PUTUSAN
Nomor 1435/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

PT. XXX, NPWP : 01.774.xxxx, beralamat korespondensi di R Tower Lantai yy, Jl. DD Kav. E, Mega Kuningan, Jakarta 12xxx; dan alamat keputusan di Ruko M Blok B, Jl. SS, Karang Asam Ulu, Sungai Kunjang, Samarinda 75xxx, dalam hal ini diwakili oleh Ir. AAA selaku Direktur Utama;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

melawan:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta 12190;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut:

Bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012 diterbitkan berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak KPP Madya Balikpapan Nomor LAP-108/WPJ.14/KP.0505/2012 tanggal 22 Juni 2012;

Bahwa atas Surat Ketetapan Pajak a quo, Pemohon Banding mengajukan keberatan dengan Surat Nomor JMB-GT/T.056/KPP/IX/2012 tanggal 26 September 2012 dan dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013 permohonan tersebut ditolak, sehingga dengan Surat Nomor JMB-GT/T.398/PP/XII/2013 tanggal 04 Desember 2013 Pemohon Banding mengajukan banding;

Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor JMBGT/T.398/PP/XII/2013 tanggal 04 Desember 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

LATAR BELAKANG

Bahwa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Nomor PRIN-142/WPJ.14/KP.0505/2011 tanggal 13 September 2011 (lampiran 1 surat banding), telah dilakukan pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak Madya Balikpapan untuk semua jenis pajak terhadap Pemohon Banding untuk Tahun Pajak 2010;

Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, KPP Wajib Pajak Besar Satu atas nama Terbanding menerbitkan SKPKB Nomor 00121/203/10/091/12 (lampiran 2 surat banding), dengan perhitungan sebagai berikut:

Uraian Menurut SPT Masa
(Rp)
Menurut SKPKB
(Rp)
Koreksi
(Rp)
Dasar Pengenaan Pajak 256.815.890.539,00 265.718.757.256,00 8.902.866.717,00
PPh Pasal 23 terutang 5.141.049.479,00 5.319.209.134,00 178.159.655,00
Kredit Pajak 5.141.049.479,00 5.141.049.479,00 0,00
PPh Pasal 23 kurang bayar 0,00 178.159.655,00 178.159.655,00
Sanksi Administrasi 0,00 85.516.635,00 85.516.635,00
PPh Pasal 23 yang masih harus dibayar 0,00 263.676.290,00 263.676.290,00

Bahwa atas SKPKB tersebut di atas, Pemohon Banding telah mengajukan surat keberatan melalui KPP Wajib Pajak Besar Satu dengan Surat Nomor JMBGT/T.056/KPP/IX/2012 tertanggal 26 September 2012 (Lampiran 3 surat banding);

Bahwa atas surat keberatan tersebut telah diterbitkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013 (Lampiran 4 surat banding) tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012;

Bahwa dalam keputusan tersebut, Terbanding menolak permohonan keberatan Pemohon Banding dengan perincian sebagai berikut:

Uraian Menurut SKPKB
(Rp)
Ditambah/(dikurangi)
(Rp)
Menjadi
(Rp)
Dasar Pengenaan Pajak 265.718.757.256,00 0,00 265.718.757.256,00
PPh Pasal 23 terutang 5.319.209.134,00 0,00 5.319.209.134,00
Kredit Pajak 5.141.049.479,00 0,00 5.141.049.479,00
PPh Pasal 23 kurang bayar 178.159.655,00 0,00 178.159.655,00
Sanksi Administrasi 85.516.635,00 0,00 85.516.635,00
PPh Pasal 23 yang masih harus dibayar 263.676.290,00 0,00 263.676.290,00

ALASAN DAN PENJELASAN PERMOHONAN BANDING

Bahwa berdasarkan KEP-1148/WPJ.19/2013 diketahui bahwa permohonan keberatan Pemohon Banding atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 ditolak seluruhnya. Atas dasar tersebut, Pemohon Banding mengajukan banding atas seluruh koreksi objek PPh Pasa 23 oleh pihak Terbanding sebesar Rp8.902.866.717,00;

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012 sebagaimana telah dibetulkan dengan KEP-00221/WPJ.19/KP.0103/2013 tanggal 2 Agustus 2013, atas nama : PT XXX, NPWP : 01.774.xxxx, alamat : Ruko M Blok B, Jl. SS, Karang Asam Ulu, Sungai Kunjang, Samarinda 75xxx, tidak dapat diterima.

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/ 12/2015, Tanggal 5 November 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 26 November 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 19 Februari 2016, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 19 Februari 2016;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 2 Juni 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 1 Juli 2016;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Pajak dimaksud pada paragraf D adalah tidak benar karena sesungguhnya ketentuan formal telah dipenuhi
dengan alasan sebagai berikut:
  1. UU PP yang bersifat lex specialis (sesuai dengan pendapat ahli Bapak M. Yahya Harahap, S.H. (Lampiran 8 halaman 5);
    Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam membuat putusannya berdasar pada Pasal 118 ayat (1) Hukum Acara Perdata Indonesia (Het Herziene Indonesisch Reglement atau ”HIR”) dan buku Bapak M. Yahya Harahap S.H. (pensiunan Hakim Agung) yang menyatakan bahwa tanda tangan merupakan tanda tangan yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penandatangan.
    Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) berpendapat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat putusan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengingat UU PP memiliki tata hukum acara tersendiri dimana dalam Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP disebutkan bahwa:
    ”Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan...
    Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam Undang-undang ini diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak”
    Maka dari itu, Soemadipraja & Taher di dalam pendapatnya (Lampiran 9) menyimpulkan bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan Pajak bersifat lex specialis (khusus) sehingga dengan demikian hukum acara untuk peradilan umum yang diatur di dalam HIR sebagai lex generalis (umum) tidak berlaku di Pengadilan Pajak.
    Hal di atas didukung oleh Bapak M. Yahya Harahap, S.H. sendiri dimana di dalam pendapatnya (Lampiran 8 halaman 11) dikemukakan bahwa:
    ”... yang saya kemukakan dalam halaman 53 Hukum Acara Perdata adalah tata tertib beracara yang berlaku dan diterapkan dalam forum Pengadilan Negeri atau Pengadilan Umum. Hal itu tidak inklusif berlaku dan diterapkan pada forum Pengadilan Pajak yang telah memiliki tata tertib acara sendiri yang bercorak “Lex Specialis” yang diatur dalam BAB VI UU Pengadilan Pajak.”
    Dalam UU PP, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan, termasuk dalam bagian hukum acara mengenai Banding, adanya pendelegasian kewenangan dari UU PP kepada HIR sehingga Pasal 118 ayat (1) HIR dapat diberlakukan oleh Pengadilan Pajak dalam memutuskan suatu sengketa pajak khususnya terkait formalitas Surat Banding.
    Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin, apabila pembentuk UU PP menghendaki diberlakukannya HIR atau ketentuan lain, maka pembentuk undang-undang harus mengindikasikannya secara jelas di dalam rumusan isi Pasal di dalam UU PP.
    Oleh karena itu, pemberlakuan Pasal 118 ayat (1) HIR dalam proses perkara di Pengadilan Pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah menimbulkan kesalahan penerapan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP. Bahwa "Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu ... Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam Undang-undang ini diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak.”
  2. Tidak ada aturan dalam Undang–Undang Pengadilan Pajak No.14/2002 (“UU PP”) yang melarang penggunaan tanda tangan stempel:
    Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU PP mensyaratkan hal-hal sebagai berikut terkait bentuk permohonan Banding ke Pengadilan Pajak:
    • Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia ke Pengadilan Pajak; dan
    • Banding diajukan dan disertai alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
    Pasal 35 ayat (1) UU PP tidak menegaskan bagaimana Surat Banding “harus ditandatangani”, akan tetapi yang disyaratkan adalah Permohonan Banding harus dalam Bahasa Indonesia dan memuat alasan-alasan yang jelas, dan mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
    Lagipula, tidak ada satu ketentuan pun dalam UU PP yang menyatakan dengan tegas bahwa Surat Banding harus ditandatangani sendiri oleh Pemohon Banding dan tidak juga ada satu ketentuan pun dalam UU PP yang melarang penggunaan tanda tangan stempel oleh Pemohon Banding dalam pengajuan suatu permohonan Banding.
    Berdasarkan hal di atas, pada prinsipnya, Surat Banding Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) telah memenuhi syarat formal Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU PP.
  3. Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) tidak pernah mempermasalahkan tanda tangan stempel dalam Surat Banding;
    Terkait dengan syarat formalitas permohonan Banding, Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) hanya mempersoalkan dua hal, yang mana keduanya sama sekali tidak menyangkut tanda tangan stempel, yaitu:
    1. Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) tidak mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding (Pasal 36 ayat (2) UU PP);
    2. Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) tidak melampirkan bukti pembayaran 50% pajak terutang (Pasal 36 ayat (4) UU PP);
    Kedua hal diatas telah diselesaikan dalam pembahasan formal persidangan. Hal ini menunjukkan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) sendiri pada dasarnya tidak menganggap tanda tangan basah oleh Direktur JMB dalam Surat Banding adalah suatu syarat formil menurut ketentuan Hukum Acara Pengadilan Pajak Pasal 35 jo. Pasal 36 UU PP;
  4. Tanda tangan stempel memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa;
    Menurut Pemohon Peninjauan Kembali, penggunaan tanda tangan stempel tidak bertentangan dengan UU PP karena tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai penggunaan tanda tangan basah.
    Pasal 3 ayat (1b) dari UU KUP menyatakan sebagai berikut:
    ”Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
    Adapun hal ini diperjelas dengan penerbitan peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 (”PMK-243”) dimana Pasal 7 ayat (3) dan (4) menyatakan:
    ”(3) Penandatanganan SPT dilakukan dengan cara:
    1. tanda tangan biasa;
    2. tanda tangan stempel; atau
    3. tanda tangan elektronik atau digital.
    (4) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mempunyai kekuatan hukum yang sama.”
    Penyampaian SPT merupakan cerminan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan penyampaian Surat Banding merupakan tuntutan hak dari Wajib Pajak.
    Kedua kegiatan tersebut sama-sama dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
    Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama. Sedangkan untuk penandatanganan surat Banding, tidak ada aturan yang melarang penandatanganannya dilakukan secara stempel, tanda tangan elektronik atau digital.
    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanda tangan stempel memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa.
    Terlebih, penggunaan tanda tangan stempel telah diakui dan merupakan hal yang lazim untuk dokumen-dokumen perpajakan.
    Oleh karena itu, walaupun tidak ada aturan yang jelas mengenai penandatanganan stempel, apabila dalam memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak diperkenankan untuk menggunakan tanda tangan stempel, maka demi keadilan, seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan pada saat Wajib Pajak menuntut haknya, dalam hal ini dalam bentuk pengajuan Surat Banding;
  5. Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk kasus serupa menerima keabsahan tanda tangan stempel;
    Bahwa sebagai pembanding untuk kasus yang serupa untuk Wajib Pajak lain, Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan No.62909/PP/M.IIIB/99/2015 (”Putusan 62909”) mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas penggunaan tanda tangan stempel pada surat Keberatan.
    (Lihat Lampiran 10);
    Adapun hal yang bisa kami kutip dari Putusan 62909 adalah sebagai berikut:
    ”Bahwa berdasarkan ketentuan a quo Majelis berpendapat bahwa Undangundang KUP sendiri telah mengakui/memperbolehkan adanya penandatanganan yang dilakukan dengan tanda tangan stempel;
    ...
    Bahwa sedangkan untuk ”tanda tangan”, ketentuan-ketentuan a quo baik UU KUP, ordonansi, KUH Perdata dan PMK, juga tidak mengatur/menegaskan mengenai bentuk/ wujud tanda tangan itu sendiri, dengan demikian Majelis berpendapat bahwa penandatanganan dengan stempel yang dilakukan oleh Penggugat dalam Surat Permohonan Keberatan adalah sah dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
    Bahwa berdasarkan bukti-bukti, dan penjelasan para pihak dalam persidangan serta ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis mengabulkan seluruh gugatan Penggugat, sesuai petitumnya, yaitu membatalkan Surat Tergugat ... dan memerintahkan Tergugat untuk tetap memproses keberatan Penggugat sampai diterbitkan Keputusan Keberatan.”
    Bahwa berdasarkan Pasal 78 UU PP disebutkan bahwa:
    ”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
    Lebih lanjut pada bagian penjelasan dari Pasal 78 tersebut disebutkan bahwa:
    ”Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
    Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanda tangan stempel tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut disebutkan bahwa keputusan hakim harus diambil berdasarkan keyakinan yang benar berdasarkan ketentuan yang berlaku, sehingga dapat disimpulkan bahwa Putusan 65482 telah diterbitkan berdasarkan keyakinan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
  6. Majelis Hakim Pengadilan Pajak seharusnya memberikan masukan bagi Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) untuk memperbaiki Surat Banding:
    Bahwa pada tata cara persidangan pengadilan pajak, secara umum Majelis Hakim Pengadilan Pajak akan terlebih dulu memeriksa apakah syarat formal suatu kasus banding telah terpenuhi sebelum meneruskan dengan pembahasan materi;
    Pasal 50 ayat (2) UU PP menyebutkan bahwa:
    ”Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis melakukan pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan Banding atau Gugatan.”
    Pasal 50 ayat (3) UU PP juga menyebutkan bahwa:
    ”Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak jelas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang bukan merupakan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1) dan ayat (4), dan Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6), kelengkapan dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam persidangan.”
    Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila ketentuan formal tidak terpenuhi, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak akan meneruskan pemeriksaan ke dalam pembahasan materi atas sengketa pajak.
    Bahwa baik Majelis Hakim Pengadilan Pajak dan Termohon Peninjauan Kembali(dahulu Terbanding) telah menyetujui bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) telah memenuhi ketentuan formal. Hal ini dapat dibuktikan dengan sejumlah pembahasan materi sampai dengan tahun 2015 (Lampiran 11).
    Oleh sebab itu, pembahasan tanda tangan stempel setelah pembahasan materi disertai putusan banding ”tidak dapat diterima”, menurut kami sangatlah tidak adil terutama karena semua pihak sebelumnya telah menyetujui bahwa ketentuan formal pengajuan banding yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) telah terpenuhi berdasarkan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU PP;
    Apabila Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang memeriksa perkara-perkara Banding menghendaki agar tanda tangan dalam Surat Banding Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) ditandatangani sendiri dan bukan tanda tangan stempel (yang mana sesungguhnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan tanda tangan basah), maka semestinya Majelis Hakim Pengadilan Pajak memberikan nasihat dan/atau masukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) dan meminta agar Surat Banding diperbaiki kapanpun di muka persidangan sebagaimana petunjuk dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak dan bukan serta merta memutuskan banding tidak dapat diterima;
  7. Pernyataan serta pengakuan dari Bapak Ir. AAA selaku Direktur seharusnya dipertimbangkan secara adil, arif dan bijaksana (sesuai dengan Pendapat Ahli Bapak M. Yahya Harahap, S.H., lampiran 8 halaman 6);
    Bapak Ir. AAA selaku penandatangan surat banding telah hadir secara fisik pada persidangan tanggal 26 Februari 2015 untuk memberikan pernyataan bahwa tanda tangan stempel pada surat banding yang bersangkutan adalah sesuai instruksi beliau selaku Direktur Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) yang sah (Lampiran 12, 13 dan 14).
    Pasal 1875 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
    “Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orangorang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu.”
    Lebih lanjut, kekuatan bukti surat yang tanda tangannya diakui dikuatkan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1043K/Sip/1971 tertanggal 3 Desember 1974 dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:
    “Dengan adanya pengakuan tersebut, menurut Pasal 1875 B.W. surat perjanjian itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang isinya seperti akta autentik.”
    Oleh karena itu, keberadaan penyataan hukum bahwa tanda tangan stempel dalam Surat Banding adalah atas persetujuan dan sepengetahuan direktur Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) semakin memperkuat bahwa Surat Banding dimaksud adalah sah dan valid.
    Dengan demikian, apabila surat pernyataan Direktur JMB dikaitan dengan Doktrin Hukum Perdata, Pasal 1875 KUHPerdata serta Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung, maka surat pernyataan tersebut seyogyanya dipertimbangkan secara adil, arif dan bijaksana oleh Pengadilan Pajak sebagai bentuk upaya penjelasan dari Pemohon PK (dahulu Pemohon Banding) mengenai tanda tangan stempel yang dipertanyakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
  8. Hak Untuk Mendapat Keadilan:
    Hak untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh Pengadilan atas tindakan pemerintah merupakan hak dasar bagi masyarakat sipil.
    Sebagaimana telah dibahas pada poin II, berdasarkan UU PP tidak disebutkan bahwa surat banding harus ditandatangani oleh Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding), sehingga kami melihat adanya upaya Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk menjadikan tanda tangan sebagai prosedur tambahan yang sebenarnya tidak tercantum dalam UU PP.
    Lebih lanjut, Pasal 84 ayat (1) huruf a dari UU PP menyebutkan Putusan Pengadilan Pajak harus memuat:
    “Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
    Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa unsur “Keadilan” sangatlah penting dan merupakan tujuan utama dari Pemohon PK dan Termohon Peninjauan Kembali.
    Lebih lanjut, Pasal 84 ayat (2) dari UU PP menyatakan bahwa:
    “Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun.”
    Oleh karena itu, tanpa adanya keadilan, maka Putusan Pengadilan akan dianggap cacat secara hukum. Putusan 65482diterbitkan tanpa mempertimbangkan aspek keadilan. Tidak hanya Putusan 65482 hanya mempertimbangkan aspek formalitas (walaupun sidang atas kasus yang dipersengketakan sudah berjalan cukup lama dan telah membahas materi secara mendalam), namun Putusan 65482 juga menggunakan ketentuan yang tidak terdapat di dalam UU PP untuk menolak banding dari Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding).
    Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) meyakini Putusan 65482 telah melanggar ketentuan dari Pasal 84 ayat (1) huruf a dari UU PP karena tidak diputuskan berdasarkan asas Keadilan, sehingga kami percaya bahwa Putusan 65482 adalah cacat secara hukum;
  9. Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat putusan yang tidak adil Majelis Hakim Pengadilan Pajak memeriksa kasus banding yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding)untuk tahun pajak 2010 sebagai berikut:
    • PPh Badan (1 sengketa);
    • PPh Pasal 4 ayat (2) (9 sengketa);
    • PPh Pasal 15 (12 sengketa); dan
    • PPh Pasal 23 (12 sengketa).
    Dari keseluruhan 34 sengketa, terdapat 6 sengketa PPh Pasal 4 ayat (2) yang dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang mana Surat Banding ditandatangani oleh direktur yang sama. Namun Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengeluarkan putusan ”tidak dapat diterima” untuk 28 sengketa lainnya hanya karena penandatangan dilakukan dengan menggunakan tanda tangan stempel.
    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak hanya mengutamakan pemenuhan prosedur formal penandatanganan Surat Banding (yang sesungguhnya tidak diatur secara tegas – lihat poin II, IV dan VIII) tanpa mempertimbangkan kebenaran materiil. Dengan demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak lebih mengutamakan kepastian hukum dibanding unsur ”keadilan”.
    Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (”UUD 1945”) menyebutkan:
    “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum” dan “keadilan”.
    Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan:
    “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil”.
    Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1), serta Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan:
    “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”
    Bagir Manan mengemukakan bahwa (dalam Musakkir, Putusan Hakim yang Diskriminatif dalam Perkara Pidana di Sulawesi Selatan: Suatu Analisa Hukum Empiris.,Univ. Hasanudin, Makasar: 2006, p.10-11) :
    “Hakim dapat menjalankan fungsi menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan peraturan perundangundangan akan menimbulkan ketidak-adilan, Hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengesampingkan peraturan perundang-undangan”.
    Prof. DR. Moh Mahfud MD menulis di harian Kompas, 22 Desember 2008, antara lain bahwa :
    “Para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantive (Substantive Justice) di masyarakat, daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (Procedural Justice), Irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” dan bukan : “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-undang”, Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski – jika terpaksa – melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.”
    Menurut Prof. DR. Achmad Ali, SH., MH, Grand Theory tentang tujuan hukum adalah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu:
    1. Keadilan;
    2. Kemanfaatan; dan
    3. Kepastian hukum.
    Sedang norma-norma tertulis merupakan aturan-aturan untuk menuju kepada “tujuan hukum” tersebut.
    Hanya mengikuti aturan-aturan tertulis tersebut akan melahirkan keadilan procedural (Procedural Justice) saja, sedangkan seharusnya yang lebih diutamakan adalah keadilan substantif (Substantive Justice), yaitu tujuan dari hukum itu sendiri.
    Atau yang menurut Lawrence M. Friedman:
    ”Procedure, then, is only a means to an end; the end is whatever collective problem society means to attack. Procedure follows substance; substance tell us which areas of procedure will become important….”.
    (Prosedur, hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, tujuan tersebutlah yang merupakan problem kolektif apapun dari masyarakat yang dimaksudkan untuk dilawan. Prosedur mengikuti substansi, dan substansilah yang memberitahu kita, bidang-bidang prosedur mana yang menjadi penting).
    (Ali, Achmad., Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Volume 1.,Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, p.212-235).
    Konsep hukum yang dikemukakan para ahli diatas pada dasarnya merupakan adaptasi dari filsafat hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch (Radbruch Formula / Radbruchsche Formel) dalam Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946), dalam Oxford Journal of Legal Studies, vol:26, No: 1 (2006), hal. 6- 7, yang juga ditulis oleh FRANK HALDEMANN dalam : Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on Nazi Law,. Ratio Juris. Vol. 18 No. 2 June 2005 (162–78).
    Filsafat hukum tersebut juga diakui dan telah dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum (”RUU KUH”) Pidana yang baru (ius constituendum), yaitu dalam rumusan Pasal 12:
    ”(1). Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan.
    (2). Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan yang tidak dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan.”
    Ditegaskan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (2) tersebut:
    “Keadilan dan Kepastian Hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerapkali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum maka semakin besar pula kemungkinan aspek keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian konkret. Apabila dalam penerapan dalam kejadian konkret Keadilan dan Kepastian Hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”
    Sesuai uraian di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) berpendapat bahwa seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak lebih mempertimbangkan unsur keadilan dan tidak menyatakan permohonan banding Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) ”tidak dapat diterima” semata-mata karena tanda tangan stempel tanpa mempertimbangkan kebenaran materiil. Mengingat banding atas keenam permohonan banding yang telah dikabulkan sesungguhnya juga ditandatangani oleh pejabat yang sama yang telah bersaksi di sidang Pengadilan Pajak;
  10. Penilaian Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang bercorak sangat kaku, bertentangan dengan jiwa dan semangat moderasi yang terkandung dalam Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP dan Pasal 2 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman:
    Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP memancangkan jiwa dan semangat berupa asas:
    “Proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan Pajak perlu dilakukan secara cepat…”
    Ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) dari Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman juga memancangkan asas yang sama, yaitu mewajibkan hakim untuk:
    1. mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan
    2. membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
    Baik teori dan praktek peradilan yang berkembang, dalam penerapan hukum acara pun, sudah ditinggalkan cara-cara dan perilaku yang bercorak “strict law” atau “formalistic legal thinking” termasuk dan meliputi penegakkan hukum yang menyangkut dengan hukum acara.
    Seperti dalam menghadapi kasus bentuk dan syarat formil dan materiil Surat Banding yang terjadi dalam perkara ini, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak bersikap MODERASI dengan memberikan pedoman jiwa dan semangat dan asas yang dipancangkan Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP jo. Pasal 2 ayat (4) dan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dengan mengkaitkan asas-asas tersebut dengan ketentuan Alinea Keempat Penjelasan Umum jo. Pasal 35 ayat (1) UU PP.
    Maka seharusnya dalam hal tidak ada peristiwa yang dipersengketakan antara Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) dan Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) mengenai keabsahan tanda tangan stempel dalam Surat Banding Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding), termasuk keabsahannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak perlu mempersoalkan mengenai tanda tangan stempel dalam Surat Banding agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan efisien dan efektif;
  11. Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutuskan hal yang tidak diminta (ultra petita)
    Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) di dalam Surat Uraian Banding (Lampiran 3) tidak pernah mengajukan keberatan atas penggunaan tandatangan stempel dalam permohonan banding yang diajukan oleh JMB.
    Selama proses persidangan DJP juga tidak pernah mengajukan keberatan atas penggunaan tandatangan stempel tersebut.
    Suatu putusan yang mengabulkan hal yang tidak diminta atau lebih daripada yang dimintakan lazim dikenal sebagai “Ultra Petita” atau Ultra Petitum”. Adapun suatu putusan dapat dikatakan Ultra Petita/Ultra Petitum putusan tidak terbatas pada suatu putusan yang mengabulkan hal yang tidak dituntutkan, melainkan juga terhadap putusan yang didasarkan pada pertimbangan yang berlainan dengan posita.
    Hanafiah Ponggawa & Partners dalam pendapatnya (Lampiran 7) menyimpulkan bahwa Pengadilan Pajak telah menjatuhkan Putusan 65482 secara Ultra Petita/Ultra Petitum karena (a) mengabulkan hal yang tidak dituntut oleh para pihak yang berperkara serta (b) didasari oleh dasar tuntutan (posita) yang tidak diajukan oleh para pihak, baik JMB maupun DJP. Oleh karena itu, Putusan 65482 nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pendapat para ahli serta praktik peradilan di Indonesia;
    1. URAIAN SELENGKAPNYA MENGENAI ALASAN PERMOHONAN PK – MATERI
      Terkait permohonan material banding, Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) tidak setuju dengan seluruh koreksi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) dengan alasan sebagai berikut:
      1. Pembayaran Biaya Bongkar Muat Batubara (Stevedoring) Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) telah memperhitungkan pembayaran biaya bongkar muat batubara (stevedoring, akun nomor 585040) sebagai objek PPh Pasal 23. Menurut kami, pengenaan PPh Pasal 23 atas biaya tersebut tidak tepat dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
        1. Kegiatan stevedoring menggunakan alat/mesin/alat berat Pasal 1 angka 15 dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 (“PP 20/2010”) tentang angkutan perairan mendefinisikan stevedoring sebagai berikut:
          “Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/ tongkang/ truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat.”
          Lebih lanjut, Pasal 1 angka 17 dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 tahun 2002 (“KM 14/2002”) mendefinisikan penyedia jasa bongkar muat sebagai berikut:
          “Penyedia Jasa Bongkar Muat adalah Perusahaan yang melakukan kegiatan bongkar muat (stevedoring, cargodoring dan receiving/delivery) dengan menggunakan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan peralatan bongkar muat.”
          Sesuai dengan penjelasan diatas, maka stevedoring adalah serangkaian kegiatan bongkar muat yang melibatkan baik tenaga kerja maupun penggunaan peralatan (antara lain derek kapal atau derek darat). Dengan demikian, penggunaan peralatan merupakan satu kesatuan dengan penggunaan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan stevedoring.
          Dengan demikian, kami berpendapat bahwa argumentasi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) yang berdasarkan pada penyewaan alat adalah tidak tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan peralatan merupakan bagian dari kegiatan stevedoring;
        2. Penggunaan peralatan dalam kegiatan stevedoring tidak termasuk dalam definisi rental atau persewaan alat.
          Angka 2 dari Surat Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 (“SE-35/2010”) memberikan penjelasan terkait sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, sebagai berikut:
          “… 2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati.” Kegiatan sewa-menyewa juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Pasal 1548 KUH Perdata mendefinisikan sewa-menyewa sebagai berikut:
          “sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.” Dengan merujuk kepada definisi sewa dalam SE-35/2010 diatas, transaksi sewa-menyewa pada umumnya melibatkan: 1) aset tertentu dan 2) pengalihan hak untuk menggunakan asset tersebut selama jangka waktu tertentu. Dalam konteks bongkar muat/stevedoring, kami mencatat tidak terdapat penyerahan/pengalihan hak untuk menggunakan suatu harta tertentu dalam jangka waktu tertentu. Adapun pengoperasian alat tersebut dilakukan oleh tenaga kerja perusahaan vendor, bukan tenaga kerja JMB.Dengan demikian mengingat kegiatan jasa bongkar muat/stevedoring merupakan penyerahan jasa melalui kombinasi pengerahan tenaga kerja dan penggunaan alat yang dilakukan vendor, maka kegiatan bongkar muat/stevedoring bukanlah penyewaan alat.
          Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa koreksi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) yang mengaitkan jasa bongkar muat dengan persewaan alat adalah tidak tepat dan seharusnya dibatalkan;
        3. Biaya bongkar muat tidak dikenai PPh Pasal 23
          Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh mengatur atas penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan Jasa Lain (selain jasa yang telah dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21) dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebasar 2% dari jumlah bruto.
          Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 (“PMK-244/2008”) sebagai peraturan pelaksana atas Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh merinci berbagai jenis jasa yang merupakan/ termasuk dianggap sebagai Jasa Lain – catatan: Penggunaan kata “terdiri dari” dalam kutipan dibawah menunjukkan bahwa jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh hanya mencakup jenis Jasa Lain yang dirinci dalam PMK-244/2008.
          Oleh karena kegiatan bongkar muat/stevedoring tidak termasuk dalam jasa lain dalam PMK-244/2008 maka stevedoring jelas bukan merupakan objek PPh Pasal 23.
          Berdasarkan penjelasan dan referensi diatas, koreksi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) atas objek PPh Pasal 23 berupa jasa bongkar muat/stevedoring adalah tidak tepat dan sudah selayaknya dibatalkan;
      2. Koreksi Dasar Pengenaan PPh Pasal 23 atas Jasa Konsultan, Biaya Bunga dan Dividen
        Pemohon Peninjauan Kembali telah memotong dan melaporkan PPh Pasal 23 atas Jasa Konsultan, Biaya Bunga dan Dividen, sehingga Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) seharusnya tidak menambahkan koreksi atas dasar pengenaan PPh Pasal 23 atas Jasa Konsultan, Biaya Bunga dan Dividen;
      3. Estimasi biaya di bulan Desember 2010 dan Jurnal Balik di bulan Desember 2009 bukan merupakan objek PPh Pasal 23 Pasal 15 dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 (“PP 94/2010”) tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan, menjelaskan pelunasan PPh dalam tahun berjalan melalui pihak lain sebagai berikut:
        “(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, dilakukan pada akhir bulan:
        1. dibayarkannya penghasilan;
        2. disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
        3. jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan,
        tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu”
        Dalam penjelasan dijelaskan bahwa:
        “Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (seperti: royalty, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya).
        Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.”
        Estimasi biaya yang dibentuk pada Desember 2010 ini merupakan estimasi untuk keperluan akuntansi atas biaya-biaya yang akan ditagih oleh pemasok-pemasok pada periode selanjutnya (yaitu sebelum tagihan dikirimkan oleh pemasok). Pada awal periode berikutnya (yaitu Januari 2011) kami melakukan jurnal balik atas estimasi biaya ini. Penjurnalan kembali dilakukan ketika tagihan dikirimkan oleh pemasok pada tahun 2011. (Lampiran 17).
        Bahwa PPh Pasal 23 yang terutang atas transaksi-transaksi ini sudah dipotong dan dilaporkan pada SPT Masa tahun 2011.Tahun pajak 2011 telah selesai diperiksa oleh DJP. Oleh sebab itu, SKPKB-00121 menyebabkan dua kali pembayaran pajak atas objek yang sama sehingga sudah selayaknya koreksi estimasi biaya Desember 2010 dibatalkan.
        Konsisten dengan penjelasan estimasi biaya diatas, jurnal balik yang kami lakukan pada Januari 2010 hanya merupakan perlakuan akuntansi atas estimasi biaya yang dilakukan di periode Desember 2009. JMB mencatat jurnal balik agar tidak terjadi pembebanan dua kali atas biaya yang sama. JMB melakukan pencatatan jurnal pembebanan segera setelah tagihan dari pemasok diterima dan pembayaran terhutang. (Lampiran 18). Dengan demikian pemotongan PPh Pasal 23 kami lakukan saat tagihan yang bersangkutan jatuh tempo.
        Lebih lanjut, nilai jasa yang dicatat (akrual) pada tanggal 31 Desember 2009 atau 31 Desember 2010 hanya merupakan estimasi yang dilakukan berdasarkan prinsip akutansi yang berlaku umum sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk pemotongan PPh Pasal 23.
        Sebagai tambahan dalam Surat Banding, kami telah melampirkan rincian estimasi biaya bulan Desember 2010 beserta dengan jurnal balik untuk estimasi biaya di bulan Desember 2009 yang dapat dijadikan dasar bagi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) untuk melakukan penelitian atas sengketa diatas;
      4. Surat Keterangan Bebas (“SKB”) membebaskan RMC dari pemotongan PPh Pasal 23
        Atas tagihan nomor 011/RMC-JMB/10, RMC telah menyampaikan SKB PPh Pasal 23 Nomor KET-00009/SKB.23/WPJ.14/KP.0503/2010 yang diterbitkan oleh KPP Madya Balikpapan (Lampiran 19). SKB tersebut berlaku sejak tanggal 30 November sampai dengan 31 Desember 2010.
        JMB melakukan pembayaran atas tagihan diatas kepada RMC sebesar Rp 11.941.421.798 (jumlah total untuk periode Januari s.d. Desember 2010) atau USD 1.307.585,70 pada tanggal 20 Desember 2010.
        Sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas, Pasal 15 dari PP 94/2010 telah memberikan petunjuk dalam pemotongan PPh Pasal 23 oleh pihak lain. Pemotongan PPh Pasal 23 terutang saat dibayarkannya penghasilan atau jatuh tempo yang mana terjadi terlebih dahulu. Dalam hal ini pembayaran tagihan RMC dilakukan pada tanggal 20 Desember 2010.Sehingga hal ini telah sesuai dengan jangka waktu pembebasan pemotongan pajak penghasilan sebagaimana yang tercantum dalam SKB.
        Selain itu, Pasal 2 angka (6) dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, penentuan tempat pembayaran pajak, dan tata cara pembayaran, penyetoran dan pelaporan pajak, serta tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak (“PMK 80/2010”) (Lampiran 20), menjelaskan sebagai berikut:
        “…(6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.”
        PMK 80/2010 dengan jelas memberikan arahan bahwa jangka waktu pembayaran PPh Pasal 23 adalah sebelum tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir atau dalam hal ini adalah sebelum tanggal 10 Desember 2010.
        Atas pembayaran ini kami berpendapat bahwa sudah selayaknya JMB tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh RMC karena masih berada dalam jangka waktu pembebasan pemotongan PPh 23 seperti yang tercantum dalam SKB.
        Kami tidak melampirkan SKB pada saat melaporkan SPT PPh 23 dikarenakan tidak terdapat peraturan yang mengharuskan hal itu. Karena SKB ini telah diterbitkan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran faktur penjualan, maka SKB tersebut berlaku.
        Dengan ditetapkannya koreksi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) berupa PPh Pasal 23 atas penghasilan RMC dapat diartikan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) mengingkari hak pembebasan atas pemotongan PPh Pasal 23 milik RMC. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa koreksi PPh Pasal 23 Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) atas tagihan RMC adalah tidak tepat dan sudah selayaknya dibatalkan;
      5. Koreksi Lainnya
        1. Biaya mobilisasi/demobilisasi atas puing-puing conveyor yang ambruk JMB mencatat loss due to damages di tahun 2010 sebesar Rp 8.938.922.699 atas reimbursement dari BAUER untuk kegiatan mobilisasi dan demobilisasi puing-puing conveyor yang ambruk pada 8 Oktober 2009 di dalam wilayah kegiatan pertambangan JMB.
          Mengingat pembayaran yang terjadi merupakan penggantian atas kerugian yang diderita BAUER karena terjadinya longsor di wilayah pertambangan JMB, maka menurut kami penetapan biaya ini sebagai objek PPh Pasal 23 oleh Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) adalah tidak tepat dan seharusnya dibatalkan.
        2. Biaya coal selling commission
          Biaya coal selling commission sebesar Rp 9.904.716.658 merupakan estimasi untuk keperluan akuntansi yang dibentuk pada Desember 2010. Pada Januari 2011, kami melakukan jurnal balik atas estimasi biaya ini. Penjurnalan kembali dan pembayaran dilakukan ketika tagihan dikirimkan oleh pemasok pada tahun 2011.
          Dalam hal ini, JMB sesungguhnya sudah menyetor dan melaporkan PPh Pasal 23 atas biaya coal selling commission ini pada SPT Masa PPh Pasal 23 di Januari 2011.Tahun pajak 2011 telah selesai dipemeriksa oleh DJP. Oleh sebab itu, SKPKB-00121 menyebabkan dua kali pembayaran pajak atas objek yang sama sehingga sudah selayaknya koreksi atas biaya coal selling commission yang merupakan estimasi biaya Desember 2010 ini dibatalkan;
        3. Biaya pembebasan lahan kepada Pemuda Pancasila JMB melakukan pembayaran ganti rugi atas pembebasan lahan Ijin Usaha Pertambangan kepada sekelompok orang pribadi bernama Kelompok Tani Terpadu binaan Pemuda Pancasila.Biaya ini bukanlah jasa namun merupakan ganti rugi kepada pihak ketiga yang memang harus dibayarkan JMB untuk kelancaran kegiatan produksi batubara di wilayah pertambangan JMB.
          Mengingat biaya pembebasan lahan ini bukanlah tidak termasuk dalam cakupan objek PPh Pasal 23, maka penetapan biaya ini sebagai objek PPh Pasal 23 oleh Termohon PK (dahulu Terbanding) adalah tidak tepat dan sudah seharusnya dibatalkan;
Sebagai tambahan, perlu kami tegaskan disini bahwa dalam proses keberatan kami mengajukan keberatan atas keseluruhan nilai SKPKB-00121 dan dikarenakan informasi tentang detail koreksi objek PPh Pasal 23 tidak tersedia maka sangat sulit bagi kami untuk dapat memetakan koreksi objek PPh Pasal 23 secara benar.

Berdasarkan uraian diatas penerbitan SKPKB-00121 telah mencerminkan adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum terhadap Pemohon PK (dahulu Pemohon Banding). Untuk itu Pemohon PK (dahulu Pemohon Banding) memohon kepada Mahkamah Agung RI untuk membatalkan Putusan 65482.

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat diterima permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor : KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013, mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor : 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-00221/WPJ.19/KP.0103/2013 tanggal 2 Agustus 2013 atas nama Pemohon Banding, NPWP : 01.774.xxxx, adalah yang secara nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pertimbangan :
  1. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu :
    1. Putusan Pengadilan Pajak berupa banding tidak dapat diterima karena penggunaan tanda tangan stempel atas sengketa PPh Pasal 23 bulan Mei 2010. Majelis Pengadilan Pajak menyatakan bahwa permohonan banding Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) tidak dapat diterima karena surat permohonan banding tidak memenuhi ketentuan formal (yaitu karena tanda tangan di surat banding merupakan tanda tangan stempel) dan bahkan setelah berkali-kali sidang materi, pemeriksaan atas materi sengketa yang telah dilaksanakan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus sengketa banding;
    2. Sengketa materi terkait pengenaan PPh Pasal 23 atas pembayaran biaya bongkar muat (stevedoring), jasa konsultan, estimasi biaya yang dibukukan di bulan Desember 2010 dan Jurnal Balik yang dibukukan di bulan Desember 2009, pembayaran atas tagihan kepada PT. RPP Mining Contracter ("RMC") dan beberapa tambahan koreksi setelah SPHP (yaitu biaya mobilisasi/demobilisasi, biaya coal selling commission, biaya jasa keamanan dan biaya reklamasi) oleh Termohon Peninjauan Kembali;
      dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan jawaban dalam Kontra Memori Peninjauan Kembali dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo butir A penggunaan tanda tangan stempel manakala dibenarkan tanda tangan tersebut telah diakui secara sah baik oleh Terbanding sekarang Termohon Peninjauan Kembali maupun oleh Pemohon Banding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali, karena dalam Surat Uraian Banding (SUB) Terbanding sekarang Termohon Peninjauan Kembali tidak keberatan atas penggunaan tanda tangan stempel, maka Terbanding sekarang Termohon Peninjauan Kembali telah dianggap setuju. Dengan demikian, Terbanding sekarang Termohon Peninjauan Kembali secara mutatis mutandis telah melakukan penundukan diri secara diam-diam, sehingga dalam menegakan hukum yang berkeadilan dengan mengedepankan prinsip Audi Ateram Et Partem dan Doelmateiegheid van Bestuur, maka Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa permohonan Banding, yang diajukan telah memenuhi prosedural dan substansial serta formal Banding. Sedangkan butir B mengenai substansi berupa terkait pengenaan PPh Pasal 23 atas pembayaran biaya bongkar muat (stevedoring), jasa konsultan, estimasi biaya. Pengertian stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/tongkang/truck atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truck ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau derek darat (vide Pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010). Sedangkan pengertian Penyedia Jasa Bongkar Muat adalah Perusahaan yang melakukan kegiatan bongkar muat (stevedoring, cargodoring dan receiving/dellivery) dengan menggunakan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan peralatan bongkar muat (vide Pasal 1 angka 17 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2002). Dari terminologi tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa stevedoring adalah serangkaian kegiatan bongkar muat yang melibatkan baik tenaga kerja maupun penggunaan peralatan berupa derek kapal atau derek darat. Dengan demikian, penggunaan peralatan merupakan satu kesatuan dengan penggunaan tenaga kerja untuk melakukan stevedoring, sedangkan biaya coal selling commission merupakan estimasi untuk kepentingan akuntansi yang kesemuanya sudah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 Tahun 2011 telah selesai diperiksa oleh Terbanding, sehingga substansi tersebut memiliki hubungan langsung dengan 3M (Mendapatkan, Memelihara dan Menagih) penghasilan dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo mendasarkan pada penyewaan alat (mengkaitkan Jasa Bongkar Muat dengan Persewaan) adalah tidak/kurang tepat dan tidak berdasar dan tidak seharusnya terutang PPh Pasal 23, sehingga Surat Keputusan Terbanding tidak memiliki sifat Erga Omnes dan sekaligus koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 4 dan Pasal 6 serta Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  2. Bahwa dengan demikian, alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan karena terdapat putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT. XXX dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015, serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban Memori Peninjauan Kembali dari Termohon Peninjauan Kembali, namun tidak ditemukan hal-hal yang dapat melemahkan alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;

Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali, maka Termohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,

Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : PT. XXX tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015;

MENGADILI KEMBALI,

Mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding sekarang Pemohon Peninjauan Kembali;

Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini ditetapkan sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 8 Agustus 2017, oleh Dr. DDD, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. BBB, S.H., M.S., dan CCC, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh FFF, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.


Anggota Majelis :

ttd.
Dr. BBB, S.H., M.S.

ttd.
CCC, S.H., M.H.

Ketua Majelis,

ttd.
Dr. DDD, S.H., M.H.


Biaya - biaya :
1. Meterai...................... Rp 6.000,00
2. Redaksi .................... Rp 5.000,00
3. Administrasi ............. Rp 2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp 2.500.000,00
Panitera Pengganti,

ttd.
FFF, S.H.


Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA