Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1308/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
tempat kedudukan di Jalan Jenderal XY Nomor 40-42, Jakarta XXXX0, dalam
hal ini memberi kuasa kepada:
- AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding;
- CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan
Jenderal XY, Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-142/PJ./2015, tanggal 13 Januari 2015;
Pemohon Peninjauan
Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT FGH,
tempat kedudukan di Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah Tumbuh, Muara Bungo;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang,
bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan
peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai
berikut:
Ketentuan Formal Banding;
Bahwa permohonan banding ini Pemohon Banding ajukan berdasarkan Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa: “Wajib Pajak
dapat
mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas
Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(1)”;
Bahwa lebih lanjut, dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan
bahwa: “Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas paling lama 3
(tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri
dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan bahwa:
- Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa
Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
- Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak
tanggal
diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan bahwa:
- Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
- Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas,
dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
- Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang
dibanding;
- Selain dan persyaratan sehagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat
(2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap
besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan
apabila jumlah yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50%
(lima puluh persen)”;
Bahwa sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Banding dapat
diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa
hukumnya”;
Kronologis dan Dasar Dilakukan Koreksi oleh Terbanding;
Bahwa
Terbanding menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12
tanggal 31 Agustus 2012, dengan rincian sebagai berikut:
No
|
Uraian |
Pemohon
Banding (Rp) |
Terbanding
(Rp) |
Koreksi
(Rp) |
1
2.
3.
4.
5.
6.
|
Dasar
Pengenaan Pajak:
a. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
b. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut
c. Jumlah
d. Jumlah Seluruh Penyerahan
Perhitungan PPN Kurang Bayar:
a. Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar
sendiri
b. Dikurangi, Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan
c. Dibayar dengan NPWP sendiri
d. Jumlah
e. Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan
f. Jumlah Perhitungan PPN Kurang/(Lebih) Bayar
Kelebihan Pajak yang sudah:
a. Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya
b. Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan
c. Jumlah
(a+b)
PPN yang kurang bayar
Sanksi administrasi:
a. Bunga Pasal 13(2) KUP
b. Kenaikan Pasal 13(3) KUP
c. Jumlah
Jumlah PPN yang masih harus dibayar
|
23.610.787.176,00
1.395.000.000,00
25.005.787.176,00
|
23.610.787.176,00
1.395.000.000,00
25.005.787.176,00
|
0,00
0,00
0,00
|
25.005.787.176,00 |
25.005.787.176,00 |
0,00 |
2.361.078.717,00
291.947.664,00
2.069.131.053,00
2.361.078.717,00
2.361.078.717,00
|
2.361.078.717,00
118.534.372,00
2.069.131.053,00
2.187.665.425,00
2.187.665.425,00
|
0,00
173.413.292,00
0,00
173.413.292,00
173.413.292,00
|
0,00 |
173.413.292,00 |
173.413.292,00 |
0,00
0,00 |
0,00
0,00 |
0,00
0,00
|
0,00 |
0,00 |
0,00 |
0,00
0,00
0,00
|
173.413.292,00
83.238.380,00
0,00
83.238.380,00
|
173.413.292,00
83.238.380,00
0,00
83.238.380,00
|
0,00 |
256.651.672,00 |
256.651.672,00 |
Bahwa adapun atas jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus
dibayar sebesar Rp256.651.672,00 berdasarkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor
00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012 telah Pemohon Banding bayar
seluruhnya pada tanggal 26 September 2012 menggunakan Surat Setoran
Pajak melalui Bank Persepsi DF dengan NTPN: 0X0XXX0X0X0XXX0X;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan diterbitkannya Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Nomor
00023/207/08/332/12 Masa Pajak Februari 2008 tersebut dan telah
mengajukan permohonan keberatan kepada Terbanding melalui Surat Nomor
022/XI-12/AB.1/SKU tanggal 12 November 2012 yang diterima oleh
Terbanding pada tanggal 22 November 2012;
Bahwa menanggapi permohonan keberatan Pemohon Banding, pada tanggal 31
Juli 2013 Terbanding menerbitkan Surat Keputusan Keberatan Nomor
KEP-621/WPJ.27/2013 yang isinya menolak keberatan Pemohon Banding dan
mempertahankan jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak
Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012 dengan
rincian sebagai berikut:
Uraian |
Semula
(Rp) |
Ditambah/(Dikurangi)
(Rp) |
Menjadi
(Rp) |
PPN
Kurang/(Lebih) Bayar |
173.413.292,00 |
0,00
|
173.413.292,00 |
Sanksi
Bunga |
83.238.380,00 |
0,00
|
83.238.380,00 |
Sanksi Kenaikan |
0,00
|
0,00
|
0,00
|
Jumlah Pajak yang
masih harus/(lebih) dibayar |
256.651.672,00 |
0,00
|
256.651.672,00 |
Bahwa oleh karena Pemohon Banding tidak setuju dengan keputusan
yangditerbitkan oleh Terbanding tersebut di atas, maka Pemohon Banding
mengajukan Permohonan Banding atas Keputusan Nomor KEP-621/WPJ.27/2013
tanggal 31 Juli 2013 tersebut kepada Pengadilan Pajak;
Alasan Pengajuan Permohonan Banding;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding atas Pajak
Pertambahan Nilai Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp173.413.292,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri minyak kelapa
sawit di mana produk yang dijual oleh Pemohon Banding adalah minyak
kelapa sawit (CPO) dan PK;
Bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut, Pemohon Banding
mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan hasil
perkebunan kelapa sawit yaitu Tandan Buah Segar (TBS), adapun
hasil perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding ini tidak dimaksudkan
untuk dijual, tetapi seluruhnya akan diolah lebih lanjut menjadi produk
minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK), CPO dan PK yang
dihasilkan inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan
pendapatan bagi Pemohon Banding;
Bahwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tanggal 8
Januari 2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari penggenaan Pajak
Pertambahan Nilai, produk CPO dan PK tidak termasuk sebagai barang atau
jasa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga
atas penyerahan CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Banding harus
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%;
Bahwa kemudian di Pasal 9 ayat (5), Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai Nomor 18 Tahun 2000 mengatur bahwa: “Apabila dalam
suatu masa
pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang
pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, maka jumlah
pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan
yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”;
Bahwa lebih lanjut, di Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai Nomor 18 Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa:
“Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”;
Bahwa lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor KMK575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak Terutang Pajak menyatakan bahwa: “Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang:
- Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri
dari unit
atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak
Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat
penyerahan
yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang
dan
usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian
terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai”;
Bahwa kemudian pada Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
KMK-575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 mengatur tentang:
“Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) yang telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) angka 2, wajib menghitung kembali Pajak Masukan
yang telah dikreditkan tersebut …”;
Bahwa dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai
secara jelas menekankan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan
2 (dua) macam penyerahan yaitu penyerahan yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan dan Pajak Pertambahan Nilai maka
Pajak Masukan berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari Pajak
Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan;
Bahwa dengan demikian jelas karena Pemohon Banding tidak melakukan
penyerahan penjualan TBS (yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai)
akan tetapi hanya melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh
penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai 10% yaitu dalam hal ini
melakukan penjualan produk CPO dan PK, maka menurut Pemohon Banding
seharusnya seluruh Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Terbanding
tersebut dapat Pemohon Banding kreditkan;
Bahwa berdasarkan uraian di atas maka koreksi Terbanding atas Pajak
Pertambahan Nilai Masukan sebesar Rp173.413.292,00 seharusnya
dibatalkan dan menjadi Nihil;
Perhitungan Pajak menurut Pemohon Banding;
Bahwa berdasarkan penjelasan dan uraian di atas maka jumlah Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa terutang Masa Pajak Februari 2008
menurut Pemohon Banding seharusnya adalah sebagai berikut:
No. |
Uraian
|
Pemohon
Banding
(Rp)
|
1
|
Dasar
Pengenaan Pajak: |
|
|
a.
Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri |
23.610.787.176,00 |
|
b.
Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut |
1.395.000.000,00 |
|
c.
Jumlah |
25.005.787.176,00 |
|
d.
Jumlah Seluruh Penyerahan |
25.005.787.176,00 |
2.
|
Perhitungan
PPN Kurang Bayar: |
|
|
a.
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri |
2.361.078.717,00 |
|
b.
Dikurangi, Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan |
291.947.664,00 |
|
c.
Dibayar dengan NPWP sendiri |
2.069.131.053,00 |
|
d.
Jumlah |
2.361.078.717,00 |
|
e.
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan |
2.361.078.717,00 |
|
f.
Jumlah Perhitungan PPN Kurang Bayar |
0,00 |
3.
|
Kelebihan
Pajak yang sudah: |
|
|
a.
Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya |
0,00 |
|
b.
Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) |
0,00 |
|
c.
Jumlah (a+b) |
0,00 |
4. |
PPN
yang kurang bayar |
0,00 |
5.
|
Sanksi administrasi: |
|
|
a.
Bunga Pasal 13(2) KUP |
0,00 |
|
b.
Kenaikan Pasal 13(3) KUP |
|
|
c.
Jumlah |
0,00 |
6.
|
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
Nihil |
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan
sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor
KEP-621/WPJ.27/2013 tanggal 31 Juli 2013, tentang Keberatan
Atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak
Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31 Agustus 2012, yang
terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-074515-2008, atas nama PT FGH,
NPWP 0X.00X.XXX.X-XXX.001, beralamat di Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah
Tumbuh, Muara Bungo, sehingga jumlah Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 yang masih harus dibayar
menjadi:
No. |
Uraian
|
Jumlah
(Rp)
|
1
|
Dasar
Pengenaan Pajak: |
|
|
-
Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri |
23.610.787.176,00
|
|
-
Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut |
1.395.000.000,00
|
|
-
Jumlah Seluruh Penyerahan |
25.005.787.176,00
|
2.
|
Perhitungan
PPN Kurang Bayar: |
|
|
-
Pajak Keluaran yg harus dipungut/dibayar sendiri |
2.361.078.717,00 |
|
Dikurangi:
|
|
|
-
Pajak Masukan yg dapat diperhitungkan |
291.944.826,00
|
|
-
Dibayar dengan NPWP sendiri |
2.069.131.053,00
|
|
-
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan |
2.361.075.879,00
|
|
-
Jumlah Perhitungan PPN Kurang Bayar |
2.838,00
|
3.
|
Kelebihan Pajak yang sudah: |
|
|
-
Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya |
0,00
|
4.
|
PPN
yang kurang bayar |
2.838,00
|
5.
|
Sanksi
administrasi Bunga Pasal 13(2) KUP |
1.362,00
|
6.
|
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
4.200,00 |
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 diberitahukan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 3 November 2014,
kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan
kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-142/PJ./2015 tanggal
13 Januari 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis
di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 27 Januari 2015
sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-
430/4.2/PAN.Wk/2015 yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak,
dengan disertai oleh alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 25
November 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan
jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada
tanggal 23 Desember 2015;
Menimbang,
bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya
telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali
tersebut formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
peninjauan kembali pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali;
- Bahwa
Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13
Oktober 2014 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis
formal atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam
koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding),
sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan
ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober
2014 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
- Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan
alasan sebagai berikut:
- Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan
Kembali;
- Bahwa Salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014, atas nama PT FGH
(Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah
diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan cara disampaikan
secara langsung kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
pada tanggal 4 November 2014 sesuai Tanda Terima Surat TPST Direktorat
Jenderal Pajak Nomor Dokumen X0XXXX0X0X00;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92
ayat (3)
juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak, maka pengajuan
Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 ini masih dalam
tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau
setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan
Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini
belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini
diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali;
- Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan
Peninjauan Kembali ini adalah:
- Tentang sengketa Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk
sebesar
Rp171.497.554,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Pajak;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali;
- Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) membaca,
meneliti, dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak
Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 tersebut,
maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan
Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan
keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit)dan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan
Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah
membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris
dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan
hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak
tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan
dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
- Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan
pokok
sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara
lain sebagai berikut:
1.1.
|
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU
Pengadilan Pajak), yang antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil,
sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan
sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak
terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
Pasal 91 huruf e:
Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai
berikut:
- Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
1.2.
|
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU
PPN), yang antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (5):
Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak;
Pasal 9 ayat (8):
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur
dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
sedan, jeep, station
wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5);
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud
atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
Pasal 16B ayat (3):
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan";
Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B"
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain;
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak "B" membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
"B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak
Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan
pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut
menjadi tidak dapat dikreditkan;
|
1.3.
|
Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor atau
Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang
dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yang antara
lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 1:
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis adalah:
- barang hasil pertanian;
- Barang hasil pertanian adalah barang yang
dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
- Pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang
dipetik langsung,
diambil langsung, atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang
diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau
mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam lampiran
Peraturan Pemerintah ini”;
Jenis barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha dibidang perkebunan
kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS;
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
“Atas penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat
strategis
berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
1 huruf c dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”;
Pasal 3:
"Pajak Masukan atas perolehan barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan";
|
1.4.
|
Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak
dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, yang antara lain mengatur
sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1) huruf a:
“Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha
terpadu
(integrated) yang terdiri dari UNIT atau kegiatan yang menghasilkan
barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan UNIT atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN,
maka PM yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata
digunakan untuk UNIT atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak
terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat
dikreditkan”; |
- Bahwa pokok sengketa banding adalah koreksi Pemohon
Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00
yang digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dimana
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, TBS merupakan
barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga atas Pajak
Masukan yang dibayarkan untuk membeli BKP dan atau JKP dalam rangka
menghasilkan TBS tersebut tidak dapat dibebankan sebagaima diatur dalam
Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 575/KMK04/2000;
- Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding)
sependapat dengan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) dengan alasan BKP yang diserahkan adalah Crude Palm Oil
(CPO) dan Palm Kernel (PK) yang terutang PPN sehingga Pajak Masukan
yang dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
seharusnya tetap dapat dikreditkan karena telah sesuai dengan ketentuan
Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN. Bahwa terkait
dengan pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang
menyatakan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
menghasilkan TBS yang merupakan barang strategis yang dibebaskan dari
pengenaan PPN dengan ini disampaikan bahwa TBS tersebut tidak dijual
oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tetapi
digunakan sebagai bahan baku dalam rangka pembuatan CPO dan PK di
pabrik milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
sendiri. Dengan demikian tidak ada penyerahan TBS yang dilakukan
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana alasan
koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
- Bahwa data dan fakta terkait dengan sengketa adalah
sebagai berikut:
4.1.
|
Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) bergerak dalam
bidang perkebunan dan industri minyak kelapa sawit di mana BKP yang
dijual oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah
minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK). Bahwa dalam
menjalankan kegiatan usahanya tersebut, Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) mengelola perkebunan kelapa sawit yang
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang diolah lebih lanjut menjadi
produk minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK).
CPO dan PK inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan
pendapatan bagi Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
|
4.2.
|
Koreksi
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Pajak
Masukan sebesar Rp171.497.554,00 berasal dari pembelian pupuk yang
digunakan oleh UNIT perkebunan kelapa sawit dalam rangka menghasilkan
TBS sedangkan Pajak Masukan yang digunakan oleh UNIT Pengolahan Kelapa
Sawit dalam rangka menghasilan CPO dan PK tidak dikoreksi Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding);
|
4.3.
|
Koreksi
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) didasarkan
pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000;
|
- Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk
tidak
mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar
Rp171.497.554,00 dengan pertimbangan, pendapat dan kesimpulan
sebagaimana dinyatakan pada Putusan Pengadilan Pajak a quo sebagai
berikut:
Halaman 21-22:
Bahwa Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan
Nilai atas pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 berdasarkan Pasal 9
ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 sebagaimana telah
diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal
5 April 2010;
Bahwa Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk a
quo dengan alasan bahwa “penyerahan” yang
dipergunakan adalah dalam hal
apabila atas produk tersebut dilakukan “penyerahan”
tidak dalam
pengertian penyerahan sesungguhnya dan oleh karena terdapat dua produk
yang dihasilkan yaitu, Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO (Crude Palm Oil)
beserta turunannya, maka atas biaya terkait produksi TBS yang
penyerahannya merupakan produk yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, sedangkan biaya
terkait produksi CPO beserta turunannya Pajak Masukannya dapat
dikreditkan;
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan definisi
“penyerahan”
sebagaimana didalilkan Terbanding bahwa
“penyerahan” menurut Pemohon
Banding adalah penyerahan dalam arti sesungguhnya terkait dengan produk
akhir yang dihasilkan untuk keseluruhan lini produksi tanpa melihat
apakah dalam proses produksi tersebut terdapat produk yang berbeda
untuk setiap lini produksi, sehingga karena produk akhir Pemohon
Banding adalah CPO yang merupakan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak
Pertambahan Nilai maka Pajak Masukannya dapat dikreditkan;
Bahwa dari hasil pemeriksaan, bukti-bukti, data-data dan keterangan
dalam persidangan diketahui: bahwa Terbanding terbukti melakukan
koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari Tahun
Pajak 2008 sebesar Rp65.775.619,00 bahwa Pajak Masukan Pajak
Pertambahan Nilai a quo menurut Terbanding merupakan Pajak Masukan atas
pembelian pupuk yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perkebunan Kelapa
Sawit yang menghasilkan TBS dan tidak berkaitan dengan kegiatan untuk
mengolah TBS menjadi CPO dan PK sebagaimana definisi penyerahan yang
didalilkan Terbanding;
Bahwa Terbanding mendalikan bahwa agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan
juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan
adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, oleh karena
itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan
langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan
tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud
tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai;
Bahwa Terbanding secara eksplisit menyatakan bahwa Pajak MasukanPajak
Pertambahan Nilai yang dikoreksinya berkaitan dengan kegiatan untuk
perkebunan kelapa sawit yang produk/outputnya adalah TBS sehingga tidak
mempunyai hubungan langsung dengan produk penyerahan/penjualan Pemohon
Banding berupa CPO dan PK sehingga Pajak Masukan atas Perolehan Barang
Kena Pajak a quo tidak dapat dikreditkan;
Bahwa Majelis berpendapat, Terbanding telah mengakui bahwa produk akhir
Pemohon Banding adalah CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang
atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan demikian
Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang digunakan Pemohon Banding
untuk menghasilkan produk akhir a quo seharusnya dapat dikreditkan oleh
Pemohon Banding;
Bahwa Terbanding juga mengakui bahwa Pajak Masukan Pajak Pertambahan
Nilai yang dikoreksi Terbanding terkait langsung dengan kegiatan usaha
Pemohon Banding namun tetap tidak dapat dikreditkan karena tidak
terkait dengan penyerahan CPO dan PK yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai, Majelis berpendapat bahwa proses produksi untuk menghasilkan CPO
dan PK merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan secara
parsial;
Bahwa Majelis berpendapat, produk akhir berupa CPO dan PK yang
merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak
Pertambahan Nilai seharusnya dijadikan dasar oleh Terbanding apakah
Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang dikreditkan berhubungan
langsung dengan kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian dari mata
rantai suatu proses produksi;
Bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai
yang dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha untuk menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk
akhir Pemohon Banding dan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang
diperoleh Pemohon Banding dari pihak lain yang selanjutnya digunakan
untuk menghasilkan produk akhir a quo bukannya dipisah-pisah apakah
Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai a quo digunakan untuk
menghasilkan barang mentah, barang setengah jadi maupun barang jadi
(finished product);
Bahwa sebagaimana didalilkan Terbanding berdasarkan Pasal 16B ayat (3)
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM sehingga
Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai,
Majelis berpendapat bahwa produk akhir yang dijual Pemohon Banding
adalah CPO dan PK yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai sehingga Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai yang berhubungan
langsung untuk menghasilkan produk akhir a quo dapat dikreditkan
seluruhnya oleh Pemohon Banding;
Bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Terbanding
atas Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari Tahun
Pajak 2008 sebesar Rp171.497.554,00 tidak tepat dan harus dibatalkan;
- Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang
berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di
Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan
Pengadilan Pajak a quo serta berdasarkan penelitian atas
dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) dan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap pada persidangan,
maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyatakan sangat
keberatan dengan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak
mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas pembelian pupuk sebesar
Rp171.497.554,00 sebagaimana diuraikan di atas dengan argumentasi
sebagai berikut:
- Bahwa alasan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali
(semula
Terbanding) atas Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar Rp171.497.554,00
adalah karena Pajak Masukan tersebut dibayarkan untuk membeli BKP dan
atau JKP dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dimana
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, TBS merupakan
barang strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN sehingga atas Pajak
Masukan yang dikreditkan tersebut tidak dapat dibebankan sebagaima
diatur dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK04/2000;
- Bahwa TBS dihasilkan oleh unit perkebunan kelapa
sawit milik
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang selanjutnya
TBS tersebut diolah menjadi CPO dan PK di unit pengolahan TBS (pabrik
minyak kelapa sawit). Bahwa untuk dapat menghasilkan TBS maka unit
perkebunan kelapa sawit harus mengeluarkan biaya untuk menanam dan
memelihara kelapa sawit, salah satunya adalah biaya pembelian pupuk.
Bahwa mengingat unit perkebunan kelapa sawit tersebut menghasilkan TBS
yang dibebaskan dari pengenaan PPN maka Pajak Masukan yang berhubungan
dengan unit perkebunan kelapa sawit tidak dapat dikreditkan, termasuk
salahsatunya adalah Pajak Masukan atas pembelian pupuk;
- Bahwa Majelis Hakim tidak sependapat dengan alasan
koreksi Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dan menyatakan bahwa Pajak
Masukan yang dikoreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
dapat dikreditkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) dengan pertimbangan bahwa proses produksi untuk menghasilkan
CPO dan PK merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan
secara parsial. bahwa Majelis berpendapat, produk akhir berupa CPO dan
PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai seharusnya dijadikan dasar oleh Terbanding
apakah Pajak Masukan yang dikreditkan berhubungan langsung dengan
kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian dari mata rantai suatu
proses produksi. Bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan yang
dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha untuk menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk
akhir Pemohon Banding dan Pajak Masukan Pajak yang diperoleh Pemohon
Banding dari pihak lain yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan
produk akhir a quo bukannya dipisah-pisah apakah Pajak Masukan a quo
digunakan untuk menghasilkan barang mentah, barang setengah jadi maupun
barang jadi (finished product);
- Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka
dapat disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan pendapat/penafsiran terkait ketentuan
perundang-undangan perpajakan mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP
(pembelian pupuk dan yang lainnya) yang digunakan untuk UNIT perkebunan
kelapa sawit yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat
strategis yaitu Tandan Buah Segar (TBS), yaitu apakah atas Pajak
Masukan tersebut dapat dikreditkan atau tidak dengan kondisi bahwa TBS
yang dihasilkan digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya dalam
satu entitas perusahaan yang sama (integrated);
- Bahwa terkait perbedaan pendapat atau penafsiran
tersebut maka disampaikan penjelasan sebagai berikut:
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16B Undang-Undang PPN
adalah sebagai berikut:
Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak,
menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor,
menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian
lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan
perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut
harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-Undang
Perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN menyatakan
bahwa
"Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan";
- Penjelasan Pasal 16B ayat (3) menyatakan
“Berbeda dengan
ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak
Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain;
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut;
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan;
- Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam Undang-Undang PPN
berada
dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus, artinya keberadaan norma khusus
yang diatur dalam Pasal 16B tersebut akan mengesampingkan norma
umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus terhadap hal-hal yang
diatur dalam Pasal 16B, tidak seperti pada umumnya yang diatur dalam
pasal-pasal lain. Perlakuan yang sama juga diterapkan untuk ketentuan
Pasal 16A, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16F Undang-Undang PPN karena
sama-sama berada dalam bab VA mengenai Ketentuan Khusus;
- Bahwa berdasarkan ketentuan umum yang diatur dalam
Undang-Undang PPN
maka secara garis besarnya PPN akan dikenakan atas
penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4 Undang-Undang PPN). Di
dalam penjelasannya bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh
PKP yaitu:
- Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
- Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
- Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya;
PPN yang dipungut oleh PKP merupakan pajak keluaran baginya.
Selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, apabila pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan
maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan
sebaliknya apabila pajak masukan yang lebih besar daripada pajak
keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dimintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (9) Undang-Undang PPN);
- Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus
akan
menyimpang dari ketentuan umumnya. Berikut ini dapat dijabarkan
penjelasan penyimpangannya:
- Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut
PPN, umumnya yang
memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan
kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN;
- Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun
sendiri, umumnya PPN
dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur
khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada
penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan;
- Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan
semula tidak
diperjualbelikan namun dengan syarat Pajak Masukannya saat diperoleh
dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana
diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat pajak masukannya dapat dikreditkan
atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D;
- Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat
diminta kembali,
umumnya seperti diatur dalam pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP
namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN
yang telah dibayar;
- Secara umum bahwa pajak masukan tidak dapat
dikreditkan diatur
dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur adanya
larangan pajak masukan yang dapat dikreditkan. Artinya ada aturan
khusus mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa suatu pasal merupakan satuan aturan dalam
perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas. Apabila dalam
batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi pasalnya maka dapat
dilihat dalam penjelasan pasal tersebut. Dengan demikian untuk memahami
Pasal 16B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16B ayat (1) dan
penjelasannya;
- Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang PPN menyatakan bahwa
Pajak
terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari
pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
- ...;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau
penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- ...;
- ...; dan
- ...
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip
yang harus
dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan
dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama
dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan”;
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
- Dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat
(1) Undang-Undang PPN menganut prinsip equal treatment.
Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah
sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak
dapat dikatakan baik (good tax). QQ dan WW dalam bukunya Principles of
Taxation for Business and
Investment Planning 2010 Edition, FG/GF halaman 22 menulis:
- Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai
penerimaan pemerintah;
- Pajak yang baik seharusnya mudah untuk
diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar;
- Pajak yang baik seharusnya efisien bagi
perekonomian negara;
- Pajak yang baik seharusnya adil;
Selanjutnya QQ dan WW, dalam bukunya
Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010
Edition, FG/GF, halaman 32-37 menyebutkan beberapa
kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
- Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan
seharusnya
mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib
Pajak tersebut;
- Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki
basis pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama;
- Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum
pengenaan pajak memiliki
kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah
pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap
lebih baik daripada Wajib Pajak;
- Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme
redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat;
dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik yakni asas persamaan perlakuan;
- Sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada
aspek
keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam
pungutan pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 16B ayat (1) maka
penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan berdasarkan ketentuan
Pasal 16B ayat (3) maka Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP
yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat
dikreditkan.
Ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja
maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila
penyerahan/penjualan CPO dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan
dengan perolehan TBS dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan
Kembali/semula Pemohon Banding). Pendapat demikian telah mengabaikan
prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B;
- Menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3),
apakah
diharuskan adanya syarat penyerahan BKP. Apabila dalam pasal belum
jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
Penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B
memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa frase kalimat “yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
menerangkan Barang
Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan
penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Dicontohkan bahwa PKP yang
memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan. Dalam sengketa ini
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS.
Kekhususan pasal 16B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai
penyerahan. Dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan pajak masukan
terkait pemakaian TBS;
- Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009
tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi
wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada
undang-undang”;
- Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah
mengeluarkan
SE-90/PJ/2011 untuk mengatur pengkreditan pajak masukan pada perusahaan
terpadu kelapa sawit. Nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa
“Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil
pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS),
tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
merupakan aturan
pelaksanaan ketentuan Pasal 16B Undang-Undang PPN (atribusi). Bahwa
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan aturan pelaksanaan
yang diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang PPN yang keberadaanya
secara sah dapat dijadikan dasar hukum. Ketentuan ini menjelaskan
antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di
dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan
berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di
dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut;
- Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan
Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas:
meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama, bahwa dengan
demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak
mempertimbangkan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu
(non integrated);
- Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama
atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit
saja:
- tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS;
- PM kebun tidak dapat dikreditkan;
- PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga
Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO;
- dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO
saja:
- atas penyerahan CPO terutang PPN;
- tidak ada PM atas Pembelian TBS;
- PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang
dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO;
- dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun
Sawit dan Pabrik CPO:
- tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur
HPP bagi CPO;
Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan
pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang
berbeda pada:
- Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja
yang mengkapitalisasi
PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan PM
kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda
dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan
mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang
berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat.
Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO
mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi,
sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak
Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah;
- Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan
bisnis yang sehat dan
menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan
harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif,
produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM
yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun
ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang
atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang
dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan;
ilustrasi:
Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp100,00
Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp400,00
Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp900,00
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan
oleh PT X yang
mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan
mengingat penyerahan DPP TBS oleh PT X (perkebunan kelapa sawit)
dibebaskan, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut:
Uraian
|
PT.
X Perkebunan TBS
|
PT.
Y Pengolahan CPO
|
Beban Pajak
|
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN |
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN
|
Pupuk |
100
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
|
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
TBS
|
|
400 |
Dibebaskan
|
400
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
|
CPO
|
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto
|
|
|
|
|
|
90 |
90
|
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran
unit pengolahan
dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali/semula
Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk
perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana alasan banding Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka penghitungan PPN
adalah sebagai berikut:
Uraian
|
PT.
X Perkebunan TBS
|
PT.
Y Pengolahan CPO
|
Beban Pajak
|
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN |
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN
|
Pupuk |
100
|
|
(10)
|
|
|
|
(10)
|
TBS
|
|
400 |
Dibebaskan
|
400
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
|
CPO
|
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto
|
|
|
|
|
|
90 |
90
|
Membandingkan
perlakuan Pajak Pertambahan Nilai pada butir 1 dan butir 2 di atas,
maka:
- Pengkreditan Pajak Masukan pupuk atas penyerahan
TBS yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, melanggar ketentuan Pasal 16B
ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
- Terjadi ketidaksamaan perlakuan yang menciptakan
ketidakadilan;
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran
unit pengolahan
dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali/semula
Pemohon Banding), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk
perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka penghitungan PPN adalah
sebagai berikut:
Uraian
|
PT.
X Perkebunan TBS
|
PT.
Y Pengolahan CPO
|
Beban Pajak
|
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN |
DPP
PM |
DPP
PK |
PPN
|
Pupuk |
100
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
|
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
TBS
|
|
400 |
Dibebaskan
|
400
|
|
Tidak
dapat
dikreditkan |
|
CPO
|
|
|
|
|
900 |
90 |
90 |
Neto
|
|
|
|
|
|
90 |
90
|
Membandingkan perlakuan PPN pada butir 1) dan butir 3) di atas, maka
terdapat kesamaan perlakuan yang menciptakan keadilan;
Bahwa
mengingat hal-hal tersebut di atas dan mengingat bahwa pokok pikiran
dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Memori Penjelasan Pasal
16B Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai menghendaki keadilan
pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama;
- Bahwa dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor
SE-90/PJ/2011 tanggal 23 Januari 2011 tentang Pengkreditan Pajak
Masukan pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit, ditegaskan
kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated)
yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai, maka:
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
(CPO/PKO), dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil
pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS),
tidak dapat dikreditkan;
- Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang
Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;
Bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan
untuk menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS), yang merupakan Barang Kena
Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak
dalam
pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 sebagai pelaksanaan
Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, yang didalamnya juga mengatur
mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B Undang-Undang PPN.
Bahwa KMK-575/KMK.04/2000 tidak pernah diuji Mahkamah Agung, namun
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 sebagai pengganti
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 yang muatannya sama
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 secara kaidah
dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal
ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding), dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian
secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan
yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa pupuk yang
dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan
BKP yang dibebaskan dari penganaan PPN;
- Bahwa berdasarkan uraian di atas, baik TBS yang
diserahkan
kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan
CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding)
atas Pajak Masukan yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit yang
digunakan untuk menghasilkan TBS juga sudah diperkuat dengan pendapat
dari Hakim Pengadilan Pajak (Hakim Wishnoe Saleh Thaib, Ak., M.Sc.)
yang dalam sengketa sejenis sebagaimana tercantum dalam Putusan
Pengadilan Pajak Nomor Put.64888/PP/M.VI/16/2013 yang diucapkan tanggal
30 Agustus 2013, berpendapat bahwa Pajak Masukan yang terkait dengan
perkebunan kelapa sawit yang digunakan untuk menghasilkan TBS tidak
dapat dikreditkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31
Tahun 2007 menetapkan hasil pertanian sebagai Barang Kena Pajak yang
bersifat stragis (BKP Strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa penjelasan Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai antara
lain menjelaskan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di
dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap
kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan
berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di
dalam penerapannya tidak menyimpang dari tujuan diberikannya kemudahan
tersebut;
Bahwa
berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
diatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan;
Bahwa oleh karena itu, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam
rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31Tahun 2007, harus berlaku sama
terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi pengusaha kelapa sawit terpadu
(integrated) yang mempunyai pabrik CPO maupun bagi pengusaha kelapa
sawit yang tidak terpadu (non integrated) yang tidak mempunyai pabrik
CPO, sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment)
sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa dengan demikian Hakim Anggota YY Ak, M.Sc.
berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka
menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) sudah tepat dan menolak banding
Pemohon Banding”;
- Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat
disimpulkan
bahwa amar pertimbangan dan amar Putusan Majelis yang tidak
mempertahankan Koreksi Positif Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp171.497.554,00 tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Bahwa faktanya Majelis Hakim membuat
penafsiran sendiri atas ketentuan pengkreditan Pajak Masukan pada
perusahaan integrated ini;
- Bahwa ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan
Pajak menyatakan:
Putusan
Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan,
serta berdasarkan keyakinan Hakim;
- Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Putusan
Majelis Hakim
Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan Koreksi Pajak Masukan atas
pembelian pupuk sebesar Rp171.497.554,00 nyata-nyata bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut melanggar ketentuan
Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, berdasarkan
ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, atas Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut diajukan Peninjauan Kembali ke
Mahkamah Agung;
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi)
tersebut
di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan
nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara
a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga
pertimbangan dan amar Putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa
banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu,
Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13
Oktober 2014 harus dibatalkan;
- Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014 yang menyatakan:
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Terbanding Nomor KEP-621/WPJ.27/2013 tanggal 31 Juli 2013, tentang
Keberatan Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan
Nilai Masa Pajak Februari 2008 Nomor 00023/207/08/332/12 tanggal 31
Agustus 2012, yang terdaftar dalam berkas perkara Nomor 16-074515-2008,
atas nama PT FGH, NPWP 0X.00X.XXX.X-XXX.00X, beralamat di
Jalan Desa XX, Kecamatan Tanah Tumbuh, Muara Bungo, sehingga
jumlah Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Februari 2008 yang masih
harus dibayar menjadi sebagaimana perhitungan di atas (pada halaman 2);
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah
Agung berpendapat:
- Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini
adalah:
Apakah Pajak Masukan PPN Masa Pajak Februari 2008 atas pembelian pupuk
dapat dikreditkan?
- Bahwa terdapat kekhilafan atau kekeliruan nyata pada
Putusan
Judex Facti, karena tidak terbukti adanya kegiatan usaha yang
terintegrasi yang dilakukan oleh perusahaan Termohon Peninjauan Kembali
sehingga untuk menghasilkan CPO perusahaan Termohon Peninjauan Kembali
menyerahkan TBS untuk dititip olah kepada PT Tapian Nadenggan untuk
menjadi CPO dan Palm Kernel. Oleh karena itu pengeluaran untuk
pembelian pupuk tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 4A ayat (3)
Undang-Undang PPN jo. Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008;
- Bahwa dengan demikian, alasan permohonan Pemohon Peninjauan
Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan;
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas menurut pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.56069/PP/M.XIIB/16/2014 tanggal 13 Oktober 2014, serta Mahkamah
Agung mengadili kembali perkara ini dengan amar seperti yang akan
disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung telah membaca Kontra Memori Peninjauan
Kembali yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali, namun tidak ada
dalil-dalil dalam Kontra Memori Peninjauan Kembali yang
melemahkan/menggugurkan dalil-dalil Pemohon Peninjauan Kembali dalam
Memori Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali,
maka Termohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah,
dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan
kembali ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali: DIREKTUR
JENDERAL PAJAK tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 56069/PP/M.XIIB/16/2014
tanggal 13 Oktober 2014;
MENGADILI KEMBALI,
Menolak permohonan banding dari Pemohon Banding sekarang Termohon
Peninjauan Kembali;
Menghukum
Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biayaperkara dalam
peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Selasa, tanggal 31 Januari 2017 oleh Dr. XYZ, S.H.,
C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, FFF, S.H., M.Hum. dan GGG, S.H., M.H.,
Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH,
S.H.,M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis :
ttd/
FFF, S.H., M.Hum.
ttd/
GGG, S.H., M.H.,
Biaya – biaya :
1. M e t e r a
i……………..
Rp
6.000,00
2. R e d a k s
i…………….. Rp
5.000,00
3. Administrasi
………..….
Rp
2.489.000,00
Jumlah
……….
Rp 2.500.000,00
|
Ketua Majelis:
ttd/
Dr. XYZ, S.H.,
C.N.,
Panitera Pengganti
ttd/
HHH, S.H., M.H.,
|
Untuk Salinan
Mahkamah Agung R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tat Usaha Negara,
H. RTY, S.H.
NIP. XX0000XXX
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.