PUTUSAN
Nomor 1117/B/PK/PJK/2017

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomor X0-XX, Jakarta XXXX0, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  3. CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Jenderal AF, Nomor X0-XX, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1243/PJ./2013 tanggal 17 Juni 2013;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT DFG, tempat kedudukan di Keputusan di Jalan Raya DF, Garden Center Building Suite #X-0X, Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan XXXX0, dan alamat di Surat Banding di Gedung QQ Lt. X-X, Jalan FG, Nomor 1, Jakarta Selatan 12560,
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.VI/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan diterbitkannya KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 27 April 2011, maka dengan ini Pemohon Banding mengajukan banding atas keputusan tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa dasar koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp246.569.250,00 adalah Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN karena Pajak Masukan atas Pembelian/perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
Bahwa koreksi Pajak Masukan tersebut, tidak dapat Pemohon Banding terima karena:
  1. Pajak Masukan sebesar Rp246.569.250,00 tersebut merupakan Pajak Masukan yang berasal dari transaksi yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan;
  2. Sehingga dengan demikian Pajak Masukan atas pembelian/perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut menurut Pemohon Banding dapat dikreditkan;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon Banding mohon Bapak dapat mengabulkan permohonan Banding Pemohon Banding atas KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 27 April 2011, sehingga perhitungan pajak yang terhutang menjadi:

Pajak Keluaran
Pajak Masukan
Pajak (Lebih) Kurang Bayar
Kompensasi Ke Masa Berikutnya
Pajak yang (Lebih) dibayar
17.622.727.934
48.199.235.741
(30.576.507.807)
0
(30.576.507.807)

Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.VI/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 27 April 2011 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Desember 2008 Nomor 00090/407/08/091/10 tanggal 17 Juni 2010, atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX.0-0XX.000, alamat di Keputusan Terbanding: Jalan Raya DF, Garden Center Building Suite #7-01 Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan XXXX0, dan alamat di Surat Banding: Gedung QQ Lt. 2-3, Jalan FG, No. X, Jakarta Selatan XXXX0, sehingga jumlah PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut:

Jumlah seluruh penyerahan
PPN keluaran yang harus dipungut
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
PPN kurang (lebih) dibayar
PPN yang sudah direstitusi
PPN yang masih kurang (lebih) bayar
Rp 205.297.403,140,00
Rp 17.622.727.934,00
Rp 48.028.391.149,00
(Rp 30.405.663.215,00)
Rp 30.329.938.557,00
(Rp 75.724.658,00)

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.VI/16/2013 tanggal 11 Maret 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 3 April 2013 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1243/PJ./2013 tanggal 17 Juni 2013 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 28 Juni 2013 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-I.1454/PAN/2013 yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Pajak dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 31 Oktober 2013, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya tidak diajukan jawaban sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:

  1. Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali:
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan yuridis formal pengkreditan Pajak Masukan atau mengabaikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut,sehingga menghasilkan putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 diajukan Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak):
“Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan berdasarkan alasan sebagai berikut:
    1. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
  1. Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan Kembali:
  1. Bahwa salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013tanggal 11 Maret 2013, atas nama: PT DFG, (Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 1 April 2013;
  2. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92 ayat (3) juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak,maka pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013tanggal 11 Maret 2013 ini masih dalam tenggang waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
  1. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali:
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
Tentang Sengketa Koreksi Positif Pajak Masukan PPN Masa Pajak Desember 2008Yang Dapat Diperhitungkansebesar Rp75.724.658,00 yang tidak dipertahankan Majelis;
  1. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali:
    1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut: Halaman 22 alinea ke-1:
      Bahwa dengan demikian, majelis sepakat bahwa kredit pajak yang tidak dapat dipertahankan adalah sebesar Rp75.724.658,00 sedangkan koreksi Terbanding sebesar sisanya Rp22.495.214,00 tetap dipertahankan dan permohonan banding Pemohon Banding dikabulkan sebagian, sehingga Perhitungan Pajak Masukan hasil persidangan adalah sebagai berikut:

      Pajak Masukan menurut Terbanding
      Koreksi Terbanding tidak dapat dipertahankan
      Pajak Masukan setelah persidangan
      Rp 47.952.666.491,00
      Rp 75.724.658,00
      Rp 48.028.391.149,00

    2. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak), menyatakan:
      Pasal 69 ayat (1):
      Alat bukti dapat berupa:
      1. surat atau tulisan;
      2. keterangan ahli;
      3. keterangan para saksi;
      4. pengakuan para pihak; dan/atau
      5. pengetahuan Hakim;
      Penjelasan:
      Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain;
      Pasal 76:
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
      Penjelasan Pasal 76:
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan;
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
      Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau tanggapan, belum diungkapkan;
      Pemohon Banding atau Penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan Terbanding atau harus diberitahukan kepada Pemohon Banding atau Penggugat untuk diberikan jawaban;
      Pasal 77 ayat (3):
      Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung;
      Pasal 78:
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
      Penjelasan Pasal 78:
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
      Pasal 91 huruf e:
      Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    3. Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, meyatakan:
      Pasal 9 ayat (1):
      Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
      1. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
      PenjelasanPasal 9 ayat (1):
      Ayat (1). Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya;
      Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran;
      Huruf e. Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan keputusan Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja;
      Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya, seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja;
    4. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah s.t.d.d. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPN), menyatakan:
      Pasal 1 angka 24:
      Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak;
      Pasal 9 ayat (2):
      Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama;
      Pasal 9 ayat (8):
      Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
      1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      2. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
      3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
      4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
      5. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
      6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
      7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
      8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
      9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
      Penjelasan Pasal 9 ayat (8):
      Huruf b: Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
      Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
      Huruf f: Cukup jelas;
      Pasal 13 ayat (4):
      Saat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
      Pasal 13 ayat (5):
      Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
      1. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
      2. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
      3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
      4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
      5. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
      6. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
      7. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
      Penjelasan Pasal 13 ayat (5):
      Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak harus benar, baik secara formal maupun secara materiil.
      Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatanganioleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini disebut Faktur Pajak Standar;
    5. Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 466/KMK.04/2000 tanggal 3 November 2010 tentang Penyediaan Makanan Dan Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja, menyatakan:
      Pasal 1:
      Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
      1. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai adalah makanan dan minuman yang disediakan oleh pemberi kerja bagi seluruh pegawai secara bersama-sama termasuk dewan direksi dan dewan komisaris di tempat kerja;
      Pasal 2 ayat (1):
      Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan;
    6. Bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, menyatakan:
      Pasal 1 angka 3:
      Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan tentang:
      1. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
      2. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak;
      3. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
      4. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
      5. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
      6. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
      7. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
      Pasal 5 ayat (1):
      Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya;
      Pasal 5 ayat (2):
      Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
      Pasal 5 ayat (3):
      Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak;
    7. Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ.3/1985 tanggal 14 November 1985 tentang Penafsiran atas Pasal 9 Ayat (8) Huruf b Undang-Undang PPN 1984 (SERI PPN-66), menyatakan:
      Butir 4:
      “....Dengan demikian hanya Pajak Masukan yang benar-benar tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan, Pajak Masukan atas pengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang sifatnya konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya overhead dan ....”
    8. Bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 tanggal 16 September 2002 tentang Permohonan Penegasan Atas Pengkreditan Pajak Masukan, menyatakan:
      Butir 7 huruf a:
      Pajak Masukan atas pengeluaran dalam bentuk fasilitas dan pemberian natura yang diberikan kepada pegawai tidak dapat dikreditkan;
    9. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 dapat diketahui:
      1. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah perusahaan yang bergerak di bidang perancangan dan/atau pembangunan proyek teknik yang menggunakan alat-alat besar. Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memiliki bidang usaha penyewaan alat berat, jasa service (forestry), penjualan fuel (other activities), jasa pertambangan, kehutanan dan aktivitas lain. Dari beberapa kegiatan usaha tersebut di atas, jasa pertambangan (mining contractor services) merupakan pemberi kontribusi paling besar dalam penerimaan. Pada tahun 2008, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)melakukan jasa kontraktor pertambangan (melakukan kegiatan penambangan batu bara untuk tambang terbuka (open pit);
      2. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi positif Pajak Masukan yang dapat Diperhitungkan sebesar Rp75.724.658,00 dengan alasan:
        1. Bahwa Pajak Masukan sebesar Rp75.724.658,00 tersebut merupakan Pajak Masukan atas pengeluaran yang tidak termasuk dalam pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN;
        dengan perincian sebagai berikut:

        No Nama Lawan Transaksi No. Seri Faktur Pajak Tanggal
        Faktur
        PPN Jenis
        Transaksi
        1
        PT FD Indonesia 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.376.200 Akomodasi dan Konsumsi
        2
        PT DA 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.811.808 Pembebanan galon air 19 Itr
        3
        PT DA 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.593.270 Pembelian galon air 19 Itr
        4
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 31-Oct-08 10.237.143 Meal Box, Laundry, Snack, Food,
        Material, Gardening, OB
        5
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 20-Nov-OS 3.266.210 Meal Box, Laundry, Snack, Food,
        Material, Gardening, OB
        6
        PT YX 0X0,000-0X.000000XX 31-Des-08 2.266.740 Pembelian galon air 19 Itr
        7
        PT YX 0X0.000-0X.000000XX 31-Des-08 1.994.706 Pembebanan galon air 19 Itr
        8
        PT FD Indonesia 0X0.000-0X.000000X0 31-Des-08 1.098.600 Akomodasi dan Konsumsi
        9
        CV XY 0X0.000-0X.0000000X 18-Oct-08 10.517.100 Rantal Bus dan Pemakaian Solar
        10
        CV XY 0X0.000-0X.0000000X 18-Nov-08 10.564.417 Rantal Bus dan Pemakaian Solar
        11
        CV DF 0X0.000-0X.00000X00 31-Des-OS 20.575.290 Meal Box, dan Snack
        12
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 18-Des-08 10.423.210 Meal Box

        Jumlah

        75.724.658

        1. Bahwa selain itu, atas Pajak Masukan terkait transaksi dengan PT AFG, diketahui bahwa dalam Faktur Pajak tersebut tidak mencantumkan jabatan penanda tangan faktur Pajak, sehingga Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) huruf f dan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN serta Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ/2006;
      3. Bahwa dalam persidangan, Majelis memberi kesempatan untuk dilakukan uji bukti dan berdasarkan Hasil Uji Bukti,Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapatsebagai berikut:
        Bahwa pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mengenai bukti-bukti yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) atas Faktur Pajak sebagaimana tabel di bawah ini adalah sebagai berikut:


        No Nama Lawan Transaksi No. Seri Faktur Pajak Tanggal
        Faktur
        PPN Jenis
        Transaksi
        1
        PT FD Indonesia 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.376.200 Akomodasi dan Konsumsi
        2
        PT DA 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.811.808 Pembebanan galon air 19 Itr
        3
        PT DA 0X0.000-0X.000000XX 30-Nov-08 1.593.270 Pembelian galon air 19 Itr
        4
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 31-Oct-08 10.237.143 Meal Box, Laundry, Snack, Food,
        Material, Gardening, OB
        5
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 20-Nov-OS 3.266.210 Meal Box, Laundry, Snack, Food,
        Material, Gardening, OB
        6
        PT YX 0X0,000-0X.000000XX 31-Des-08 2.266.740 Pembelian galon air 19 Itr
        7
        PT YX 0X0.000-0X.000000XX 31-Des-08 1.994.706 Pembebanan galon air 19 Itr
        8
        PT FD Indonesia 0X0.000-0X.000000X0 31-Des-08 1.098.600 Akomodasi dan Konsumsi
        9
        CV XY 0X0.000-0X.0000000X 18-Oct-08 10.517.100 Rantal Bus dan Pemakaian Solar
        10
        CV XY 0X0.000-0X.0000000X 18-Nov-08 10.564.417 Rantal Bus dan Pemakaian Solar
        11
        CV DF 0X0.000-0X.00000X00 31-Des-OS 20.575.290 Meal Box, dan Snack
        12
        CV DF 0X0.000-0X.000000XX 18-Des-08 10.423.210 Meal Box

        Jumlah

        75.724.658

        1. Bahwa berdasarkan penelitian kebenaran materiil atas pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana tabel tersebut diatas,diketahui bahwa pengeluaran yang terkait dengan Faktur Pajak dalam tabel tersebut diatas adalah merupakan pengeluaran untuk catering, akomodasi dan konsumsi termasuk meal box, laundry, material, gardening dan office boy (OB), rental bus & pemakaian solar sertapembelian air galon;
        2. Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN maka Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, tidak dapat dikreditkan;
        3. Bahwa dalam memori penjelasannya, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
          Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
        4. Bahwa kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah Kontraktor Pertambangan Batu Bara. Dengan demikian transaksi catering, akomodasi dan konsumsi termasuk meal box, laundry, material, gardening dan office boy (OB), rental bus & pemakaian solar sertapembelian air galon tidak termasuk pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usahaTermohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
        5. Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa pengeluaran tersebut tidak termasuk pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatanusaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN;
        6. Bahwa selain itu, berdasarkan penelitian syarat formal pengisian Faktur Pajak Masukan, atas Pajak Masukan terkait transaksi dengan PT AFG tersebut, diketahui pula bahwa dalam Faktur Pajak tersebut tidak mencantumkan Jabatan yang menandatangani Faktur Pajak Standar;
        Bahwa hal tersebuttidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN dan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 yang mengharuskan pencantuman Nama dan Jabatan orang yang menandatangani Faktur Pajak Standar;
        Bahwa berdasarkan sesuai Pasal 5 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 maka Faktur Pajak tersebut digolongkan sebagai Faktur Pajak cacat;
        Bahwa berdasarkan 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang PPN dan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 maka PPN dalam Faktur Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan;

    10. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
      Halaman 21 alinea ke-4 s.d. 7:
      Bahwa dari penelitian terhadap faktur-faktur yang diserahkan dalam persidangan didapatkan bukti sebagai berikut: air minum (galon), akomodasi dan konsumsi, catering, sewa bus dan charge solar dibeli oleh pemohon banding dalam jumlah banyak dan berjadwal rutin yang diperuntukkan bagi bagian-bagian yang memerlukannya di site/proyek oleh seluruh karyawan Pemohon Banding;
      Bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000, diatur bahwa pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf 2 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan;
      Bahwa Majelis mengkaitkan ketentuan tersebut dengan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN dan penjelasannya bahwa pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen, sehingga menjadi lebih jelas bahwa pemberian makanan dan minuman tersebut merupakan/dapat dibiayakan di Pajak Penghasilan dan juga jelas dalam rangka kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen;

      Bahwa dengan demikian Majelis memandang bahwa pembelian/pengadaan tersebut dinikmati oleh semua karyawan, sehingga adalah merupakan bagian dari biaya-biaya 3M (mendapatkan, memelihara dan menagih) dan dengan demikian Majelis berpendapat bahwa faktur pajak yang berhubungan dengan 3M tersebut (pembelian/pengadaan makanan, minuman, catering, sewa bus dan charges solar) dinikmati seluruh karyawan, sehingga berhubungan dengan usaha Pemohon Banding dan dapat dikreditkan;
      Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dan tidak setuju dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut karena Majelis Hakim tidak cermat dalam memahami aturan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
      yang dapat diuraikan sebagai berikut:
      1. Bahwa kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah melakukan jasa kontraktor pertambangan (melakukan kegiatan penambangan batu barauntuk tambang terbuka (open pit). Berdasarkan data pada website Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) meliputi survei dan eksplorasi, pemodelan (tofografi dan geologi), pengeboran dan peledakan, pemindahan lapisan tanah penutup, ekstraksi tambang, transportasi, pembangunan fasilitas pendukung, manajemen tempat penyimpanan dan pengolahan, hingga rehabilitasi tambang;
      2. Bahwa dengan demikian maka pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen terkait dengan kegiatan-kegiatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sebagaimana tersebut di atas;
      3. Bahwa berdasarkan hasil uji bukti diketahuibahwa Faktur Pajak sebagaimana tabel di angka 9.3. tersebut di atas adalah merupakan pengeluaran untuk catering, akomodasi dan konsumsi termasuk meal box, laundry, material, gardening dan office boy (OB), rental bus & pemakaian solar sertapembelian air minum (galon) untuk kebutuhan minumseluruh karyawan;
      4. Bahwa Majelis Hakim berpendapat pengeluaran tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dengan mengaitkan hal tersebut dengan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh jo. Pasal 1 huruf a dan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 466/KMK.04/2000;
      5. Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh mengatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan denganpenggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai;
      6. Bahwa Penjelasan 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh menjelaskan bahwa pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran. Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja;
      7. Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN mengatur bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
      8. Bahwa Penjelasan 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
      9. Bahwa Direktur Jenderal Pajak telah memberikan penafsiran atas Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN tersebut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 65/PJ.3/1985tanggal 14 November 1985 yang pada butir 4 menegaskan bahwa Pajak Masukan yang benar-benar tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan, Pajak Masukan ataspengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang sifatnya konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya overhead;
      10. Bahwa selain itu, Direktur Jenderal Pajak juga telah memberikan penegasan atas pengkreditan Pajak Masukan melalui Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 16 September 2002yang pada butir 7 huruf a menegaskan bahwa Pajak Masukan atas pengeluaran dalam bentuk fasilitas dan pemberian natura yang diberikan kepada pegawai tidak dapat dikreditkan;
      11. Bahwa dengan demikian, amar pertimbangan Majelis Hakim yang mengaitkan pengeluaran untuk pembelian air minum (galon) tersebut dengan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh jo. Pasal 1 huruf a dan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 466/KMK.04/2000 sehingga menganggap pengeluaran tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha adalah tidak tepat, karena isi dan penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e tersebut sesungguhnya aturan yang menyatakan bahwa pemberian dalam bentuk natura dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja karena sifatnya adalah pemakaian penghasilan. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai merupakan pengecualian yang diberikan oleh undang-undang dalam kaitannya dengan penghitungan Pajak Penghasilan terutang sehingga atas pengeluaran tersebut boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Namun pengecualian tersebut tidak serta merta berarti bahwa biaya penyediaan makanan dan minuman tersebut menjadi berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, pengecualian tersebut hanya terhadap perlakuan dalam menghitung pajak penghasilannya saja dan tidak mengubah substansi dari pengeluaran tersebut yang merupakan pemberian dalam bentuk natura dan sifatnya adalah pemakaian penghasilan. Sementara dari sisi aturan PPN, tidak diatur adanya pengecualian dalam perlakuan atas pemberian natura sehingga perlakuannya adalah sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 tersebut di atas;
      12. Bahwa berdasarkan fakta dan ketentuan di atas dapat terlihat dengan jelas bahwa pengeluaran untuk catering, akomodasi dan konsumsi, serta pembelian air minum (galon) untukseluruh karyawan merupakan pengeluaran berupa pemberian natura yang bersifat konsumtif yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen Pemohon Banding sebagai kontraktor pertambangan sehingga Pajak Masukan atas pengeluaran tersebut tidak dapat dikreditkan;
      13. Bahwa dengan demikian maka amar pertimbangan MajelisHakim tersebut nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN sebagaimana ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-65/PJ.3/1985 tanggal 14 November 1985 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 16 September 2002;
    11. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
      Halaman 21 alinea ke-8:
      Bahwa khusus Faktur Pajak dari PT AFG tidak ada nama/jabatan penandatangan faktur pajak. Dari penelitian spesimen tanda tangan yang diberitahukan oleh PT AFG yang didapatkan dalam Surat Pemberitahuan Pejabat Penandatangan Faktur Pajak adalah Eka Utama selaku Direktur dan ternyata dari Faktur Pajak yang disengketakan, Majelis berpendapat bahwa tanda tangan tersebut sama dengan yang diberitahukan oleh PT AFG tersebut, hanya tidak dicantumkan nama dan jabatan dibawah tanda tangan dari Eka Utama tersebut. Majelis berpendapat bahwa Terbanding sebenarnya secara substansial dapat mengecek hal tersebutpada surat pemberitahuan Pemohon Banding mengenai pejabat yang ditunjuk atau yang diberi wewenang menandatangani Faktur Pajak yang tentunya terdapat dalam berkas Pemohon Banding pada KPP yang bersangkutan. Majelis berpendapat bahwa tiadanya nama jabatan pada Faktur Pajak a quo tidak menjadikan cacatnya Faktur Pajak tersebut, karena ditandatangani oleh pejabat yang berhak menandatanganinya dan jelas yang menandatangani tersebut Eka Utama sebagai Direktur dan Majelis memutuskan bahwa Faktur Pajak tersebut bukan faktur pajak cacat dan bisa dikreditkan.
      Pendapat majelis tersebut juga sejalan dengan Putusan Peninjauan Kembali Nomor Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 71/B/PK/PJK/2004 tentang Sengketa STP PPN karena Faktur Pajak Keluaran yang tidak mencantumkan jabatan penandatangan dan dikenakan sanksi Pasal 14 ayat (4) KUP;
      Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dan tidak setuju dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut karena amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
      yang dapat diuraikan sebagai berikut:
      1. Bahwa berdasarkan hasil uji bukti diketahui dengan pasti bahwa berdasarkan penelitian syarat formal pengisian Faktur Pajak Masukan, atas Pajak Masukan terkait transaksi dengan PT AFG tersebut, diketahui pula bahwa dalam Faktur Pajak tersebut tidak mencantumkan Jabatan yang menandatangani Faktur Pajak Standar;
      2. Bahwa dalam lampiran uji bukti, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan tegas juga menyatakan bahwa tanda tangan pada kedua Faktur Pajak tersebut adalah berbeda dengan contoh tanda tangan Pejabat/ Kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak;
      3. Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang PPN mengatur bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
      4. Bahwa Pasal 13 ayat (5) huruf g Undang-Undang PPN jo. Pasal 1 angka 3 huruf g Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 159/PJ./2006 mengatur bahwa Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangan tentang Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
      5. Bahwa Penjelasan Pasal 13 ayat (5) huruf g Undang-Undang PPN menjelaskan bahwa Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f;
      6. Bahwa Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 mengatur bahwa keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar. Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak;
      7. Bahwa berdasarkan fakta dan ketentuan di atas dapat terlihat dengan jelas bahwa Faktur Pajak dari PT AFG merupakan Faktur Pajak Cacat karena tidak mencantumkan nama dan/atau jabatan pihak yang menandatangani faktur sehingga dengan demikian PPN dalam faktur tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan;
      8. Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma Hukum dalam hal ini adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan turunannya merupakan hukum konkrit sebagai peraturan yang riil berlaku sebagai hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan;
        Bahwa demi menjamin kepastian hukum,maka ketentuan tersebut sebagai Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim;
        Bahwa secara formal, aturan mengenai Faktur Pajak serta tata cara pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana yang telah diuraikan diatas dalam Memori Peninjauan Kembali ini, telah jelas aturannya dalam perundang-undangan perpajakan, namun Majelis Hakim telah mengabaikan hal tersebut;
        Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian hukumdengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan;
        Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan:
        “Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
      9. Bahwa dengan demikian maka amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku yaitu Pasal 9 ayat (8) huruf f dan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN, serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006;
  1. Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang menyatakan:
Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 27 April 2011 mengenai Keberatan Atas Surat Ketetapan Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP Masa Pajak Desember 2008 Nomor 00090/407/08/091/10 tanggal 17 Juni 2010, atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX,0-0XX.000, alamat di Keputusan Terbanding: Jalan Raya DF, Garden Center Building Suite #X-0X Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan XXXX0, dan alamat di Surat Banding: Gedung TMT Lt. X-X, Jalan FG, No. X, Jakarta Selatan XXXX0, sehingga jumlah PPN Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau JKP yang masih harus dibayar menjadisebagaimana tersebut di atas;
adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini adalah koreksi Pajak Masukan Desember 2008, yaitu:
  • Apakah Faktur Pajak yang diterbitkan oleh suplier Pemohon Banding untuk pembelian/pengadaan air mineral galon, akomodasi & konsumsi, catering dan sewa bus dan charge solar berhubungan langsung dengan kegiatan 3M (mendapatkan, memelihara dan menagih) usaha Pemohon Banding?;
  • Bahwa Judex Facti sudah benar, karena berdasarkan fakta di persidangan pemberian makanan, minuman, sewa bus, dan charge solar untuk angkutan pegawai adalah dalam rangka kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan menajemen, sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN jo. Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466/KMK.04/2000 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan Pemohon Banding, dan dapat dikreditkan;
  • Apakah tidak dicantumkannya nama dan jabatan di bawah tanda tangan dari Eka Utama pada Faktur Pajak dari PT AFG merupakan Faktur Pajak yang cacat, sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan?;
  • Bahwa Judex Facti sudah benar, karena tiadanya nama jabatan di bawah tanda tangan pada Faktur Pajak a quo tidak menjadikan cacatnya Faktur Pajak tersebut, karena Faktur Pajak a quo ditandatangani oleh Pejabat yang berhak menandatanganinya, sehingga dapat dikreditkan sebagaimana juga telah diputuskan pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor 71/B/PK/PJK/2004 tentang Sengketa STP PPN karena Faktur Pajak Keluaran yang tidak mencantumkan jabatan penandatangan;
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 18 Juli 2017 oleh Dr. XYZ, S.H., C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. FFF, S.H., M.Hum. dan GGG, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH, S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.



Anggota Majelis :

ttd/

Dr. FFF, S.H., M.Hum.

ttd/

GGG, S.H., M.H.,






Biaya – biaya :
1. M e t e r a i…………….. Rp 6.000,00
2. R e d a k s i…………….. Rp 5.000,00
3. Administrasi ………..…. Rp 2.489.000,00
Jumlah ………. Rp 2.500.000,00


Ketua Majelis:

ttd/

Dr. XYZ, S.H., C.N.,




Panitera Pengganti

ttd/

HHH, S.H.,M.H.,



Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


H. ASHADI, S.H.
NIP. 19540924 198403 1 001

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA