdasarkan nilai kontrak dengan rekapitulasi pengadaan sarana dan buku perpustakaan di atas, sebenarnya terdapat selisih nilai kontrak sebesar Rp49.916,00 (Rp38.507.089.916,00 – Rp38.507.040.000,00) namun selisih tersebut telah dibulatkan oleh kedua belah pihak menjadi sebesar Rp38.507.040.000,00;

bahwa berdasarkan Berita Acara Serah Terima Barang 27 Desember 2011 diketahui bahwa Pemohon Banding telah melakukan serah Terima Barang kepada Direktorat Jenderal Agama Islam sesuai dengan Surat Perjanjian untuk Melaksanakan Pekerjaaan Pengadaan Barang dan Sarana Buku Perpustakaan MTs Nomor DJ.I/Set.I/KS/01.7/2200/2011 tanggal 29 November 2011;

bahwa selanjutnya sesuai dengan Kwitansi Nomor 012/RA-KWT/XII/2011 tanggal 16 Desember 2011 diketahui Pemohon Banding telah menerima pembayaran atas pengadaan buku dan Sarana Perpustakaan MTs sebesar Rp38.507.040.00,00 dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam;

bahwa berdasarkan pemeriksan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding diketahui bahwa atas pembayaran tersebut di atas Pemohon Banding telah menerbitkan Faktur Pajak dengan rincian sebagai berikut:

No. Nomor
Faktur Pajak
Tanggal
Faktur Pajak
Keterangan Nilai DPP
(Rp)
Nilai PPN
(Rp)
Total
(Rp)
1. 0x0-000.xx.000000xx 16-12-2011 Pengadaan Buku Perpustakaan Mts Tahun Anggaran 2011 28.762.133.400 2.876.213.340 31.638.346.740
2. 0x0-000.xx.000000xx 16-12-2011 Pengadaan Sarana Perpustakaan Mts Tahun Anggaran 2011 6.244.266.600 624.426.660 6.868.693.260
Total 35.006.400.000 3.500.640.000 38.507.040.000

bahwa selanjutnya berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 tenttang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diketahui bahwa atas pengadaan buku-buku pelajaran agama dibebaskan dari pengenaan PPN dan dalam Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pemohon Banding tersebut telah dicap “PPN dibebaskan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003”;

bahwa berdasarkan hal tersebut maka seharusnnya atas Pekerjaan pengadaan buku dan sarana perpustakaan MTs sebesar Rp38.507.040.000,00 tersebut di atas, yang dikenakan PPN hanya atas pengadaan sarana perpustakaan saja sebesar Rp6.244.266.600,00 dengan jumlah PPN sebesar Rp624.426.660,00, sedangkan atas pengadaan buku sebesar Rp28.762.133.400,00 dengan jumlah PPN sebesar Rp2.876.213.340,00 dibebaskan dari pengenaan PPN;

bahwa namun berdasarkan Surat Setoran Pajak tanggal 16 Desember 2011 diketahui bahwa nilai PPN yang tertera dalam Faktur Pajak sebesar Rp3.500.640.000,00 di atas, seluruhnya telah dipotong dan disetor oleh Bendaharawan Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam menggunakan nama Pemohon Banding dalam satu Surat Setoran Pajak;

bahwa berdasarkan hal tersebut maka terdapat jumlah PPN yang lebih dipotong oleh bendaharawan sebesar Rp2.876.213.340,00 yang diminta pengembalian oleh Pemohon Banding;

bahwa selanjutnya atas Surat Setoran Pajak sebesar Rp3.500.640.000,00 dilaporkan oleh Pemohon Banding dalam SPT Masa PPN Masa Pajak Desember 2011 pada kolom IIB sebagai PPN disetor dimuka dalam masa pajak yang sama, sehingga dengan dikreditkannya Surat Setoran Pajak tersebut maka dalam SPT Masa PPN masa Desember 2011 terjadi lebih bayar sebesar Rp2.876.213.340,00 dan atas kelebihan bayar tersebut dimintakan restitusi;

bahwa menurut Majelis tidak terdapat aturan yang mengatur bahwa atas kelebihan pemotongan yang dilakukan oleh bendaharawan pengembaliannya dilakukan dengan cara melaporkan pada SPT Masa PPN sebagai PPN disetor dimuka dalam masa pajak yang sama;

bahwa karenanya Majelis berpendapat sependapat dengan Terbanding bahwa koreksi atas jumlah pajak yang dapat diperhitungkan sebagai PPN disetor dimuka dalam masa pajak yang sama sebesar Rp3.500.640.000,00 sudah benar dan tetap dipertahankan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas data yang ada dalam berkas banding diketahui bahwa sebelum dan setelah pekerjaan pengadaan buku dan sarana perpustakaan ini Pemohon Banding tidak memiliki pekerjaan lain dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam sehingga Majelis meyakini bahwa pemotongan dan penyetoran PPN sebesar Rp3.500.640.000,00 hanya diperuntukkan untuk pekerjaan pengadaan sebagaimana dimakasud dalam Surat Perjanjian untuk melaksanakan Pekerjaaan Pengadaan Barang dan Sarana Buku Perpustakaan MTs Nomor DJ.I/Set.I/KS/01.7/2200/2011 tanggal 29 November 2011;

bahwa selanjutnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang menyatakan:

Pasal 2

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan surat permohonan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang Pribadi termasuk orang pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 3
(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak yakni :
  1. pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;atau
  2. pajak yang dipotong atau dipungut seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut,dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.
(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan.
(3) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.

bahwa selanjutnya dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang menyatakan:

Pasal 2
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal:
  1. terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
  2. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
  3. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
  4. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor.

Pasal 3
(1) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat berupa:
  1. pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
  2. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
  3. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar; atau
  4. pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.
(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B;
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
  4. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
(3) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
  3. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
(4) Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:
  1. SPTNP atau SPKTNP;
  2. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
  3. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
  4. SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
  5. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding;
  6. SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; atau
  7. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang, yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.

Pasal 5
(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dan pajak yang dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta kembali pajak yang dipotong atau dipungut tersebut.
(2) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.
(3) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
(4) Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi terhadap Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
(5) Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dilakukan terhadap WPLN, pemotongan atau pemungutan tersebut hanya dapat diminta kembali oleh WPLN yang menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan.

bahwa selanjutnya Pasal 2, Pasal 12 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tanggal 30 September 2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang menyatakan:

Pasal 2
Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:
  1. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
  2. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor;
  3. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
  4. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
  5. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri.

Pasal 12
(1) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut;
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
  4. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.
(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
  3. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.

Pasal 13
(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan.
(2) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut, sepanjang pihak yang dipungut bukan Pengusaha Kena Pajak, dengan mengajukan permohonan.
(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.
(4) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan.
(5) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan.
(6) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh orang pribadi atau badan tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan secara langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut.

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas Majelis berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan di atas hanya mengatur mengenai pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut untuk pemungutan atau pemotongan PPN yang dilakukan oleh pemungut PPN biasa namun tidak mengatur pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut untuk pemungutan dan pemotongan PPN yang dilakukan oleh Badan Pemungut;

bahwa dalam ketentuan-ketentuan di atas diatur bahwa pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut untuk pemungutan atau pemotongan PPN yang dilakukan oleh pemungut PPN adalah melalui permohonan;

bahwa selanjutnya karena sampai saat ini Pemohon Banding tidak pernah mengajukan permohonan untuk pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut maka Majelis menafsirkan bahwa pengajuan permohonan pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut tersebut dilakukan oleh Pemohon Banding setelah proses banding ini dicukupkan sehingga ketentuan atau aturan hukum yang digunakan oleh Majelis adalah ketentuan atau aturan hukum yang berlaku pada saat proses permohonanan tersebut dilakukan yaitu ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor Nomor 187/PMK.03/2015 tanggal 30 September 2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang;

bahwa menurut Majelis dalam angka 12 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2015 tanggal 30 September 2015 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang hanya diatur mengenai kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak yang dapat berupa:
  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
  3. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.

namun tidak mengatur mengenai kesalahan pemotongan dan pemungutan PPN yang dilakukan oleh Badan Pemungut sehingga untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak seharusnya ketentuan tersebut tidak mengatur hanya terbatas pada angka a, angka b dan angka c, tersebut di atas, tetapi juga harus diatur ketentuan mengenai pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut oleh Badan Pemungut beserta tata cara pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang atau dipungut oleh Badan Pemungut tersebut di atas;

bahwa secara umum PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP dipungut oleh PKP Penjual, sehingga pembeli BKP/JKP yang bersangkutan wajib membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual ditambah PPN yang terutang, sedangkan apabila pembeli BKP/JKP tersebut berstatus Badan Pemungut PPN, maka PPN yang terutang atas transaksi penyerahan BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP Penjual, melainkan disetor langsung ke kas negara oleh Badan Pemungut PPN tersebut.

Dengan demikian, Badan Pemungut PPN hanya membayar kepada PKP Penjual sebesar harga jual, sedangkan PPN-nya (10%) disetor langsung ke kas negara;

bahwa karena dalam kasus ini Pemohon Banding selaku PKP Penjual Barang dan Jasa telah dipungut PPN-nya oleh Badan Pemungut PPN (Bendaharawan) maka apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang dapat mengajukan permohonan pengembalian adalah Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentan di atas, asas keadilan, dan asas umum pemerintahan yang baik maka atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebesar Rp2.876.213.340,00 dapat diberikan pengembalian setelah melakukan proses permohonan oleh Pemohon Banding;
Menimbang : atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak permohonan banding Pemohon Banding
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan ini.
Memutuskan : Menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-301/WPJ.21/2015 tanggal 23 Maret 2015, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Desember 2011 Nomor 00001/407/11/045/14 tanggal 16 Januari 2014 atas nama Pemohon Banding;

Demikian diputus berdasarkan musyawarah Majelis VIIIA Pengadilan Pajak yang telah dicukupkan dalam sidang pemeriksaaan terakhir pada hari Senin, tanggal 21 Maret 2016 dengan susunan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Drs. ABC, Ak.
DEF, S.H., M.Si.
GHI, S.E., M.Si.
sebagai Hakim Ketua
sebagai Hakim Anggota
sebagai Hakim Anggota

yang dibantu oleh JKL, S.E., Ak., M.M. sebagai Panitera Pengganti dan Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Senin tanggal 18 April 2016 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota dan Panitera Pengganti, namun tidak dihadiri oleh Terbanding maupun oleh Pemohon Banding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA