Menurut
majelis
|
: |
bahwa
berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap berkas banding diketahui bahwa
secara garis besarnya kronologi timbulnya sengketa banding yang
diajukan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
bahwa Terbanding menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor Jenis Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013
Nomor 398/XI/AB/07-E tanggal 16 Oktober 2013 diterbitkan oleh UPTD
Pelayanan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PPDRD) Sumbawa Barat
dengan jumlah yang harus dibayar sebesar Rp382.000,00;
- bahwa atas
Surat Ketetapan Pajak Daerah a quo, Pemohon Banding mengajukan
keberatan dengan Surat Nomor MH-MS/NNT/1213/8083 tanggal 18 Desember
2013 dan dengan Keputusan Terbanding Nomor 973/2403/02/Dipenda tanggal
5 November 2014 permohonan Pemohon Banding tersebut ditolak, sehingga
dengan Surat Nomor MHMs/NNT/0115/0719 tanggal 29 Januari 2015
mengajukan banding;
- bahwa dalam
Surat Uraian Banding Nomor 286/SUB/PKB&BBNKB-NTB/V/2015 tanggal
28
Mei 2015 dan Kesimpulan Akhir Terbanding Nomor
66/KA-XIII.A/PKB-BBNKB/III/2016 tanggal 04 Maret 2016 antara lain
dinyatakan bahwa surat permohonan banding Pemohon Banding tidak
memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak karena tidak disertai dengan alasan-alasan
yang jelas terkait dengan dasar hukum yang digunakan oleh Pemohon
Banding serta telah terjadi pertentangan antara posita yang digunakan
dengan petitumnya. Disatu sisi pemohon banding mengatakan bahwa SKPD
PKB dan BBNKB bila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
adalah sudah benar (posita) sementara disatu sisi memohon agar SKPD PKB
dan BBNKB dibatalkan (petitum) padahal dasar penerbitan SKPD tersebut
adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, oleh karenanya alasan
pengajuan banding Pemohon Banding adalah tidak jelas;
bahwa berdasarkan pemeriksaan
Majelis terhadap Surat Pemohon Banding Nomor MHMs/ NNT/0115/0650
tanggal 29 Januari 2015 dapat diketahui antara lain:
- bahwa alasan
banding Pemohon Banding karena ditolaknya permohonan keberatan Pemohon
Banding dengan Surat Nomor MH-MS/NNT/1213/8014 tanggal 18 Desember 2013
oleh Terbanding berdasarkan Keputusan Terbanding Nomor
973/2334/02/Dipenda tanggal 5 November 2014;
- bahwa yang
disengketakan adalah pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor yang menurut
Terbanding dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi
Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah serta Pasal
13 Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding.
Pasal 13 Kontrak Karya menyatakan:
- "Dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam
persetujuan ini, perusahaan membayar kepada Pemerintah dan memenuhi
kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang ditetapkan sebagai berikut:
- Angka (XI): Pungutan-pungutan, pajak-pajak,
pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah
di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat".
- Dengan demikian menurut
Terbanding seharusnya Pemohon Banding tunduk kepada undang-undang dan
yurisdiksi yang berlaku di Indonesia sehingga keberatan Pemohon Banding
ditolak;
- bahwa Pemohon
Banding beroperasi di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang
ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding
pada tanggal 2 Desember 1986. Pemohon Banding adalah salah satu
perusahaan pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of
Work), Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu
Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya berbunyi sebagai berikut:
- "Pungutan-pungutan,
pajak-pajak,
pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah
di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan
dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang
dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini
ditandatangani".
- Sehingga menurut Pemohon Banding
karena pada saat ditandatanganinya Kontrak Karya (Contract of Work)
tersebut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum ada, maka seharusnya
ketentuan dalam peraturan perundang-undanga tersebut tidak dapat
diberlakukan terhadap Pemohon Banding;
bahwa dengan demikian menurut
pendapat Majelis bahwa permohonan banding Pemohon Banding mempunyai
alasan yang jelas sehingga memenuhi ketentuan Pasal 36 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak;
bahwa secara substansi yang
menjadi sengketa dalam banding ini adalah pengenaan atau pemungutan
Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraaan Bermotor (PBK
dan BBN-KB);
bahwa menurut Terbanding
kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemohon Banding dikenakan PKB dan
BBN-KB berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam:
- Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
- Peraturan
Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak
Daerah;
- Kontrak Karya
yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon
Banding pada tanggal 2 Desember 1986;
bahwa Pasal 3 ayat (1) Kontrak
Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding yang
berbunyi sebagai berikut:
"Perusahaan adalah
suatu badan
usaha yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia serta tunduk kepada Undang-Undang dan
yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang biasanya mempunyai kewenangan
hukum atas perusahaan-perusahaan, perusahaan harus mendirikan satu
kantor pusat di Jakarta untuk menerima setiap pemberitahuan dan
komunikasi resmi serta komunikasi hukum lainnya";
bahwa berdasarkan ketentuan
tersebut menurut pendapat Terbanding bahwa Pemohon Banding wajib tunduk
kepada undang-undang dan yurisdiksi yang berlaku di Indonesia, oleh
karena itu pendapat Pemohon Banding yang menyatakan bahwa Kontrak Karya
bersifat khusus atau dipersamakan dengan Undang-Undang terbantahkan
oleh ketentuan yang diatur dalam Kontrak Karya itu sendiri, yang
berarti juga bahwa dalam pemberlakuannya Kontrak karya tersebut terikat
pada Peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku. Sehingga dengan
demikian jelas bahwa Pemohon Banding sebagai pelaksana Kontrak karya
terkait dengan Pajak Daerah, wajib tunduk kepada Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku, termasuk di dalamnya tunduk kepada
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 1
Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
bahwa Pasal 13 Kontrak Karya
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding antara lain
menyebutkan sebagai berikut:
"Dengan
mengindahkan
ketentuan-ketentuan dalam persetujuan ini, perusahaan membayar kepada
Pemerintah dan memenuhi kewajiban-kewajiban pajaknya, seperti yang
ditetapkan sebagai berikut:
Angka (XI):
Pungutan-pungutan,
pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh
Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah
Pusat";
bahwa Terbanding berpendapat
berdasarkan ketentuan tidak ada alasan hukum bagi Pemohon Banding untuk
menghindar dari kewajibannya membayar Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) karena Peraturan Daerah
Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah telah disetujui
oleh Pemerintah Pusat dan berlaku universal bagi semua orang yang ada
di Provinsi NTB tidak terkecuali Pemohon Banding yang
memiliki/menguasai dan telah menerima penyerahan kendaraan bermotor
jenis alat berat dan alat besar di wilayah Provinsi NTB;
bahwa menurut pendapat Pemohon
Banding kendaraan bermotor yang dimiliki oleh Pemohon Banding tidak
dikenakan PKB dan BBN-KB berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam:
- Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1959 ;
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 27
Tahun 1959;
- Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1987 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000;
- Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2003;
- Kontrak Karya
yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon
Banding pada tanggal 2 Desember 1986;
bahwa Pemohon Banding beroperasi
di Indonesia berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding pada tanggal 2
Desember 1986. Pemohon Banding adalah salah satu perusahaan
pertambangan yang tunduk kepada Kontrak Karya (Contract of Work),
Kontrak Karya secara khusus mengatur masalah perpajakan, yaitu Pasal 13
dan lampiran H, disamping itu, pengaturan masalah perpajakan di dalam
Kontrak Karya tersebut bersifat “lex spesialis”,
artinya masalah
perpajakan yang secara spesifik diatur di dalam Kontrak Karya berlaku
khusus (dipersamakan dengan Undang-Undang), dalam hal tidak diatur
secara khusus maka berlaku ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang ada;
bahwa argumentasi Pemohon Banding
di atas tentang karakteristik Kontrak Karya yang bersifat 'Lex
Specialis' didukung dengan fakta-fakta sebagai berikut:
- Surat
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15
Desember 1988 yang menyatakan bahwa Kontrak Karya Pertambangan
diberlakukan dan dipersamakan dengan Undang-Undang, oleh karena itu
ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan
secara khusus (special treatment/Lex Specialis);
- Pasal II
dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 mengenai Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa (PPN) (pasal ini tidak mengalami perubahan di dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000) yang berbunyi:
- "Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
- pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak
dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan
Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya
Undang-Undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak
Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan
pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya,
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir";
- Pasal 33A
ayat 4 dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 mengenai Pajak
Penghasilan (Pasal 33A ini tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1994 mengenai Pajak Penghasilan, yang mana tidak mengalami
perubahan di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), yang berbunyi:
"(4)
|
Wajib
Pajak yang menjalankan
usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum,
dan pertambangan lainnya berdasarkan kontrak bagi hasil, Kontrak Karya,
atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku
pada saat berlakunya undang-undang ini, pajaknya dihitung berdasarkan
ketentuan dalam kontrak bagi hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan berakhirnya
kontrak atau perjanjian kerjasama dimaksud";
|
- Bab XXV
mengenai Ketentuan Peralihan Pasal 169 huruf (a) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut
menyatakan bahwa:
- "Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang
ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/
perjanjian";
bahwa dengan demikian sangat
jelas bahwa Kontrak Karya memiliki sifat "Lex Specialis" dimana
ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Kontrak Karya wajib untuk
dihormati dan dilaksanakan baik oleh Perusahaan Pertambangan maupun
Pemerintah (baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan semua
Aparatur Negara) sebagai pihak yang telah menyetujui dan menandatangani
Kontrak karya tersebut, sebagaimana diuraikan di atas, sifat "Lex
Specialis" dari Kontrak Karya juga diatur dan diakui oleh undang undang
yaitu Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Undang-Undang Pajak
Penghasilan, dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara, oleh
karena itu hal yang menyangkut materi pengenaan/perhitungan pajak bagi
perusahaan pertambangan yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya,
termasuk Pemohon Banding, harus tunduk terhadap ketentuan-ketentuan
terkait yang secara khusus diatur di dalam Kontrak Karya yang
bersangkutan;
bahwa dalam Kesimpulan Akhir
Pemohon Banding Nomor Ms/NNT/0316/2363 tanggal 01 Maret 2016 antara
lain disampaikan:
bahwa di dalam proses persidangan
– sebelumnya di Majelis Hakim yang lain, Pemohon Banding
pernah
menghadirkan saksi yaitu Bapak AAA, mantan Direktur Jenderal
Pertambangan Umum – Departemen Pertambangan dan Energi
(beliau menjabat
dalam periode 1989 – 1993). Di dalam kesaksiannya, Pak AAA
secara
khusus menekankan mengenai proses dari diterbitkannya suatu Kontrak
Karya dan juga sifat "Lex Specialis" dari Kontrak Karya yang harus
dihormati baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berikut
adalah beberapa kutipan dari kesaksian Bapak AAA;
Pokok-Pokok Pikiran Bapak Ir. AAA;
- selama ini
Pemerintah RI sangat konsekwen dengan komitmen-nya terhadap: segala
ketentuan Kontrak Karya, dan telah secara konsisten pula menghargai
sifat Lex-Specialisnya Kontrak Karya. Contoh yang paling nyata adalah
Pasal 169 ayat (a) dari Undang-Undang Pertambangan yang baru, yang
dinamakan UU Minerba (UU no. 4 tahun 2009), yang menetapkan bahwa
"Kontrak Karya dan PKP2B yang telah ada sebelum berlakunya UU ini,
tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian."
- Sama sekali
tidak sewajarnya bagi Pemerintah RI untuk hanya menghormati ketentuan2
yang pada akhirnya menguntungkan bagi negara saja, tapi tidak
menghormati apa yang mengakibatkan kerugian bagi kita, apalagi kalau
kerugian itu merupakan akibat dari langkah kebijakan Pemerintah RI
sendiri dan jumlahnya relatif kecil dibanding keuntungan2 tersebut di
atas;
- Tindakan
tidak menghormati lagi segala ketentuan Kontrak Karya dan atau sifat
Lex Specialis dari Kontrak Karya dapat memicu tindakan serupa dari
pemegang Kontrak Karya, yang nampaknya justru akan dapat berdampak
kepada kerugian Negara yang jauh lebih
besar;
-
Akibat yang
paling berat yang akan dipikul oleh Negara dari tindakan sepihak tidak
menghormati Kontrak Karya adalah nama baik kita sebagai bangsa dan
iklim kepastian hukum yang akan sirna kembali setelah selama lebih dan
tiga dasawarsa kita pupuk dan telah banyak membuahkan hasil nyata;
bahwa Pemohon Banding juga telah
menghadirkan saksi ahli di dalam persidangan oleh Majelis Hakim yang
sama, yaitu Bapak Prof. QQ, SH, LL.M, Ph.D, yang merupakan Dekan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang mana pokok-pokok pikirannya
atas masalah ini dituangkan sebagai berikut):
Prof. QQ, SH, LL.M, Ph.D
- Negara
Republik Indonesia merupakan suatu Badan Hukum yang memenuhi
persyaratan dan memiliki kewenangan untuk melakukan dan menandatangani
perjanjian dengan pihakpihak lainnya, termasuk dengan pihak swasta.
Status negara adalah sebagai Badan Hukum perdata, dan negara tunduk dan
mengikatkan diri pada ketentuan-ketentuan hukum perdata;
- Kontrak
Karya merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dilakukan oleh Negara
dan pihak swasta. Kontrak Karya sering disebut dengan Kontrak Perdata
yang bersegi publik karena salah satu pihaknya adalah badan publik,
yaitu Negara;
- Berbagai
hak dan kewajiban hukum masing-masing pihak terdapat pada Kontrak Karya
yang merupakan hasil kesepakatan antara pihak negara dan pihak swasta.
Penambahan dan pengurangan hak dan kewajiban tersebut hanya dapat
dilakukan atas dasar kesepakatan bersama para pihak dalam Kontrak Karya
tersebut;
- Pada
pelaksanaan Kontrak Karya tersebut, Negara dilarang menggunakan
kekuasaan/otoritasnya sebagai organ publik dalam perjanjian tersebut,
karena pada dasarnya negara merupakan salah satu pihak dalam Kontrak
Karya tersebut, yang wajib menghormati dan melaksanakan isi Kontrak
Karya tersebut;
- Negara
Indonesia adalah negara kesatuan (Unitary State) yang berbentuk
Republik dan merupakan negara dengan kedaulatan tunggal. Dengan sistim
negara kesatuan tersebut, Pemerintah Pusat (National Government)
mendesentralisasikan urusan pemerintahannya ke pemerintah-pemerintah
sub nasional (Sub National Government) yang ada dibawahnya, baik
berbentuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan sistem seperti ini, pemerintah bawahan wajib menghormati
dan melaksanakan semua pengaturan, kebijakan, dan lain-lain termasuk
perjanjian/kontrak yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, sampai
selesainya perjanjian tersebut. Pemerintah bawahan dilarang dan tidak
boleh membebani investor-investor yang bekerja sama dengan Pemerintah
Pusat dengan aturan-aturan kebijakan dan beban-beban lainnya di luar
yang telah disepakati dalam perjanjian/Kontrak Karya tersebut;
- Apabila
Pemerintah Bawahan ingin membuat suatu kebijakan/beban/regulasi
tambahan kepada investor, maka Pemerintah Bawahan tersebut dapat
mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan hanya Pemerintah Pusat yang
berwenang untuk menegosiasikannya dengan investor, dan hasilnya
tergantung dan kesepakatan antara Pemerintah dan pihak swasta tersebut;
- Berkaitan
dengan surat Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/270/VII/2005, Pemohon
Banding berpendapat bahwa surat tersebut adalah dalam rangka
korespondensi antara Ketua Mahkamah Agung dan Tim DPRD mengenai hal
yang terkait dengan permasalahan hukum yang terjadi di Maluku Utara.
Secara kekuatan hukum, yang dapat dieksekusi dan ditindak lanjuti
adalah vonis (putusan) Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Sedangkan Fatwa atau Surat-Surat Mahkamah Agung adalah hanya
mengikat pihak-pihak yang meminta fatwa atau penjelasan/perlindungan
hukum tersebut. Para hakim di Indonesia sebagai hakim yang merdeka
dalam melaksanakan kekuasaannya sesuai Undang-Undang Dasar 1945 dapat
berbeda pendapat dan tidak terikat dengan fatwa/surat Mahkamah Agung
dalam memberikan putusannya, sesuai dengan situasi dan kondisi
kasus/sengketa hukum yang sedan ditanganinya;
- Untuk
menganalisis suatu Kontrak Karya yang dianggap bertentangan dengan
ketentuan KUHPerdata pasal 1320 jo 1337, maka Pemohon Banding
berpendapat bahwa untuk menganalisis dan menilai Kontrak Karya tersebut
wajib dianalisis sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu Kontrak
Karya tersebut ditandatangani, dan tidak dapat dinilai dengan situasi
dan kondisi terkini karena akan menimbulkan perbedaan penafsiran dan
menimbulkan kekacauan hukum yang luar biasa, yang pada akhirnya justru
tidak memberikan kepastian hukum bagi para pihak dalam Kontrak Karya
tersebut;
- Sedangkan
mengenai ketentuan Pasal 3 ayat 1 Kontrak Karya yang menyebutkan bahwa
"Perusahaan adalah suatu badan usaha yang didirikan berdasarkan
undang-undang Republik Indonesia serta tunduk kepada undang-undang dan
yurisdiksi pengadilan di Indonesia yang biasanya mempunyai kewenangan
hukum atas perusahaan." Pemohon Banding berpendapat bahwa ketentuan
tersebut wajib ditafsirkan sebagai berikut:
Perusahaan akan tunduk pada
segala kesepakatan-kesepakatan dan undang-undang sektoral yang mengatur
pertambangan Indonesia pada saat ditandatanganinya Kontrak Karya
tersebut, serta apabila timbul sengketa hukum pada pelaksanaan Kontrak
Karya tersebut akan diselesaikan melalui yurisdiksi pengadilan
Indonesia;
bahwa terhadap pendapat Pemohon
Banding yang menyatakan bahwa Kontrak Karya antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut bersifat Lex Specialis, maka
Terbanding memberikan tanggapan bahwa pendapat Pemohon Banding tersebut
tidak tepat, karena kontrak karya (Contract of Work) berada dalam ruang
lingkup Hukum Perdata, sedangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berada dalam ruang lingkup
Hukum Publik, sehingga kontrak karya tidak tunduk pada azas Lex
Specialis. Penjelasan tersebut sejalan dengan maksud Surat Mahkamah
Agung Republik Indonesia 28 Juli 2005 Nomor KMA/270/VII/2005 yang
ditujukan kepada Tim Hukum DPRD Provinsi Maluku Utara yang isinya,
bahwa Kontrak Karya (Contract of Work) berada dalam ruang lingkup Hukum
Perdata, sedangkan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor (BBNKB) berada dalam ruang lingkup Hukum Publik,
sehingga Kontrak Karya tidak tunduk pada azas Lex Specialis;
bahwa terkait dengan pendapat
bahwa Kontrak Karya tidak tunduk pada azas Lex Specialis lebih lanjut
dalam Kesimpulan Akhir Terbanding Nomor 1KA-XIII.A/PKB-BBNKB/III/2016
tanggal 04 Maret 2016 antara lain disampaikan pendapat hukum dari Pakar
Hukum mengenai asas lex spesialis yaitu:
- Pendapat
Prof. Dr. FGH, S.H. Guru Besar dalam bidang Hukum Perdata pada Fakultas
Hukum Universitas Mataram yang disampaikan saat sebagai saksi ahli
untuk kasus yang sama terkait PKB dan BBNKB yang menyimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
- Kontrak Karya merupakan bentuk
kesepakatan antara Pemohon Banding dengan Pemerintah Indonesia yang
berada dalam lapangan hukum perdata (privat law/persoon recht), dan
kesepakatan mana tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang
atau ketertiban umum.
- Pemerintah Indonesia sebagai
badan publik, dengan mengadakan kontrak dengan badan swasta (badan
private) yakni Pemohon Banding, berarti ia telah melakukan penundukan
diri kepada hukum private, dan dengan demikian ia dalam kapasitas
sebagai lembaga atau organ perdata.
- Kontrak Karya sebagai
kesepakatan keperdataan tidak dapat disetarakan dengan Undang-Undang
atau sebagai "specialist" dari Undang-Undang, dan oleh karena ia bukan
"lex" maka azaz "Lex Specialist" tidak dapat diberlakukan kepadanya.
- Pemohon Banding dalam
kaitannya dengan pajak daerah harus tunduk kepada Undang-Undang Nomor
34 Tahun 2000 (yang berlaku sekarang Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009)
dan bukan kepada Kontrak Karya.
- Pendapat
Prof DFG, SH., LLM., Ph.D. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia:
- Kontrak Karya tidak dapat
diberlakukan sebagai “Lex Specialis Derogate Legi
Generali” terhadap
peraturan perundang-undangan. Alasannya karena Kontrak Karya dan
peraturan perundang-undangan merupakan dua produk hukum yang berbeda.
- Doktrin “Lex Specialis
Derogate Legi Generali” hanya dapat diberlakukan terhadap
produk hukum
yang sama dengan substansi masalah yang diatur antara Undang-Undang
dengan Undang-Undang dimana satu Undang-Undang mengatur hal secara umum
sementara Undang-Undang yang lain mengatur secara khusus. Atau
Peraturan Presiden dengan Peraturan Presiden dimana satu Peraturan
Presiden mengatur hal secara umum sementara Peraturan Presiden yang
lain mengatur secara khusus.
- Dalam hal demikian maka
Undang-Undang atau Peraturan Presiden yang berlaku adalah Undang-Undang
atau Peraturan Presiden yang mengatur secara khusus. Ini karena menurut
doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali”
ketentuan yang lebih
khusus yang menang (prevail) dan harus diberlakukan.
- Namun bila produk hukum
berbeda sementara yang satu mengatur secara khusus dan yang lain
mengatur secara umum, doktrin “Lex Specialis Derogate Legi
Generali”
tidak dapat diberlakukan.
- Bila suatu Peraturan Presiden
mengatur secara khusus atas suatu hal dan pada saat bersamaan ada
Undang-Undang yang mengatur suatu hal secara khusus maka Peraturan
Presiden akan tidak diberlakukan karena secara hirarki menurut Pasal 7
ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 kedudukan Undang-Undang
lebih tinggi daripada Peraturan Presiden.
bahwa berdasarkan pendapat
Terbanding, Pemohon Banding dan Ahli sebagaimana dimaksud di atas maka
Majelis berpendapat sebagai berikut:
- bahwa yang
dipermasalahkan dalam banding ini adalah kedudukan hukum dari Kontrak
Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986. Menurut pendapat Pemohon
Banding Kontrak Karya tersebut bersifat “Lex
Specialis” sehingga
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang
diberlakukan kepada Pemohon Banding adalah ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana yang berlaku pada saat Kontrak Karya
tersebut ditandatangani. Sedangkan menurut pendapat Terbanding bahwa
Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia
dan Pemohon Banding pada tanggal 2 Desember 1986 tidak tunduk pada azas
“Lex Specialis” karena Kontrak Karya tersebut
berada dalam ruang
lingkup Hukum Perdata sedangkan peraturan perundang-undangan di bidang
perpajakan berada dalam lingkup Hukum Publik.
- bahwa
doktrin “Lex Specialis Derogate Legi Generali”
hanya dapat diberlakukan
terhadap produk hukum yang sama. Karena antara Kontrak Karya yang
ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding
pada tanggal 2 Desember 1986 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di samping bukan produk hukum
yang sama juga berbeda lingkup hukumnya, maka doktrin “Lex
Specialis
Derogate Legi Generali” tidak dapat diberlakukan;
- bahwa sifat
“Lex Specialis” dari Kontrak Karya tersebut lebih
disebabkan karena
posisi hukum Kontrak Karya yang merupakan salah satu bentuk perjanjian
yang dilakukan oleh Negara dan pihak swasta. Kontrak Karya sering
disebut dengan Kontrak Perdata yang bersegi publik karena salah satu
pihaknya adalah badan publik, yaitu Negara. Sesuai dengan pendapat Ahli
Prof. QQ, SH, LL.M, Ph.D: bahwa berbagai hak dan kewajiban hukum
masing-masing pihak terdapat pada Kontrak Karya yang merupakan hasil
kesepakatan antara pihak negara dan pihak swasta. Penambahan dan
pengurangan hak dan kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar
kesepakatan bersama para pihak dalam Kontrak Karya tersebut. Sehingga
pada pelaksanaan Kontrak Karya tersebut, Negara dilarang menggunakan
kekuasaan/otoritasnya sebagai organ publik dalam perjanjian tersebut,
karena pada dasarnya negara merupakan salah satu pihak dalam Kontrak
Karya tersebut, yang wajib menghormati dan melaksanakan isi Kontrak
Karya tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
yang menyatakan:
“Semua persetujuan yang dibuat
sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan
itikad baik”;
bahwa apabila merujuk kepada
proses pembuatan Kontrak Karya maka nampak jelas bahwa pembuatan
Kontrak Karya melibatkan banyak pihak, yang terdiri dari
pejabat-pejabat Eselon 2 dan atau staf ahli dan Departemen-Departemen
dan instansi-isntansi terkait seperti BKPM, Departemen Keuangan,
Departemen Lingkungan Hidup, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam
Negeri, Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pajak, dll., dan
diketuai oleh Dirjen Pertambangan Umum. Kemudian pembuatan Kontrak
Karya dikonsultasikan terlebih dahulu dengan DPR-RI dan BKPM melalui
pengajuan naskah Kontrak Karya yang telah diparaf oleh para pihak oleh
Menteri Pertambangan dan Energi (Menteri P&E) kepada DPR-RI dan
BKPM.
Adapun pembahasan segala
ketentuan yang tercantum dalam naskah Kontrak Karya, dalam
sidang-sidang Komisi DPR-RI yang bersangkutan bersama Tim Perunding
Interdepartemen, terbuka bagi umum. Atas dasar hasil pembahasan
tersebut, surat rekomendasi/persetujuan DPR-RI yang ditanda tangani
oleh Ketua DPR-RI, disampaikan kepada Presiden RI, lengkap dengan
catatan-catatannya;
bahwa selanjutnya Ketua BKPM juga
membuat Surat Rekomendasi untuk disampaikan kepada Presiden RI.
Berdasarkan Surat Rekomendasi/persetujuan dan DPR dan BKPM, Presiden RI
akan membuat surat pengesahan Kontrak Karya. Setelah surat pengesahan
Kontrak Karya diperbaiki sesuai catatan-catatan dari DPR-RI dan/atau
Ketua BKPM, Presiden RI akan memberikan Surat Perintah kepada Menteri
Pertambangan dan Energi untuk menandatangani Kontrak Karya atas nama
Pemerintah RI;
bahwa dalam hal ini pemerintah
harus juga diartikan mempunyai fungsi sebagai badan hukum privat yang
juga harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang telah disepakatinya
di dalam Kontrak Karya, apabila di kemudian hari pemerintah membuat
Undang-Undang/peraturan yang bertentangan dengan isi dari Kontrak
Karya, maka Kontrak Karya tersebut tetap harus dihormati (Pacta Sunt
Servanda);
bahwa Pacta Sunt Servanda
(aggrements must be kept) adalah asas hukum yang menyatakan bahwa
“setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para
pihak yang
melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena
termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa
“every treaty in force is binding upon the parties to it and
must be
performed by them in good faith” (setiap perjanjian mengikat
para pihak
dan harus dilaksanakan dengan itikad baik);
bahwa Pasal 1338 KUH Perdata
berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
undang-undang
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik;
bahwa terdapat Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI yang pada intinya menyatakan bahwa kesepakatan para
pihak berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata dapat mengenyampingkan
ketentuan hukum publik sebagai berikut:
- Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 791 K/Sip/1972 tanggal 26 Februari 1973,
menyatakan:
- “Pasal
1338 “BW” masih berlaku dalam hukum
perjanjian, oleh sebab itu sesuai dengan pertimbangan Pengadilan Tinggi
pihak-pihak harus mentaati apa yang telah mereka setujui, dan yang
telah dikukuhkan dalam akte otentik tersebut.”
- Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 225 K/Sip/1976 tanggal 30 September 1983, yang
diputus oleh Hakim Agung: AF, S.H.; Ny. FA, S.H.; dan FG, S.H.,
menyatakan:
- “.....walaupun hukum acara perdata adalah
merupakan
ketentuan-ketentuan hukum publik, dalam beberapa segi masih dapat
disimpangi berlakunya oleh sesuatu persetujuan yang diciptakan oleh
kedua belah pihak....”;
bahwa dalam ajaran Trias Politica
yang pertama kali dikemukakan oleh Montesquieu (1689 – 1755)
secara
normatif kekuasaan dibagi menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan judikatif. Kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan membuat undang-undang atau disebut dengan rule making
function. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan
undang-undang atau disebut dengan rule application function, sedangkan
kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran
undang-undang atau disebut dengan rule adjudication function.
bahwa sesuai dengan fungsinya,
kekuasaan judikatif hanya mengurusi tempat dan atau waktu kejadian
perkara atau hal yang telah ada atau hal yang mulai terjadinya di masa
lalu. Dalam peta pembagian waktu ke dalam kemarin, hari ini, besok,
judikatif mengurusi kemarin. Dalam peta dasar aktivitas manajerial
bernegara pengawasan, pelaksanaan, perencanaan, judikatif mengurusi
pegawasan. Judikatif tidak mengurusi tindak lanjut dari sesuatu atau
tindak lanjut dari derivatnya sesuatu yang sedang menjadi objek
penghakiman.
bahwa Pasal 13 ayat (11) Kontrak
Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding berbunyi
sebagai berikut:
"Pungutan-pungutan,
pajak-pajak,
pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah
di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku dengan tarif dan
dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat dari undang-undang
dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal Persetujuan ini
ditandatangani";
bahwa Kontrak Karya antara
Pemerintah RI dan Pemohon Banding adalah produk hukum berupa perjanjian
dan oleh karenanya tunduk kepada azas-azas hukum perjanjian dan wajib
tunduk pada kaedah memaksa (dwingen recht) yang terdapat dalam
KUHPerdata;
bahwa Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yang dibuat di
Indonesia merupakan kaedah memaksa yang tidak boleh diabaikan oleh para
pihak yang terikat dalam suatu perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata
disebutkan dinyatakan
bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- sepakat mereka yang mengikat dirinya
- kecakapan untuk membuat perikatan
- suatu hal tertentu
- suatu sebab yang halal
bahwa penjelasan mengenai “suatu sebab yang halal”
dijelaskan dalam Pasal 1337 KUHPerdata:
"Suatu sebab
adalah terlarang,
apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan
kesusilaan baik atau ketertiban umum."
bahwa Kontrak Karya
ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemohon Banding
pada tanggal 2 Desember 1986 dimana pada saat penandatanganan Kontrak
Karya a quo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah belum ada, sehingga menurut
Pendapat Majelis Kontrak Karya a quo tidak bertentangan dengan
ketentuan Pasal 1320 dan 1337 KUH Perdata;
bahwa Majelis berpendapat pada
saat menandatangani Kontrak Karya dengan Pemohon Banding pada tanggal 2
Desember 1986, Pemerintah Republik Indonesia berfungsi sebagai badan
hukum privat sehingga tunduk kepada ketentuan maupun asas-asas yang
berlaku dalam Hukum Perdata;
bahwa sesuai dengan ketentuan
Pasal 1338 KUH Perdata sebagaimama tersebut di atas, Majelis
berpendapat dalam hal Terbanding ingin memberlakukan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berbeda dengan yang diatur dalam
Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan
Pemohon Banding, harus melalui kesepakatan terlebih dahulu dengan
Pemohon Banding, atau dengan kata lain bahwa Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemohon Banding terlebih dahulu melakukan adendum atau
amandemen terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut;
bahwa dalam Pasal 13 ayat (11)
Kontrak Karya Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding
tersebut secara jelas dinyatakan bahwa: "Pungutan-pungutan,
pajak-pajak, pembebanan-pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh
Pemerintah Daerah di Indonesia yang telah disetujui oleh Pemerintah
Pusat sesuai dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
dengan tarif dan dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih berat
dari undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada tanggal
Persetujuan ini ditandatangani;
bahwa peraturan-peraturan yang
berlaku di bulan Desember 1986 terkait dengan pengenaan PKB adalah
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Barat Nomor 5
Tahun 1985 (PD Nomor 5/1985), salah satu rujukan dari Peraturan Daerah
Nomor 5/1985 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 8 Tahun 1959, tentang Perubahan Tarip Pajak
Kendaraan Bermotor, yang menyatakan bahwa:
" ...Pada waktu
ini jumlah pajak
sudah tidak seimbang lagi dengan harga kendaraan bermotor, maka oleh
sebab itu dapat dianggap sudah tiba waktunya untuk mengubah tarip Pajak
Kendaraan Bermotor. Disamping itu biaya pemeliharaan jalan-jalan sudah
meningkat pula, karena meningkatnya harga bahan-bahan, sehingga sudah
sewajarnya bahwa kenaikan itu dibebankan kepada pemakai-pemakai
jalan-jalan itu, khususnya pemilik kendaraan bermotor.
Pula dianggap
tidak melampaui
batas keadilan jika mobil-mobil penumpang atau barang yang dipergunakan
untuk umum, yang semata-mata dijalankan dengan bahan pembayar bensin,
yang semula tidak kena Pajak Rumah Tangga dikenakan pajak ini. Dengan
ketentuan ini maka kendaraan mobil yang dibebaskan dari Pajak Rumah
Tangga dapat dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor jika memenuhi
syarat-syaratnya. Dalam hal ini, maka semuanya mobil yang belum
mempunyai nomor polisi yang diperdagangkan, dan dengan demikian tidak
dapat dipakai dijalan umum, dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan
Bermotor....";
bahwa ketentuan sebagaimana
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kendaraan bermotor yang
dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor adalah yang digunakan untuk umum dan
dipakai di jalan umum, sedangkan kendaraan bermotor yang tidak dipakai
di jalan umum dibebaskan dari pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor;
bahwa yang dimaksud dengan
kendaraan bermotor menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah: setiap Kendaraan
yang digerakkan oleh peralatan mekanik selain Kendaraan yang berjalan
di atas rel;
bahwa ketentuan Pasal 4 Undang-Undang a quo mengatur bahwa:
Undang-Undang ini berlaku untuk
membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman,
selamat, tertib, dan lancer melalui:
- kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau
barang di Jalan;
- kegiatan
yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan; dan
- kegiatan
yang berkaitan dengan registrasi dan indentifikasi Kendaraan Bermotor
dan Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Majajemen dan Rekayasa Lalu
Lintas, serta penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
bahwa pada umumnya kendaraan
bermotor yang digunakan di pertambangan lebih bersifat sebagai alat
berat meskipun sama-sama berpenggerak peralatan mekanik berupa mesin,
namun alat berat memiliki perbedaan teknis yang sangat mendasar,
berbeda dengan kendaraan bermotor lain yang dipegunakan sebagai
kendaraan penumpang dan atau barang di jalan sebagai sarana
transportasi. Alat berat secara khusus didesain bukan untuk
transportasi melainkan untuk melaksanakan pekerjaan berskala besar
dengan mobilitas relatif rendah, sehingga Majelis berpendapat bahwa
alat berat tidak tepat kalau dikelompokan dalam kendaraan bermotor
sebagaimana dimaksud di atas;
bahwa berdasarkan data dan fakta
yang terungkap dalam persidangan dapat diketahui bahwa Pemerintah
Republik Indonesia dan Pemohon Banding tidak melakukan adendum atau
amandemen terhadap ketentuan Pasal 13 ayat (11) Kontrak Karya
Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemohon Banding tersebut;
bahwa Majelis berpendapat sifat
“Lex Specialis” Kontrak Karya antara Pemohon
Banding dan Pemerintah
Republik Indonesia sebagaimana yang dikemukakan oleh Pemohon Banding
bukan disebabkan karena kedudukan hukum kontrak karya tersebut yang
berada dalam lingkup Hukum Perdata dibandingkan dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1 Tahun 2011
tentang Pajak Daerah yang berada dalam lingkup Hukum Publik, tetapi
lebih dikarenakan telah disepakatinya oleh Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemohon Banding sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13
ayat (11) Kontrak Karya tersebut;
bahwa di dalam Pasal 1 Kontrak
Karya antara Pemohon Banding dan Pemerintah Republik Indonesia
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "Pemerintah" berarti Pemerintah
Republik Indonesia, Menteri, Departemen, Badan, Lembaga, Pemerintah
Daerah, Kepala Daerah Tingkat I atau Tingkat II-nya. Berdasarkan
ketentuan Pasal ini, maka dapat disimpulkan bahwa Pemerintah yang
dimaksud di sini adalah termasuk juga Pemerintah Daerah, dengan
demikian Pemerintah Daerah juga harus menghormati ketentuan-ketentuan
yang di atur di dalam Kontrak Karya tersebut;
bahwa berdasarkan uraian tersebut
di atas dan sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata serta
sejalan dengan asas “Pacta Sunt Servanda” yang
berlaku secara
universal, Majelis berkesimpulan koreksi Pajak Kendaraan Bermotor Jenis
Alat Berat dan Besar Tahun Pajak 2013 sebesar Rp382.000,00 tidak dapat
dipertahankan;
|