Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1435/B/PK/PJK/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
PT. XXX, NPWP : 01.774.xxxx, beralamat
korespondensi di R Tower Lantai yy, Jl. DD Kav. E, Mega Kuningan,
Jakarta 12xxx; dan alamat keputusan di Ruko
M Blok B, Jl. SS, Karang Asam Ulu,
Sungai Kunjang, Samarinda 75xxx, dalam hal ini diwakili oleh Ir. AAA
selaku Direktur Utama;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
melawan:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto
Nomor 40-42, Jakarta 12190;
Termohon Peninjauan
Kembali dahulu Terbanding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai
berikut:
Bahwa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23
Masa Pajak Mei 2010 Nomor 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012
diterbitkan berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak KPP Madya Balikpapan
Nomor LAP-108/WPJ.14/KP.0505/2012 tanggal 22 Juni 2012;
Bahwa atas Surat Ketetapan Pajak a quo, Pemohon Banding mengajukan
keberatan dengan Surat Nomor JMB-GT/T.056/KPP/IX/2012 tanggal 26
September 2012 dan dengan Keputusan Terbanding Nomor
KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013 permohonan tersebut
ditolak, sehingga dengan Surat Nomor JMB-GT/T.398/PP/XII/2013 tanggal
04 Desember 2013 Pemohon Banding mengajukan banding;
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor JMBGT/T.398/PP/XII/2013
tanggal 04 Desember 2013, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
LATAR BELAKANG
Bahwa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak Nomor
PRIN-142/WPJ.14/KP.0505/2011 tanggal 13 September 2011 (lampiran 1
surat banding), telah dilakukan pemeriksaan oleh Kantor Pelayanan Pajak
Madya Balikpapan untuk semua jenis pajak terhadap Pemohon Banding untuk
Tahun Pajak 2010;
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, KPP Wajib Pajak Besar
Satu atas nama Terbanding menerbitkan SKPKB Nomor 00121/203/10/091/12
(lampiran 2 surat banding), dengan perhitungan sebagai berikut:
Uraian |
Menurut
SPT Masa
(Rp) |
Menurut
SKPKB
(Rp) |
Koreksi
(Rp) |
Dasar
Pengenaan Pajak |
256.815.890.539,00 |
265.718.757.256,00 |
8.902.866.717,00 |
PPh
Pasal 23 terutang |
5.141.049.479,00 |
5.319.209.134,00 |
178.159.655,00 |
Kredit
Pajak |
5.141.049.479,00 |
5.141.049.479,00 |
0,00 |
PPh
Pasal 23 kurang bayar |
0,00 |
178.159.655,00 |
178.159.655,00 |
Sanksi
Administrasi |
0,00 |
85.516.635,00 |
85.516.635,00 |
PPh
Pasal 23 yang masih harus dibayar |
0,00 |
263.676.290,00 |
263.676.290,00 |
Bahwa atas SKPKB tersebut di atas, Pemohon Banding telah mengajukan
surat keberatan melalui KPP Wajib Pajak Besar Satu dengan Surat Nomor
JMBGT/T.056/KPP/IX/2012 tertanggal 26 September 2012 (Lampiran 3 surat
banding);
Bahwa atas surat keberatan tersebut telah diterbitkan Keputusan
Terbanding Nomor KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013
(Lampiran 4 surat banding) tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei
2010 Nomor 00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012;
Bahwa dalam keputusan tersebut, Terbanding menolak permohonan keberatan
Pemohon Banding dengan perincian sebagai berikut:
Uraian |
Menurut
SKPKB
(Rp) |
Ditambah/(dikurangi)
(Rp) |
Menjadi
(Rp) |
Dasar
Pengenaan Pajak |
265.718.757.256,00 |
0,00 |
265.718.757.256,00 |
PPh
Pasal 23 terutang |
5.319.209.134,00 |
0,00 |
5.319.209.134,00 |
Kredit
Pajak |
5.141.049.479,00 |
0,00 |
5.141.049.479,00 |
PPh
Pasal 23 kurang bayar |
178.159.655,00 |
0,00 |
178.159.655,00 |
Sanksi
Administrasi |
85.516.635,00 |
0,00 |
85.516.635,00 |
PPh
Pasal 23 yang masih harus dibayar |
263.676.290,00 |
0,00 |
263.676.290,00 |
ALASAN DAN PENJELASAN PERMOHONAN BANDING
Bahwa berdasarkan KEP-1148/WPJ.19/2013 diketahui bahwa permohonan
keberatan Pemohon Banding atas Dasar Pengenaan Pajak PPh Pasal 23 Masa
Pajak Mei 2010 ditolak seluruhnya. Atas dasar tersebut, Pemohon Banding
mengajukan banding atas seluruh koreksi objek PPh Pasa 23 oleh pihak
Terbanding sebesar Rp8.902.866.717,00;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015 yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September
2013 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor
00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012 sebagaimana telah dibetulkan
dengan KEP-00221/WPJ.19/KP.0103/2013 tanggal 2 Agustus 2013, atas nama
: PT XXX, NPWP : 01.774.xxxx, alamat : Ruko
M Blok B, Jl. SS, Karang Asam Ulu,
Sungai Kunjang, Samarinda 75xxx, tidak dapat diterima.
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/
12/2015, Tanggal 5 November 2015, diberitahukan kepada Pemohon
Peninjauan Kembali pada tanggal 26 November 2015, kemudian terhadapnya
oleh Pemohon Peninjauan Kembali diajukan permohonan peninjauan kembali
secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 19
Februari 2016, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 19 Februari 2016;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 2 Juni
2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 1 Juli
2016;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) berpendapat
bahwa Putusan Pengadilan Pajak dimaksud pada paragraf D adalah tidak
benar karena sesungguhnya ketentuan formal telah dipenuhi
dengan alasan sebagai berikut:
- UU PP yang bersifat lex specialis (sesuai dengan pendapat
ahli Bapak M. Yahya Harahap, S.H. (Lampiran 8 halaman 5);
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam membuat putusannya berdasar
pada Pasal 118 ayat (1) Hukum Acara Perdata Indonesia (Het Herziene
Indonesisch Reglement atau ”HIR”) dan buku Bapak M.
Yahya
Harahap S.H. (pensiunan Hakim Agung) yang menyatakan bahwa tanda tangan
merupakan tanda tangan yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh
penandatangan.
Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) berpendapat bahwa
Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat putusan tidak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengingat UU PP
memiliki tata hukum acara tersendiri dimana dalam Alinea Keempat
Penjelasan Umum UU PP disebutkan bahwa:
”Pengadilan Pajak yang diatur dalam Undang-undang ini
bersifat
khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa
perpajakan...
Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam
Undang-undang ini diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan
Pengadilan Pajak”
Maka dari itu, Soemadipraja & Taher di dalam pendapatnya
(Lampiran
9) menyimpulkan bahwa hukum acara yang berlaku di Pengadilan Pajak
bersifat lex specialis (khusus) sehingga dengan demikian hukum acara
untuk peradilan umum yang diatur di dalam HIR sebagai lex generalis
(umum) tidak berlaku di Pengadilan Pajak.
Hal di atas didukung oleh Bapak M. Yahya Harahap, S.H. sendiri dimana
di dalam pendapatnya (Lampiran 8 halaman 11) dikemukakan bahwa:
”... yang saya kemukakan dalam halaman 53 Hukum Acara Perdata
adalah tata tertib beracara yang berlaku dan diterapkan dalam forum
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Umum. Hal itu tidak inklusif berlaku
dan diterapkan pada forum Pengadilan Pajak yang telah memiliki tata
tertib acara sendiri yang bercorak “Lex Specialis”
yang
diatur dalam BAB VI UU Pengadilan Pajak.”
Dalam UU PP, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan, termasuk dalam
bagian hukum acara mengenai Banding, adanya pendelegasian kewenangan
dari UU PP kepada HIR sehingga Pasal 118 ayat (1) HIR dapat
diberlakukan oleh Pengadilan Pajak dalam memutuskan suatu sengketa
pajak khususnya terkait formalitas Surat Banding.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan doktrin, apabila pembentuk
UU PP menghendaki diberlakukannya HIR atau ketentuan lain, maka
pembentuk undang-undang harus mengindikasikannya secara jelas di dalam
rumusan isi Pasal di dalam UU PP.
Oleh karena itu, pemberlakuan Pasal 118 ayat (1) HIR dalam proses
perkara di Pengadilan Pajak oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah
menimbulkan kesalahan penerapan hukum karena bertentangan dengan
ketentuan Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP. Bahwa "Pengadilan Pajak
yang diatur dalam Undang-undang ini bersifat khusus menyangkut acara
penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu ... Sebagai
konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, dalam Undang-undang ini
diatur hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan
Pajak.”
- Tidak ada aturan dalam Undang–Undang Pengadilan
Pajak
No.14/2002 (“UU PP”) yang melarang penggunaan tanda
tangan
stempel:
Pasal 35 ayat (1) jo. Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU PP mensyaratkan
hal-hal sebagai berikut terkait bentuk permohonan Banding ke Pengadilan
Pajak:
- Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa
Indonesia ke Pengadilan Pajak; dan
- Banding diajukan dan disertai alasan-alasan yang jelas
dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
Pasal 35 ayat (1) UU PP tidak menegaskan bagaimana Surat Banding
“harus ditandatangani”, akan tetapi yang
disyaratkan adalah
Permohonan Banding harus dalam Bahasa Indonesia dan memuat
alasan-alasan yang jelas, dan mencantumkan tanggal diterima surat
keputusan yang dibanding.
Lagipula, tidak ada satu ketentuan pun dalam UU PP yang menyatakan
dengan tegas bahwa Surat Banding harus ditandatangani sendiri oleh
Pemohon Banding dan tidak juga ada satu ketentuan pun dalam UU PP yang
melarang penggunaan tanda tangan stempel oleh Pemohon Banding dalam
pengajuan suatu permohonan Banding.
Berdasarkan hal di atas, pada prinsipnya, Surat Banding Pemohon
Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) telah memenuhi syarat
formal Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (1) dan (2) UU PP.
- Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) tidak
pernah mempermasalahkan tanda tangan stempel dalam Surat Banding;
Terkait dengan syarat formalitas permohonan Banding, Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) hanya mempersoalkan dua hal,
yang mana keduanya sama sekali tidak menyangkut tanda tangan stempel,
yaitu:
- Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding)
tidak
mencantumkan tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding (Pasal
36 ayat (2) UU PP);
- Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding)
tidak
melampirkan bukti pembayaran 50% pajak terutang (Pasal 36 ayat (4) UU
PP);
Kedua hal diatas telah diselesaikan dalam pembahasan formal
persidangan. Hal ini menunjukkan bahwa Termohon Peninjauan Kembali
(dahulu Terbanding) sendiri pada dasarnya tidak menganggap tanda tangan
basah oleh Direktur JMB dalam Surat Banding adalah suatu syarat formil
menurut ketentuan Hukum Acara Pengadilan Pajak Pasal 35 jo. Pasal 36 UU
PP;
- Tanda tangan stempel memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan tanda tangan biasa;
Menurut Pemohon Peninjauan Kembali, penggunaan tanda tangan stempel
tidak bertentangan dengan UU PP karena tidak ada ketentuan yang
mengatur mengenai penggunaan tanda tangan basah.
Pasal 3 ayat (1b) dari UU KUP menyatakan sebagai berikut:
”Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan
elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang
sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.”
Adapun hal ini diperjelas dengan penerbitan peraturan Menteri Keuangan
Nomor 243/PMK.03/2014 (”PMK-243”) dimana Pasal 7
ayat (3)
dan (4) menyatakan:
”(3) Penandatanganan SPT dilakukan dengan cara:
- tanda tangan biasa;
- tanda tangan stempel; atau
- tanda tangan elektronik atau digital.
(4) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b,
dan huruf c mempunyai kekuatan hukum yang sama.”
Penyampaian SPT merupakan cerminan pemenuhan kewajiban perpajakan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan penyampaian Surat Banding
merupakan tuntutan hak dari Wajib Pajak.
Kedua kegiatan tersebut sama-sama dalam rangka menjalankan hak dan
kewajiban perpajakan.
Penandatanganan SPT dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan
stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya
mempunyai kekuatan hukum yang sama. Sedangkan untuk penandatanganan
surat Banding, tidak ada aturan yang melarang penandatanganannya
dilakukan secara stempel, tanda tangan elektronik atau digital.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanda tangan
stempel memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa.
Terlebih, penggunaan tanda tangan stempel telah diakui dan merupakan
hal yang lazim untuk dokumen-dokumen perpajakan.
Oleh karena itu, walaupun tidak ada aturan yang jelas mengenai
penandatanganan stempel, apabila dalam memenuhi kewajiban perpajakan
Wajib Pajak diperkenankan untuk menggunakan tanda tangan stempel, maka
demi keadilan, seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan pada saat Wajib
Pajak menuntut haknya, dalam hal ini dalam bentuk pengajuan Surat
Banding;
- Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk kasus serupa menerima
keabsahan tanda tangan stempel;
Bahwa sebagai pembanding untuk kasus yang serupa untuk Wajib Pajak
lain, Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan
No.62909/PP/M.IIIB/99/2015 (”Putusan 62909”)
mengabulkan
gugatan Wajib Pajak atas penggunaan tanda tangan stempel pada surat
Keberatan.
(Lihat Lampiran 10);
Adapun hal yang bisa kami kutip dari Putusan 62909 adalah sebagai
berikut:
”Bahwa berdasarkan ketentuan a quo Majelis berpendapat bahwa
Undangundang KUP sendiri telah mengakui/memperbolehkan adanya
penandatanganan yang dilakukan dengan tanda tangan stempel;
...
Bahwa sedangkan untuk ”tanda tangan”,
ketentuan-ketentuan a
quo baik UU KUP, ordonansi, KUH Perdata dan PMK, juga tidak
mengatur/menegaskan mengenai bentuk/ wujud tanda tangan itu sendiri,
dengan demikian Majelis berpendapat bahwa penandatanganan dengan
stempel yang dilakukan oleh Penggugat dalam Surat Permohonan Keberatan
adalah sah dan tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
Bahwa berdasarkan bukti-bukti, dan penjelasan para pihak dalam
persidangan serta ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas,
Majelis mengabulkan seluruh gugatan Penggugat, sesuai petitumnya, yaitu
membatalkan Surat Tergugat ... dan memerintahkan Tergugat untuk tetap
memproses keberatan Penggugat sampai diterbitkan Keputusan
Keberatan.”
Bahwa berdasarkan Pasal 78 UU PP disebutkan bahwa:
”Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim.”
Lebih lanjut pada bagian penjelasan dari Pasal 78 tersebut disebutkan
bahwa:
”Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanda
tangan stempel tidak melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Lebih lanjut disebutkan bahwa keputusan hakim harus diambil
berdasarkan keyakinan yang benar berdasarkan ketentuan yang berlaku,
sehingga dapat disimpulkan bahwa Putusan 65482 telah diterbitkan
berdasarkan keyakinan yang tidak benar dan tidak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
- Majelis Hakim Pengadilan Pajak seharusnya memberikan
masukan bagi
Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) untuk memperbaiki
Surat Banding:
Bahwa pada tata cara persidangan pengadilan pajak, secara umum Majelis
Hakim Pengadilan Pajak akan terlebih dulu memeriksa apakah syarat
formal suatu kasus banding telah terpenuhi sebelum meneruskan dengan
pembahasan materi;
Pasal 50 ayat (2) UU PP menyebutkan bahwa:
”Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Majelis
melakukan
pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan Banding atau
Gugatan.”
Pasal 50 ayat (3) UU PP juga menyebutkan bahwa:
”Apabila Banding atau Gugatan tidak lengkap dan/atau tidak
jelas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sepanjang bukan merupakan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat
(1) dan ayat (4), dan Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6), kelengkapan
dan/atau kejelasan dimaksud dapat diberikan dalam
persidangan.”
Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila
ketentuan formal tidak terpenuhi, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak
tidak akan meneruskan pemeriksaan ke dalam pembahasan materi atas
sengketa pajak.
Bahwa baik Majelis Hakim Pengadilan Pajak dan Termohon Peninjauan
Kembali(dahulu Terbanding) telah menyetujui bahwa Pemohon Peninjauan
Kembali (dahulu Pemohon Banding) telah memenuhi ketentuan formal. Hal
ini dapat dibuktikan dengan sejumlah pembahasan materi sampai dengan
tahun 2015 (Lampiran 11).
Oleh sebab itu, pembahasan tanda tangan stempel setelah pembahasan
materi disertai putusan banding ”tidak dapat
diterima”,
menurut kami sangatlah tidak adil terutama karena semua pihak
sebelumnya telah menyetujui bahwa ketentuan formal pengajuan banding
yang dilakukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding)
telah terpenuhi berdasarkan Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU PP;
Apabila Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang memeriksa perkara-perkara
Banding menghendaki agar tanda tangan dalam Surat Banding Pemohon
Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) ditandatangani sendiri dan
bukan tanda tangan stempel (yang mana sesungguhnya tidak ada ketentuan
yang mengharuskan tanda tangan basah), maka semestinya Majelis Hakim
Pengadilan Pajak memberikan nasihat dan/atau masukan kepada Pemohon
Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) dan meminta agar Surat
Banding diperbaiki kapanpun di muka persidangan sebagaimana petunjuk
dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak dan bukan serta merta memutuskan
banding tidak dapat diterima;
- Pernyataan serta pengakuan dari Bapak Ir. AAA
selaku Direktur seharusnya dipertimbangkan secara adil, arif dan
bijaksana (sesuai dengan Pendapat Ahli Bapak M. Yahya Harahap, S.H.,
lampiran 8 halaman 6);
Bapak Ir. AAA selaku penandatangan surat banding telah
hadir secara fisik pada persidangan tanggal 26 Februari 2015 untuk
memberikan pernyataan bahwa tanda tangan stempel pada surat banding
yang bersangkutan adalah sesuai instruksi beliau selaku Direktur
Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) yang sah (Lampiran
12, 13 dan 14).
Pasal 1875 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui kebenarannya oleh
orang yang dihadapkan kepadanya atau secara hukum dianggap telah
dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta
otentik bagi orangorang yang menandatanganinya, ahli warisnya serta
orang-orang yang mendapat hak dari mereka; ketentuan Pasal 1871 berlaku
terhadap tulisan itu.”
Lebih lanjut, kekuatan bukti surat yang tanda tangannya diakui
dikuatkan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1043K/Sip/1971 tertanggal 3 Desember 1974 dengan
pertimbangan hukum yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut:
“Dengan adanya pengakuan tersebut, menurut Pasal 1875 B.W.
surat
perjanjian itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang isinya
seperti akta autentik.”
Oleh karena itu, keberadaan penyataan hukum bahwa tanda tangan stempel
dalam Surat Banding adalah atas persetujuan dan sepengetahuan direktur
Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) semakin memperkuat
bahwa Surat Banding dimaksud adalah sah dan valid.
Dengan demikian, apabila surat pernyataan Direktur JMB dikaitan dengan
Doktrin Hukum Perdata, Pasal 1875 KUHPerdata serta Yurisprudensi Tetap
Mahkamah Agung, maka surat pernyataan tersebut seyogyanya
dipertimbangkan secara adil, arif dan bijaksana oleh Pengadilan Pajak
sebagai bentuk upaya penjelasan dari Pemohon PK (dahulu Pemohon
Banding) mengenai tanda tangan stempel yang dipertanyakan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Pajak;
- Hak Untuk Mendapat Keadilan:
Hak untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh Pengadilan atas
tindakan pemerintah merupakan hak dasar bagi masyarakat sipil.
Sebagaimana telah dibahas pada poin II, berdasarkan UU PP tidak
disebutkan bahwa surat banding harus ditandatangani oleh Pemohon
Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding), sehingga kami melihat
adanya upaya Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk menjadikan tanda
tangan sebagai prosedur tambahan yang sebenarnya tidak tercantum dalam
UU PP.
Lebih lanjut, Pasal 84 ayat (1) huruf a dari UU PP menyebutkan Putusan
Pengadilan Pajak harus memuat:
“Kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa unsur
“Keadilan” sangatlah penting dan merupakan tujuan
utama
dari Pemohon PK dan Termohon Peninjauan Kembali.
Lebih lanjut, Pasal 84 ayat (2) dari UU PP menyatakan bahwa:
“Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) menyebabkan putusan dimaksud tidak sah dan Ketua
memerintahkan sengketa dimaksud segera disidangkan kembali dengan acara
cepat, kecuali putusan dimaksud telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
tahun.”
Oleh karena itu, tanpa adanya keadilan, maka Putusan Pengadilan akan
dianggap cacat secara hukum. Putusan 65482diterbitkan tanpa
mempertimbangkan aspek keadilan. Tidak hanya Putusan 65482 hanya
mempertimbangkan aspek formalitas (walaupun sidang atas kasus yang
dipersengketakan sudah berjalan cukup lama dan telah membahas materi
secara mendalam), namun Putusan 65482 juga menggunakan ketentuan yang
tidak terdapat di dalam UU PP untuk menolak banding dari Pemohon
Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding).
Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding) meyakini Putusan
65482 telah melanggar ketentuan dari Pasal 84 ayat (1) huruf a dari UU
PP karena tidak diputuskan berdasarkan asas Keadilan, sehingga kami
percaya bahwa Putusan 65482 adalah cacat secara hukum;
- Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah membuat putusan yang
tidak
adil Majelis Hakim Pengadilan Pajak memeriksa kasus banding yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding)untuk
tahun pajak 2010 sebagai berikut:
- PPh Badan (1 sengketa);
- PPh Pasal 4 ayat (2) (9 sengketa);
- PPh Pasal 15 (12 sengketa); dan
- PPh Pasal 23 (12 sengketa).
Dari keseluruhan 34 sengketa, terdapat 6 sengketa PPh Pasal 4 ayat (2)
yang dikabulkan seluruhnya oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang
mana Surat Banding ditandatangani oleh direktur yang sama. Namun
Majelis Hakim Pengadilan Pajak mengeluarkan putusan ”tidak
dapat
diterima” untuk 28 sengketa lainnya hanya karena
penandatangan
dilakukan dengan menggunakan tanda tangan stempel.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak
hanya mengutamakan pemenuhan prosedur formal penandatanganan Surat
Banding (yang sesungguhnya tidak diatur secara tegas – lihat
poin
II, IV dan VIII) tanpa mempertimbangkan kebenaran materiil. Dengan
demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak lebih mengutamakan kepastian
hukum dibanding unsur ”keadilan”.
Pasal 24 Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 (”UUD 1945”) menyebutkan:
“kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum”
dan
“keadilan”.
Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil”.
Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat
(1), serta Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan:
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.”
Bagir Manan mengemukakan bahwa (dalam Musakkir, Putusan Hakim yang
Diskriminatif dalam Perkara Pidana di Sulawesi Selatan: Suatu Analisa
Hukum Empiris.,Univ. Hasanudin, Makasar: 2006, p.10-11) :
“Hakim dapat menjalankan fungsi menjamin peraturan
perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil. Apabila penerapan
peraturan perundangundangan akan menimbulkan ketidak-adilan, Hakim
wajib berpihak pada keadilan dan mengesampingkan peraturan
perundang-undangan”.
Prof. DR. Moh Mahfud MD menulis di harian Kompas, 22 Desember 2008,
antara lain bahwa :
“Para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantive
(Substantive Justice) di masyarakat, daripada terbelenggu ketentuan
undang-undang (Procedural Justice), Irah-irah yang berbunyi
“Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” dan bukan :
“Demi
Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-undang”, Ini semua menjadi
dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan
meski – jika terpaksa – melanggar ketentuan formal
undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.”
Menurut Prof. DR. Achmad Ali, SH., MH, Grand Theory tentang tujuan
hukum adalah apa yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, yaitu:
- Keadilan;
- Kemanfaatan; dan
- Kepastian hukum.
Sedang norma-norma tertulis merupakan aturan-aturan untuk menuju kepada
“tujuan hukum” tersebut.
Hanya mengikuti aturan-aturan tertulis tersebut akan melahirkan
keadilan procedural (Procedural Justice) saja, sedangkan seharusnya
yang lebih diutamakan adalah keadilan substantif (Substantive Justice),
yaitu tujuan dari hukum itu sendiri.
Atau yang menurut Lawrence M. Friedman:
”Procedure, then, is only a means to an end; the end is
whatever
collective problem society means to attack. Procedure follows
substance; substance tell us which areas of procedure will become
important….”.
(Prosedur, hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan, tujuan
tersebutlah yang merupakan problem kolektif apapun dari masyarakat yang
dimaksudkan untuk dilawan. Prosedur mengikuti substansi, dan
substansilah yang memberitahu kita, bidang-bidang prosedur mana yang
menjadi penting).
(Ali, Achmad., Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Volume
1.,Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, p.212-235).
Konsep hukum yang dikemukakan para ahli diatas pada dasarnya merupakan
adaptasi dari filsafat hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch
(Radbruch Formula / Radbruchsche Formel) dalam Statutory Lawlessness
and Supra-Statutory Law (1946), dalam Oxford Journal of Legal Studies,
vol:26, No: 1 (2006), hal. 6- 7, yang juga ditulis oleh FRANK HALDEMANN
dalam : Gustav Radbruch vs. Hans Kelsen: A Debate on Nazi Law,. Ratio
Juris. Vol. 18 No. 2 June 2005 (162–78).
Filsafat hukum tersebut juga diakui dan telah dicantumkan dalam
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum (”RUU
KUH”) Pidana yang baru (ius constituendum), yaitu dalam
rumusan
Pasal 12:
”(1). Hakim dalam mengadili suatu perkara pidana
mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan.
(2). Jika dalam mempertimbangkan tegaknya hukum dan keadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat pertentangan yang tidak
dapat dipertemukan, hakim dapat mengutamakan keadilan.”
Ditegaskan dalam penjelasan Pasal 12 ayat (2) tersebut:
“Keadilan dan Kepastian Hukum merupakan dua tujuan hukum yang
kerapkali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam
praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi
tuntutan kepastian hukum maka semakin besar pula kemungkinan aspek
keadilan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktek
dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum
tersebut dalam penerapannya pada kejadian-kejadian konkret. Apabila
dalam penerapan dalam kejadian konkret Keadilan dan Kepastian Hukum
saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di
atas kepastian hukum”
Sesuai uraian di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon
Banding) berpendapat bahwa seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak
lebih mempertimbangkan unsur keadilan dan tidak menyatakan permohonan
banding Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon Banding)
”tidak
dapat diterima” semata-mata karena tanda tangan stempel tanpa
mempertimbangkan kebenaran materiil. Mengingat banding atas keenam
permohonan banding yang telah dikabulkan sesungguhnya juga
ditandatangani oleh pejabat yang sama yang telah bersaksi di sidang
Pengadilan Pajak;
- Penilaian Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang bercorak
sangat
kaku, bertentangan dengan jiwa dan semangat moderasi yang terkandung
dalam Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP dan Pasal 2 ayat (4) jo.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman:
Alinea Keempat Penjelasan Umum UU PP memancangkan jiwa dan semangat
berupa asas:
“Proses penyelesaian sengketa perpajakan melalui Pengadilan
Pajak perlu dilakukan secara cepat…”
Ketentuan Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) dari Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman juga memancangkan asas yang sama, yaitu mewajibkan
hakim untuk:
- mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat,
dan biaya ringan
- membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan
Baik teori dan praktek peradilan yang berkembang, dalam penerapan hukum
acara pun, sudah ditinggalkan cara-cara dan perilaku yang bercorak
“strict law” atau “formalistic legal
thinking”
termasuk dan meliputi penegakkan hukum yang menyangkut dengan hukum
acara.
Seperti dalam menghadapi kasus bentuk dan syarat formil dan materiil
Surat Banding yang terjadi dalam perkara ini, seharusnya Majelis Hakim
Pengadilan Pajak bersikap MODERASI dengan memberikan pedoman jiwa dan
semangat dan asas yang dipancangkan Alinea Keempat Penjelasan Umum UU
PP jo. Pasal 2 ayat (4) dan pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman dengan mengkaitkan asas-asas tersebut dengan ketentuan Alinea
Keempat Penjelasan Umum jo. Pasal 35 ayat (1) UU PP.
Maka seharusnya dalam hal tidak ada peristiwa yang dipersengketakan
antara Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) dan Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) mengenai keabsahan tanda tangan
stempel dalam Surat Banding Pemohon Peninjauan Kembali(dahulu Pemohon
Banding), termasuk keabsahannya, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak
perlu mempersoalkan mengenai tanda tangan stempel dalam Surat Banding
agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dapat dilakukan dengan
efisien dan efektif;
- Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutuskan hal yang
tidak diminta (ultra petita)
Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) di dalam Surat Uraian
Banding (Lampiran 3) tidak pernah mengajukan keberatan atas penggunaan
tandatangan stempel dalam permohonan banding yang diajukan oleh JMB.
Selama proses persidangan DJP juga tidak pernah mengajukan keberatan
atas penggunaan tandatangan stempel tersebut.
Suatu putusan yang mengabulkan hal yang tidak diminta atau lebih
daripada yang dimintakan lazim dikenal sebagai “Ultra
Petita” atau Ultra Petitum”. Adapun suatu putusan
dapat
dikatakan Ultra Petita/Ultra Petitum putusan tidak terbatas pada suatu
putusan yang mengabulkan hal yang tidak dituntutkan, melainkan juga
terhadap putusan yang didasarkan pada pertimbangan yang berlainan
dengan posita.
Hanafiah Ponggawa & Partners dalam pendapatnya (Lampiran 7)
menyimpulkan bahwa Pengadilan Pajak telah menjatuhkan Putusan 65482
secara Ultra Petita/Ultra Petitum karena (a) mengabulkan hal yang tidak
dituntut oleh para pihak yang berperkara serta (b) didasari oleh dasar
tuntutan (posita) yang tidak diajukan oleh para pihak, baik JMB maupun
DJP. Oleh karena itu, Putusan 65482 nyata-nyata bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pendapat para
ahli serta praktik peradilan di Indonesia;
- URAIAN SELENGKAPNYA MENGENAI ALASAN PERMOHONAN PK
– MATERI
Terkait permohonan material banding, Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu
Pemohon Banding) tidak setuju dengan seluruh koreksi Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) dengan alasan sebagai berikut:
- Pembayaran Biaya Bongkar Muat Batubara (Stevedoring)
Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) telah memperhitungkan pembayaran
biaya bongkar muat batubara (stevedoring, akun nomor 585040) sebagai
objek PPh Pasal 23. Menurut kami, pengenaan PPh Pasal 23 atas biaya
tersebut tidak tepat dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
- Kegiatan stevedoring menggunakan alat/mesin/alat
berat Pasal 1 angka
15 dari Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 (“PP
20/2010”) tentang angkutan perairan mendefinisikan
stevedoring
sebagai berikut:
“Stevedoring adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke
dermaga/ tongkang/ truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk
ke dalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan
menggunakan derek kapal atau derek darat.”
Lebih lanjut, Pasal 1 angka 17 dari Keputusan Menteri Perhubungan Nomor
14 tahun 2002 (“KM 14/2002”) mendefinisikan
penyedia jasa
bongkar muat sebagai berikut:
“Penyedia Jasa Bongkar Muat adalah Perusahaan yang melakukan
kegiatan bongkar muat (stevedoring, cargodoring dan receiving/delivery)
dengan menggunakan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan peralatan
bongkar muat.”
Sesuai dengan penjelasan diatas, maka stevedoring adalah serangkaian
kegiatan bongkar muat yang melibatkan baik tenaga kerja maupun
penggunaan peralatan (antara lain derek kapal atau derek darat). Dengan
demikian, penggunaan peralatan merupakan satu kesatuan dengan
penggunaan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan stevedoring.
Dengan demikian, kami berpendapat bahwa argumentasi Termohon Peninjauan
Kembali (dahulu Terbanding) yang berdasarkan pada penyewaan alat adalah
tidak tepat. Hal ini dikarenakan penggunaan peralatan merupakan bagian
dari kegiatan stevedoring;
- Penggunaan peralatan dalam kegiatan stevedoring tidak
termasuk dalam definisi rental atau persewaan alat.
Angka 2 dari Surat Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010
(“SE-35/2010”) memberikan penjelasan terkait sewa
dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, sebagai berikut:
“… 2. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
penggunaan harta sebagaimana dimaksud dalam butir 1 huruf a merupakan
penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan
untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu
baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta
tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu
yang telah disepakati.” Kegiatan sewa-menyewa juga diatur
dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Pasal
1548 KUH Perdata mendefinisikan sewa-menyewa sebagai berikut:
“sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada
pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga
yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu.” Dengan
merujuk
kepada definisi sewa dalam SE-35/2010 diatas, transaksi sewa-menyewa
pada umumnya melibatkan: 1) aset tertentu dan 2) pengalihan hak untuk
menggunakan asset tersebut selama jangka waktu tertentu. Dalam konteks
bongkar muat/stevedoring, kami mencatat tidak terdapat
penyerahan/pengalihan hak untuk menggunakan suatu harta tertentu dalam
jangka waktu tertentu. Adapun pengoperasian alat tersebut dilakukan
oleh tenaga kerja perusahaan vendor, bukan tenaga kerja JMB.Dengan
demikian mengingat kegiatan jasa bongkar muat/stevedoring merupakan
penyerahan jasa melalui kombinasi pengerahan tenaga kerja dan
penggunaan alat yang dilakukan vendor, maka kegiatan bongkar
muat/stevedoring bukanlah penyewaan alat.
Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa koreksi Termohon Peninjauan
Kembali (dahulu Terbanding) yang mengaitkan jasa bongkar muat dengan
persewaan alat adalah tidak tepat dan seharusnya dibatalkan;
- Biaya bongkar muat tidak dikenai PPh Pasal 23
Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh mengatur atas penghasilan
berupa imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan Jasa Lain (selain jasa yang telah
dipotong PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21) dipotong pajak oleh
pihak yang wajib membayarkan sebasar 2% dari jumlah bruto.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
244/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008
(“PMK-244/2008”)
sebagai peraturan pelaksana atas Pasal 23 ayat (1) huruf c UU PPh
merinci berbagai jenis jasa yang merupakan/ termasuk dianggap sebagai
Jasa Lain – catatan: Penggunaan kata “terdiri
dari”
dalam kutipan dibawah menunjukkan bahwa jenis Jasa Lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh hanya mencakup
jenis Jasa Lain yang dirinci dalam PMK-244/2008.
Oleh karena kegiatan bongkar muat/stevedoring tidak termasuk dalam jasa
lain dalam PMK-244/2008 maka stevedoring jelas bukan merupakan objek
PPh Pasal 23.
Berdasarkan penjelasan dan referensi diatas, koreksi Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) atas objek PPh Pasal 23 berupa
jasa bongkar muat/stevedoring adalah tidak tepat dan sudah selayaknya
dibatalkan;
- Koreksi Dasar Pengenaan PPh Pasal 23 atas Jasa
Konsultan, Biaya Bunga dan Dividen
Pemohon Peninjauan Kembali telah memotong dan melaporkan PPh Pasal 23
atas Jasa Konsultan, Biaya Bunga dan Dividen, sehingga Termohon
Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) seharusnya tidak menambahkan
koreksi atas dasar pengenaan PPh Pasal 23 atas Jasa Konsultan, Biaya
Bunga dan Dividen;
- Estimasi biaya di bulan Desember 2010 dan Jurnal Balik
di
bulan Desember 2009 bukan merupakan objek PPh Pasal 23 Pasal 15 dari
Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 (“PP
94/2010”)
tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak
penghasilan dalam tahun berjalan, menjelaskan pelunasan PPh dalam tahun
berjalan melalui pihak lain sebagai berikut:
“(3) Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
dilakukan pada akhir bulan:
- dibayarkannya penghasilan;
- disediakan untuk dibayarkannya penghasilan; atau
- jatuh temponya pembayaran penghasilan yang
bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu”
Dalam penjelasan dijelaskan bahwa:
“Saat terutangnya Pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-Undang
Pajak
Penghasilan adalah pada saat pembayaran, saat disediakan untuk
dibayarkan (seperti: dividen) dan jatuh tempo (seperti: bunga dan
sewa), saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur
(seperti: royalty, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).
Yang dimaksud dengan “saat jatuh tempo pembayaran”
adalah
saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas
kesepakatan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dalam kontrak
atau perjanjian atau faktur.”
Estimasi biaya yang dibentuk pada Desember 2010 ini merupakan estimasi
untuk keperluan akuntansi atas biaya-biaya yang akan ditagih oleh
pemasok-pemasok pada periode selanjutnya (yaitu sebelum tagihan
dikirimkan oleh pemasok). Pada awal periode berikutnya (yaitu Januari
2011) kami melakukan jurnal balik atas estimasi biaya ini. Penjurnalan
kembali dilakukan ketika tagihan dikirimkan oleh pemasok pada tahun
2011. (Lampiran 17).
Bahwa PPh Pasal 23 yang terutang atas transaksi-transaksi ini sudah
dipotong dan dilaporkan pada SPT Masa tahun 2011.Tahun pajak 2011 telah
selesai diperiksa oleh DJP. Oleh sebab itu, SKPKB-00121 menyebabkan dua
kali pembayaran pajak atas objek yang sama sehingga sudah selayaknya
koreksi estimasi biaya Desember 2010 dibatalkan.
Konsisten dengan penjelasan estimasi biaya diatas, jurnal balik yang
kami lakukan pada Januari 2010 hanya merupakan perlakuan akuntansi atas
estimasi biaya yang dilakukan di periode Desember 2009. JMB mencatat
jurnal balik agar tidak terjadi pembebanan dua kali atas biaya yang
sama. JMB melakukan pencatatan jurnal pembebanan segera setelah tagihan
dari pemasok diterima dan pembayaran terhutang. (Lampiran 18). Dengan
demikian pemotongan PPh Pasal 23 kami lakukan saat tagihan yang
bersangkutan jatuh tempo.
Lebih lanjut, nilai jasa yang dicatat (akrual) pada tanggal 31 Desember
2009 atau 31 Desember 2010 hanya merupakan estimasi yang dilakukan
berdasarkan prinsip akutansi yang berlaku umum sehingga tidak dapat
dijadikan dasar untuk pemotongan PPh Pasal 23.
Sebagai tambahan dalam Surat Banding, kami telah melampirkan rincian
estimasi biaya bulan Desember 2010 beserta dengan jurnal balik untuk
estimasi biaya di bulan Desember 2009 yang dapat dijadikan dasar bagi
Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) untuk melakukan
penelitian atas sengketa diatas;
- Surat Keterangan Bebas (“SKB”)
membebaskan RMC dari pemotongan PPh Pasal 23
Atas tagihan nomor 011/RMC-JMB/10, RMC telah menyampaikan SKB PPh Pasal
23 Nomor KET-00009/SKB.23/WPJ.14/KP.0503/2010 yang diterbitkan oleh KPP
Madya Balikpapan (Lampiran 19). SKB tersebut berlaku sejak tanggal 30
November sampai dengan 31 Desember 2010.
JMB melakukan pembayaran atas tagihan diatas kepada RMC sebesar Rp
11.941.421.798 (jumlah total untuk periode Januari s.d. Desember 2010)
atau USD 1.307.585,70 pada tanggal 20 Desember 2010.
Sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas, Pasal 15 dari PP 94/2010
telah memberikan petunjuk dalam pemotongan PPh Pasal 23 oleh pihak
lain. Pemotongan PPh Pasal 23 terutang saat dibayarkannya penghasilan
atau jatuh tempo yang mana terjadi terlebih dahulu. Dalam hal ini
pembayaran tagihan RMC dilakukan pada tanggal 20 Desember 2010.Sehingga
hal ini telah sesuai dengan jangka waktu pembebasan pemotongan pajak
penghasilan sebagaimana yang tercantum dalam SKB.
Selain itu, Pasal 2 angka (6) dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor
80/PMK.03/2010 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
184/PMK.03/2007 tentang penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak, penentuan tempat pembayaran pajak, dan tata cara
pembayaran, penyetoran dan pelaporan pajak, serta tata cara
pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak (“PMK
80/2010”)
(Lampiran 20), menjelaskan sebagai berikut:
“…(6) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong
oleh
Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.”
PMK 80/2010 dengan jelas memberikan arahan bahwa jangka waktu
pembayaran PPh Pasal 23 adalah sebelum tanggal 10 bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir atau dalam hal ini adalah sebelum tanggal
10 Desember 2010.
Atas pembayaran ini kami berpendapat bahwa sudah selayaknya JMB tidak
melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan yang diterima oleh
RMC karena masih berada dalam jangka waktu pembebasan pemotongan PPh 23
seperti yang tercantum dalam SKB.
Kami tidak melampirkan SKB pada saat melaporkan SPT PPh 23 dikarenakan
tidak terdapat peraturan yang mengharuskan hal itu. Karena SKB ini
telah diterbitkan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran faktur
penjualan, maka SKB tersebut berlaku.
Dengan ditetapkannya koreksi Termohon Peninjauan Kembali (dahulu
Terbanding) berupa PPh Pasal 23 atas penghasilan RMC dapat diartikan
bahwa Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) mengingkari hak
pembebasan atas pemotongan PPh Pasal 23 milik RMC. Oleh sebab itu,
dapat disimpulkan bahwa koreksi PPh Pasal 23 Termohon Peninjauan
Kembali (dahulu Terbanding) atas tagihan RMC adalah tidak tepat dan
sudah selayaknya dibatalkan;
- Koreksi Lainnya
- Biaya mobilisasi/demobilisasi atas puing-puing
conveyor
yang ambruk JMB mencatat loss due to damages di tahun 2010 sebesar Rp
8.938.922.699 atas reimbursement dari BAUER untuk kegiatan mobilisasi
dan demobilisasi puing-puing conveyor yang ambruk pada 8 Oktober 2009
di dalam wilayah kegiatan pertambangan JMB.
Mengingat pembayaran yang terjadi merupakan penggantian atas kerugian
yang diderita BAUER karena terjadinya longsor di wilayah pertambangan
JMB, maka menurut kami penetapan biaya ini sebagai objek PPh Pasal 23
oleh Termohon Peninjauan Kembali (dahulu Terbanding) adalah tidak tepat
dan seharusnya dibatalkan.
- Biaya coal selling commission
Biaya coal selling commission sebesar Rp 9.904.716.658 merupakan
estimasi untuk keperluan akuntansi yang dibentuk pada Desember 2010.
Pada Januari 2011, kami melakukan jurnal balik atas estimasi biaya ini.
Penjurnalan kembali dan pembayaran dilakukan ketika tagihan dikirimkan
oleh pemasok pada tahun 2011.
Dalam hal ini, JMB sesungguhnya sudah menyetor dan melaporkan PPh Pasal
23 atas biaya coal selling commission ini pada SPT Masa PPh Pasal 23 di
Januari 2011.Tahun pajak 2011 telah selesai dipemeriksa oleh DJP. Oleh
sebab itu, SKPKB-00121 menyebabkan dua kali pembayaran pajak atas objek
yang sama sehingga sudah selayaknya koreksi atas biaya coal selling
commission yang merupakan estimasi biaya Desember 2010 ini dibatalkan;
- Biaya pembebasan lahan kepada Pemuda Pancasila JMB
melakukan pembayaran ganti rugi atas pembebasan lahan Ijin Usaha
Pertambangan kepada sekelompok orang pribadi bernama Kelompok Tani
Terpadu binaan Pemuda Pancasila.Biaya ini bukanlah jasa namun merupakan
ganti rugi kepada pihak ketiga yang memang harus dibayarkan JMB untuk
kelancaran kegiatan produksi batubara di wilayah pertambangan JMB.
Mengingat biaya pembebasan lahan ini bukanlah tidak termasuk dalam
cakupan objek PPh Pasal 23, maka penetapan biaya ini sebagai objek PPh
Pasal 23 oleh Termohon PK (dahulu Terbanding) adalah tidak tepat dan
sudah seharusnya dibatalkan;
Sebagai tambahan, perlu kami tegaskan disini bahwa dalam proses
keberatan kami mengajukan keberatan atas keseluruhan nilai SKPKB-00121
dan dikarenakan informasi tentang detail koreksi objek PPh Pasal 23
tidak tersedia maka sangat sulit bagi kami untuk dapat memetakan
koreksi objek PPh Pasal 23 secara benar.
Berdasarkan uraian diatas penerbitan SKPKB-00121 telah mencerminkan
adanya ketidakadilan dan ketidakpastian hukum terhadap Pemohon PK
(dahulu Pemohon Banding). Untuk itu Pemohon PK (dahulu Pemohon Banding)
memohon kepada Mahkamah Agung RI untuk membatalkan Putusan 65482.
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah
Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan tidak dapat
diterima permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Terbanding Nomor : KEP-1148/WPJ.19/2013 tanggal 05 September 2013,
mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Mei 2010 Nomor :
00121/203/10/091/12 tanggal 28 Juni 2012 sebagaimana telah dibetulkan
dengan Keputusan Terbanding Nomor : KEP-00221/WPJ.19/KP.0103/2013
tanggal 2 Agustus 2013 atas nama Pemohon Banding, NPWP :
01.774.xxxx, adalah yang secara nyata-nyata bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pertimbangan :
- Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali
dalam perkara a quo yaitu :
- Putusan Pengadilan Pajak berupa banding tidak dapat
diterima karena
penggunaan tanda tangan stempel atas sengketa PPh Pasal 23 bulan Mei
2010. Majelis Pengadilan Pajak menyatakan bahwa permohonan banding
Pemohon Peninjauan Kembali (dahulu Pemohon Banding) tidak dapat
diterima karena surat permohonan banding tidak memenuhi ketentuan
formal (yaitu karena tanda tangan di surat banding merupakan tanda
tangan stempel) dan bahkan setelah berkali-kali sidang materi,
pemeriksaan atas materi sengketa yang telah dilaksanakan tidak
dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam memutus
sengketa banding;
- Sengketa materi terkait pengenaan PPh Pasal 23 atas
pembayaran
biaya bongkar muat (stevedoring), jasa konsultan, estimasi biaya yang
dibukukan di bulan Desember 2010 dan Jurnal Balik yang dibukukan di
bulan Desember 2009, pembayaran atas tagihan kepada PT. RPP Mining
Contracter ("RMC") dan beberapa tambahan koreksi setelah SPHP (yaitu
biaya mobilisasi/demobilisasi, biaya coal selling commission, biaya
jasa keamanan dan biaya reklamasi) oleh Termohon Peninjauan Kembali;
dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali
dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dihubungkan dengan jawaban dalam Kontra Memori
Peninjauan Kembali dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan
bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum
Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo butir A penggunaan
tanda tangan stempel manakala dibenarkan tanda tangan tersebut telah
diakui secara sah baik oleh Terbanding sekarang Termohon Peninjauan
Kembali maupun oleh Pemohon Banding sekarang Pemohon Peninjauan
Kembali, karena dalam Surat Uraian Banding (SUB) Terbanding sekarang
Termohon Peninjauan Kembali tidak keberatan atas penggunaan tanda
tangan stempel, maka Terbanding sekarang Termohon Peninjauan Kembali
telah dianggap setuju. Dengan demikian, Terbanding sekarang Termohon
Peninjauan Kembali secara mutatis mutandis telah melakukan penundukan
diri secara diam-diam, sehingga dalam menegakan hukum yang berkeadilan
dengan mengedepankan prinsip Audi Ateram Et Partem dan Doelmateiegheid
van Bestuur, maka Majelis Hakim Agung berpendapat bahwa permohonan
Banding, yang diajukan telah memenuhi prosedural dan substansial serta
formal Banding. Sedangkan butir B mengenai substansi berupa terkait
pengenaan PPh Pasal 23 atas pembayaran biaya bongkar muat
(stevedoring), jasa konsultan, estimasi biaya. Pengertian stevedoring
adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/tongkang/truck
atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truck ke dalam kapal sampai
dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan derek kapal atau
derek darat (vide Pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2010). Sedangkan pengertian Penyedia Jasa Bongkar Muat adalah
Perusahaan yang melakukan kegiatan bongkar muat (stevedoring,
cargodoring dan receiving/dellivery) dengan menggunakan Tenaga Kerja
Bongkar Muat (TKBM) dan peralatan bongkar muat (vide Pasal 1 angka 17
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2002). Dari terminologi
tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa stevedoring adalah serangkaian
kegiatan bongkar muat yang melibatkan baik tenaga kerja maupun
penggunaan peralatan berupa derek kapal atau derek darat. Dengan
demikian, penggunaan peralatan merupakan satu kesatuan dengan
penggunaan tenaga kerja untuk melakukan stevedoring, sedangkan biaya
coal selling commission merupakan estimasi untuk kepentingan akuntansi
yang kesemuanya sudah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 23 Tahun 2011
telah selesai diperiksa oleh Terbanding, sehingga substansi tersebut
memiliki hubungan langsung dengan 3M (Mendapatkan, Memelihara dan
Menagih) penghasilan dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang
Termohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo mendasarkan pada
penyewaan alat (mengkaitkan Jasa Bongkar Muat dengan Persewaan) adalah
tidak/kurang tepat dan tidak berdasar dan tidak seharusnya terutang PPh
Pasal 23, sehingga Surat Keputusan Terbanding tidak memiliki sifat Erga
Omnes dan sekaligus koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan
Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 4 dan
Pasal 6 serta Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan;
- Bahwa dengan demikian, alasan-alasan permohonan Pemohon
Peninjauan
Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan karena terdapat
putusan Pengadilan Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali: PT. XXX dan membatalkan Putusan Pengadilan
Pajak Nomor Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015,
serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar
sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Agung telah membaca dan mempelajari
Jawaban Memori Peninjauan Kembali dari Termohon Peninjauan Kembali,
namun tidak ditemukan hal-hal yang dapat melemahkan alasan Peninjauan
Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali;
Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali,
maka Termohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah,
dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan
Kembali ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali : PT. XXX tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.65482/PP/M.XVIIIB/12/2015, Tanggal 5 November 2015;
MENGADILI KEMBALI,
Mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding sekarang Pemohon
Peninjauan Kembali;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam peninjauan kembali ini ditetapkan sebesar Rp2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Selasa, tanggal 8 Agustus 2017, oleh Dr. DDD, S.H., M.H.,
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua
Majelis, Dr. BBB, S.H., M.S., dan CCC, S.H.,
M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh FFF,
S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota
Majelis :
ttd.
Dr. BBB, S.H., M.S.
ttd.
CCC, S.H.,
M.H.
|
|
Ketua
Majelis,
ttd.
Dr. DDD, S.H., M.H.
|
|
|
|
Biaya -
biaya :
1. Meterai...................... Rp
6.000,00
2. Redaksi .................... Rp
5.000,00
3. Administrasi ............. Rp
2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp
2.500.000,00 |
|
Panitera
Pengganti,
ttd.
FFF,
S.H. |
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.