Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 1117/B/PK/PJK/2017
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
tempat kedudukan di Jalan Jenderal AF Nomor X0-XX, Jakarta XXXX0, dalam
hal ini memberi kuasa kepada:
- AA, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- BB, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan dan Banding;
- CC, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- DD, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan
Jenderal AF, Nomor X0-XX, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-1243/PJ./2013 tanggal 17 Juni 2013;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT DFG,
tempat kedudukan di Keputusan di Jalan Raya DF, Garden Center
Building Suite #X-0X, Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan
XXXX0, dan alamat di Surat Banding di Gedung QQ Lt. X-X, Jalan FG,
Nomor 1, Jakarta Selatan 12560,
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.43880/PP/M.VI/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang telah berkekuatan
hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali
dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan diterbitkannya KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011
tanggal 27 April 2011, maka dengan ini Pemohon Banding mengajukan
banding atas keputusan tersebut dengan alasan-alasan sebagai berikut:
Bahwa dasar koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar
Rp246.569.250,00 adalah Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN
karena Pajak Masukan atas Pembelian/perolehan Barang Kena Pajak/Jasa
Kena Pajak tersebut tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha;
Bahwa koreksi Pajak Masukan tersebut, tidak dapat Pemohon Banding
terima karena:
- Pajak Masukan sebesar Rp246.569.250,00 tersebut merupakan
Pajak
Masukan yang berasal dari transaksi yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usaha perusahaan;
- Sehingga dengan demikian Pajak Masukan atas
pembelian/perolehan
Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak tersebut menurut Pemohon Banding
dapat dikreditkan;
Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Pemohon Banding mohon Bapak
dapat mengabulkan permohonan Banding Pemohon Banding atas
KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 27 April 2011, sehingga perhitungan
pajak yang terhutang menjadi:
Pajak
Keluaran
Pajak Masukan
Pajak (Lebih) Kurang Bayar
Kompensasi Ke Masa Berikutnya
Pajak yang (Lebih) dibayar |
17.622.727.934
48.199.235.741
(30.576.507.807)
0
(30.576.507.807)
|
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.43880/PP/M.VI/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang telah berkekuatan
hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011
tanggal 27 April 2011 mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Lebih
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau
JKP Masa Pajak Desember 2008 Nomor 00090/407/08/091/10 tanggal 17 Juni
2010, atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX.0-0XX.000, alamat
di Keputusan Terbanding: Jalan Raya DF, Garden Center
Building Suite #7-01 Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan XXXX0,
dan alamat di Surat Banding: Gedung QQ Lt. 2-3, Jalan FG,
No. X, Jakarta Selatan XXXX0, sehingga jumlah PPN Barang dan Jasa
Penyerahan BKP dan/atau JKP yang masih harus dibayar menjadi sebagai
berikut:
Jumlah
seluruh penyerahan
PPN keluaran yang harus dipungut
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
PPN kurang (lebih) dibayar
PPN yang sudah direstitusi
PPN yang masih kurang (lebih) bayar |
Rp
205.297.403,140,00
Rp 17.622.727.934,00
Rp
48.028.391.149,00
(Rp 30.405.663.215,00)
Rp
30.329.938.557,00
(Rp
75.724.658,00)
|
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.43880/PP/M.VI/16/2013
tanggal 11 Maret 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali
pada tanggal 3 April 2013 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan
Kembali dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
Nomor SKU-1243/PJ./2013 tanggal 17 Juni 2013 diajukan permohonan
peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
pada tanggal 28 Juni 2013 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan
Peninjauan Kembali Nomor PKA-I.1454/PAN/2013 yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Pajak dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 31 Oktober
2013, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya tidak diajukan jawaban
sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Pengajuan Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN
PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Tentang Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali:
- Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.43880/PP/M.V/16/2013
tanggal 11 Maret 2013 telah dibuat dengan tidak memperhatikan ketentuan
yuridis formal pengkreditan Pajak Masukan atau mengabaikan fakta yang
menjadi dasar pertimbangan dalam koreksi yang dilakukan Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut,sehingga menghasilkan
putusan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan
yang berlaku di Indonesia. Oleh karenanya Putusan Pengadilan Pajak
Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 diajukan
Peninjauan Kembali berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut
Undang-Undang Pengadilan Pajak):
- “Permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan
berdasarkan alasan sebagai berikut:
- Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”;
- Tentang Formal Jangka Waktu Pengajuan Memori Peninjauan
Kembali:
- Bahwa salinan Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.43880/PP/M.V/16/2013tanggal 11 Maret 2013, atas nama: PT DFG,
(Termohon Peninjauan Kembali/semula Pemohon Banding), telah
diberitahukan secara patut dan dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada
Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) pada tanggal 1 April
2013;
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 91 huruf e dan Pasal 92
ayat
(3) juncto Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Pengadilan Pajak,maka
pengajuan Memori Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.43880/PP/M.V/16/2013tanggal 11 Maret 2013 ini masih dalam tenggang
waktu yang diizinkan oleh Undang-Undang Pengadilan Pajak atau
setidak-tidaknya antara tenggang waktu pengiriman/pemberitahuan Putusan
Pengadilan Pajak tersebut dengan Permohonan Peninjauan Kembali ini
belum lewat waktu sebagaimana telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah
Memori Peninjauan Kembali ini diterima oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia;
- Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali:
- Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan
Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut:
- Tentang Sengketa Koreksi Positif Pajak Masukan PPN Masa
Pajak
Desember 2008Yang Dapat Diperhitungkansebesar Rp75.724.658,00 yang
tidak dipertahankan Majelis;
- Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali:
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
sangat keberatan
dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara
lain berbunyi sebagai berikut:
Halaman 22 alinea ke-1:
Bahwa dengan demikian, majelis sepakat bahwa kredit pajak yang tidak
dapat dipertahankan adalah sebesar Rp75.724.658,00 sedangkan koreksi
Terbanding sebesar sisanya Rp22.495.214,00 tetap dipertahankan dan
permohonan banding Pemohon Banding dikabulkan sebagian, sehingga
Perhitungan Pajak Masukan hasil persidangan adalah sebagai berikut:
Pajak
Masukan menurut Terbanding
Koreksi Terbanding tidak dapat dipertahankan
Pajak Masukan setelah persidangan |
Rp 47.952.666.491,00
Rp
75.724.658,00
Rp 48.028.391.149,00
|
- Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak
(selanjutnya disebut Undang-Undang Pengadilan Pajak), menyatakan:
Pasal 69 ayat (1):
Alat bukti dapat berupa:
- surat atau tulisan;
- keterangan ahli;
- keterangan para saksi;
- pengakuan para pihak; dan/atau
- pengetahuan Hakim;
Penjelasan:
Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim
Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan
sebelum menggunakan alat bukti lain;
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1);
Penjelasan Pasal 76:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil,
sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang Perpajakan;
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan
sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak
terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak;
Dalam persidangan para pihak tetap dapat mengemukakan hal baru, yang
dalam Banding atau Gugatan, Surat Uraian Banding, atau bantahan, atau
tanggapan, belum diungkapkan;
Pemohon Banding atau Penggugat tidak harus hadir dalam sidang, karena
itu fakta atau hal-hal baru yang dikemukakan Terbanding atau harus
diberitahukan kepada Pemohon Banding atau Penggugat untuk diberikan
jawaban;
Pasal 77 ayat (3):
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas
putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung;
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim;
Penjelasan Pasal 78:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan;
Pasal 91 huruf e:
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan
alasan-alasan apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000,
meyatakan:
Pasal 9 ayat (1):
Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:
- Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan
dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan;
PenjelasanPasal 9 ayat (1):
Ayat (1). Pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat
dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan
sebagai biaya;
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.
Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau
yang jumlahnya melebihi kewajaran;
Huruf e. Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3)
huruf d, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
dianggap bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka
dalam ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan
merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja. Namun, dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah untuk
mendorong pembangunan di daerah terpencil, berdasarkan keputusan
Menteri Keuangan, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di
daerah tersebut, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja;
Dalam hal pemberian kepada pegawai berupa penyediaan makanan/minuman
ditempat kerja bagi seluruh pegawai, secara bersama-sama, atau yang
merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana
keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya,
seperti pakaian dan peralatan untuk keselamatan kerja, pakaian seragam
petugas keamanan (Satpam), antar jemput karyawan serta penginapan untuk
awak kapal dan yang sejenisnya, maka pemberian tersebut bukan merupakan
imbalan bagi karyawan tetapi boleh dibebankan sebagai biaya bagi
pemberi kerja;
- Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah s.t.d.d.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (selanjutnya disebut Undang-Undang
PPN), menyatakan:
Pasal 1 angka 24:
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah
dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak
dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena
Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak;
Pasal 9 ayat (2):
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran
untuk Masa Pajak yang sama;
Pasal 9 ayat (8):
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur
dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
- Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan,
jeep, station
wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
bukti pungutannya berupa Faktur Pajak Sederhana;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5);
- Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau
pemanfaatan Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
- Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang
Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;
Penjelasan Pasal 9 ayat (8):
Huruf b: Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan
dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan
produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
Huruf f: Cukup jelas;
Pasal 13 ayat (4):
Saat
pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian, dan tata
cara pembetulan Faktur Pajak ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak;
Pasal 13 ayat (5):
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
memuat:
- Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
- Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau
Penggantian, dan potongan harga;
- Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
- Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;
dan
- Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak;
Penjelasan Pasal 13 ayat (5):
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai
sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Faktur Pajak
harus benar, baik secara formal maupun secara materiil.
Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan benar dan
ditandatanganioleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak
untuk menandatanganinya. Namun untuk pengisian keterangan mengenai
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan
Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Faktur
Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini dapat
mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak
dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf
f. Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan yang pengisiannya sesuai
dengan ketentuan dalam ayat ini disebut Faktur Pajak Standar;
- Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
466/KMK.04/2000 tanggal 3 November 2010 tentang Penyediaan Makanan Dan
Minuman Bagi Seluruh Pegawai Dan Penggantian Atau Imbalan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diberikan Dalam Bentuk Natura Dan
Kenikmatan Di Daerah Tertentu Serta Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan
Pekerjaan Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pemberi Kerja,
menyatakan:
Pasal 1:
Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
- Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
adalah makanan
dan minuman yang disediakan oleh pemberi kerja bagi seluruh pegawai
secara bersama-sama termasuk dewan direksi dan dewan komisaris di
tempat kerja;
Pasal 2 ayat (1):
Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan;
- Bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-159/PJ./2006
tanggal 31 Oktober 2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran,
Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak
Standar, menyatakan:
Pasal 1 angka 3:
Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat
keterangan tentang:
- Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
- Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang
Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak;
- Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau
Penggantian, dan potongan harga;
- Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
- Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
- Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;
dan
- Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak
menandatangani Faktur Pajak;
Pasal 5 ayat (1):
Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas
dan benar, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, serta
ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menandatanganinya;
Pasal 5 ayat (2):
Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar,
dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
Pasal 5 ayat (3):
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak
dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak;
- Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-65/PJ.3/1985
tanggal 14 November 1985 tentang Penafsiran atas Pasal 9 Ayat (8) Huruf
b Undang-Undang PPN 1984 (SERI PPN-66), menyatakan:
Butir 4:
“....Dengan demikian hanya Pajak Masukan yang benar-benar
tidak
mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja
yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian
bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan, Pajak Masukan atas
pengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang sifatnya
konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya overhead dan
....”
- Bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor
S-945/PJ.51/2002 tanggal
16 September 2002 tentang Permohonan Penegasan Atas Pengkreditan Pajak
Masukan, menyatakan:
Butir 7 huruf a:
Pajak Masukan atas pengeluaran dalam bentuk fasilitas dan pemberian
natura yang diberikan kepada pegawai tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di
Pengadilan
Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak
Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 dapat diketahui:
- Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) adalah
perusahaan yang bergerak di bidang perancangan dan/atau pembangunan
proyek teknik yang menggunakan alat-alat besar. Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) memiliki bidang usaha penyewaan alat
berat, jasa service (forestry), penjualan fuel (other activities), jasa
pertambangan, kehutanan dan aktivitas lain. Dari beberapa kegiatan
usaha tersebut di atas, jasa pertambangan (mining contractor services)
merupakan pemberi kontribusi paling besar dalam penerimaan. Pada tahun
2008, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)melakukan
jasa kontraktor pertambangan (melakukan kegiatan penambangan batu bara
untuk tambang terbuka (open pit);
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
melakukan
koreksi positif Pajak Masukan yang dapat Diperhitungkan sebesar
Rp75.724.658,00 dengan alasan:
- Bahwa Pajak Masukan sebesar Rp75.724.658,00
tersebut merupakan Pajak
Masukan atas pengeluaran yang tidak termasuk dalam pengeluaran yang
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon Banding), sehingga tidak dapat dikreditkan sesuai
dengan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN;
dengan perincian sebagai berikut:
No |
Nama
Lawan Transaksi |
No.
Seri Faktur Pajak |
Tanggal
Faktur |
PPN |
Jenis
Transaksi |
1
|
PT
FD Indonesia |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.376.200 |
Akomodasi
dan Konsumsi |
2
|
PT
DA |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.811.808
|
Pembebanan
galon air 19 Itr |
3
|
PT
DA |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.593.270
|
Pembelian
galon air 19 Itr |
4
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
31-Oct-08 |
10.237.143 |
Meal
Box, Laundry, Snack, Food,
Material, Gardening, OB |
5
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
20-Nov-OS |
3.266.210
|
Meal
Box, Laundry, Snack, Food,
Material, Gardening, OB |
6
|
PT
YX |
0X0,000-0X.000000XX |
31-Des-08 |
2.266.740 |
Pembelian
galon air 19 Itr |
7
|
PT
YX |
0X0.000-0X.000000XX |
31-Des-08 |
1.994.706 |
Pembebanan
galon air 19 Itr |
8
|
PT
FD Indonesia |
0X0.000-0X.000000X0 |
31-Des-08 |
1.098.600 |
Akomodasi
dan Konsumsi |
9
|
CV
XY |
0X0.000-0X.0000000X |
18-Oct-08 |
10.517.100 |
Rantal
Bus dan Pemakaian Solar |
10
|
CV
XY |
0X0.000-0X.0000000X |
18-Nov-08 |
10.564.417 |
Rantal
Bus dan Pemakaian Solar |
11
|
CV
DF |
0X0.000-0X.00000X00 |
31-Des-OS |
20.575.290 |
Meal
Box, dan Snack |
12
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
18-Des-08 |
10.423.210 |
Meal
Box |
|
Jumlah |
|
|
75.724.658 |
|
- Bahwa selain itu, atas Pajak Masukan terkait
transaksi dengan PT AFG, diketahui bahwa dalam Faktur Pajak tersebut
tidak mencantumkan jabatan penanda tangan faktur Pajak, sehingga Pajak
Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8)
huruf f dan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN serta Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-159/PJ/2006;
- Bahwa dalam persidangan, Majelis memberi kesempatan
untuk
dilakukan uji bukti dan berdasarkan Hasil Uji Bukti,Pemohon Peninjauan
Kembali (semula Terbanding) berpendapatsebagai berikut:
Bahwa pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) mengenai
bukti-bukti yang disampaikan Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) atas Faktur Pajak sebagaimana tabel di bawah ini
adalah sebagai berikut:
No |
Nama
Lawan Transaksi |
No.
Seri Faktur Pajak |
Tanggal
Faktur |
PPN |
Jenis
Transaksi |
1
|
PT
FD Indonesia |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.376.200 |
Akomodasi
dan Konsumsi |
2
|
PT
DA |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.811.808
|
Pembebanan
galon air 19 Itr |
3
|
PT
DA |
0X0.000-0X.000000XX |
30-Nov-08 |
1.593.270
|
Pembelian
galon air 19 Itr |
4
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
31-Oct-08 |
10.237.143 |
Meal
Box, Laundry, Snack, Food,
Material, Gardening, OB |
5
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
20-Nov-OS |
3.266.210
|
Meal
Box, Laundry, Snack, Food,
Material, Gardening, OB |
6
|
PT
YX |
0X0,000-0X.000000XX |
31-Des-08 |
2.266.740 |
Pembelian
galon air 19 Itr |
7
|
PT
YX |
0X0.000-0X.000000XX |
31-Des-08 |
1.994.706 |
Pembebanan
galon air 19 Itr |
8
|
PT
FD Indonesia |
0X0.000-0X.000000X0 |
31-Des-08 |
1.098.600 |
Akomodasi
dan Konsumsi |
9
|
CV
XY |
0X0.000-0X.0000000X |
18-Oct-08 |
10.517.100 |
Rantal
Bus dan Pemakaian Solar |
10
|
CV
XY |
0X0.000-0X.0000000X |
18-Nov-08 |
10.564.417 |
Rantal
Bus dan Pemakaian Solar |
11
|
CV
DF |
0X0.000-0X.00000X00 |
31-Des-OS |
20.575.290 |
Meal
Box, dan Snack |
12
|
CV
DF |
0X0.000-0X.000000XX |
18-Des-08 |
10.423.210 |
Meal
Box |
|
Jumlah |
|
|
75.724.658 |
|
- Bahwa berdasarkan penelitian kebenaran materiil
atas pengkreditan
Pajak Masukan sebagaimana tabel tersebut diatas,diketahui bahwa
pengeluaran yang terkait dengan Faktur Pajak dalam tabel tersebut
diatas adalah merupakan pengeluaran untuk catering, akomodasi dan
konsumsi termasuk meal box, laundry, material, gardening dan office boy
(OB), rental bus & pemakaian solar sertapembelian air galon;
- Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 9 ayat (8)
huruf b Undang-Undang
PPN maka Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha, tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa dalam memori penjelasannya, dijelaskan
bahwa yang dimaksud
dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha
adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi,
pemasaran, dan manajemen.
Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha;
- Bahwa kegiatan
usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah
Kontraktor Pertambangan Batu Bara. Dengan demikian transaksi catering,
akomodasi dan konsumsi termasuk meal box, laundry, material, gardening
dan office boy (OB), rental bus & pemakaian solar
sertapembelian
air galon tidak termasuk pengeluaran yang berhubungan langsung dengan
kegiatan usahaTermohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding);
- Bahwa berdasarkan hal tersebut maka Pemohon
Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) berpendapat bahwa pengeluaran tersebut tidak
termasuk pengeluaran yang berhubungan langsung dengan kegiatanusaha
Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), sehingga Pajak
Masukannya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) huruf
b Undang-Undang PPN;
- Bahwa selain itu, berdasarkan penelitian syarat
formal pengisian
Faktur Pajak Masukan, atas Pajak Masukan terkait transaksi dengan PT
AFG tersebut, diketahui pula bahwa dalam Faktur Pajak
tersebut tidak mencantumkan Jabatan yang menandatangani Faktur Pajak
Standar;
Bahwa hal tersebuttidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang PPN dan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-159/PJ/2006 yang mengharuskan pencantuman Nama dan Jabatan orang
yang menandatangani Faktur Pajak Standar;
Bahwa berdasarkan sesuai Pasal 5 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak Nomor
PER-159/PJ/2006 maka Faktur Pajak tersebut digolongkan sebagai Faktur
Pajak cacat;
Bahwa berdasarkan 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang PPN dan Pasal 5 ayat
(3) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ/2006 maka PPN dalam Faktur
Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
sangat
keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Halaman 21 alinea ke-4 s.d. 7:
Bahwa dari penelitian terhadap faktur-faktur yang diserahkan dalam
persidangan didapatkan bukti sebagai berikut: air minum (galon),
akomodasi dan konsumsi, catering, sewa bus dan charge solar dibeli oleh
pemohon banding dalam jumlah banyak dan berjadwal rutin yang
diperuntukkan bagi bagian-bagian yang memerlukannya di site/proyek oleh
seluruh karyawan Pemohon Banding;
Bahwa dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
466/KMK.04/2000, diatur bahwa pengeluaran untuk penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf 2
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja atau perusahaan;
Bahwa Majelis mengkaitkan ketentuan tersebut dengan ketentuan Pasal 9
ayat (8) Undang-Undang PPN dan penjelasannya bahwa pengeluaran yang
langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk
kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen,
sehingga menjadi lebih jelas bahwa pemberian makanan dan minuman
tersebut merupakan/dapat dibiayakan di Pajak Penghasilan dan juga jelas
dalam rangka kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen;
Bahwa dengan demikian Majelis memandang bahwa pembelian/pengadaan
tersebut dinikmati oleh semua karyawan, sehingga adalah merupakan
bagian dari biaya-biaya 3M (mendapatkan, memelihara dan menagih) dan
dengan demikian Majelis berpendapat bahwa faktur pajak yang berhubungan
dengan 3M tersebut (pembelian/pengadaan makanan, minuman, catering,
sewa bus dan charges solar) dinikmati seluruh karyawan, sehingga
berhubungan dengan usaha Pemohon Banding dan dapat dikreditkan;
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan
dan tidak setuju dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tersebut karena Majelis Hakim tidak cermat dalam memahami aturan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
- Bahwa kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali
(semula Pemohon
Banding) adalah melakukan jasa kontraktor pertambangan (melakukan
kegiatan penambangan batu barauntuk tambang terbuka (open pit).
Berdasarkan data pada website Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding), kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula
Pemohon Banding) meliputi survei dan eksplorasi, pemodelan (tofografi
dan geologi), pengeboran dan peledakan, pemindahan lapisan tanah
penutup, ekstraksi tambang, transportasi, pembangunan fasilitas
pendukung, manajemen tempat penyimpanan dan pengolahan, hingga
rehabilitasi tambang;
- Bahwa dengan demikian maka pengeluaran yang
berhubungan langsung
dengan kegiatan usaha Pemohon Banding adalah pengeluaran untuk
kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen terkait
dengan kegiatan-kegiatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) sebagaimana tersebut di atas;
- Bahwa berdasarkan hasil uji bukti diketahuibahwa
Faktur Pajak
sebagaimana tabel di angka 9.3. tersebut di atas adalah merupakan
pengeluaran untuk catering, akomodasi dan konsumsi termasuk meal box,
laundry, material, gardening dan office boy (OB), rental bus &
pemakaian solar sertapembelian air minum (galon) untuk kebutuhan
minumseluruh karyawan;
- Bahwa Majelis Hakim berpendapat pengeluaran tersebut
berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha dengan mengaitkan hal tersebut dengan
Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh jo. Pasal 1 huruf a dan
Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
466/KMK.04/2000;
- Bahwa Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh
mengatur bahwa
untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan denganpenggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam
bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai;
- Bahwa Penjelasan 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh
menjelaskan
bahwa pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat
dibedakan antara pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan
sebagai biaya. Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pengeluaran yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang sifatnya
adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap
bukan merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam
ketentuan ini, penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan
merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi
kerja;
- Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN
mengatur bahwa
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan
langsung dengan kegiatan usaha;
- Bahwa Penjelasan 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN
menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan
kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua
bidang usaha;
- Bahwa Direktur Jenderal Pajak telah memberikan
penafsiran atas Pasal
9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN tersebut melalui Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 65/PJ.3/1985tanggal 14 November 1985
yang pada butir 4 menegaskan bahwa Pajak Masukan yang benar-benar tidak
mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja
yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian
bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan, Pajak Masukan
ataspengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang
sifatnya konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya
overhead;
- Bahwa selain itu, Direktur Jenderal Pajak juga telah
memberikan
penegasan atas pengkreditan Pajak Masukan melalui Surat Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 16 September 2002yang pada butir
7 huruf a menegaskan bahwa Pajak Masukan atas pengeluaran dalam bentuk
fasilitas dan pemberian natura yang diberikan kepada pegawai tidak
dapat dikreditkan;
- Bahwa dengan demikian, amar pertimbangan Majelis
Hakim yang
mengaitkan pengeluaran untuk pembelian air minum (galon) tersebut
dengan Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPh jo. Pasal 1 huruf a
dan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 466/KMK.04/2000 sehingga menganggap pengeluaran tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha adalah tidak tepat, karena
isi dan penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf e tersebut sesungguhnya
aturan yang menyatakan bahwa pemberian dalam bentuk natura dianggap
bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi
pemberi kerja karena sifatnya adalah pemakaian penghasilan. Biaya yang
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai
hubungan langsung dengan usaha. Penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai merupakan pengecualian yang diberikan oleh
undang-undang dalam kaitannya dengan penghitungan Pajak Penghasilan
terutang sehingga atas pengeluaran tersebut boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto. Namun pengecualian tersebut tidak serta merta
berarti bahwa biaya penyediaan makanan dan minuman tersebut menjadi
berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, pengecualian tersebut hanya
terhadap perlakuan dalam menghitung pajak penghasilannya saja dan tidak
mengubah substansi dari pengeluaran tersebut yang merupakan pemberian
dalam bentuk natura dan sifatnya adalah pemakaian penghasilan.
Sementara dari sisi aturan PPN, tidak diatur adanya pengecualian dalam
perlakuan atas pemberian natura sehingga perlakuannya adalah
sebagaimana ditegaskan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor
S-945/PJ.51/2002 tersebut di atas;
- Bahwa berdasarkan fakta dan ketentuan di atas dapat
terlihat dengan
jelas bahwa pengeluaran untuk catering, akomodasi dan konsumsi, serta
pembelian air minum (galon) untukseluruh karyawan merupakan pengeluaran
berupa pemberian natura yang bersifat konsumtif yang tidak berhubungan
langsung dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen
Pemohon Banding sebagai kontraktor pertambangan sehingga Pajak Masukan
atas pengeluaran tersebut tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa dengan demikian maka amar pertimbangan
MajelisHakim tersebut
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku yaitu Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN
sebagaimana ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-65/PJ.3/1985 tanggal 14 November 1985 dan Surat Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-945/PJ.51/2002 16 September 2002;
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
sangat
keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak,
yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Halaman 21 alinea ke-8:
Bahwa khusus Faktur Pajak dari PT AFG tidak ada
nama/jabatan penandatangan faktur pajak. Dari penelitian spesimen tanda
tangan yang diberitahukan oleh PT AFG yang didapatkan
dalam Surat Pemberitahuan Pejabat Penandatangan Faktur Pajak adalah Eka
Utama selaku Direktur dan ternyata dari Faktur Pajak yang
disengketakan, Majelis berpendapat bahwa tanda tangan tersebut sama
dengan yang diberitahukan oleh PT AFG tersebut, hanya
tidak dicantumkan nama dan jabatan dibawah tanda tangan dari Eka Utama
tersebut. Majelis berpendapat bahwa Terbanding sebenarnya secara
substansial dapat mengecek hal tersebutpada surat pemberitahuan Pemohon
Banding mengenai pejabat yang ditunjuk atau yang diberi wewenang
menandatangani Faktur Pajak yang tentunya terdapat dalam berkas Pemohon
Banding pada KPP yang bersangkutan. Majelis berpendapat bahwa tiadanya
nama jabatan pada Faktur Pajak a quo tidak menjadikan cacatnya Faktur
Pajak tersebut, karena ditandatangani oleh pejabat yang berhak
menandatanganinya dan jelas yang menandatangani tersebut Eka Utama
sebagai Direktur dan Majelis memutuskan bahwa Faktur Pajak tersebut
bukan faktur pajak cacat dan bisa dikreditkan.
Pendapat majelis tersebut juga sejalan dengan Putusan Peninjauan
Kembali Nomor Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor
71/B/PK/PJK/2004 tentang Sengketa STP PPN karena Faktur Pajak Keluaran
yang tidak mencantumkan jabatan penandatangan dan dikenakan sanksi
Pasal 14 ayat (4) KUP;
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan
dan tidak setuju dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak tersebut karena amar pertimbangan Majelis Hakim tersebut
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku;
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan hasil uji bukti diketahui dengan
pasti bahwa
berdasarkan penelitian syarat formal pengisian Faktur Pajak Masukan,
atas Pajak Masukan terkait transaksi dengan PT AFG
tersebut, diketahui pula bahwa dalam Faktur Pajak tersebut tidak
mencantumkan Jabatan yang menandatangani Faktur Pajak Standar;
- Bahwa dalam lampiran uji bukti, Pemohon Peninjauan
Kembali (semula
Terbanding) dengan tegas juga menyatakan bahwa tanda tangan pada kedua
Faktur Pajak tersebut adalah berbeda dengan contoh tanda tangan
Pejabat/ Kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak;
- Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang PPN
mengatur bahwa
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
- Bahwa Pasal 13 ayat (5) huruf g Undang-Undang PPN jo.
Pasal 1 angka
3 huruf g Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 159/PJ./2006
mengatur bahwa Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangan tentang
Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
- Bahwa Penjelasan Pasal 13 ayat (5) huruf g
Undang-Undang PPN
menjelaskan bahwa Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas dan
benar dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena
Pajak untuk menandatanganinya. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai
dengan ketentuan dalam ayat ini dapat mengakibatkan Pajak Pertambahan
Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f;
- Bahwa Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 mengatur bahwa keterangan dalam
Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar.
Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar,
dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan Pajak
Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat merupakan
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak;
- Bahwa berdasarkan fakta dan ketentuan di atas dapat
terlihat dengan
jelas bahwa Faktur Pajak dari PT AFG merupakan Faktur
Pajak Cacat karena tidak mencantumkan nama dan/atau jabatan pihak yang
menandatangani faktur sehingga dengan demikian PPN dalam faktur
tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa dalam hukum yang berlaku di Indonesia, Norma
Hukum dalam hal
ini adalah undang-undang dan peraturan perundang-undangan turunannya
merupakan hukum konkrit sebagai peraturan yang riil berlaku sebagai
hukum positif, yang mengikat untuk dilaksanakan;
Bahwa demi menjamin kepastian hukum,maka ketentuan tersebut sebagai
Norma Hukum tidak dapat dikesampingkan oleh Majelis Hakim;
Bahwa secara formal, aturan mengenai Faktur Pajak serta tata cara
pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana yang telah diuraikan diatas
dalam Memori Peninjauan Kembali ini, telah jelas aturannya dalam
perundang-undangan perpajakan, namun Majelis Hakim telah mengabaikan
hal tersebut;
Bahwa Pengadilan Pajak dalam posisinya sebagai badan yang sesuai dengan
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka
seharusnya Majelis Hakim juga mempertimbangkan adanya kepastian
hukumdengan memutuskan sengketa berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan;
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Pengadilan Pajak menyatakan:
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”;
- Bahwa dengan demikian maka amar pertimbangan Majelis
Hakim tersebut
nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku yaitu Pasal 9 ayat (8) huruf f dan Pasal 13 ayat (5)
Undang-Undang PPN, serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-159/PJ./2006;
- Bahwa dengan demikian, Putusan Majelis Hakim Pengadilan
Pajak
Nomor Put.43880/PP/M.V/16/2013 tanggal 11 Maret 2013 yang menyatakan:
- Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding
terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-346/WPJ.19/BD.05/2011
tanggal 27 April 2011 mengenai Keberatan Atas Surat Ketetapan Lebih
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Penyerahan BKP dan/atau
JKP Masa Pajak Desember 2008 Nomor 00090/407/08/091/10 tanggal 17 Juni
2010, atas nama PT DFG, NPWP 0X.XXX.XXX,0-0XX.000, alamat
di Keputusan Terbanding: Jalan Raya DF, Garden Center
Building Suite #X-0X Cilandak Commercial Estate, Jakarta Selatan XXXX0,
dan alamat di Surat Banding: Gedung TMT Lt. X-X, Jalan FG,
No. X, Jakarta Selatan XXXX0, sehingga jumlah PPN Barang dan Jasa
Penyerahan BKP dan/atau JKP yang masih harus dibayar menjadisebagaimana
tersebut di atas;
- adalah tidak benar dan nyata-nyata bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam sengketa ini adalah koreksi
Pajak Masukan Desember 2008, yaitu:
- Apakah Faktur Pajak yang diterbitkan oleh suplier Pemohon
Banding
untuk pembelian/pengadaan air mineral galon, akomodasi &
konsumsi,
catering dan sewa bus dan charge solar berhubungan langsung dengan
kegiatan 3M (mendapatkan, memelihara dan menagih) usaha Pemohon
Banding?;
- Bahwa Judex Facti sudah benar, karena berdasarkan fakta di
persidangan pemberian makanan, minuman, sewa bus, dan charge solar
untuk angkutan pegawai adalah dalam rangka kegiatan produksi,
distribusi, pemasaran dan menajemen, sehingga berdasarkan Pasal 9 ayat
(8) Undang-Undang PPN jo. Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 466/KMK.04/2000 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan Pemohon Banding, dan dapat dikreditkan;
- Apakah tidak dicantumkannya nama dan jabatan di bawah tanda
tangan dari Eka Utama pada Faktur Pajak dari PT AFG
merupakan Faktur Pajak yang cacat, sehingga Pajak Masukannya tidak
dapat dikreditkan?;
- Bahwa Judex Facti sudah benar, karena tiadanya nama jabatan
di
bawah tanda tangan pada Faktur Pajak a quo tidak menjadikan cacatnya
Faktur Pajak tersebut, karena Faktur Pajak a quo ditandatangani oleh
Pejabat yang berhak menandatanganinya, sehingga dapat dikreditkan
sebagaimana juga telah diputuskan pada Putusan Peninjauan Kembali Nomor
71/B/PK/PJK/2004 tentang Sengketa STP PPN karena Faktur Pajak Keluaran
yang tidak mencantumkan jabatan penandatangan;
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang
nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: DIREKTUR
JENDERAL PAJAK tersebut adalah tidak
beralasan, sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan
karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali
ini;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK
tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Selasa, tanggal 18 Juli 2017 oleh Dr. XYZ, S.H.,
C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Dr. FFF, S.H., M.Hum. dan GGG, S.H., M.H.,
Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh HHH,
S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis :
ttd/
Dr. FFF, S.H., M.Hum.
ttd/
GGG, S.H., M.H.,
Biaya – biaya :
1. M e t e r a
i……………..
Rp
6.000,00
2. R e d a k s
i…………….. Rp
5.000,00
3. Administrasi
………..….
Rp
2.489.000,00
Jumlah
……….
Rp 2.500.000,00
|
Ketua Majelis:
ttd/
Dr. XYZ, S.H.,
C.N.,
Panitera Pengganti
ttd/
HHH, S.H.,M.H.,
|
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG RI
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
H. ASHADI, S.H.
NIP. 19540924 198403 1 001
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.