Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1203/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
berkedudukan di Jalan Jenderal XY Nomor 40-42, Jakarta XXXX0, dalam hal
ini memberi kuasa kepada:
- AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan Banding;
- CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya berkantor di Jalan Jenderal XY Nomor 40-42,
Jakarta XXXX0, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1395/PJ./2015
bertanggal 2 April 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT FGH,
berkedudukan di Gedung B&G Tower-Lantai 9, Jalan QQ Nomor
10, Kesawan, Medan Barat, Medan 20111, diwakili oleh YY
selaku Presiden Direktur;
Termohon Peninjauan
Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak
Nomor Put.57872/PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014
yang
telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita
perkara sebagai berikut:
bahwa sehubungan dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-649/WPJ.01/2013
tanggal 2 September 2013, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 6
September 2013, yang menolak permohonan keberatan Pemohon Banding atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan
Jasa Nomor 00049/207/10/123/12 tanggal 19 Juni 2012 Masa Pajak Juni
2010, dengan perincian sebagai berikut:
Uraian |
Semula
(Rp) |
Ditambah/
(Dikurangi)
(Rp) |
Menjadi
(Rp) |
PPN
Kurang (Lebih) dibayar |
935.539.211 |
-
|
935.539.211 |
Sanksi
Bunga |
0
|
-
|
0
|
Sanksi Kenaikan |
935.539.211 |
-
|
935.539.211 |
Jumlah Pajak yang
masih harus (lebih) dibayar |
1.871.078.422 |
-
|
1.871.078.422 |
bahwa maka dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding kepada
Pengadilan Pajak atas permohonan keberatan yang ditolak pada keputusan
tersebut;
bahwa adapun alasan-alasan yang mendasari pengajuan banding ini adalah
sebagai berikut:
bahwa Surat Keputusan Terbanding tersebut di atas adalah berdasarkan
hasil perhitungan Peneliti Keberatan dari Kantor Wilayah DJP Sumatera
Utara I atas keberatan yang diajukan oleh Pemohon Banding melalui Surat
Nomor 009/DLIACCT/IX/2012 tanggal 4 September 2012;
bahwa koreksi yang dilakukan oleh Terbanding (cfm Pemeriksa) dan
dipertahankan oleh Terbanding (cfm Peneliti Keberatan) berupa:
- Koreksi Objek Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan yang
Pajak
Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sejumlah Rp322.423.724,00
bahwa dalam perjanjian titip olah disebutkan bahwa PT DFG
memperoleh CPO dengan rendemen 22% untuk pengolahan pada PKS 1 dan 20%
untuk pengolahan pada PKS 2, sedangkan berdasarkan data Daily
Production Report masing-masing PKS diketahui bahwa rendemen yang
dilaporkan tidaklah sebesar angka tersebut. Berdasarkan data tersebut
Terbanding (cfm Pemeriksa) menyimpulkan bahwa terdapat kelebihan
produksi CPO yang diberikan kepada PT DFG. Kelebihan
produksi tersebut menurut Terbanding (cfm Pemeriksa) merupakan
peredaran usaha yang belum dilaporkan oleh Pemohon Banding di dalam SPT
Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2010;
- Koreksi Kredit Pajak atas Pajak Masukan Dalam Negeri
sejumlah Rp903.296.839,00
bahwa koreksi dilakukan berdasar Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 juncto Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010. Pemohon Banding mengkreditkan pajak
masukan atas pembelian tandan buah segar dan pajak masukan atas
kegiatan yang berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit;
bahwa menurut pendapat Pemohon Banding, tidak seharusnya terdapat
koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Terbanding (cfm Pemeriksa) dan
tetap dipertahankan oleh Terbanding (cfm Peneliti Keberatan), dengan
dasar argumentasi/alasan sebagai berikut:
- Terhadap Koreksi Objek Pajak Pertambahan Nilai atas
Penyerahan yang
Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut sendiri sejumlah
Rp322.423.724,00
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Objek Pajak
Pertambahan Nilai atas Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus
dipungut sendiri sejumlah Rp322.423.724,00, yang didasarkan pada
koreksi atas Peredaran Usaha Pajak Penghasilan Badan sejumlah
Rp3.145.595.058,00 (diajukan Banding melalui Surat Nomor
002/DLI-ACCT/XI/2013 tertanggal 8 November 2013), dengan dasar
argumentasi bahwa perhitungan rendemen titip olah yang dilaksanakan
oleh Pemohon Banding adalah didasarkan pada Surat Perjanjian Pengolahan
Tandan Buah Segar antara Pemohon Banding (selaku
Prosesor/Pengolah/Pemilik Pabrik) dengan PT DFG (selaku
Penitip Olah/Pemilik Barang);
bahwa ada 3 (tiga) buah Surat Perjanjian Pengolahan Tandan Buah Segar
yang mendasari perhitungan rendemen kepada pihak Penitip Olah/Pemilik
Barang, yaitu:
- Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DLI-MLN/V/2010-P tertanggal
23 Mei 2010,
yakni untuk TBS yang berasal dari kebun PT DFG dan
dititip olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 1) dengan rendemen untuk CPO
adalah sebesar 22%;
- Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DWS-MLN/I/2010 tertanggal 2
Januari
2010, yakni untuk TBS yang berasal dari kebun PT DFG dan
dititip olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 2) dengan rendemen untuk CPO
adalah sebesar 22%; dan
- Perjanjian Nomor 001/TO-TBS/DLI-MLN/V/2010 tertanggal
23 Mei 2010,
yakni untuk TBS yang berasal dari ramp PT DFG dan dititip
olah ke Pemohon Banding (PKS DLI 1) dengan rendemen untuk CPO adalah
sebesar 20%;
bahwa dari ketiga Perjanjian tersebut terlihat bahwa tidak semua TBS
yang dititip olah di PKS DLI 1 diberikan rendemen sebesar 22% (untuk
TBS yang berasal dari kebun Cabang Dua) dan sebesar 20% (untuk TBS yang
berasal dari ramp) sedangkan untuk TBS dari Kebun Cabang Dua yang
dititip olah ke PKS DLI 2 diberikan rendemen sebesar 22%;
bahwa penetapan rendemen CPO pada kontrak titip olah telah
mempertimbangkan mutu dan kualitas dari TBS yang akan dititip olah,
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini TBS yang berasal
dari PT DFG mempunyai kualitas yang lebih baik bila
dibandingkan dengan TBS yang berasal dari kebun Pemohon Banding, yang
diantaranya disebabkan oleh faktor bibit dan tanah;
bahwa PT DFG menggunakan bibit Tenera dengan kondisi
tanah yang bermineral, sehingga memiliki rendemen rata-rata yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan Pemohon Banding yang menggunakan bibit
Dura dengan kondisi tanah berupa lahan gambut;
bahwa rendemen rata-rata yang didapat dari Laporan Produksi Pemohon
Banding merupakan campuran antara TBS titip olah dengan TBS yang
berasal dari kebun Pemohon Banding sendiri dan juga dari TBS yang
dibeli dari pihak ketiga;
bahwa sesungguhnya, Pemohon Banding tidak mempunyai kepentingan untuk
memberikan kelebihan rendemen kepada perusahaan affiliasi (PT DFG).
Ditinjau dari sisi Pajak Penghasilan, Pemohon
Banding dan Perusahaan Affiliasi ini sama-sama merupakan Wajib Pajak
Badan Usaha yang berdomisili di Dalam Negeri (Indonesia), dan untuk
tahun pajak 2009 tersebut sama-sama melaporkan Penghasilan Usaha dalam
keadaan Laba. Sehingga, baik bagi Pemohon Banding sendiri maupun bagi
Perusahaan Affiliasi dari Penggugat, tidak akan ada keuntungan pajak
yang dapat diperoleh dari hal tersebut. Dan tinjauan sisi Pajak
Pertambahan Nilai, Pemohon Banding dan Perusahaan Affiliasi sama-sama
merupakan Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak dan
melaporkannya pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
secara rutin dan teratur, sehingga Pajak Keluaran yang diterbitkan oleh
Pemohon Banding, akan selalu dikreditkan oleh Perusahaan Affiliasi.
Sehingga dengan mekanisme credit method (PK-PM) ini, maka Pajak
Keluaran yang diterbitkan oleh Pemohon Banding, akan selalu dapat
dikonfirmasikan (dicek kebenarannya) dengan pembukuan/ pelaporan yang
dilakukan oleh lawan transaksi (Perusahaan Affiliasi);
bahwa untuk tahun pajak 2010 telah dilakukan pemeriksaan pajak thd PT
DFG dan Terbanding (cfm Pemeriksa) tidak melakukan
koreksi negatif atas peredaran usaha PT DFG yang terkait
dengan koreksi atas rendemen titip olah tersebut;
bahwa
jadi, secara jelas dapat dilihat bahwa penentuan rendemen atas Jasa
Titip Olah yang disepakati oleh Pemohon Banding dengan PT DFG adalah
sesuai dengan Surat Perjanjian yang berkekuatan hukum,
berdasarkan kualitas TBS yang dititip olah serta telah sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa;
- Terhadap Koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sejumlah Rp903.296.839,00
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi atas Pajak Masukan
yang dilakukan oleh Terbanding, yang dianggap sebagai Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan atas pembelian TBS, pupuk, pestisida,
herbisida, dengan dasar argumentasi sebagai berikut:
bahwa Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
"Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang
pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung
dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri
Keuangan";
bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Ayat (6) dari Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai tersebut di atas, telah ditetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang
Tidak Terutang Pajak;
bahwa Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dari Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusahan Kena
Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang
Tidak Terutang Pajak, secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
"Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan
- usaha terpadu (integrated), terdiri dari
- unit atau kegiatan yang melakukan Penyerahan yang
Tertutang Pajak; dan
- unit atau kegiatan lain yang melakukan Penyerahan yang
tidak terutang Pajak;
- usaha yang atas penyerahannya terutang pajak dan yang
tidak terutang Pajak;
- usaha untuk menghasilkan, memperdagangkan barang, dan
usaha jasa
yang atas penyerahannya terutang Pajak dan yang tidak terutang Pajak;
atau
- usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak
dan sebagian lainnya tidak terutang Pajak,
sedangkan Pajak Masukan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak tidak
dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat
dikreditkan untuk Penyerahan yang Terutang Pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman
penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Pasal 3
"Pedoman Penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
P = PM x Z
dengan ketentuan bahwa
P
|
adalah
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
|
PM
|
adalah
jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak;
|
Z
|
adalah
persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang terutang Pajak
terhadap Penyerahan seluruhnya.
|
Pasal 4 ayat (1) :
"Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah
mengkreditkan Pajak Masukan dengan menggunakan pedoman penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal, harus menghitung kembali besarnya
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan."
Pasal 4 ayat (2) :
Penghitungan kembali Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan pedoman
penghitungan sebagai berikut:
- untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa
manfaatnya lebih dari 1(satu) tahun:
PM
P'= -------------x Z
T
dengan ketentuan
P'
|
adalah
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku;
|
PM
|
adalah
jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak;
|
T
|
adalah
masa manfaat Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang ditentukan
sebagai berikut :
- untuk Barang Kena Pajak berupa tanah dan bangunan
adalah 10 (sepuluh) tahun;
- untuk Barang Kena Pajak selain tanah dan bangunan
dan Jasa Kena Pajak adalah 4 (empat) tahun;
|
Z'
|
adalah
persentase yang sebanding dengan Jumlah Penyerahan yang
Terutang Pajak terhadap seluruh penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku
|
- untuk Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang masa
manfaatnya 1 (satu) tahun atau kurang
P'=PM x Z‟
dengan ketentuan
P'
|
adalah
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam 1 (satu) tahun buku; |
PM
|
adalah
jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak; |
Z'
|
adalah
persentase yang sebanding dengan jumlah Penyerahan yang
Terutang Pajak terhadap seluruh Penyerahan dalam 1 (satu) tahun buku. |
bahwa Pasal 16B Ayat (3) dari Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak
dan atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.”;
bahwa Cuplikan Memori Penjelasan dari Pasal 16B ayat (3) dari
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai tersebut diatas, berbunyi sebagai
berikut:
“Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan
khusus
berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan
tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang
memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.”;
bahwa dalam Pasal 9 Ayat (2), Ayat (9) dan Ayat (8) dari Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai, dinyatakan bahwa:
Pasal 9 Ayat (2)
“Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan
Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.”;
Pasal 9 Ayat (9)
“Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan
Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa
Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa
Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan
belum dilakukan pemeriksaan.”;
Pasal 9 Ayat (8)
“Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara
sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan,
jeep, station
wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5);
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang ketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
- perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau
Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2a).”;
bahwa Pasal 2 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pemakaian
Sendiri dan atau Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak, secara lengkap dinyatakan sebagai berikut:
“Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena
Pajak untuk
tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.”;
bahwa sementara itu pengertian dari „tujuan produktif‟ secara
jelas
tercermin pada Pasal 1 Angka 5 dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor KEP-87/PJ./2002 tanggal 18 Februari 2002 tersebut juga, yang
secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan
Jasa Kena
Pajak untuk tujuan produktif adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan
atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk
kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang hubungan
langsung dengan kegiatan usaha pengusahan yang bersangkutan.”;
bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan pajak yang dipaparkan di atas,
maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- Secara umum, Pengusaha Kena Pajak tidak dapat melakukan
pengkreditan
terhadap Pajak Masukan bagi pengeluaran yang memenuhi kondisi atau
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (8) dari Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai;
- Selain daripada pengaturan pada Pasal 9 Ayat (8) dari
Undang-Undang
Pajak Pertambahan Nilai tersebut, terhadap suatu transaksi tertentu
dapat pula ditentukan bahwa suatu Pajak Masukan dapat dikreditkan
seluruhnya atau sebagian, atau tidak dapat dikreditkan seluruhnya atau
sebagian, yaitu dengan bertitik tolak pada indikator kunci berupa:
realisasi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, yang dilaporkan pada Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (dan juga tercermin pada
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badannya);
bahwa terdapat beberapa kemungkinan dari realisasi penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak, yakni berupa:
- Penyerahan yang tidak terutang PPN, dan
- Penyerahan yang terutang PPN, yaitu :
- Ekspor;
- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri;
- Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN;
- Penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut; serta
- Penyerahan yang PPN-nya Dibebaskan;
bahwa karenanya merupakan hal yang tidak berdasar apabila Terbanding
berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas pembelian Pupuk dan pembelian
lainnya yang dilakukan oleh Pemohon Banding, tidak dapat dikreditkan;
bahwa koreksi tersebut baru boleh dilakukan hanya apabila terdapat
penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan oleh
Pemohon Banding. Sehingga, terhadap Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang
atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dari
Pemohon Banding;
bahwa pada Masa Pajak Juni 2010 tersebut, seluruh penyerahan Barang
Kena Pajak (berupa Crude Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan
Meterial) dan Jasa Kena Pajak (berupa: jasa olah, ongkos angkut dan
lainnya) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak
Pertambahan Nilai, yakni terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif
10% (berupa penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilainya harus dipungut
sendiri sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor
291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997);
bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai yang dilakukan;
bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Pemohon Banding mohon agar
banding Pemohon Banding ini dapat diterima, dan agar Majelis dapat
meninjau ulang Keputusan Terbanding Nomor KEP-649/WPJ.01/2013 tanggal 2
September 2013 tersebut di atas;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.57872/PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Mengabulkan
sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Nomor KEP-649/WPJ.01/2013
tanggal 2 September 2013 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Masa Pajak Juni
2010 Nomor 00049/207/10/123/12 tanggal 19 Juni 2012, atas nama: PT FGH,
NPWP: 0X.XXX.XXX.X-XXX.000, beralamat di Gedung B&G
Tower-Lantai 9, Jalan QQ Nomor 10, Kesawan, Medan Barat, Medan X0XXX,
dengan perhitungan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi
sebagai berikut:
Dasar
Pengenaan Pajak:
|
|
- Ekspor |
Rp 0,00 |
- Penyerahan
yang PPN-nya harus dipungut sendiri |
Rp
6.593.400.039,00 |
- Penyerahan
yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN |
Rp 0,00 |
- Penyerahan
yang PPN-nya tidak dipungut |
Rp
13.596.240.441,00 |
- Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN |
Rp 0,00 |
- Jumlah |
Rp
20.189.640.480,00 |
Pajak Keluaran
yang harus dipungut/dibayar sendiri |
Rp
659.340.002,00 |
Pajak Masukan
yang dapat diperhitungkan
|
Rp
1.741.683.096,00 |
Jumlah
perhitungan PPN Kurang / (Lebih) Bayar |
(Rp
1.082.343.094,00) |
Dikompensasikan
ke masa pajak berikutnya |
Rp
1.114.585.466,00 |
PPN yang kurang
dibayar |
Rp 32.242.372,00 |
Sanksi
Adminstrasi: Kenaikan Pasal 13 ayat (3) UU KUP |
Rp 32.242.372,00
|
Jumlah PPN yang
masih harus dibayar |
Rp 64.484.744,00 |
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.57872/PP/M.XIIIB/16/2014, tanggal 27 November 2014, diberitahukan
kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 2 Februari 2015,
kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan
kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1395/PJ./2015,
tanggal 2 April 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara
tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 24 April 2015,
dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 24 April 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 23 Oktober
2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27
November 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Peninjauan Kembali
- Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan Rp
314.653.410,00 menghasilkan TBS yaitu pembelian TBS;
- Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan Rp
588.643.429,00 menghasilkan TBS Rp 903.296.839,00
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
- Bahwa pendapat dan pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Pajak
atas sengketa peninjauan kembali ini sebagaimana tertuang dalam putusan
a quo, antara lain pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:
- Koreksi positif Pajak Masukan atas perolehan TBS
sebesar Rp314.653.410,-;
bahwa berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan diketahui terdapat satu
faktur Pajak Masukan yang berasal dari pembelian TBS yang dilaporkan
pada Masa Pajak Juni 2010 dengan rincian sebagai berikut:
NO
|
LAWAN
TRANSAKSI
|
FAKTUR
PAJAK
|
DPP |
PPN |
Keterangan |
NPWP |
NAMA |
NOMOR |
TANGGAL |
1.
|
0X.
XXX. XXX.X. 0XX.00
|
PT.
DFG
|
0X0.
000. X00 0000 XX0
|
25/05/2010
|
3.146.534.100
|
314.653.41
|
Fresh
Fruit Bunch
|
|
|
|
|
|
3.146.534.100
|
314.653.410
|
|
bahwa terkait dengan koreksi positif Pajak Masukan yang berasal dari
pembelian TBS Terbanding berpendapat bahwa TBS termasuk Barang Kena
Pajak yang bersifat Strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai oleh karenanya tidak dapat dilaporkan
sebagai Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan dalam pelaporan Masa
Pajak Juni 2010;
bahwa Pemohon Banding secara implisit menyatakan tidak setuju dengan
pendapat Terbanding mengingat tidak terdapat cacat dalam penerbitan
Faktur Pajak Masukan tersebut maka Pemohon Banding melakukan
pengkreditan pada Masa Pajak Juni 2010;
bahwa menurut Majelis, Tandan Buah Segar adalah termasuk Barang Kena
Pajak yang bersifat strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan Majelis berpendapat dalam sistem
penerapan pemungutan pajak yang terutang bagi pihak lain (with holding
tax) kesalahan interpretasi atau perbedaan penafsiran atas ketentuan
perpajakan dapat menyebabkan terjadinya pemungutan pajak yang
seharusnya tidak terutang;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penelitian Majelis terhadap dokumen
bukti, keterangan baik secara lisan maupun tulisan diperoleh fakta
sebagai berikut:
- telah terjadi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atas penyerahan TBS
(yang seharusnya tidak terutang) oleh Pengusaha Kena Pajak penjual (PT
DFG) kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli (Pemohon
Banding);
- Pemohon Banding memperoleh Faktur Pajak Masukan
terkait dengan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan TBS (yang seharusnya
tidak terutang);
- Faktur Pajak Masukan atas perolehan TBS (yang
seharusnya tidak
terutang) oleh Pemohon Banding diperhitungkan sebagai kredit pajak di
dalam pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2010;
- Pemohon Banding tidak mengajukan permohonan
pengembalian pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang melalui mekanisme surat permohonan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas serta mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Majelis berpendapat:
bahwa secara substansi Pemohon Banding memiliki hak atas pengembalian
Pajak yang seharusnya tidak terutang atas perolehan TBS sebesar
Rp314.653.410,-;
bahwa pengembalian pembayaran pajak yang tidak terutang dapat diminta
oieh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut (pembeli) dengan surat
permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai
biaya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007, ketentuan
ini secara implisit mengisyaratkan dan mengandung pengertian bahwa:
- disamping menempuh jalur pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang melalui surat permohonan;
- permohonan pengembalian pajak yang seharusnya tidak
terutang dapat
juga difakukan melalui mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam
pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai maupun mekanisme pembebanan
sebagai biaya dalam SPT Tahunannya, hal ini sesuai dengan prinsip
kesederhanan prosedur dalam rangka peningkatan pelayanan sebagai ciri
dan tujuan sistem administrasi perpajakan;
bahwa terkait temuan Terbanding mengenai pengkreditan Pajak Masukan
atas perolehan TBS yang seharusnya tidak terutang sebesar
Rp314.653.410,- yang dilaporkan Pemohon Banding dalam SPT Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2010 hendaknya dipahami sebagai upaya
dari Pemohon Banding untuk memperoleh pengembalian pajak yang
seharusnya terutang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 190/PMK.03/2007;
bahwa koreksi Pajak Masukan terkait dengan substansi pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang berupa perolehan TBS oleh Terbanding
dengan alasan perolehan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN justru bertentangan dengan semangat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP juncto
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
bahwa secara administratif penyelesaian Pajak Masukan yang dikreditkan
sehubungan dengan penyerahan TBS a quo tidak perlu dilakukan koreksi
positif dan tetap dapat diperhitungkan dengan Pajak Keluaran meskipun
secara substansi penyerahan TBS tidak terutang PPN;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan
terdapat fakta dan dasar hukum yang cukup meyakinkan Majelis bahwa
Pajak Masukan atas perolehan TBS yang tidak seharusnya terutang tetap
dapat diperhitungkan dalam pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa
Pajak Juni 2010;
bahwa dengan demikian koreksi positif Terbanding atas Pajak Masukan
terkait dengan perolehan TBS sebesar Rp314.653.410,- yang tidak
seharusnya terutang pada pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa
Pajak Juni 2010, tidak dipertahankan;
- Koreksi positif Pajak Masukan yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS sebesar Rp588.643.429,-;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, Terbanding (cfm Pemeriksa)
menyimpulkan bahwa Pemohon Banding telah mengkreditkan Pajak Masukan
atas pembelian pembelian pupuk, obat pembasmi hama, dan obat-obatan
kimia merupakan pajak masukan yang digunakan untuk kegiatan yang
berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan
TBS. Terbanding (cfm Pemeriksa) melakukan koreksi atas Pajak Masukan
sebesar Rp588.643.429,-;
bahwa berdasarkan data, fakta dan penjelasan yang disampaikan oleh
Pemohon Banding dan Terbanding di persidangan menurut Majelis dapat
diketahui hal-hal sebagai berikut:
- bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding adalah
industri penghasil minyak
kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) yang mengolah Tandan Buah Segar
(TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menjadi CPO sebagai
hasil akhir pabrikasi. TBS hasil kebun sendiri yang Pemohon Banding
hasilkan seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO;
- bahwa yang dikoreksi oleh Terbanding adalah Pajak
Masukan sebesar
Rp588.643.429,- atas pembelian pupuk dan bahan kimia yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS yang selanjutnya dioleh
menjadi Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) oleh Pemohon Banding
dalam perusahaan yang sama;
- bahwa atas penyerahan Tandah Buah Segar (TBS) dari
unit perkebunan ke
pabrik bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1
angka 4 Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2000 karena antara kebun dan
pabrik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai suatu
entitas usaha dan merupakan mata rantai produksi yang tidak terputus;
- bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan
Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP- 87/PJ./2002 pemakaian Barang Kena Pajak dan atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
- bahwa produk akhir dari hasil olahan atas Tandan
Buah Segar berupa
minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) merupakan Barang Kena Pajak
yang pada saat penyerahan kepada pihak pembeli dikenakan PPN sebesar
10%;
bahwa dengan demikian berdasarkan data, fakta, bukti dan ketentuan
peraturan yang disampaikan dalam sengketa banding ini serta keyakinan
hakim, Majelis berpendapat koreksi positif Terbanding atas Pajak
Masukan sebesar Rp588.643.429,- tidak dapat dipertahankan
- Bahwa dasar hukum yang digunakan Pemohon Peninjauan
Kembali (semula
Terbanding) terkait sengketa a quo adalah sebagai berikut :
2.1.
|
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 (UU PPN) Pasal 16B
- Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau
seluruhnya atau
dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun
selamanya,untuk :
- kegiatan di kawasan tertentu atau tempat
tertentu di dalam Daerah Pabean;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau
penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
- impor Barang Kena Pajak tertentu;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak
berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
- Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan/
atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut
Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
- Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan/
atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Penjelasan Pasal 16B
Ayat (1)
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang
Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam
bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada
kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakekatnya untuk
memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama
untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi
dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
Kemudahan perpajakan yang diatur dalam pasal ini diberikan terbatas
untuk :
- mendorong ekspor yang merupakan prioritas
nasional di Tempat
Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean
yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
- menampung kemungkinan perjanjian dengan
negara lain dalam bidang
perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah
diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
- mendorong peningkatan kesehatan masyarakat
melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi
nasional;
- menjamin tersedianya peralatan Tentara
Nasional Indonesia/Kepolisian
Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah
Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
- menjamin tersedianya data batas dan foto
udara wilayah Republik
Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk
mendukung pertahanan nasional;
- meningkatkan pendidikan dan kecerdasan
bangsa dengan membantu
tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama
dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
- mendorong pembangunan tempat ibadah;
- menjamin tersedianya perumahan yang
harganya terjangkau oleh
masyarakat lapisan bawah yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana,
dan rumah susun sederhana;
- mendorong pengembangan armada nasional di
bidang angkutan darat, air, dan udara;
- mendorong pembangunan nasional dengan
membantu tersedianya barang yang
bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
- menjamin terlaksananya proyek pemerintah
yang dibiayai dengan hibah dan/ atau dana pinjaman luar negeri;
- mengakomodasi kelaziman internasional dalam
importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea
Masuk;
- membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/
atau Jasa Kena Pajak
yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan
sebagai bencana alam nasional;
- menjamin tersedianya air bersih dan listrik
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/ atau
- menjamin tersedianya angkutan umum di udara
untuk mendorong
kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang
tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang
perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan
dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
Ayat (2)
Adanya perlakuan khusus berupa Pajak Pertambahan Nilai yang terutang,
tetapi tidak dipungut, diartikan bahwa Pajak Masukan yang berkaitan
dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang
mendapat perlakuan khusus dimaksud tetap dapat dikreditkan.Dengan
demikian, Pajak Pertambahan Nilai tetap terutang, tetapi tidak dipungut.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak A memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari Negara, yaitu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas
penyerahan Barang Kena Pajak tersebut tidak dipungut selamanya (tidak
sekedar ditunda).
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak A
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak A membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Jika Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A
kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, Pajak Masukan tetap dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran walaupun Pajak Keluaran tersebut
nihil karena menikmati fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut
dari negara berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (3)
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
|
2.2.
|
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK
Pasal 78
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.
Pasal 91 huruf e
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut:
- Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
2.3.
|
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2001
TENTANG IMPOR DAN ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG
BERSIFAT STRATEGIS YANG DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN
NILAI SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2007
Pasal 1 angka 1 dan angka 2:
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis adalah:
- barang modal berupa mesin dan peralatan
pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk
suku cadang;
- makanan ternak, unggas, dan ikan dan/atau
bahan baku untuk pembuatan makanan ternak, unggas dan ikan;
- barang hasil pertanian;
- bibit dan/atau benih dari barang pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, penangkaran atau perikanan;
- dihapus;
- dihapus;
- air bersih yang dialirkan melalui pipa oleh
Perusahaan Air Minum;
- listrik, kecuali untuk perumahan dengan
daya di atas 6.600 (enam ribu enam ratus) watt; dan
- Rumah Susun Sederhana Milik (RUSUNAMI).
- Barang hasil pertanian adalah barang yang
dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang :
- pertanian, perkebunan dan kehutanan;
- peternakan, perburuan atau penangkapan,
maupun penangkaran; atau
- perikanan baik dari penangkapan atau
budidaya, yang dipetik
langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya
termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia
simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
berupa :
- barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 huruf c;
Pasal 3
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atas Jasa Kena Pajak
sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
|
2.4.
|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 190/PMK.03/2007 TENTANG TATA CARA
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG
(PMK Nomor 190)
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan pajak yang
seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh Wajib
Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan
pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau
dipungut lebih besar dari pada pajak yang seharusnya dipotong atau
dipungut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
atau bukan merupakan objek pajak.
Pasal 3
- Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau
pemungutan pajak yakni:
- pajak yang dipotong atau dipungut lebih
besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;atau
- pajak yang dipotong atau dipungut
seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut,
dan pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut telah disetorkan
dan dilaporkan, Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan
atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan tidak dapat meminta
kembali pajak yang salah dipotong atau dipungut tersebut.
- Dalam hal kesalahan pemotongan atau pemungutan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan terhadap Pajak Penghasilan, pajak yang salah
dipotong atau dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak
yang dipotong atau dipungut dengan surat permohonan, sepanjang belum
dikreditkan.
- Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali
oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan,
sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.
Pasal 6 ayat (2)
Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya
tidak terutang yang diajukan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau
dipungut atau Pengusaha Kena Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 harus dilampiri, antara lain :
- asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
- perhitungan pajak yang seharusnya tidak
terutang;dan
- alasan permohonan pengembalian pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
|
2.5.
|
KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
575/KMK.04/2000 SEBAGAIMANA TELAH DIGANTI DENGAN PERATURAN MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78/PMK.03/2010 TENTANG PEDOMAN
PENGHITUNGAN PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG
MELAKUKAN PENYERAHAN YANG TERUTANG PAJAK DAN PENYERAHAN YANG TIDAK
TERUTANG PAJAK; |
2.6.
|
SURAT
EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE- 90/PJ/2011 TENTANG
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN PADA PERUSAHAAN TERPADU (INTEGRATED) KELAPA
SAWIT;
Butir 6
Ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu
(integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan
barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai
dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya
terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
(CPO/PKO), dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil
pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS),
tidak dapat dikreditkan;
- Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang
Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak
sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
|
- Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang
berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa Banding di
Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan
Pengadilan Pajak Nomor: Put.57872/PP/M.XIIIB/16/2014 tanggal 27
November 2014 serta berdasarkan fakta-fakta yang nyata-nyata terungkap
pada persidangan, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
menyatakan sangat keberatan dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan
Pajak yang tidak mempertahankan koreksi Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan sebagaimana diuraikan di atas dengan penjelasan sebagai
berikut:
3.1.
|
Bahwa
kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali adalah industri
penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) yang mengolah
Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri
menjadi CPO sebagai hasil akhir pabrikasi. TBS hasil kebun sendiri yang
Termohon Peninjauan Kembali hasilkan seluruhnya kemudian diolah lebih
lanjut untuk menghasilkan CPO.
|
3.2.
|
Bahwa
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi
Pajak Masukan sebesar Rp286.164.002,- berdasar Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 terkait
perusahaan terintegrasi. Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
melakukan koreksi positif karena Pajak Masukan tersebut berasal dari
pembelian TBS dan pajak masukan atas kegiatan yang berhubungan langsung
dengan perkebunan kelapa sawit.
Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) TBS
merupakan barang hasil perkebunan kelapa sawit, dan barang hasil
perkebunan termasuk dalam Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai
Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tanggal 22 Maret 2001
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007.
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 16B
ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Artinya bahwa tidak dapat
dikreditkannya Pajak Masukan sehubungan untuk menghasilkan TBS adalah
karena kategori penyerahan yang termasuk dibebaskan dari pengenaan PPN
dan bukan karena hubungan sebab akibat telah terjadi atau tidak
terjadinya penyerahan;
|
3.3.
|
Bahwa
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak
setuju dengan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
tersebut karena seluruh penyerahan Barang Kena Pajak (berupa: Crude
Palm Oil, Palm Kernel, Shell Palm dan Material/Sparepart) dan Jasa Kena
Pajak (berupa: Jasa Olah) yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) adalah dengan terutang Pajak
Pertambahan Nilai, yakni:
- Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa penyerahan
yang PPNnya harus
dipungut sendiri dan penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut sesuai
dengan SK Menkeu Nomor 291/KMK.05/1997 tanggai 26 Juni 1997), dan
- Terutang PPN dengan tarif 10% (berupa Penyerahan
Ekspor);
bahwa sama sekali tidak ada penyerahan BKP/JKP yang tidak terutang PPN
dan/atau penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang
dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
bahwa dengan demikian sesungguhnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan
Penyerahan Yang Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang
Pajak, telah diterapkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) sesuai dengan perhitungan yang benar;
bahwa oleh karena itu, sudah selayaknya apabila Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak tersebut di atas
(berupa: BKP Crude Palm Oil, BKP Palm Kernel, BKP Shell Palm, BKP
Material/Sparepart dan JKP Jasa Olah) yang dikoreksi oleh Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) ini, dapat dikreditkan oleh
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
|
3.4.
|
Bahwa
terhadap sengketa a quo, Majelis berpendapat sebagai berikut:
- Koreksi positif Pajak Masukan atas perolehan TBS
sebesar Rp314.653.410,-;
bahwa berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan diketahui terdapat satu
faktur Pajak Masukan yang berasal dari pembelian TBS yang dilaporkan
pada Masa Pajak Juni 2010 dengan rincian sebagai berikut:
NO
|
LAWAN
TRANSAKSI
|
FAKTUR
PAJAK
|
DPP |
PPN |
Keterangan |
NPWP |
NAMA |
NOMOR |
TANGGAL |
1.
|
0X.
XXX. XXX.X. 0XX.00
|
PT.
DFG
|
0X0.
000. X00 0000 XX0
|
30/04/2010
|
672.231
|
67.223.126
|
Fresh
Fruit Bunch
|
|
|
|
|
|
672.231.260
|
67.223.126
|
|
bahwa terkait dengan koreksi positif Pajak Masukan yang berasal dari
pembelian TBS Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
berpendapat bahwa TBS termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat
Strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai oleh karenanya tidak dapat dilaporkan sebagai Pajak
Masukan yang dapat diperhitungkan dalam pelaporan Masa Pajak Juni 2010;
bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) secara
implisit menyatakan tidak setuju dengan pendapat Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) mengingat tidak terdapat cacat dalam
penerbitan Faktur Pajak Masukan tersebut maka Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) melakukan pengkreditan pada Masa Pajak
Juni 2010;
bahwa menurut Majelis, Tandan Buah Segar adalah termasuk Barang Kena
Pajak yang bersifat strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan Majelis berpendapat dalam sistem
penerapan pemungutan pajak yang terutang bagi pihak lain (with holding
tax) kesalahan interpretasi atau perbedaan penafsiran atas ketentuan
perpajakan dapat menyebabkan terjadinya pemungutan pajak yang
seharusnya tidak terutang;
bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penelitian Majelis terhadap dokumen
bukti, keterangan baik secara lisan maupun tulisan diperoleh fakta
sebagai berikut:
- telah terjadi pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atas penyerahan TBS
(yang seharusnya tidak terutang) oleh Pengusaha Kena Pajak penjual (PT
DFG) kepada Pengusaha Kena Pajak pembeli (Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding));
- Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) memperoleh
Faktur Pajak Masukan terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai
atas penyerahan TBS (yang seharusnya tidak terutang);
- Faktur Pajak Masukan atas perolehan TBS (yang
seharusnya tidak
terutang) oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
diperhitungkan sebagai kredit pajak di dalam pelaporan Pajak
Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2010;
- Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) tidak mengajukan
permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
melalui mekanisme surat permohonan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas serta mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Majelis berpendapat:
bahwa secara substansi Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) memiliki hak atas pengembalian Pajak yang seharusnya tidak
terutang atas perolehan TBS sebesar Rp314.653.410,-;
bahwa pengembalian pembayaran pajak yang tidak terutang dapat diminta
oieh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut (pembeli) dengan surat
permohonan, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai
biaya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007, ketentuan
ini secara implisit mengisyaratkan dan mengandung pengertian bahwa:
- disamping menempuh jalur pengembalian pajak
yang seharusnya tidak terutang melalui surat permohonan;
- permohonan pengembalian pajak yang seharusnya
tidak terutang dapat
juga difakukan melalui mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dalam
pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai maupun mekanisme pembebanan
sebagai biaya dalam SPT Tahunannya, hal ini sesuai dengan prinsip
kesederhanan prosedur dalam rangka peningkatan pelayanan sebagai ciri
dan tujuan sistem administrasi perpajakan;
-
bahwa terkait temuan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan TBS yang seharusnya
tidak terutang sebesar Rp314.653.410,- yang dilaporkan Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dalam SPT Pajak Pertambahan
Nilai Masa Pajak Juni 2010 hendaknya dipahami sebagai upaya dari
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk memperoleh
pengembalian pajak yang seharusnya terutang sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
- Bahwa koreksi Pajak Masukan terkait dengan
substansi pembayaran pajak
yang seharusnya tidak terutang berupa perolehan TBS oleh Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan alasan perolehan Barang
Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN justru
bertentangan dengan semangat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2)
Undang-Undang KUP juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007;
- bahwa secara administratif penyelesaian Pajak
Masukan yang dikreditkan
sehubungan dengan penyerahan TBS a quo tidak perlu dilakukan koreksi
positif dan tetap dapat diperhitungkan dengan Pajak Keluaran meskipun
secara substansi penyerahan TBS tidak terutang PPN;
- bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas,
Majelis berkesimpulan
terdapat fakta dan dasar hukum yang cukup meyakinkan Majelis bahwa
Pajak Masukan atas perolehan TBS yang tidak seharusnya terutang tetap
dapat diperhitungkan dalam pelaporan SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa
Pajak Juni 2010;
- bahwa dengan demikian koreksi positif Pemohon
Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) atas Pajak Masukan terkait dengan perolehan TBS
sebesar Rp314.653.410,-; yang tidak seharusnya terutang pada pelaporan
SPT Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Juni 2010, tidak dipertahankan;
- Koreksi positif Pajak Masukan yang nyata-nyata
digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS sebesar Rp588.643.429,-;
-
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) (cfm Pemeriksa) menyimpulkan bahwa Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) telah mengkreditkan Pajak Masukan atas
pembelian pembelian pupuk, obat pembasmi hama, dan obat-obatan kimia
merupakan pajak masukan yang digunakan untuk kegiatan yang berhubungan
langsung dengan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS. Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) (cfm Pemeriksa) melakukan
koreksi atas Pajak Masukan sebesar Rp588.643.429,-;
- Bahwa berdasarkan data, fakta dan penjelasan yang
disampaikan oleh
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) di persidangan menurut Majelis
dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
- bahwa kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon
Banding) adalah industri penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil
- CPO) yang mengolah Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari
hasil kebun sendiri menjadi CPO sebagai hasil akhir pabrikasi. TBS
hasil kebun sendiri yang Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) hasilkan seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan CPO;
- bahwa yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan
Kembali (semula
Terbanding) adalah Pajak Masukan sebesar Rp286.164.002,- atas pembelian
pupuk dan bahan kimia yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan TBS yang selanjutnya dioleh menjadi Crude Palm Oil (CPO)
dan Palm Kernel (PK) oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) dalam perusahaan yang sama;
- bahwa atas penyerahan Tandah Buah Segar (TBS)
dari unit perkebunan ke
pabrik bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1
angka 4 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 karena antara kebun dan
pabrik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai suatu
entitas usaha dan merupakan mata rantai produksi yang tidak terputus;
- bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Keputusan
Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP- 87/PJ./2002 pemakaian Barang Kena Pajak dan atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif belum merupakan
penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehingga tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
- bahwa produk akhir dari hasil olahan atas Tandan
Buah Segar berupa
minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) merupakan Barang Kena Pajak
yang pada saat penyerahan kepada pihak pembeli dikenakan PPN sebesar
10%;
-
Bahwa dengan demikian berdasarkan data, fakta, bukti dan ketentuan
peraturan yang disampaikan dalam sengketa banding ini serta keyakinan
hakim, Majelis berpendapat koreksi positif Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) atas Pajak Masukan sebesar Rp588.643.429,- tidak
dapat dipertahankan;
|
3.5.
|
Bahwa
berdasarkan pendapat/putusan Majelis di atas, data dan fakta
serta ketentuan yang terkait, Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) sampaikan pendapat sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan pembahasan sengketa dalam
persidangan diketahui
terdapat dua koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan
dengan perincian sebagai berikut:
- Terhadap sengketa berupa koreksi positif Pajak
Masukan atas perolehan
TBS sebesar Rp314.653.410,- disampaikan sebagai berikut:
a.
Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan TBS yaitu
pembelian TBS
b. Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan TBS
Jumlah
|
Rp
314.653.410,00
Rp 588.643.429,00
Rp 903.296.839,00
|
- bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) berpendapat TBS
termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai oleh
karenanya tidak dapat dilaporkan sebagai Pajak Masukan yang dapat
diperhitungkan dalam pelaporan SPT Masa;
- bahwa pada prinsipnya, Majelis sependapat
dengan prinsip Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) di atas bahwa Barang Kena Pajak
yang bersifat strategis atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan
PPN, hal tersebut tertuang pada halaman 58 putusan a quo yang
menyatakan:
“bahwa menurut Majelis, Tandan Buah Segar adalah termasuk
Barang Kena
Pajak yang bersifat strategis berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2007 yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;”
- fakta pada persidangan diketahui bahwa telah
terjadi pemungutan PPN
atas penyerahan TBS (yang seharusnya tidak terutang) oleh Pengusaha
Kena Pajak Penjual (PT DFG) kepada Pengusaha Kena Pajak
Pembeli (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding));
bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memperoleh
Faktur pajak terkait dengan pemungutan PPN atas penyerahan TBS tersebut
dan diperhitungkan sebagai kredit pajak di dalam pelaporan PPN Masa
Pajak Juni 2010;
- bahwa diperoleh fakta juga bahwa Termohon
Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) tidak mengajukan permohonan pengembalian pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang melalui mekanisme surat permohonan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
menempuh mekanisme pengkreditan Pajak Masukan sebagai upaya Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk memperoleh
pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007;
- Karena Majelis dalam putusannya menggunakan
dasar ketentuan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007, maka perlu diteliti lebih
lanjut ketentuan di dalamnya yang terkait dengan sengketa ini;
- Bahwa dengan mengacu pada Pasal 3 ayat (3)
PMK Nomor 190 menyebutkan:
“Dalam hal kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dilakukan terhadap Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan
atas Barang Mewah, kesalahan pemungutan tersebut dapat diminta kembali
oleh Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dengan surat permohonan,
sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai
biaya.”
Seharusnya Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang namun pada faktanya Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) memilih menggunakan mekanisme
pengkreditan Pajak Masukan sebagai upaya Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) untuk memperoleh pengembalian pajak yang
seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 190/PMK.03/2007 ketimbang. Oleh karenanya Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat lagi mengajukan
permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud di atas;
- Bahwa dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
190/PMK.03/2007 juga
diatur mengenai adanya pembuktian kebenaran substansi yaitu diatur
dalam Pasal 6. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang harus dilampiri khususnya dengan asli bukti
pembayaran pajak (Pasal 6);
- Dengan demikian, pilihan mekanisme yang
digunakan oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yaitu dengan mengkreditkan
pajak masukannya juga harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 PMK Nomor
190/PMK.03/2007 tersebut. Untuk dapat mengklaim adanya kelebihan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) harus dapat membuktikan bahwa PPN
tersebut telah dibayar ke kas negara;
- Bahwa fakta yang terungkap dalam persidangan,
Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menunjukkan bukti pembayaran PPN
tersebut dan dengan demikian klaim Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) berupa pengkreditan pajak masukan sebesar
Rp314.653.410,- atas perolehan TBS yang seharusnya tidak terutang juga
tidak dapat diakui. Bahwa hal yang sama juga berlaku untuk permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
- Bahwa pada persidangan, Majelis tidak cermat
dalam membaca dan
menafsirkan ketentuan PMK Nomor 190 tersebut dan tidak ada pembuktian
dalam persidangan kalau PPN yang diklaim Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding) tersebut telah dibayarkan. Oleh karenanya
kebenaran substansi transaksi berupa pembayaran PPN sebesar
Rp314.653.410,- tidak terbukti:
- Bahwa berdasarkan Pasal 78 Undang-undang
Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
- Bahwa oleh karenanya, pendapat/putusan
Majelis yang tidak
mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
atas Pajak Masukan terkait dengan perolehan TBS sebesar Rp314.653.410,-
tidak sesuai dengan fakta dan bukti di persidangan serta tidak sesuai
dengan ketentuan perpajakan yang berlaku sehingga tidak memenuhi
ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak dan diajukan Peninjauan Kembali
ke Mahkamah Agung;
- Terhadap sengketa berupa koreksi positif Pajak
Masukan sebesar Rp588.643.429,- disampaikan sebagai berikut:
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN
adalah sebagai berikut:
Untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak,
menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor,
menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian
lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan
perlakuan khusus. Namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut
harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undang-undang
perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan perundang-undangan.
- Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2001 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, merupakan
aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang
menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang
teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama
dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di
dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut;
- Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang
dilakukan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas yaitu meningkatkan daya saing dan memberi
perlakuan yang sama, bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah
mengabaikan prinsip equal karena tidak mempertimbangkan Wajib Pajak
lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
- Bahwa secara teoritis prinsip perlakuan yang
sama atau adil (equal
treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah
sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax), Sally M. Jones dan
Shelley C. Rhoades-Catanach dalam bukunya Priciples of Taxation for
Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin
halaman 22 menulis: antara lain Pajak yang baik seharusnya adil,
selanjutnya dalam halaman
32-37 menyebutkan kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut
antara lain: keadilan horizontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak
yang sama seharusnya mendapatkan perlakuan pajak yang sama;
- Bahwa konsep keadilan horisontal di atas
sudah sejalan dengan
prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana juga
diamanatkan dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
“Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
- Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan
yang sama atas PK dan PM, dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan
TBS - PM kebun tidak dapat dikreditkan;
- PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur
Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi
CPO;
Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
- Atas penyerahan CPO terutang PPN;
- Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
- PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang
dibeli, selanjutnya menjadi unsur HPP bagi CPO;
Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- PM kebun dibiayakan dan akan menjadi
unsur HPP bagi CPO;
- Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated
antara kebun sawit dan
pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang
berbeda pada:
- Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan
Sawit saja yang
mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang
mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk
harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan
tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas
CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat.
Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO
mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi,
sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak
Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah;
- Oleh karena itu, demi terciptanya
persaingan bisnis yang sehat dan
menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan
harus sama, yaitu tidak ada PK baik atas penyerahan konsumtif,
produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada PM
yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun
ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk);
- Bahwa prinsip netralitas dalam Pajak
Pertambahan Nilai perlu
dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki
adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika
Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat
dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu
memiliki unit pengolahan (termasuk didalamnya adalah para petani), akan
kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena PM menjadi
HPP). Hal tersebut bertentangan dengan netralitas PPN yang menghendaki
PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis.
- Bahwa selain itu, apabila dicermati,
ketentuan yang diatur dalam
Pasal 16B ayat (3) UU PPN disebutkan dengan redaksional, sebagai
berikut: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak
dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat
dikreditkan”.
Bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hal 1277, Edisi Ketiga,
Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta 2007, kata
“yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian
kalimat berikutnya
menjelaskan kata yang didepannya. Oleh karena itu, Kalimat
“atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak
dapat dikreditkan”, bukan merupakan kalimat utama, melainkan
kalimat
keterangan atau penjelas dari kalimat “Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena
Pajak”. Kalimat tersebut merupakan jawaban atas pertanyaan
Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bagaimana. Kalimat tersebut bukan
kalimat utama, melainkan kalimat penjelas kalimat sebelumnya. Dengan
demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau
tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis
BKP/JKP yang diperolehnya, yang dalam kasus ini adalah TBS.
Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat
(3) UU PPN dapat dipahami : Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
TBS tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa PPN merupakan pajak objektif, yaitu
suatu jenis pajak yang
saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif
(taatbestand) atau objek pajak. Mengingat dalam hal ini, obyeknya
adalah TBS yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka:
- Tidak ada PK baik atas penyerahan
konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk);
- Dengan tidak ada PK, maka tidak ada PM
yang dikreditkan, baik atas
penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS
busuk);
- Bahwa dalam penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU
PPN diberikan contoh sebagai berikut:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Untuk memproduksi
Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang
Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan
pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/ atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan;
Bahwa kata yang digunakan dalam pasal 16B adalah
“Memproduksi” bukan
“Menyerahkan. Pemilihan kata
“Memproduksi” dalam Penjelasan Pasal 16B
ayat (3) UU PPN menguatkan karakter objektif PPN. Kepada siapapun,
dengan cara apapun, dan dalam kondisi apapun, sesuai karakter objektif
dari pengenaan PPN, atas produk TBS dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Bahwa mengenai perihal ketentuan khusus dari
Pasal 16B UU PPN, bahwa
karena kekhususannya tersebut maka Pasal 16B UU PPN lebih utama
dibandingkan dengan ketentuan yang bersifat umum, Jika untuk
mengkoreksi Pajak Masukan menurut Pasal 16B UU PPN harus memastikan
adanya penyerahan kepada pihak ketiga, lalu pertanyaan yang timbul
kemudian adalah untuk apa UU PPN mengatur dua kali.
Bukankah hal tersebut sudah diatur di pasal 9 ayat (5), inilah
kekhususan dari Pasal 16B UU PPN tersebut;
Bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak
Terutang Pajak sebagai pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000 dan Surat Edaran Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) Nomor SE-90/PJ/2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada
Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit juga mengatur sebagai
berikut:
- Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan dalam rangka menghasilkan
BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam 2 (dua) ketentuan tersebut di
atas berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi usaha kelapa
sawit terpadu (integrated) maupun bagi usaha kelapa sawit yang tidak
terpadu {non integrated), hal ini sesuai dengan prinsip perlakuan yang
sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B
ayat (1) Undang-Undang PPN tersebut pada angka 2;
- Bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang
terpadu (Integrated) yang
terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan
menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
Dengan demikian dapat disampaikan :
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena
Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan PP Nomor 31 Tahun 2007, maka Pasal 16 B ayat (3) UU PPN
dapat dipahami : Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak
dapat dikreditkan.
- Bahwa PPN atas pupuk dan pembelian
lainnya yang dikeluarkan di
kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan Tandan Buah Segar
(TBS), yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan;
Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor
51/P/PTS/XII/2011/P/HUM/2010 mengenai Perkara Permohonan Uji Materi
Terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena
Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak Terutang Pajak pada intinya memutuskan bahwa secara kaidah dan
norma di dalam PMK-78/PMK.03/2010 tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan perpajakan yang lebih tinggi, kaidah dan norma di dalam
PMK-78/PMK.03/2010 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN pada
prinsipnya sama dengan kaidah dan norma dalam Keputusan Menteri
Keuangan nomor 575/KMK.04/2000 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU
PPN dan Pasal 16B UU PPN, dengan demikian secara yuridis kebijakan
tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak
Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa
berupa pupuk dan pembelian lainnya yang dipergunakan di unit perkebunan
yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari pengenaan
PPN;
Bahwa kemudian, terdapat Putusan Mahkamah Agung No-70 P/HUM/2014
Perkara Permohonan Hak Uji Materiil antara Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (KADIN) melawan Presiden Republik Indonesia, yang mana dalam
putusan tersebut Mahkamah Agung menerima uji materi yang disampaikan
oleh KADIN.
Sebagaimana diketahui bahwa Permohonan Hak Uji Materi terhadap
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, berkaitan dengan materi:
- Pasal 1 ayat (1) huruf C
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
barang hasil pertanian;
- Pasal 1 ayat (2) huruf A
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan
usaha di bidang:
pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
- Pasal 2 ayat (1) huruf F
Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf
c,
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.Pasal 2 ayat (2)
huruf C
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
berupa:
barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf
c;
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Bahwa sehubungan dengan putusan Mahkamah Agung atas Hak Uji Materiil
tersebut, dengan ini dapat kami sampaikan tanggapan sebagai berikut:
Bahwa apabila suatu putusan telah dibuat maka ada jangka waktu
pelaksanaannya sampai dengan dinyatakan tidak berlaku atau dicabut.
Bahwa dalam ketentuan UU PERATUN dikenal asas vermoeden van
rechmatigheid yang berarti bahwa “keputusan organ
pemerintahan yang
digugat hanya dapat dibatalkan dan bukan batal demi hukum”.
Bahwa
istilah dibatalkan atau vernietigbar, berarti bahwa bagi hukum
perbuatan yang dilakukan dan akibatnya dianggap ada sampai waktu
pembatalan oleh hakim atau badan pemerintah lain yang berwenang. Badan
pemerintah lain yang berwenang di sini dapat dikatakan adalah Presiden
selaku yang berwenang dalam penetapan PP tersebut.
Bahwa dalam vernietigbaar, salah satu unsurnya adalah ex nunc, yang
secara harfiah diterjemahkan “sejak saat sekarang”.
Dalam konteks ini,
ex nunc berarti perbuatan dan akibatnya dianggap ada sampai saat
pembatalannya.
Bahwa sesuai dengan penjelasan di atas berarti bahwa sebelum ada terbit
putusan yang memperbarui atau membatalkan peraturan yang lama, maka
peraturan tersebut, dalam hal ini PP 31 tahun 2007, masih tetap berlaku
dan dipakai sebagai pedoman sampai dengan dinyatakan Tidak Berlaku lagi
atau dicabut.
Bahwa sesuai dengan asas vermoeden van rechmatigheid, MA dalam
putusannya membatalkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1
ayat (1) huruf C, Pasal 1 ayat (2) huruf A, Pasal 2 ayat (1) huruf F,
dan Pasal 2 ayat (2) huruf C, PP Nomor 31 Tahun 2007. Putusan Perkara
Permohonan Hak Uji Materi No.70P/HUM/2014 tersebut ditetapkan pada
tanggal 25 Februari 2014. Dan sesuai dengan kaidah ex nunc maka
perlakuan atas kasus-kasus yang terjadi sebelum keluarnya putusan Uji
Materi ini masih TETAP menggunakan ketentuan yang berlaku pada saat itu
sebelum putusan MA tersebut ditetapkan, dalam hal ini PP Nomor 31 tahun
2007 atau ketentuan-ketentuan sebelumnya.
Dengan demikian, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
berkesimpulan bahwa Putusan perkara Permohonan Hak Uji Materi mulai
berlaku ke depan sejak tanggal ditetapkan.
Bahwa sejak tanggal ditetapkan tersebut dan ke depannya, perlakuan
perpajakan atas barang pertanian yang bersifat strategis tidak dapat
lagi mengacu kepada PP Nomor 31 Tahun 2007.
Dengan demikian, Putusan MA atas Uji Materiil PP 31 tahun 2007 tersebut
TIDAK BERPENGARUH terhadap sengketa antara Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) dengan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) untuk tahun pajak 2010 karena dalam kurun waktu tersebut, PP
tersebut masih berlaku dan belum dibatalkan, dan dengan demikian masih
sangat relevan dijadikan pedoman oleh Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) dalam melaksanakan tugas di bidang perpajakan.
Berdasarkan seluruh uraian di atas telah jelas bahwa Pajak Masukan
dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak dapat
dikreditkan mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang bersifat
strategis. Oleh karenanya putusan Majelis Hakim yang mengabulkan
banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebesar
Rp588.643.429,- dengan mendasarkan pada TBS yang diproses di pabrik
sendiri adalah tidak tepat. Fokus seharusnya terletak pada TBS sebagai
Barang Kena Pajak yang bersifat strategis, dengan demikian baik TBS
tersebut diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri
untuk menghasilkan CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tetap tidak
dapat dikreditkan. Oleh karenanya atas banding Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) yang dikabulkan Majelis Hakim sebesar
Rp588.643.429,- diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung;
Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma Hukum dalam hal ini
adalah undang-undang merupakan hukum konkrit sebagai peraturan yang
riil berlaku sebagai hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan;
Bahwa demi menjamin kepastian hukum, maka ketentuan tersebut sebagai
Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim;
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka
seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukum
dengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan;
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan :
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;”
|
Bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa amar pertimbangan dan
amar putusan Majelis yang berketetapan mengabulkan banding Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap koreksi Pajak
Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp903.296.839,- bertentangan
dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) Undang-undang PPN, Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.03/2010, sehingga melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang
Nomor 14 tentang Pengadilan Pajak, oleh karena itu diajukan Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung;
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan
sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru
serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan, sehingga
putusan Majelis Hakim a quo tidak memenuhi ketentuan Pasal 78
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor:
Put.57872/PP/M.XIIIB/16/2014 tanggal 27 November 2014 harus dibatalkan;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian
Permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor:
KEP-649/WPJ.01/2013 tanggal 2 September 2013, mengenai keberatan atas
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai
Barang Dan Jasa Masa Pajak Juni 2010 Nomor: 00049/207/10/123/12 tanggal
19 Juni 2012 atas nama Pemohon Banding, NPWP : 0X.XXX.XXX.X-XXX.000,
sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp64.484.744,00 adalah
sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
- Bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali dalam
perkara a
quo yaitu koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp903.296.839,00; yang tidak dapat dipertahankan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti
dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori
Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan
Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta
dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta
pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo
kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding
adalah industri penghasil minyak kelapa sawit berupa CPO yang mengolah
TBS sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri menghasilkan CPO
sebagai hasil akhir pabrikasi dan penyerahan TBS dari unit perkebunan
ke pabrik bukan termasuk penyerahan BKP, dimana atas penyerahan CPO
kepada pembeli terutang PPN sebesar 10%, sehingga Pajak Masukan atas
penyerahan CPO dapat dikreditkan dan oleh karenanya koreksi Terbanding
(sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) tidak dapat dipertahankan karena
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 2
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-87/PJ/2002.
- Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan
Pajak
yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: DIREKTUR
JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan
karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK
tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Senin, tanggal 5 Desember 2016, oleh H. XYZ, S.H., M.H., Hakim
Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis,
Dr. H. M. FFF, S.H., M.S., dan Dr. GGG, S.H.,
C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH,
S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis :
ttd/
Dr. H. M. FFF, S.H., M.S.,
ttd/
Dr. GGG,
S.H., C.N.,
Biaya – biaya :
1. M e t e r a
i……………..
Rp
6.000,00
2. R e d a k s
i…………….. Rp
5.000,00
3. Administrasi
………..….
Rp
2.489.000,00
Jumlah
……….
Rp 2.500.000,00
|
Ketua Majelis:
ttd/
H. XYZ, S.H., M.H.,
Panitera Pengganti
ttd/
HHH, S.H.,
|
Untuk Salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara
(H. RTY, S.H.)
NIP. XX0000XXX
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.